Rabu, 22 Agustus 2012

Cassiano: Saat Melihat Kabah, Saya Menangis Sepanjang Menunaikan Shalat...!



Saya pernah berkata: "Ya Tuhan, keluarkanlah saya dari negara ini atau saya akan mati".
Saya di lahirkan di Brazil, disebuah tempat bernama Petrolina. Saya tidak pernah faham mengapa orang menganut agama. Karena bagi saya agama seperti sebuah fiksi.
Saya mula menjauhkan diri dari gereja, dan saya mulai pergi ke arah yang bertentangan. Saya tidak percaya pada apa pun. Semuanya kelihatan seolah-olah seperti gurauan. Saya benar-benar menjadi bertentangan. Saya tidak percaya dengan agama. Dan waktu-waktu tersebut amat sulit, saya seperti di luar diri saya seperti kata Martin Luther King, seperti kehilangan, 100 persen hilang.
Bulan Februari, saya bermain gitar di karnaval Rio de Janeiro. Waktu itu bukanlah hari yang baik buat saya. Saya sedang berada dalam kesedihan dikarenakan berbagai masalah yang saya hadapi. Saya sedang berada di jalanan dan saya ingin pulang ke rumah. Saya berada dalam keadaan mabuk dengan gitar saya dan saya katakan bahwa saya ingin pulang ke rumah. Berjalan di jalan ke arah rumah, semua orang mabuk dan semuanya kelihatan seperti bayang-bayang pada ketika itu. Itu merupakan sebuah malam yang aneh sekali.
Pada saat itu saya merasa sangat sedih. Saya mandi pada malam tersebut. Saya masuk ke kamar saya dan melakukan sujud tanpa mengetahui apa itu sujud. Saya hanya melakukannya dan menangis. Saya berkata: "Ya Tuhan, keluarkanlah saya dari negara ini atau saya akan mati". Saya merasa sebak sekali saat mengatakannya dan ia merupakan momen yang kuat.
Sebulan selepas peristiwa ini saya berada di Dubai. Seorang teman mengundang saya ke Dubai. Sebelumnya, teman ini memberitahu saya berkaitan Dubai. Saya bertanya kepada teman perempuan saya: "Kini saya sudah berada di Dubai, apa itu Dubai?"
Dia menjawab: "Dubai terletak di Timur Tengah, di Teluk Persia."
Saya berkata: "Berhati-hatilah, mereka lagi berperang, dan mereka adalah Muslim. Berhati-hatilah dengan orang Islam. Mereka akan membunuh anda!"
Dia mulai tertawa dan berkata: "Bukan, bukan demikian di sini." Dia menambahkan, "Saya juga seorang Muslim."
Saya berkata: "Wah, anda seorang Muslim?? Berhati-hatilah,..!"
Dia berkata: "Anda harus datang dan melihat sendiri jika benar seperti yang anda katakan."
Saya tidak membayar apa-apapun, seolah-olah Allah telah membawa saya keluar dari Brazil dan pergi ke Dubai.

Di Dubai
Selepas dua bulan tinggal di Dubai, saya memeluk agama Islam dan mengucapkan syahadah karena begitu nyata sekali bahwa saya berada di jalan yang salah, melakukan perkara yang salah dan Islam menjelaskannya. Begitu transparan sekali.
Adel seperti saudara saya. Dia merupakan teman terbaik saya di Dubai. Dia membantu saya dalam segala hal dan di setiap langkah. Kami banyak sekali berbincang. Alhamdulillah, dia merupakan rekan terbaik saya. Dia mengajar saya tentang Islam.
Perkara pertama yang saya tanyakan berkaitan Islam ialah "Adakah kita perlu shalat setiap hari? "Dia berkata: "Ya".
Saya mengulangi pertanyaan saya: "Anda shalat setiap hari?!"
Dia menjawab: "Ya, setiap hari".
Apa yang paling menarik bagi saya dalam Islam ialah wudhu. Karena kita mandi untuk banyak perkara dalam hidup. Kita mandi untuk pergi kerja. Kita mandi untuk bertemu teman. Kita juga mewangikan diri kita dan sebagainya. Tetapi kita tidak melakukan perkara ini ketika kita menemui Tuhan kita, kita tidak mandi untuk bertemu Tuhan, mengapa? Kita harus melakukannya. Jika anda ingin menemui raja, sudah pasti anda akan mewangikan diri anda. Oleh yang demikian, jika anda ingin menemui Tuhan, sudah tentu anda tidak akan menemui-Nya dengan keadaan diri yang kotor.
Saya merupakan anak tunggal dalam keluarga. Saya menemui saudara dalam Islam seperti hubungan saya dengan Adel. Ibu saya juga tidak pernah menemui Adel, tetapi dia berkata: "Cassiano, anda telah mempunyai seorang saudara, maka dia juga adalah anak saya. Kini dia saya anggap sebagai anak saya". Kami sungguh gembira dapat bertemu. Ia seperti sesuatu yang telah direncanakan. Allah telah merencanakan segalanya dan Dia punya rencana untuk menjalin hubungan antara manusia. Dia membawa saya keluar dari Brazil, dari Rio de Janeiro dan menempatkan saya di Dubai tanpa mengeluarkan sedirham uang sekalipun. Saya pulang ke Brazil dan kemudian kembali lagi ke Dubai tanpa mengeluarkan sedirham uang sekalipun. Allah pasti telah merencanakannya untuk saya. Saya lagi berusaha untuk memastikan bahwa semuanya berjalan menurut ketetapan-Nya.
Saya menunaikan shalat jama'ah pada hari Jum’at disebuah masjid besar di Sharjah. Masjid dipenuhi dengan ribuan orang, dan ketika saya selesai melafazkan syahadah, dan mereka tahu bahwa saya dari Brazil. Semua mengatakan seperti "Dia dari Brazil, dia pemain sepakbola." Saya kelihatan begitu gagah sekali. Semua datang mengucapkan tahniah kepada saya. Hampir dua jam saya berdiri menerima pelukan, ciuman dan ucapan tahniah dari mereka, malah ada yang menghadiahkan buku. Begitu mengharukan. Setiap orang seperti saudara saya. Saya anak tunggal, kini saya punya banyak saudara, Alhamdulillah, saya sungguh merasa bahagia.
Saya punya keluarga di Dubai. Keluarga Adel adalah seperti keluarga saya. Kini saya punya dua ibu, dua ayah dan mereka benar-benar melayani saya seperti anak mereka.
Secara jujur saya temui kedamaian di sini, yang tidak saya temui di sana. Rekan yang benar, saudara yang benar yang tidak saya miliki di Brazil. Saya punya teman sebelum ini yang menemani saya ke bar atau ke pesta, hanya untuk ini. Kini setelah memeluk agama Islam dan pulang ke Brazil, mereka berkata: "Cassiano tidak lagi minum. Dia telah menjadi seorang muslim. Jangan ajak dia." Mereka menjauhkan diri dari saya. Hal ini merupakan pilihan buat saya. Allah telah memilih yang terbaik untuk menjadi teman saya.
Kehidupan saya bermula ketika saya pergi ke Timur Tengah, Dubai. Saya tidak lagi bisa tinggal di satu tempat yang tidak punya masjid. Masjid telah menjadi sesuatu yang mempesonakan bagi saya. Ia merupakan suatu yang indah dan menakjubkan.

Perjalanan ke Madinah dan Mekah
Seorang teman bernama Syeikh Yahya menelepon saya dan berkata: "Cassiano, telepon nomor ini, mereka akan melakukan umrah". Saya pun menelepon, seorang bernama Ahmad menjawab dan berkata: "Mohon maaf karena rombongan kami telah lengkap 15 orang".
Saya berkata: "Benar demikian?"
Dia berkata: "Ya." Kemudian dia bertanya kepada saya, "Siapa nama anda?"
Saya berkata: "Saya Cassiano dan saya benar-benar ingin melakukan umrah. Ini merupakan sesuatu yang baru buat saya. Saya baru memeluk Islam kira-kira 3 tahun."
Dia menelepon saya pagi keesokan harinya dan berkata: "Ada seorang yang tidak dapat pergi. Oleh karenanya anda bisa mengantikan tempatnya."
Alhamdulillah, Allah memudahkan perjalanan saya. Alhamdullah, Allah lah yang memelihara saya. Saya benar-benar dapat merasakannya. Saya merasakan bahwa Allah lah yang menjaga kehidupan saya dan diri saya.
Kami tiba di Madinah. Hotel penginapan kami berdekatan dengan masjid Nabi Muhammad Saw. Kami merasa gembira karena dapat berdekatan dengan tempat mulia itu. Ia begitu baik sekali dan orang-orang di Madinah begitu ramah sekali. Mereka membuka salah satu pintu untuk kami supaya kami bisa melihat bagian dapat menyaksikan makam Nabi Muhammad Saw.
Polisi yang berdiri di sisi kubur memberitahu saya: "Marilah ke sini dan ucapkan Assalamualaikum ke atas Nabi". Saya pun melakukannya dan berdoa semoga Allah memberikan bimbingan buat ibu dan bapa dan semua orang, saya merasa lapang dan mulai menangis.
Selepas ini, kami tinggal tiga hari di Madinah dan mulai perjalanan menuju Mekah untuk bersalin pakaian Ihram. Ketika memasuki Haram dan melihat Ka'bah, yang kebetulan masuk waktu zuhur, semua berbaris untuk menunaikan shalat bersama. Saya melihat Ka'bah, saya mula menangis kembali dan menangis sepanjang menunaikan shalat. Saya tidak tahu. Yang terjadi seolah-olah seperti melakukan shalat lima waktu setiap hari ke arah tersebut dan saya berada di situ dan seperti tempat yang lama. Ia merupakan tempat yang istimewa. Ini merupakan semua perkara dalam Islam yang saya yakini, semuanya ada di sini. Bagi saya, ia merupakan sebuah tempat yang terbaik di muka bumi ini. Saya benar-benar gembira karena dapat berada di Madinah dan Mekah. Sungguh mempesonakan dan saya sungguh gembira.
Keimanan saya menyebabkan saya terus hidup, terus terjaga, dan memberikan saya harapan. Saya sungguh-sungguh mencintai Allah.
Kalau pada waktu lalu, banyak sekali perkara yang saya utamakan dalam hidup saya, tetapi kini Allah merupakan yang pertama dalam hidup saya.

Jumat, 17 Agustus 2012

Kisah Gadis Cilik Pencinta Al-Qur'an Saif Al Battar



Ini adalah sebuah kisah nyata tentang seorang anak kecil yang sangat mencintai Al Qur’an, Namanya Shafa’, gadis cilik Al-Jazair berusia 8 tahun sangat mencintai Al-Qur’an dan syaikh Sudais, Imam Masjidil Haram, sehingga ia juara 1 dalam musabaqoh Al-Qur’an tingkat Al-Jazair.
Ia mampu meniru persis bacaan Syaikh Sudais, termasuk doa khatamu l Qur’an. Saking cintanya ia pada Syekh Sudais, sampai ia tambahkan akhir namanya dengan Assudaisiyyah sehingga menjadi, Shafa’ Assudaisiyyah. Subhanallah…
Setiap saat ia meminta ibunya untuk menemukannya dengan syaikh Sudais. Karena dari keluarga miskin, rumah saja tidak punya, ibunya selalu menghiburnya samabil mengatakan, insya Allah. 
Sampai pada suatu saat, Sahafa’ marah-marah dan menuduh ibunya berbohong terus dan tidak mau lagi membaca dan menghafal Al-Qur’an. Ibunya pun panik. Saat melihat DR. Muhammad Assuwaini, pakar pendidikan dalam salah satu program TV lokal Al-Jazair, tiba-tiba saja hatinya tergerak untuk menelepon sang pakar dan menceritakan kasusnya. Ia mohon dihubungkan dengan Syaikh Sudais. Setelah Syaikh Sudais mendengar kisah tersebut, hati Beliau tergerak mengundang Shafa’ dan kedua orang tuannya ke Madinah dan Makkah sebagai tamu kehormatannya.
Saat bertemu Syaikh Sudais, Shafa diminta membacakan doa khatmul Qur’an. Shafa’pun melantunkannya persis seperti Syaikh Sudais. Beliau terharu sampai menangis. Akhirnya, Syaikh Sudais memutuskan untuk mengambil Shafa’ menjadi anak angkatanya dan menyekolahkanya sampai ketingkat yang ia inginkan. Subhanallah inilah secuil kemuliaan yang dilahirkan Al-Qur’an. Siapa yang ingin meraih kemuliaan Al-Qur’an, maka cintailah ia.
Selamat mencoba…

Gendong Aku Sampai Ajal-ku Tiba




Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam untukku. Sambil memegang tangannya aku berkata, "Saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu." Istriku lalu duduk di samping sambil menemaniku menikmati makan malam dengan tenang. Tiba-tiba aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari mulutku.
Aku ingin sebuah perceraian di antara kami, karena itu aku beranikan diriku. Nampaknya dia tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraanku, dia malah balik bertanya kepadaku dengan tenang, "Mengapa?" Aku menolak menjawabnya, ini membuatnya sungguh marah kepadaku. Malam itu kami tidak saling bertegur sapa. Dia terus menangis dan menangis. Aku tahu bahwa dia ingin tahu alasan di balik keinginanku untuk bercerai.
Dengan sebuah rasa bersalah yang dalam, aku membuat sebuah pernyataan persetujuan untuk bercerai dan dia dapat memiliki rumah kami, mobil, dan 30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia sungguh marah dan merobek kertas itu. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya bersamaku itu telah menjadi orang yang asing di hatiku. Aku minta maaf kepadanya karena dia telah membuang waktunya 10 tahun bersamaku, untuk semua usaha dan energi yang diberikan kepadaku, tapi aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah kukatakan kepada Jane, wanita simpananku, bahwa aku sungguh mencintainya. Istriku menangis lagi. Bagiku tangisannya sekarang tidak berarti apa-apa lagi. Keinginanku untuk bercerai telah bulat.
 Hari berikutnya, ketika aku kembali ke rumah sedikit larut, kutemukan dia sedang menulis sesuatu di atas meja di ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi langsung pergi tidur karena ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai sesudah seharian bertemu dengan Jane. Ketika terbangun, kulihat dia masih duduk di samping meja itu sambil melanjutkan tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku.
Pagi harinya, dia menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepadaku. Dia tidak menginginkan sesuatupun dariku, tetapi hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum perceraian. Dia memintaku dalam sebulan itu, kami berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya suami istri. Alasannya sangat sederhana. Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu sehingga dia tidak ingin mengganggunya dengan rencana perceraian kami. Selain itu, dia juga meminta agar aku harus menggendongnya sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kami. Dia memintaku untuk menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur sampai muka depan pintu setiap pagi.
Aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi, biarlah kucoba untuk membuat hari-hari terakhir kami menjadi indah demi perceraian yang kuinginkan, aku pun menyetujui syarat-syarat yang dia berikan. Aku menceritakan kepada Jane tentang hal itu. Jane tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita rencanakan," kata Jane.
Ada rasa kaku saat menggendongnya untuk pertama kali, karena kami memang tak pernah lagi melakukan hubungan suami istri belakangan ini. Putra kami melihatnya dan bertepuk tangan di belakang kami. "Wow, papa sedang menggendong mama." Sambil memelukku dengan erat, istriku berkata, "Jangan beritahukan perceraian ini kepada putra kita." Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke depan rumah untuk menunggu bus yang akan membawanya ke tempat kerjanya, sedangkan aku mengendarai mobil sendirian ke kantorku.
Pada hari kedua, kami berdua melakukannya dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat di dadaku. Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuhnya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan seksama untuk waktu yang agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda seperti dulu lagi, ada bintik-bintik kecil di wajahnya, rambutnya pun sudah mulai beruban. Namun entah kenapa, hal itu membuatku mengingat bagaimana pernikahan kami dulu.
Pada hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku mulai merasakan kedekatan. Inilah wanita yang telah memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku. Pada hari keenam dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tentu tidak mengatakan perasaan ini kepada Jane.
Suatu hari, aku memperhatikan dia sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Dia sedikit mengeluh, "Semua pakaianku terasa terlalu besar untuk tubuhku sekarang." Aku mulai menyadari bahwa dia semakin kurus dan itulah sebabnya kenapa aku dapat dengan mudah menggendongnya. Aku menyadari bahwa dia telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya. Aku lalu mengulurkan tanganku dan menyentuh kepalanya.
Tiba-tiba putra kami muncul dan berkata," Papa, sekarang saatnya untuk menggendong dan membawa mama." Bagi putraku, melihatku menggendong dan membawa mamanya menjadi peristiwa yang penting dalam hidupnya. Istriku mendekati putra kami dan memeluk erat tubuhnya penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku dari peristiwa yang bisa mempengaruhi dan mengubah keputusanku untuk bercerai.
Aku lalu mengangkatnya dengan kedua tanganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke pintu depan. Tangannya melingkar erat di leherku dengan lembut dan sangat romantis layaknya suami istri yang harmonis. Aku pun memeluk erat tubuhnya, seperti momen hari pernikahan kami 10 tahun yang lalu. Akan tetapi tubuhnya yang sekarang ringan membuatku sedih.
Pada hari terakhir, aku menggendongnya dengan kedua lenganku. Aku susah bergerak meski cuma selangkah ke depan. Putra kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya erat sambil berkata, "Aku tidak pernah memperhatikan selama ini hidup pernikahan kita telah kehilangan keintiman satu dengan yang lain."
Aku mengendarai sendiri kendaraan ke kantorku, mampir ke tempat Jane. Melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci pintunya. Begitu cepatnya karena aku takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku mengubah pikiranku. Aku naik ke lantai atas. Jane membuka pintu dan aku langsung berkata padanya. "Maaf Jane, aku tidak ingin menceraikan istriku."
Jane memandangku penuh tanda tanya bercampur keheranan dan kemudian menyentuh dahiku dengan jarinya. Aku mengelak dan berkata, "Maaf Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memaknai setiap momen kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang aku menyadari sejak aku menggendongnya sebagai syaratnya itu, aku ingin terus menggendongnya sampai hari kematian kami." 
Jane sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membanting pintu dengan keras. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku pergi menjauhinya. Aku singgah di sebuah toko bunga di sepanjang jalan itu, aku memesan bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa yang harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, "Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput."
Petang hari ketika aku tiba di rumah, dengan bunga di tanganku, sebuah senyum menghias wajahku. Aku berlari hanya untuk bertemu dengan istriku dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan kami. Tapi apa yang kutemukan? Istriku telah meninggal di atas tempat tidur yang telah kami tempati bersama 10 tahun pernikahan kami.
Aku baru tahu kalau istriku selama ini berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerangnya berbulan-bulan tanpa pengetahuanku karena kesibukanku menjalin hubungan asmara dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun begitu, dia ingin menyelamatkanku dari pandangan negatif yang mungkin lahir dari putra kami karena aku menginginkan perceraian, karena reaksi kebodohanku sebagai seorang suami dan ayah, untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun yang mempertahankan pernikahan kami dan demi putra kami.
Betapa berharganya sebuah pernikahan saat kita bisa melihat atau mengingat apa yang membuatnya berharga. Ingat ketika dulu perjuangan yang harus dilakukan, ingat tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi di antara kalian, ingat juga tentang janji pernikahan yang telah dikatakan. Semuanya itu harusnya hanya berakhir saat maut memisahkan.

Sekecil apapun dari peristiwa atau hal dalam hidup sangat mempengaruhi hubungan kita. Itu bukan tergantung pada uang di bank, mobil atau kekayaan apapun namanya. Semuanya ini bisa menciptakan peluang untuk menggapai kebahagiaan tapi sangat pasti bahwa mereka tidak bisa memberikan kebahagiaan itu dari diri mereka sendiri. Suami-istrilah yang harus saling memberi demi kebahagiaan itu.
Karena itu, selalu dan selamanya jadilah teman bagi pasanganmu dan buatlah hal-hal yang kecil untuknya yang dapat membangun dan memperkuat hubungan dan keakraban di dalam hidup perkawinanmu. Milikilah sebuah perkawinan yang bahagia. Kamu pasti bisa mendapatkannya. 

 
Back To Top