Al
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari sahabat yang mulia Al ‘Irbadh bin Sariyah
Radhiyallahu 'Anhu bahwa ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
menasehatkan kepada kami dengan satu
nasehat yang menggetarkan hati-hati kami dan air mata pun berlinang karenanya.
Maka ketika itu kami mengatakan: “Duhai Rasulullah nasehat ini seperti nasehat
orang yang mau mengucapkan selamat tinggal karena itu berilah wasiat kepada
kami.” Beliau pun bersabda: "Aku
wasiatkan kepada kalian bertakwa kepada Allah untuk mendengar dan taat walaupun
yang memerintah kalian itu seorang budak. Dan barangsiapa di antara kalian yang
masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak.
Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al
Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang erat-erat sunnah itu
dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara-perkara baru
karena setiap perkara baru itu sesat.”
Penjelasan Hadits
Al
Hafidz Abu Nu‘aim berkata: “Hadits ini jayyid termasuk hadits yang shahih dari
periwayatan orang-orang Syam.”. Beliau juga mengatakan: “Al Bukhari dan Muslim
meninggalkan hadits ini bukan karena mengingkarinya.”
Al
Hakim menyatakan Al Bukhari dan Muslim meninggalkan penyebutan hadits ini
disebabkan anggapan yang keliru dari keduanya bahwa tidak ada seorang rawi pun
yang meriwayatkan dari Khalid bin Ma‘dan kecuali Ats Tsaur bin Yazid padahal
sebenarnya ada perawi lain yang meriwayatkan dari Khalid seperti Buhair bin
Sa‘ad Muhammad bin Ibrahim At Taimi dan selain keduanya.
Namun
pernyataan Al Hakim ini dijawab oleh Al Hafidz Ibnu Rajab: “Sebenarnya hal ini
tidaklah seperti persangkaan Al Hakim. Adapun Al Bukhari dan Muslim tidak
mengambil hadits ini karena hadits ini tidak memenuhi syarat mereka berdua di
dalam kitab shahih di mana Al Bukhari dan Muslim sama sekali tidak mengeluarkan
dalam shahih riwayat dari Abdurrrahman bin Amr As Sulami dan dari Hujr Al
Kala`i. Dan juga dua orang rawi yang disebut ini tidaklah terkenal dalam
keilmuan dan periwayatan hadits.”
Adapun
Abdurrahman As Sulami salah seorang perawi dalam hadits ini maka ia masturul
hal walaupun telah meriwayatkan dari jama‘ah namun tidak ada seorang alim yang
mu‘tabar yang men-tsiqah-kan . Ibnul Qaththan Al Fasi mendha’ifkan hadits ini
karena hal tersebut.
Demikian
pula dengan Hujr bin Hujr Al Kala‘i tidak ada yang meriwayatkan kecuali Khalid
bin Ma‘dan dan tidak ada seorang alim yang mu‘tabar yang men-tsiqah- kan
sehingga ia dinyatakan majhulul ‘ain . Berkata Ibnul Qaththan: “Orang ini tidak
dikenal.” Namun sebagaimana kata Al Imam Al Hakim di atas hadits ini
diriwayatkan juga dari selain mereka berdua dan disebuntukan jalan-jalan yang
saling menguatkan satu dengan lain oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitab
Jami’ul ‘Ulum maka hadits ini hasan. Penghasanan hadits ini dinyatakan oleh
Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al Wadi‘i rahimahullah walaupun ada sebagian ulama
yang menshahihkan sehingga mereka bersepakat bahwa hadits ini bisa dijadikan
sebagai hujjah kecuali Ibnul Qaththan Al Fasi yang mendha’ifkan hadits ini.
Kandungan Hadits
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya :
“Berilah nasehat kepada mereka dan katakanlah
kepada mereka ucapan yang bisa dipahami mengena dan menancap di jiwa-jiwa
mereka.”
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki sifat selalu memberikan bimbingan kepada
jalan yang lurus terhadap siapa saja dari kalangan umat sehingga ketika para
sahabat meminta agar beliau memberikan nasihat maka beliau pun memenuhi di iringi
dengan hikmah.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika menyampaikan nasihat senantiasa memilih
kata-kata yang tepat lafadz yang indah mengena di hati dan menancap dengan
dalam. Beliau tidak menyampaikan nasehat dengan kalimat yang panjang lagi
bertele-tele namun cukup dengan kalimat yang ringkas namun mencakup dan
dimengerti. Karena itulah beliau dikenal oleh para sahabat sebagai orang yang
memiliki jawami`ul kalim.
Sebagaimana
sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Aku diutus dengan jawami‘ul kalim.”
‘Ammar
bin Yasir Radhiyallahu ‘Anhu pernah menyampaikan khutbah dengan ringkas dan
dipenuhi dengan kata-kata yang tepat yang indah dan menancap di hati. Seusai
khutbah ada seseorang yang menegurnya. Maka ‘Ammar pun menanggapi dengan
jawaban yang tepat: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda:
“Sesungguhnya
panjang shalat seseorang dan ringkas khutbah merupakan tanda kefaqihannya.
Karena itu panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah khutbah. Sesungguhnya di
antara penyampaian dan ucapan ada yang membuat orang tersihir.”
Nasehat
yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika itu
sangatlah menancap di hati para sahabat hingga hati mereka bergetar dan air
mata mereka pun berlinang karenanya. Inilah sifat kaum mukminin tatkala
mendengar nasehat dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman-Nya:
“Hanyalah yang dikatakan orang-orang beriman itu
adalah mereka yang ketika disebut nama Allah bergetar hati-hati mereka.”
“Dan
apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul engkau akan melihat
mereka berlinangan air mata karena apa yang mereka ketahui dari kebenaran.”
Demikianlah
nasehat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang seolah-olah beliau akan
pergi meninggalkan mereka dengan memberikan nasehat perpisahan. Sebagaimana
yang telah diketahui orang yang akan pergi jauh tidak akan meninggalkan sesuatu
yang penting kecuali disampaikan dan dipesankannya.
Setelah
mendengar nasehat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam para sahabat pun
khawatir mereka tidak akan bertemu lagi dengan Rasulullah sehingga untuk
menyempurnakan nasehat yang ada, mereka meminta wasiat beliau seraya berkata:
“Wahai Rasulullah seakan-akan ini nasehat orang yang akan berpisah karena itu
berilah wasiat kepada kami. ”Beliau pun memberikan wasiat di antaranya:
Wasiat untuk Takwa kepada Allah
Berkata
ahlul ilmi takwa merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala perkara. Seluruh
seruan kepada pintu kebaikan maupun larangan kepada kejelekan terkumpul dalam
kalimat takwa ini.
Takwa
ini pula merupakan wasiat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang-orang
terdahulu maupun yang belakangan sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sungguh
Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberikan Al Kitab sebelummu dan
juga kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.”
Kita
diperintah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk berbekal dengan sebagaimana
firman-Nya: “Berbekallah kalian
maka sesungguh sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Oleh
karena itu terkumpul dalam takwa ini kebaikan dunia dan akhirat.
Wasiat untuk Mendengar dan Taat
Yang
dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di
sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin karena taat kepada mereka akan
membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dengan mentaati mereka
akan baiklah kehidupan orang-orang yang dipimpin dan menjadi amanlah negeri di
samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.
Hal
ini merupakan kewajiban agama, karena Allah telah berfirman:
“Taatlah
kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada pemimpin di
antara kalian.”
Kewajiban
mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika yang menjadi pemimpin itu
seorang budak sekalipun. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah
berpesan: “Tetaplah kalian mendengar dan taat sekalipun yang memimpin kalian
itu seorang budak Habasyah yang rambutnya seperti kismis.”
Al
Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied Rahimahullah menyatakan bahwa sebagian ulama berkata:
“Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin akan tetapi penyebutan pemimpin dari
kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar permisalan walaupun tidak
mungkin terjadi sama halnya dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun besar hanya seperti sarang
burung maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” Dan telah
diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia
sebagai masjid akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan.”
Dimungkinkan
pula di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin mengabarkan rusak perkara
apabila diserahkan urusan kepada selain ahli sampai akhir kepemimpinan
diserahkan kepada seorang budak . Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan
itu terjadi tetaplah kalian mendengar dan taat terpaksa menempuh kemudharatan
yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada dengan bersabar atas
kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin. Yang mana
apabila membangkang akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.”
Tentu
ketaatan kepada pemimpin itu sebatas dalam perkara yang ma‘ruf tanpa melanggar
hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda: “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara kebaikan.”
Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan Sunnah
Nabi
Shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Siapa di antara kalian yang masih
hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena
itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa’ Ar
Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigit/pegang erat-erat sunnah itu dengan
gigi geraham kalian.”
Ini
merupakan salah satu tanda di antara tanda-tanda kenabian beliau Shallallahu
‘Alaihi Wasallam di mana beliau mengabarkan kepada para sahabat tentang perkara
yang akan datang sepeninggalnya yakni akan terjadi perselisihan yang banyak di
kalangan umat beliau. Hal ini sesuai dengan pengabaran beliau bahwasanya umat
ini akan berpecah belah menjadi 70 lebih golongan semua masuk neraka kecuali
satu yang selamat yaitu mereka yang berpegang dengan apa yang dipegang oleh
Rasulullah dan para sahabatnya.
Karena
itulah sebagai bahtera penyelamat dari gelombang perselisihan dan perpecahan
ini adalah berpegang teguh dengan sunnah beliau dan para Al Khulafa’ Ar
Rasyidin. Saking kuat keharusan berpegang tersebut hingga di ibaratkan seperti
menggigit dengan geraham.
Ditambahkan
oleh Syaikhul Islam bahwa dikhususkan penyebutan geraham dalam hadits ini
karena gigitan gigi geraham ini sangat kokoh.
Kata
Al Imam As Sindi: “Hal ini menunjukkan keharusan untuk bersabar terhadap
kepayahan yang menimpa di jalan Allah sebagaimana yang harus dihadapi orang
yang sakit terhadap derita yang menimpa dari sakitnya.”
Adapun
sunnah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini
adalah jalan hidup beliau yang lurus dan jelas.
Selain
mengikuti Sunnah beliau, diperintahkan pula setelah untuk memegangi sunnah Al
Khulafa’ Ar Rasyidin dan mereka yang dimaksud di sini adalah Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali Radhiyallahu ‘Anhum kata Ibnu Daqiqil `Ied. Para khalifah ini
disifatkan dengan karena mereka mengetahui mengenali kebenaran dan memutuskan
dengannya. Mereka adalah karena Allah telah memberi petunjuk mereka kepada
kebenaran dan tidak menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut.
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggandengkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin
dengan Sunnah beliau karena para khalifah ini tatkala menetapkan sunnah bisa
jadi mengikuti Sunnah Nabi itu sendiri dan bisa pula mereka mengikuti apa yang
mereka pahami dari Sunnah Nabi secara global dan rinci yang mana perkara tersebut
tersembunyi bagi yang lainnya.
Al
Imam Asy Syaukani dalam Al Fathur Rabbani mengatakan: “Sunnah adalah jalan yang
ditempuh sehingga seakan-akan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
‘Tempuhlah jalanku dan jalan Al Khulafa’ Ar Rasyidin’. Jalan Al Khulafa’ Ar
Rasyidin di sini sama dengan jalan Rasulullah karena mereka merupakan orang
yang paling bersemangat dalam berpegang dengan Sunnah beliau dan mengamalkan
dalam segala perkara. Bagaimana pun keadaan mereka sangatlah berhati-hati dan
menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke dalam perkara yang menyelisihi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sekalipun dalam perkara yang terbilang
kecil terlebih lagi dalam perkara yang besar.”
Beliau
kemudian melanjutkan: “Minimal dari faidah hadits ini adalah ra`yu yang
bersumber dari mereka adalah lebih utama dari pendapat orang selain mereka
sekalipun ternyata setelah ditinjau kembali hal itu merupakan Sunnah Rasulullah
dan juga lebih baik dari pada tidak ada dalil.”
Wasiat untuk Berhati-hati dari Bid‘ah
Ucapan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Hati-hati kalian dari perkara-perkara baru”
merupakan peringatan kepada umat beliau dari perkara baru yang diada-adakan
lalu disandarkan kepada agama sementara perkara tersebut tidak ada asal sama
sekali di dalam syariat ini. Dan beliau tekankan lagi peringatan beliau ini
dengan sabdanya: “karena tiap bid`ah itu sesat”.
Adapun
ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian bid‘ah maka kembali hal
tersebut kepada pengertian bid‘ah secara bahasa bukan bid‘ah menurut syariat
(agama). Cobalah sedikit berfikir kritis dengan logika. Saya contohkan seperti
perkataan Umar Radhiyallahu ‘Anhu ketika melihat kaum muslimin shalat tarawih
berjamaah dipimpin seorang imam, ia berkata: “Sebaik-baik bid‘ah adalah
perbuatan ini.”
Ketahuilah,
shalat tarawih berjamaah ini bukanlah bid‘ah dalam pengertian syar‘i karena
perbuatan ini telah ada asal dalam syariat di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam pernah melakukan bersama para sahabat selama beberapa malam dari
malam-malam Ramadhan. Adapun Umar hanya menghidupkan kembali setelah Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak melanjutkan pelaksanaan karena khawatir
perkara tersebut akan diwajibkan kepada
umat beliau sementara mungkin ada di antara mereka yang tidak mampu
melaksanakannya.
Wallahu
a‘lam bishshawaab
[dari
penjelasan Al Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsary]
Ikhwah
Fillah.. cobalah untuk berfikir jernih dan tanyakan pada hati nurani yang jujur
kemudian pahami “Kaidah” yang agung ini:
“Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi”
Seandainya Pebuatan
itu Baik (dalam Agama), maka Rasulullah, Para Sahabat, Tabi'in dan Tabiut
Tabi'in Pasti Mereka Lebih Dahulu Mengamalkannya dari Pada Kita
Karena
mereka paling tahu tentang nilai sebuah kebaikan (agama) dari pada kita yang
hidup di zaman sekarang ini.
artikel yang bagus sobat . . . follback & komen blog ane ya
BalasHapushttp://kevinakbarcitizen.blogspot.com/
salam blogger indonesia ^_^