Jumat, 31 Mei 2013

Melumpuhkan Orang yang Memiliki Ilmu Kekebalan


Ada sebuah riwayat mengenai ilmu kebal yang dimiliki al-­Harits ad-Dimasyqi yang muncul di Syam pada masa pemerintahan ‘Abdul Malik bin Marwan, lalu mengaku dirinya sebagai nabi. Setan-setan telah me­lepaskan rantai-rantai yang melilit di kedua kaki­nya, membuat tubuhnya menjadi kebal terhadap senjata tajam, menjadikan batu marmer bertasbih saat disentuh tangannya, dan ia melihat sekelompok orang berjalan kaki dan menunggang kuda terbang di udara seraya berkata ia adalah malaikat padahal jin.
Ketika kaum muslimin telah berhasil menang­kap al-Harits ad-Dimasygi untuk dibunuh, sese­orang menikamkan tombak ke tubuhnya, namun tidak mempan (punya ilmu kebal). Maka ‘Abdul Malik bin Marwan berkata kepada orang yang menikamnya itu: “Itu adalah karena engkau tidak menyebut Nama Alloh Ta’ala ketika menikamnya.” Maka ia pun mencoba lagi menikamnya dengan terlebih dahulu membaca bismillah dan ternyata tewaslah ia seketika.
Mengalahkan orang punya ilmu kebal cukup dengan menyebut nama Allah, sebab hakikatnya tipu saya setan itu lemah, Alloh berfirman: "Sesungguhnya tipu daya setan adalah lemah" (an nisa' : 76)
Allah tidak pernah memberikan ilmu kebal kepada para Nabi, sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan para Nabi sendiri tidak pernah belajar ilmu kebal, tidak pula mengajarkan ilmu sejenis itu kepada ummatnya.
Sebagai contoh, pada Perang Uhud gigi Nabi Muhamad shallallahu 'alaihi wa sallam patah, bahkan beliau menderita luka-luka ketika masuk ke dalam sumur perangkap yang disediakan musuh. Nabi Yahya Alahissalam kepalanya dipenggal dan dijadikan mahar (maskawin) oleh raja kafir yang dzalim.
Sayyidina Hamzah ditombak oleh Wahsi seorang hamba sahaya milik Hindun, kemudian oleh Hindun jantung sayyidina Hamzah dicabik-cabik dengan penuh dendam. Sayyidina Umar ketika sedang shalat terbunuh dengan khonjir (semacam pisau belati) oleh Abu Lu’ Lu’ seorang majusi yang pura-pura masuk Islam.
Sayyidina Utsman bin Affan terbunuh oleh demonstran yang terhasut provokasi Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam. Padahal ketika itu sayyidina Utsman bin Affan sedang menjalankan ibadah shaum. Sayyidina Ali ditusuk oleh Abdurahman bin Muljan seorang khawarij.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa Allah tidak memberikan ilmu kebal kepada para Nabi sekalipun. Kalau kepada para Nabi saja tidak, apalagi kepada orang biasa.
Di Indonesia ini yang merupakan negeri yang subur akan syirik dan khurafat, ada banyak praktisi yang menawarkan ilmu kebal ini. Adapun tatacara atau metode untuk mendapatkannya bisa bermacam-macam tergantung dari praktisi tersebut.
Sebutlah Kiai Salik, seorang guru kekebalan. Hanya dengan komat-kamit membaca mantra, Salik dikabarkan mampu menyetrum manusia dengan kesaktian. Hasilnya, dalam sekejap, seseorang jadi superman. Pedang setajam apa juga tak akan mampu merobek kulit. Pelor pun hanya mampu menyentuh dan lantas mental jatuh ke tanah. Sedang panas api membara tak berdaya menghanguskan mereka yang sudah ditulari ilmu. Syarat-syaratnya pun ditanggung ringan. Cukup datang dan berminat.
Salik buka praktek seperti dokter, pasiennya mengalir setiap hari. Bisnis “mengisi” agar orang jadi kebal itu telah mengangkat hidup Salik. Kini ia tak perlu lagi bertani dan berdagang untuk mengasapi dapurnya. Biasanya, sebelum mantra sakti dibisikkan, pasien yang datang kepada Salik terlebih dahulu melewati serangkaian upacara sederhana. Para langganan harus duduk di atas golok yang diletakkan di atas sajadah. Tapi sebelum itu tidak boleh lupa meletakkan duit di dekat golok. Besarnya lebih dari Rp 10 ribu. “Duit itu memang bagian dari upacara pengisian kekebalan,” kata Salik. Sebelum dikerudungi kain putih, “calon orang kebal” harus minum sebagian dari segelas air putih yang ditaburi sejumput ketan hitam. Sisanya dibasuhkan ke sekujur tubuh. Sembari memegang kepala pasien, Kiai Salik baru membacakan mantra saktinya. Maka, selesai rangkaian prosesi itu.
Di Desa Loram Kulon, Jati, Kudus, Jawa Tengah, ada Sunarwi juga pasang tawaran ilmu. Namun, menularkan kiat kekebalan Sunarwi lebih berat dibanding Salik. Muridnya untuk mendapatkan kekebalan diwajibkan mengadakan kenduri opor ayam dan nasi putih. Ayamnya jago putih mulus, berasnya empat kilogram. Bila jatuh tepat 1 Syuro, murid-murid Sunarwi wajib mandi di sungai sebatas dada, tepat pada jam 24.00. Mereka juga kudu menyelam sebanyak 49 kali. Entahlah, apa makna angka-angka itu. Yang jelas, setiap malam Jumat, murid Sunarwi harus keluar rumah, tepat jam 24.00. Menghadap ke arah timur, untuk bersemadi meminta ampun kepada Allah. Barulah Sunarwi memberi jimat yang berbau kearab-araban (rajah).
Ada juga Ormas , yang mewajibkan pengikutnya untuk Puasa 40 hari untuk mendapatkan ilmu kebal sejata dan petasan. Secara sekilas, nampaknya ritual yang dilakukan adalah ritual yang syar’i, yakni berpuasa. Tapi betulkah seperti itu? Ternyata tidak. Cobalah periksa lebih lanjut, maka akan timbul beberapa pertanyaan berkenaan ritual yang dilakukan untuk mendapatkan ilmu kebal ini, yakni:
Adakah puasa yang lebih banyak dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang diajarkan oleh beliau kepada umatnya melebihi banyaknya puasa di bulan Ramadhan, yakni selama 29 atau 30 hari (satu bulan penuh)? Setelah kita menilik hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, tidak kita jumpai beliau berpuasa lebih banyak dari bilangan di bulan Ramadhan. Akan tetapi coba perhatikan bilangan puasa yang ditentukan oleh manusia-manusia sakti ini! Untuk mendapatkan ilmu kebal, mereka diwajibkan berpuasa selama 40 hari!
Allaahulmusta’an.
Kemudian, hal lain yang perlu kita cermati adalah para manusia sakti tersebut diwajibkan berpuasa selama 30-40 hari untuk memperoleh kesaktian berupa ilmu kebal ini. Apakah mereka memiliki Tuhan selain Allah ta’ala yang mewajibkan puasa untuk mendapatkan ilmu kebal? Atau apakah mereka memiliki Nabi dan Rasul yang lain selain Rasulullah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mensyari’atkan puasa untuk memperoleh ilmu kebal? Jika mereka jawab tidak, lalu siapa yang mewajibkan dan mensyari’atkan mereka untuk berpuasa selama 40 hari untuk memperoleh ilmu kebal?
Puasa yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya ada tiga, yakni puasa wajib di bulan Ramadhan, puasa nadzar dan puasa qadha` untuk membayar hutang puasa. Selain dari tiga puasa itu tidaklah wajib hukumnya. Maka, dari mana mereka bisa mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya?
Allah ta’ala memperingatkan kita agar tidak mengikuti selain apa yang Dia turunkan. Allah ta’ala berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti selain itu.” (QS. Al-A’raf: 3)
Allah ta’ala memerintahkan kepada kita untuk mengikuti apa yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Allah ta’ala berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah. Danapa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Sebanarnya Agama Syi'ah bathiniyah pertama kali yang membuat semua Ayat Al Qur'an dapat dijadikan jimat, ada juga beberapa ayat Al Qur'an Surat Yusuf, dibaca khusus untuk Pengasihan memikat lawan jenis, ajaran mereka ada juga tenaga dalam dengan menghentakkan tangan kanan ke depan sebagai tanda memukul, maka lawan yang berada di depan kami terhempas ke belakang tanpa harus menyentuh lawan tersebut hanya dengan melafadzkan ayat-ayat mu’awidzatain (Al-Falaq dan An-Naas) sambil menahan nafas.
Saya tidak ragu lagi bahwa kekuatan-kekuatan tersebut didapatkan dengan melibatkan bantuan jin. Meskipun mendapatkan kekuatan itu dengan mengamalkan amalan-amalan yang diklaim sebagai amalan yang Islami. Akan tetapi setelah kita telisik lebih jauh, ternyata amalan-amalan tersebut tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sementara, kita dilarang meminta tolong kepada jin untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Allah ta’ala berfirman:
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6)
Satu-satunya Nabi dan Rasul yang diberikan mukjizat yang diberikan wewenang dan kekuasaan untuk memanfaatkan kekuatan jin hanyalah Nabi Sulaiman ‘alaihissalaam. Hanya beliaulah satu-satunya manusia yang diberikan wewenang itu. Setelah beliau, para nabi yang lain tidak diberikan wewenang itu. Para Nabi itu diperintahkan untuk berjuang dengan segala resiko fisik, bahkan resiko kematian.
Dengan demikian, kita tahu bahwa ilmu kebal bukanlah ajaran Islam. Ilmu kebal yang didapatkan dengan melakukan berbagai ritual tidak lain dengan melibatkan bantuan jin yang mana meminta bantuan jin dalam hal seperti ini hukumnya haram.

Wallaahu a’lam bish-shawaab.


Saya kutib dari catatan: Ust Perdana Akhmad

Kamis, 30 Mei 2013

Nasehat Syaikh Al Bani Kepada Pemuda Islam dan Para Penuntut Ilmu


Pertama-tama aku menasihatimu dan diriku agar bertakwa kepada Allah Jalla Jalaluhu, kemudian apa saja yang menjadi bagian atau cabang dari ketakwaan kepada Allah Tabaarakan wa Ta’ala seperti:
1.   Hendaklah kamu menuntut ilmu semata-mata hanya karena ikhlas kepada Allah Jalla Jalaluhu, dengan tidak menginginkan dibalik itu balasan dan ucapan terima kasih. Tidak pula menginginkan agar menjadi pemimpin di majelis-majelis ilmu. Tujuan menuntut ilmu hanyalah untuk mencapai derajat yang Allah Jalla Jalaluhu telah khususkan bagi para ulama. Dalam firman-Nya:
Artinya : "… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat …?” (Al-Mujaadilah : 11)
2.   Menjauhi perkara-perkara yang dapat menggelincirkanmu, yang sebagian ” Thalibul Ilmi” (para penuntut ilmu) telah terperosok dan terjatuh padanya.
     Diantara perkara-perkara itu:
a.         Mereka amat cepat terkuasai oleh sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan terpedaya, sehingga ingin menaiki kepala mereka sendiri.
b.         Mengeluarkan fatwa untuk dirinya dan untuk orang lain sesuai dengan apa yang tampak menurut pandangannya, tanpa meminta bantuan (dari pendapat-pendapat) para ulama Salaf pendahulu ummat ini, yang telah meninggalkan “harta warisan” berupa ilmu yang menerangi dan menyinari dunia keilmuan Islam. Dengan warisan itu jika dijadikan sebagai alat bantu dalam upaya penyelesaian berbagai musibah atau bencana yang bertumpuk sepanjang perjalanan zaman. Sebagaimana kita telah ikut menjalani atau merasakannya, dimana sepanjang zaman itu dalam kondisi yang sangat gelap gulita.
   Meminta bantuan dalam berpendapat dengan berpedoman pada perkataan dan pendapat Salaf, akan sangat membantu kita untuk menghilangkan berbagai kegelapan dan mengembalikan kita kepada sumber Islam yang murni, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahihah.
Sesuatu yang tidak tertutup bagi kalian bahwasannya aku hidup di suatu zaman yang mana kualami padanya dua perkara yang kontradiksi dan bertolak belakang, yaitu pada zaman dimana kaum muslimin, baik para syaikh maupun para penuntut ilmu, kaum awam ataupun yang memiliki ilmu, hidup dalam jurang taqlid, bukan saja pada madzhab, bahkan lebih dari itu bertaqlid pada nenek moyang mereka.
Sedangkan kami dalam upaya menghentikan sikap tersebut, mengajak manusia kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Demikian juga yang terjadi di berbagai negeri Islam. Ada beberapa orang tertentu yang mengupayakan seperti apa yang kami upayakan, sehingga kamipun hidup bagaikan “Ghuraba” (orang-orang asing) yang telah digambarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits beliau yang telah dimaklumi, seperti:
Artinya : "Sesungguhnya awal mula Islam itu sebagai suatu yang asing/aneh, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”
Dalam sebagian riwayat, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: "Mereka (al-Ghurabaa) adalah orang-orang shaleh yang jumlahnya sedikit sekeliling orang banyak, yang mendurhakai mereka lebih banyak dari yang mentaati mereka” [Hadits Riwayat Ahmad]
Dalam riwayat yang lain beliau bersabda:
Artinya: "Mereka orang-orang yang memperbaiki apa yang telah di rusak oleh manusia dari Sunnah-Sunnahku sepeninggalku”.
Aku katakan: “Kami telah alami zaman itu, lalu kami mulai membangun sebuah pengaruh yang baik bagi dakwah yang di lakukan oleh mereka para ghuraba, dengan tujuan mengadakan perbaikan ditengah barisan para pemuda mukmin. Sehingga kami jumpai bahwa para pemuda beristiqomah dalam kesungguhan di berbagai negeri muslim, giat dalam berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mengetahui keshahihannya”.
Akan tetapi kegembiraan kami terhadap kebangkitan yang kami rasakan pada tahun-tahun terakhir tidak berlangsung lama. Kita telah dikejutkan dengan terjadinya sikap “berbalik” dan perubahan yang dahsyat pada diri pemuda-pemuda itu, di sebagian negeri. Sikap tersebut, hampir saja memusnahkan pengaruh dan buah yang baik sebagai hasil kebangkitan ini, apa penyebabnya? Di sinilah letak sebuah pelajaran penting, penyebabnya adalah karena mereka tertimpa oleh perasaan ujub (membanggakan diri) dan terperdaya oleh kejelasan bahwa mereka berada di atas ilmu yang shahih. Perasaan tersebut bukan saja diseputar para pemuda muslim yang terlantar, bahkan terhadap para ulama. Perasaan itu muncul tatkala merasa bahwa mereka memilki keunggulan dengan lahirnya kebangkitan ini, atas para ulama, ahli ilmu dan para syaikh yang bertebaran diberbagai belahan dunia Islam.
Sebagaimana merekapun tidak mensyukuri nikmat Allah Jalla Jalaluhu yang telah memberikan Taufik dan Petunjuk kepada mereka untuk mengenal ilmu yang benar beserta adab-adabnya. Mereka tertipu oleh diri mereka sendiri dan mengira sesungguhnya mereka telah berada pada status kedudukan dan posisi tertentu.
Merekapun mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak matang alias mentah, tidak berdiri diatas sebuah pemahaman yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka tampaklah fatwa-fatwa itu dari pendapat-pendapat yang tidak matang, lalu mereka mengira bahwasanya itulah ilmu yang terambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, maka mereka pun tersesat dengan pendapat-pendapat itu, dan juga menyesatkan banyak orang.
Suatu hal yang tidak sama bagi kalian, akibat dari itu semuanya muncullah sekelompok orang (suatu jama’ah) dibeberapa negeri Islam yang secara lantang mengkafirkan setiap jama’ah-jama’ah muslimin dengan filsafat-filsafat yang tidak dapat diungkapkan secara mendalam pada kesempatan yang secepat ini, apalagi tujuan kami pada kesempatan ini hanya untuk menasehati dan mengingatkan para penuntut ilmu dan para du’at (da’i).
Oleh sebab itu saya menasehati saudara-saudara kami ahli sunnah dan ahli hadits yang berada di setiap negeri muslim, agar bersabar dalam menuntut ilmu, hendaklah tidak terperdaya oleh apa yang telah mereka capai berupa ilmu yang dimilikinya. Pada hakekatnya mereka hanyalah mengikuti jalan, dan tidak hanya bersandar pada pemahaman-pemahaman murni mereka atau apa yang mereka sebut dengan “ijtihad mereka”.
Saya banyak mendengar pula dari saudara-saudara kami, mereka mengucapkan kalimat itu, dengan sangat mudah dan gampang tanpa memikirkan akibatnya: “Saya berijtihad” atau “Saya berpendapat begini” atau “Saya tidak berpendapat begitu”, dan ketika anda bertanya kepada mereka: "Kamu berijtihad berdasarkan pada apa, sehingga pendapatmu begini dan begitu? Apakah kamu bersandar pada pemahaman al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta ijma’ (kesepakatan) para ulama dari kalangan Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya ? Ataukah pendapatmu ini hanya hawa nafsu dan pemahaman yang pendek dalam menganalisa dan beristidlal (pengambilan dalil)?". Inilah realitanya, berpendapat berdasarkan hawa nafsu, pemahaman yang kerdil dalam menganalisa dan beristidlal. Ini semuanya dalam keyakinanku disebabkan karena perasaan ujub, kagum pada diri sendiri dan terperdaya.
Oleh sebab itu saya jumpai di dunia Islam sebuah fenomena (gejala) yang sangat aneh, tampak pada sebagian karya-karya tulis.
Fenomena tersebut tampak dimana seorang yang tadinya sebagai musuh hadits, menjadi seorang penulis dalam ilmu hadits supaya dikatakan bahwa dia memiliki karya dalam ilmu hadits. Padahal jika anda kembali melihat tulisannya dalam ilmu yang mulia ini, anda akan jumpai sekedar kumpulan nukilan-nukilan dari sini dan dari sana, lalu jadilah sebuah karya tersebut. Nah apakah faktor pendorongnya (dalam melakukan hal ini) wahai anak muda? Faktor pendorongnya adalah karena ingin tampak dan muncul di permukaan. Maka benarlah orang yang berkata:
“Perasaan cinta atau senang untuk tampil akan mematahkan punggung (akan berkaibat buruk)”
Sekali lagi saya menasehati saudara-saudaraku para penuntut ilmu, agar menjauhi segala perangai yang tidak Islami, seperti perasaan terperdaya oleh apa yang telah diberikan kepada mereka berupa ilmu, dan janganlah terkalahkan oleh perasaan ujub terhadap diri sendiri.
Sebagai penutup nasehat ini hendaklah mereka menasehati manusia dengan cara yang terbaik, menghindar dari penggunaan cara-cara kaku dan keras di dalam berdakwah, karena kami berkeyakinan bahwasanya Allah Jalla Jalaluhu ketika berfirman:
Artinya: "Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik …” [An-Nahl : 125]
Bahwa sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu tidaklah mengatakannya kecuali dengan kebenaran (al-haq) itu, terasa berat oleh jiwa manusia, oleh sebab itu ia cenderung menyombongkan diri untuk menerimannya, kecuali mereka yang dikehendaki oleh Allah. Maka dari itu, jika di padukan antara beratnya kebenaran pada jiwa manusia plus cara dakwah yang keras lagi kaku, ini berarti menjadikan manusia semakin jauh dari panggilan dakwah, sedangkan kalian telah mengetahui sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artinya: "Bahwasanya di antara kalian ada orang-orang yang menjauhkan (manusia dari agama) ; beliau mengucapkan tiga kali”.

[Nasehat ini dinukil dari kitab "Hayat al-Albani" halaman : 452-455]


Sumber: disini

Akidah Aliran Islam Jama'ah


Materi ini saya tulis sebagai wawasan bagi saudara saudara sekalian untuk mengetahui modus operasi dari aliran Islam Jama’ah dalam mencari pengikut, atau sebagai peringatan bagi umat Muslim yang baru saja mengikuti aliran tersebut (muallaf) agar segera meninggalkan firqoh tersebut. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi umat Muslim agar tidak sampai terjerat dalam belenggu penyimpangan aliran Islam Jamaah.
Dalam menggaet target atau muallaf, Islam Jama’ah mempunyai semboyan:
“Kebo Kebo maju, barongan barongan mundur” yang artinya kalau menghadapi orang-orang awam dalam agama (kerbau), maka harus maju, dekati terus, pengaruhi terus sampai dapat. Tetapi kalau menghadapi orang pandai, apalagi ulama yang mempunyai dalil dan mampu mendebat atau membantah (barongan atau rumpun bambu yang banyak durinya), maka pihak Islam Jamaah lebih baik mundur.
Istilah muallaf itu sendiri, diambil dari pemahaman dari orang islam jama’ah bahwa umat muslim di luar golongannya dianggap kafir, sehingga ketika mulai mengaji di Islam Jamaah, maka disebut muallaf.
Adapun modus operasinya secara garis besar adalah sebagai berikut:
1.        Orang orang Islam Jama’ah yang hendak mengajak beramar ma’ruf biasanya akan bersikap baik kepada calon muallafnya. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati dari muallafnya. (ini adalah bagian dari taqiyyah Islam Jamaah)
2.        Muallaf akan dijelaskan bahwa sebagai orang Islam, landasan dalam beramal harus berdasarkan Qur’an dan Hadits.
3.        Muallaf dikenalkan tentang bid’ah, yaitu setiap amal ibadah yang tidak berdasarkan tuntunan dari Qur’an Hadits akan dikategorikan bid’ah, dan amalan bid’ah akan tertolak.
4.        Jika Muallaf menanyakan tentang isu negative, muallaf akan diberi penjelasan bahwa isu-isu negatif yang beredar di masyarakat umum adalah fitnah, dimana pembawa kebenaran pasti akan mendapatkan cobaan dan rintangan. Dalam hal ini, mereka akan menganalogikan bahwa cobaan dan rintangan yang mereka alami sama dengan cobaan dan rintangan yang dialami Rosulullah Shallallahu’alayhiwasallam dalam mendakwahkan Islam, dan mereka mengambil atsar tentang nasehat Waraqah Bin Naufal kepada Rosulullah Shallallahu ’alayhiwasallam di awal masa kenabian.
     Untuk membuktikannya, biasanya orang Islam Jama'ah akan mengajak calon target atau muallaf untuk menghadiri tempat kajian Islam Jamaah.
5.        Muallaf diberi penjelasan bahwa dalam belajar ilmu agama harus mempunyai guru agar dapat memahami agama pemahaman yang benar. Syarat syarat dalam ilmu dan guru adalah, ilmunya harus Qur’an Hadits, gurunya harus mempunyai sanad, sanadnya harus bersambung hingga Rosulullah Shallallahu’alayhiwasallam. Jargon yang terkenal di kalangan mereka adalah Mankul Musnad Muthasil (MMM). Dengan metode ini, menurut klaim mereka, maka ilmu Qur’an Hadits yang dipelajari akan terjaga kemurniannya.
6.        Muallaf juga diberi pemahaman, bahwa jika dalam mencari ilmu agama dengan selain metode sebagaimana disebutkan point no 5 di atas, maka ilmu agama yang dipelajarinya tidak sah, sehingga berimbas kepada amalan ibadahnya yang juga tidak sah.
7.        Merujuk pada point no 6, maka muallaf diarahkan untuk tidak mengambil sumber ilmu agama dari selain Islam Jama’ah, termasuk larangan untuk membaca buku buku karya tulis Ulama’ Salafussholih yang biasanya disebut di kalangan Islam Jama’ah sebagai kitab karangan. Larangan membaca kitab karangan ini berlaku untuk semua kitab karangan tanpa terkecuali. Sementara, kalangan Islam Jamaah sendiri tidak menjelaskan apa definisi tentang kitab karangan secara detail.
8.        Disampaikan pada muallaf bahwa, dalam belajar agama di Islam Jamaah semuanya gratis, tidak dipungut biaya.
9.        Muallaf  kemudian akan diajari secara privat oleh seorang guru yang biasa disebut muballigh dengan materi pertama berupa tuntunan Shalat. Alasannya, karena amal ibadah pertama kali yang dihisab di akherat adalah shalat. Buku materi yang digunakan sebagai bahan mengaji disebut kitab himpunan, jika kitab tentang shalat, berarti kitab kitabussholah. Biasanya, di halaman paling belakang, terdapat tulisan “TIDAK DIPERJUAL BELIKAN, KHUSUS INTERN WARGA”
10.        Sistem mengaji di Islam Jama’ah menggunakan system menerjemahkan Al Qur’an dan Al Hadits secara perkata. Ketika sudah selesai satu hadits atau ayat, akan dijelaskan atau diterangkan maksud ayat atau hadits tersebut. System ini akan membuat para muallaf senang, karena mereka merasa dipermudah dalam mempelajari ayat Qur’an dan Hadits yang menggunakan bahasa Arab.
11.        Jika sudah selesai dengan dengan kitabussholah, materi selanjutnya adalah kitabul adab, yaitu kitab yang berisi tentang tuntunan berakhlakul karimah.
12.        Jika kitabul adilah telah selesai, materi yang disampaikan adalah kitabu shifatil jannah wan naar, yaitu sebuah kitab yang berisi tentang sifat surga dan neraka.
13.         Jika sudah selesai dengan dengan kitabu shifatil jannah wan naar, materi selanjutnya adalah kitabul adillah, yaitu kitab yang berisi tentang kumpulan ayat Qur’an dan Hadits yang sesuai dengan program kegiatan mereka yang disebut 5 Bab, yaitu:
a.    Mengaji Qur’an Hadits,
b.   Mengamalkan Qur’an Hadits,
c.    Membela Qur’an Hadits,
d.   Sambung Qur’an Hadits dan
e.    Ta’at Allah, Rosul dan Imam secara Qur’an Hadits.
     Namun tentu saja, Al Qur’an dan Alhadits yang disampaikan sesuai dengan pemahaman pendirinya, yaitu H Nurhasan Ubaidah.
14.         Letak penyesatan terhadap para muallaf bersumber pada kitab adilah ini. Dalam kitab ini, terjadi pemelintiran pemahaman terhadap Al Qur’an dan Al Hadits agar sesuai dengan pemahaman mereka.
     Dalam ajaran yang disampaikan kepada muallaf, Islam Jamaah menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu‘alaihiwasallam tentang akan berpecah belahnya Islam menjadi 73 pecahan, 72 di neraka dan 1 golongan di surga.
     Dari ’Auf bin Maalik ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam: ”Sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, satu golongan masuk surga dan tujuh puluh dua golongan masuk neraka”. Ditanyakan : ”Ya Rasulullah, siapakah satu golongan itu ?”. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab: ”Al-Jama’ah.”
     Dalam menjelaskan pengertian Al-Jama’ah, H. Nurhasan menggunakan Atsar (Ucapan Shahabat) Umar Bin Khattab Rodhiyallohu’anhu yang berasal dari kitab Hadits Ad Darimi yang tercantum pada Kitabul Adilah halaman 43 dengan HANYA menyantumkan bagian:
     “Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan Al-Jama’ah dan tidak ada Al-Jama’ah kecuali dengan imarah, dan tidak ada imarah kecuali dengan ketaatan, barang siapa menjadikan amir pada kaumnya dengan kefahaman agama maka itu adalah kehidupan baginya dan bagi mereka dan barang siapa menjadikan amir pada kaumnya dengan selain kefahaman agama maka itu adalah kehancuran bagi dia dan mereka”
     Dalam menjelaskan maksud Atsar ini, penekanan penjelasan difokuskan pada bagian atsar:
      “Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imarah, dan tidak ada imarah kecuali dengan ketaatan”
     Dimana pada bagian "Tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah" dijelaskan dengan pengertian bahwa Islam seseorang belum wujud, belum sah kecuali dengan berjama’ah
     Pada bagian "jama’ah dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imarah" dijelaskan dengan pengertian bahwa tidaklah dikatakan berjama’ah kecuali dengan keamiran.
     Dengan menggunakan penjelasan no 1 dan 2, H Nurhasan Ubaidah mengajarkan pengertian mendefinisikan Islam dan Al-Jama’ah kepada pengikutnya sebagaimana berikut
     “Islam yang jama’ah adalah Islam yang mempunyai keamiran”
     Dan dari penjelasan diatas, aqidah atau keyakinan khawarij juga mulai ditanamkan, yaitu
     “Seorang muslim yang tidak mempunyai keamiran maka Islamnya belum wujud, belum sah alias KAFIR”
     Catatan: keamiran disini adalah keamiran yang diimami oleh H Nurhasan dan penerusnya, karena H Nurhasan telah menanamkan pemikiran pada pengikutnya, bahwa dia adalah satu satunya pembawa ajaran Islam yang berdasarkan Qur’an Hadits yang benar.
     Dalil lain yang dipelintir adalah hadits dari Imam Bukhori yang pada kitab mereka terletak pada halaman 31,
     "Barang siapa yang melihat sesuatu yang dia benci dari amirnya, maka hendaklah dia bersabar, karena sesungguhnya, barang siapa yang memisahi jamaah satu jengkal, maka dia mati, kecuali matinya mati jahiliyyah"
     Dimana pada bagian mati jahiliyyah dipelintir dengan pemahaman mati sebagai orang kafir
     Dan untuk menegaskan pentingnya mempunyai keamiran atau keimaman, H Nurhasan masih mempunyai dalil andalan yaitu:
     “Tidaklah halal bagi tiga orang yang sedang berada di permukaan bumi melainkan bila mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (HR Ahmad)
     Hadits di atas tercantum di Kitabul Adilah halaman 42-43.
     Dimana pada bagian "Tidaklah halal" dijelaskan dengan pengertian bahwa tidak halal itu berarti haram, jadi orang yang tidak mempunyai amir itu hidupnya tidak halal alias hidupnya haram, nafasnya haram, ibadahnya haram, shalatnya haram, hajinya haram, yang namanya barang haram tidak bisa masuk surga, tempatnya di neraka, yang di neraka siapa lagi kalau bukan orang KAFIR.
     Pada berbagai kesempatan nasehat atau ceramah agama di kalangan Islam Jama’ah, istilah Al-Jama’ah juga sering dianalogikan dengan shalat ber-Jama’ah, dimana yang namanya berjama’ah itu harus ada imam dan ada makmum, jika ada banyak orang yang shalat bersama sama didalam masjid, kalau tidak ada imamnya hukumnya tetap bukan shalat berjama’ah, tapi itu namanya shalat bersama sama.
     Dalam menjelaskan pengertian keamiran, H. Nurhasan memlintir pengertian ulil amri yang terdapat pada surat An-Nisaa’ ayat 59, yang pada kitabul adilah, terletak pada halaman 34.
     “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. “ (QS: Ani-Nisaa’:59)”
     Dalam menjelaskan ayat ini, pada bagian ulil amri di antara kamu, dijelaskan dengan penjelasan sebagaimana berikut:
     “Ulil amri di antara kamu artinya kamu sekalian, jadi ulil amri itu harus dari kalangan kamu sekalian, sementara, presiden itu dipilih oleh orang kafir seperti orang Kristen, orang Hindu, dan orang Budha, jadi presiden itu ulil amri minhum, tidak cocok dengan ayatnya. Karena ayatnya berbunyi minkum, bukan minhum.”
     Dengan penjelasan yang sedemikian rupa, maka penguasa Indonesia, dalam hal ini adalah presiden, bukanlah ulil amri yang dimaksud pada surat An Nisaa’ ayat 59.
     Sebagai penegasan, dari pembahasan di atas, kesimpulan utama tentang definisi Islam yang Jama’ah yang diajarkan H. Nurhasan Ubaidah kepada pengikutnya adalah:
·      Islam yang berbentuk Jama’ah adalah Islam yang mempunyai keamiran.
·      Seorang muslim yang tidak dibawah suatu keamiran jika mati sewaktu waktu, maka matinya mati jahiliyyah yaitu mati KAFIR.
·      Seorang muslim yang tidak dibawah suatu keamiran berarti keIslamannya belum wujud, belum sah.
·      Seorang muslim keIslamannya tidak wujud atau belum sah maka hukumnya KAFIR.
   Demikianlah ringkasan secara garis besar tentang modus operasi aliran Islam Jamaah dalam menjerat mangsanya.
Yang perlu diwaspadai dari aliran Islam Jamaah ini, selain mengusung aqidah takfir ala khawarij, aliran ini juga mempunyai aqidah Taqiyyah ala Syiah. Dalam aliran Islam Jamaah, Taqiyyah dikemas dalam bentuk Ijtihad Imamnya, yaitu Ijtihad Fathonnah Bithonnah Budi Luhur, atau disingkat FBBL
Istilah istilah yang populer di kalangan Islam Jamaah antara lain:
354, Jokam, Sambung, mbah man,
Jika saudara saudara pernah berdiskusi dengan mereka tentang Islam yang benar, mereka akan menggiring untuk berdiskusi tentang jamaah, imamah dan bai’at.


Dari Nugroho, Mantan Anggota Islam Jamaah

Minggu, 26 Mei 2013

Klasifikasi Hadis Menurut Ilmu Musthalah Hadis





Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah:
Hadits Shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan sanadnya bersambung, tidak ber-’illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits.
Hadits Maqbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Maqbul, biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
Hadits Dha’if  adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Hadits Dha’if  banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan yang tidak dipenuhinya.

Syarat-syarat Hadits Shahih
Suatu hadits dapat dinilai shahih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
1.   Rawinya bersifat Adil
2.    Sempurna Ingatan (dhobit)
3.    Sanadnya Tidak Terputus / Muttasil
4.    Hadits itu Tidak Berillat dan
5.    Hadits itu Tidak Janggal (tidak Syadz)

Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu :
1.   Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
2.   Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3.   Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan.
4.   Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara’.

Klasifikasi Hadits Dha’if  berdasarkan kecacatan perawinya
1.        Hadits Maudhu’ adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik hal itu disengaja maupun tidak.
2.        Hadits Matruk adalah hadits yang ditinggalkan karena menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta atau ia memang perawi yang statusnya ditinggalkan oleh para imam.
3.        Hadits Munkar adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan,  yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan hadits Ma’ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
4.        Hadits Mu’allal (Ma’lul) adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli dalam ilmu hadits.
5.        Hadits Mudraj adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
6.        Hadits Maqlub adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain yang lebih shahih), disebabkan mendahului atau mengakhirkan. Maqlub bisa terjadi pada sanad dan matan.
7.        Hadits Mudhtharib adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
8.        Hadits Muharraf adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
9.        Hadits Mushahhaf adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
10.   Hadits Mubham adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan atau dengan kata lain, tidak disebutkan namanya.
11.   Hadits Syadz (janggal) adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang maqbul (tsiqah) akan tetapi menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedhabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
12.   Hadits Mukhtalith adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.

Klasifikasi hadits Dha’if  berdasarkan gugurnya rawi
1.   Hadits Muallaq adalah hadits yang gugur (inqitha’) rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
2.   Hadits Mursal adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya yaitu seseorang setelah tabi’in, biasanya yang digugurkan adalah sahabat.
3.   Hadits Mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
4.   Hadits Munqathi’ adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
5.   Hadits Mu’dhal adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi’in, tabi’in bersama tabi’ut tabi’in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi’in.

Klasifikasi hadits Dha’if  berdasarkan sifat matannya
1.   Hadits Mauquf adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
2.   Hadits Maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi’in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.

Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi
Hadits Mutawatir adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
Syarat syarat hadits mutawatir :
1.   Berita yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni berita yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
2.   Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong atau dusta.
3.   Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi’in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.

Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.
Macam-macam hadits Ahad
Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
Hadits Gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi
Definisinya adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau mimpi, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau mimpi tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi
Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
1.   Qala ( yaqalu ) Allahu
2.   Fima yarwihi ‘anillahi Tabaraka wa Ta’ala
3.   Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an
1.   Semua lafazh-lafazh Al-Qur’an adalah mu’jizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.
2.   Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur’an, tidak berlaku pada hadits qudsi, seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.
3.   Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur’an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
4.   Meriwayatkan Al-Qur’an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafazh sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.

Sumber Rujukan:
Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu – Muhammad Nashruddin Al-Albany
Kitab Hadits Maudhlu – Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah
Kitab Mengenal Hadits Maudhlu – Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy
Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib – Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany)

 
Back To Top