Minggu, 28 Desember 2014

Mengapa Mereka Membenci Khalifah Sulaiman al-Qanuni (King Sulaiman the Magnificent) – bag 2


Penaklukan Pulau Rodos
(13 shafar 929 H/1 Januari 1523 M)
Pulau Rodos bagaikan duri pengahalang di kerongkongan Daulah Utsmaniyyah. Pulau Rodos terkenal dengan benteng-bentengnya yang kokoh dan langka sehingga Sultan-Sultan kaum muslimin tidak bisa menaklukkannya bahkan seperti Sultan Muhamad al-Fatih.
Pulau Rodos dihuni oleh kaum nashrani Roma yang digelari Knight of St. John yang terusir dari negeri Syam. Mereka di bawah kendali Paus di Roma. Dan mereka sangat membenci kaum muslimin. Selama tinggal di sana mereka sering menyamun kapal-kapal kaum muslimin yang menuju Hijaz. Mereka membunuhi kaum laki-laki, memperkosa para wanita dan menawan anak-anak kecil serta merampas harta dan membunuh jamaah haji dan membakar kapal-kapal kaum muslimin. Mereka memanfaatkan pulau dan benteng mereka yang kokoh sehingga mereka yakin bahwa kaum muslimin tidak akan bisa mencapai mereka.
Suatu ketika kaum salibis di Rodos merompak salah satu kapal islamiyah yang penuh muatan jama’ah haji dan pedagang kaum muslimin. Mereka membunuh seisi kapal dan membakar kapal tersebut.
Sultan Sulaiman al-Qanuni mendengar berita ini. Maka bangkitlah amarah beliau karena Allah. Dan ia bersumpah tidak akan beristirahat sampai berhasil menaklukan pulau Rodos dan mengusir orang-orang kafir darinya.
Tanpa menunda-nunda, Sultan Sulaiman segera menyiapkan pasukan untuk merebut pulau Rodos di darat dan di laut. Ia memanfaatkan Raja-Raja Eropa yang sedang berperang sesama mereka. Di samping itu Paus di Vatikan sibuk menghadapi dakwah Martin Luther dan bangkitnya kristen protestan.
Sultan Sulaiman mengirimkan pasukan besar yang dipimpin Musthofa Baasya dengan kekuatan 200 ribu prajurit, didukung dengan meriam-meriam yang sangat banyak serta 700 kapal perang. Dimulailah penyerangan terhadap dinding-dinding benteng Rodos. Hanya saja, itu tidak menimbulkan dampak yang berarti dikarenakan kokohnya pertahanan pulau Rodos.
Maka Sultan Sulaiman murka, ia pun berangkat membawa pasukan-pasukan mujahidin. Beliau memimpin langsung penyerangan ke pulau Rodos. Sultan mengepungnya selama 6 bulan penuh dan terus mempersempit pengepungan. Selama pengepungan itu kaum muslimin terus menghujani benteng Rodos dengan meriam bak hujan turun. Sehingga jumlah tembakan meriam sampai 220 ribu tembakan.
Sumber-sumber sejarah menyebutkan kondisi cuaca saat pengepungan benteng pulau Rodos bahwasanya cuaca sangat buruk, hujan terus-menerus mengguyur kaum muslimin, kilat menyambar dan petir memekakkan telinga, namun itu semua tidak membuat mujahidin surut ke belakang.
Akhirnya para Knight of St. John menyerah.
Sultan Sulaiman memberi mereka waktu 12 hari untuk keluar dari pulau itu. Dan beliau memberi jaminan keamanan untuk mereka dan untuk gereja serta agama mereka. Memang seperti itulah sikap Sultan Sulaiman setiap kali menaklukan negeri nashrani di Eropa.
Kemudian Sultan Sulaiman al-Qanuni memasuki pulau Rodos pada 13 Shafar 929 hijriyah atau 1 Januari 1523 masehi.
Maka gemparlah singgasana nashraniyah di Roma dan seluruh dunia. Dan keluarlah Knight of St. John dari pulau tersebut dengan kepala tertunduk merasa hina dan kalah, mereka pergi ke pulau Malta dan kemudian di gelari Knight of Malta.
Sejarawan Abdurrahim al Abbasi salah seorang saksi mata peristiwa ini menceritakan di dalam kitabnya “Minahu Robbil Bariyyah fi Fathi Rudas al Abiyya” bahwa kaum muslimin mendapati di pulau ini 3000 orang yang ditawan Knight of St. John dalam keadaan menggenaskan karena azab dan siksaan yang mereka alami.
Ia menceritakan para mujahidin menangis saat melihat kondisi para tawanan tersebut. Sultan Sulaiman memerintahkan prajuritnya membersihkan gereja dari gambar dan berhala lalu dibuatkanlah mimbar sederhana dari kayu dan ditegakkanlah sholat Jum’at dengan Sultan sebagai Khatib, walillahi al Hamdu wal Minnah.
Wallahu A’lam


Mengapa Mereka Membenci Khalifah Sulaiman al-Qanuni (King Sulaiman the Magnificent) – bag 1


Simak kisah singkat ini :
Pernahkah anda mendengar tentang perang Mohacs? Sesungguhnya itu bukanlah perang, tetapi pembantaian. Peristiwa ini terjadi pada 21/11/932 hijriyah.
Ringkas cerita, utusan Khalifah Utsmani Sulaiman al-Qanuni berangkat untuk mengambil jizyah dari Raja Hongaria dan pemimpin Eropa ketika itu Luis II. Maka atas saran paus di Vatikan, Raja Hongaria membunuh utusan Sulaiman al-Qanuni. Mendengar berita itu bersiap-siaplah Sulaiman al-Qanuni untuk menyerang Eropa. Begitu juga gereja dan Eropa menyiapkan pasukannya.
Sulaiman al-Qanuni menyiapkan pasukan yang terdiri dari 100.000 prajurit, 350 meriam dan 800 kapal perang. Sedangkan kekuatan Eropa 200.000 pasukan berkuda, 35 ribu diantaranya bersenjata lengkap dengan baju besi.
Sulaiman dan pasukannya menempuh jarak 1000 kilometer dan berhasil merebut benteng-benteng sepanjang perjalanannya, guna mengamankan jalan ketika menarik pasukannya mundur jika terjadi kekalahan. Beliau dan pasukannya melewati sungai dan menunggu di lembah Mohacs selatan Hongaria dan timur Rumania menanti pasukan Eropa yg terdiri dari Hongaria, Rumania, Kroasia, Buhemia, Kekaisaran Romawi, negara kepausan dan Polandia. Masalah yang dihadapi Sulaiman adalah banyaknya pasukan berkuda Romawi dan Hongaria yg tertutup penuh oleh baju besi yang sulit ditembus panah atau peluru.
Lalu apa yang ia lakukan?
Setelah selesai sholat subuh ia berdiri dihadapan pasukannya yang menatap pasukan Eropa yang banyak yang tidak terlihat ujungnya. Kemudian ia berkata disertai tangisan (sesungguhnya Ruh Nabi Muhammad melihat kalian dengan kerinduan dan cinta) maka menangislah semua pasukan kaum muslimin.
Kemudian, kedua pasukan saling berhadapan…
Taktik perang Sulaiman adalah sebagai berikut :
Ia membagi pasukannya menjadi tiga barisan sepanjang 10 km. Dan pasukan Inkisyaariah di garis depan, mereka ini adalah prajurit pilihan. Kemudian di barisan kedua pasukan berkuda dengan senjata ringan dan pasukan pejalan kaki (infanteri) diantara mereka adalah relawan. Adapun barisan ketiga adalah beliau dan pasukan meriam.
Pasukan Eropa menyerang setelah shalat Ashar. Maka Sulaiman memerintahkan pasukan Inkisyaariyah bertahan selama satu jam saja. Kemudian ia memerintahkan mereka lari.
Dan ia perintahkan pasukan lapis kedua untuk membuka jalan pelarian ke kiri dan ke kanan bukan ke belakang.
Sesuai arahan Sulaiman, para pahlawan pasukan Inkisyaariah bertahan dengan gagah berani. Dan berhasil menghancurkan kekuatan Eropa dengan sempurna pada dua penyerangan bertubi-tubi yang dilancarkan Eropa. Dalam satu serangan saja habis 20 ribu pasukan Eropa.
Kemudian kekuatan inti pasukan Eropa serempak menyerang. Tibalah saat melarikan diri dan dibukalah jalan untuk lari, maka mundurlah pasukan Inkisyaariah ke sisi kiri dan kanan diikuti pasukan infanteri, sehingga jantung pasukan Utsmani benar-benar terbuka, kemudian masuklah 100 ribu pasukan Eropa sekaligus menuju (jebakan) jantung pasukan kaum muslimin. Dan inilah awal pembantaian itu.
Mereka langsung berhadapan dengan meriam-meriam pasukan Utsmaniyah tanpa mereka sadari. Meriam-meriam itu langsung menyalak menyambut 100 ribu pasukan Eropa yang tidak sadar telah masuk jebakan.
Tidak sampai satu jam musnahlah pasukan Eropa semua dihantam meriam dari segala arah, menjadi kenangan hitam orang-orang kafir sampai saat ini. Sisa-sisa pasukan Eropa di garis belakang berusaha lari menyeberangi sungai, apa daya karena ketakutan dan berdesak-desakan ribuan prajurit tenggelam di sungai.
Akhirnya pasukan Eropa hendak menyerah. Dan keputusan Khalifah Sulaiman al Qanuni yang tidak pernah dilupakan Eropa sampai sekarang dan mereka mengingatnya dengan penuh dendam. Sulaiman memutuskan : Tidak Ada Tawanan..!
Maka pasukan Utsmaniyyun menyerahkan kembali senjata kepada pasukan eropa yang ditawan agar mereka berperang lagi atau dibunuh!
Akhirnya mereka kembali berperang dengan putus asa.
Berakhirlah perang dengan tewasnya raja Hongaria Louis II beserta para uskup yang tujuh orang mewakili nashrani dan utusan Paus dan 70 ribu pasukan. Disamping itu 25 ribu ditawan dalam keadaan terluka.
Pasukan Utsmaniyyah melakukan parade militer di Ibu Kota Hongaria. Setelah dua hari mengurus urusan kenegaraan di sana, Khalifah Sulaiman kembali pulang ke Turki. Pasukan Utsmaniyyah yang gugur dalam perang itu hanya 150 orang saja dan tiga ribu terluka. Selebihnya pasukan masih sempurna tanpa kurang suatu apapun, walhamdulillah.
Wallahu A'lam

Senin, 22 Desember 2014

Asal Usul Hari Ibu


Eropa
Satu aliran pemikiran mengakui bahawa perayaan ini lahir dari satu adat pemujaan ibu di Yunani Purba, yang menyambut satu perayaan untuk Cybele, ibu dewa-dewi Yunani yang agung. Perayaan ini diadakan sekitar equinoks musim bunga di Asia Kecil dan tidak lama kemudian di Rome dari 15 hingga 18 Mei.
Orang Rome Purba juga menyambut suatu perayaan yang bernama Matronalia bagi memperingati dewi Juno, dan ibu lazimnya diberi hadiah pada hari ini.
Orang-orang Yunani pula menganggap ‘Hari Ibu’ sebagai perayaan musim bunga dan penghormatan terhadap Rhea, ibu kepada tuhan mereka. Pada tahun 1600 orang-orang Inggris merayakan hari yang mereka namakan sebagai “Mothering Sunday”. Ia dirayakan pada hari Ahad keempat setiap Lent. Lent adalah tempoh masa selama 40 hari sama dalam bulan Februari atau Mei. Dalam tempoh ini, sebagian orang-orang Kristian akan berhenti melakukan atau memakan makanan tertentu atas alasan agama. Amalan tersebut adalah sebagai penghormatan mereka terhadap Mother Mary. Mother Mary adalah Maryam, ibu kepada Nabi Isa Alaihissalam atau Jesus yang mereka anggap sebagai tuhan.
Perayaan ini bersamaan hari kenduri Persembahan Nabi Isa di Kuil dalam mazhab Ortodoks Timur. Oleh sebab Theotokos (Ibu Tuhan) amat penting dalam perayaan ini karena membawa Christ ke Kuil Jerusalem, perayaan ini dikaitkan dengan ibu. Namun begitu, sekarang ini banyak orang Yunani cenderung menyambut Hari Ibu mengikut negara Barat yang lain.
Dalam tempoh tersebut, kebanyakan rakyat Inggris yang faqir dan miskin akan bekerja sebagai pembantu rumah. Mereka keluar jauh meninggalkan keluarga karena percaya bahawa Jesus akan memberikan kekayaan dan kesenangan dalam tempoh tersebut. Menjelang hari Ahad keempat, mereka digalakkan untuk bercuti oleh majikan dan pulang ke kampung untuk bertemu dengan ibu. Setiap ibu akan dihadiahkan dengan Mothering Cake atau kue hari ibu pada perayaan tersebut.
Amalan dan tradisi ini menular ke seluruh dunia dan ia kini disambut sebagai penghormatan kepada Mother Church. Mother Church dianggap sebagai kuasa spiritual yang agung yang memberi manusia kehidupan dan memelihara mereka dari sebarang kecederaan. Sejak dari itu, perayaan Mothering Sunday telah dicampur dengan upacara kegerejaan. Penghormatan mereka terhadap ibu sama dengan penghormatan mereka terhadap GEREJA.

Amerika Serikat
Di Amerika Syarikat, Hari Ibu disambut sejak awal tahun 1872, hasil ilham Julia Ward Howe. Dia adalah seorang aktivis sosial dan telah menulis puisi “The Battle Hymn of The Republic” (TBHoTR). TBHoTR telah dijadikan lagu patriotik yang popular di kalangan warga Amerika. Ungkapan “Halleluyah” dalam bait-bait lagu tersebut menyerahkan lagi sentuhan Yahudi dan Zionis dalam mencaturkan politik dunia.
Pada tahun 1907 Anna Jarvis dari Philadelphia telah memulai kampanye untuk melancarkan Hari Ibu. Dia telah berhasil mempengaruhi Mother’s Church di Grafton, West Virginia agar merayakan dan meramaikan Hari Ibu pada hari ulang tahun kedua kematian ibunya, yaitu pada hari Ahad kedua dalam bulan Mei. Semenjak hari itu, Hari Ibu dirayakan setiap tahun di Philadelphia.
Anna Jarvis dan pendukung-pendukungnya telah menulis surat kepada menteri, pedagang dan ahli-ahli politik agar Hari Ibu disambut secara meluas di seluruh wilayah. Tujuan mereka telah berhasil sepenuhnya pada tahun 1911, hari tersebut disambut oleh hampir seluruh wilayah di Amerika. Pada tahun 1914, Presiden Woodrow Wilson, secara rasmi telah mengisyaratkan Hari Ibu sebagai hari cuti umum dan mesti rayakan pada setiap hari Ahad kedua dalam bulan Mei.

Asia
Hari Ibu juga disambut pada hari yang berbeda-beda di daerah Asia karena berbagai macam sumber asal-usulnya.
Di China, Hari ibu disambut sebagai memperingati Meng Mu, ibu kepada Mencius.
Di Thailand, Hari Ibu dirayakan untuk memperingati hari keputeraan Ratu Sirikit Kitiyakara pada 12 Agustus. Manakala 1 Juni di Mongolia adalah Hari Ibu dan anak-anak sedunia juga disambut dengan serentak. Mongolia adalah satu-satunya negara yang menyambut Hari Ibu dua kali dalam setahun.


Penulis : akhi Abu Fahd NegaraTauhid
Baca juga tulisan sebelumnya : Hari Ibu dalam Pandangan Islam

Hari Ibu


Seandainya hari ibu itu baik, niscaya para orang-orang shalih terdahulu (dari para nabi, shahabat, dan imam-imam / ulama-ulama yang mengikuti mereka) sudah berlomba-lomba membuat hari ibu. Tapi rupanya tidak pernah ditemukan sepanjang sejarah Islam selama berabad-abad lamanya, baik di dalam manuskrip-manuskrip dan kitab-kitab sejarah, sedikitpun, atau sebarispun, kalau ada dari mereka (orang-rang shalih) tersebut yang membuat atau merayakan hari ibu.
Hal itu menunjukkan bahwa hari ibu bukan perkara yang baik di mata mereka (orang-orang shalih), padahal mereka adalah selalu mendahului kita dalam kebaikan, dan kita tidak akan mampu mendahului mereka dalam kebaikan.
Bukan berarti mereka tidak memuliakan dan tidak menghormati ibu-ibu mereka, justru seluruh tauladan-tauladan dan cerita yang ada dalam sejarah yang menjelaskan dan mencontohkan birrul walidain (bakti kepada orang tua) ada semuanya pada mereka, dan kita dibanding mereka ibarat setetes air diatas samudera.
Adapun sejarah hari ibu yang terjadi saat ini berawal dari perayaannya orang-orang kuffar (non muslim), harap digaris bawahi: bukan dari Islam!.
Justru sebagian sejarah menceritakan bahwa hari ibu diambil dari perayaan-perayaan orang-orang kuffar untuk berhala-berhala mereka. Kemudian perayaan-perayaan tersebut diadopsi oleh banyak negeri-negeri kafir untuk diberlakukan di negerinya.
Kita sebagai seorang muslim yang beriman, siapakah yang harus kita pilih untuk diikuti? Hanya ada 2 opsi...
Memilih mengikuti mereka (orang-orang shalih terdahulu), atau mengikuti adat kebiasaan orang-orang kuffar terdahulu? Yang mereka kurang memuliakan, menghormati, memperhatikan ibunya sendiri, hingga mereka membuat hari ibu setahun sekali sebagai bentuk perhatian dan balasan mereka kepada ibunya. Sungguh tidak adil...

Penulis : akhi Abu Fahd NegaraTauhid
Baca juga tulisan yang terkait : Asal Usul Hari Ibu

Minggu, 21 Desember 2014

Kode Buah Organik Dan Non-Organik


Siapapun, khususnya kalangan ibu-ibu pasti sering melihat ada label kecil yang menempel pada setiap buah-buahan yang dijual, baik di supermarket maupun di gerai-gerai buah di pinggir jalan. Di label itu selalu tertulis angka-angka yang sebetulnya merupakan kode yang sangat berarti bagi pembeli, terlebih bagi pengonsumsi buah tersebut.
Kenapa demikian ?
Kode-kode angka itu merupakan informasi bagi calon pembeli untuk mengetahui apakah buah-buahan itu hasil penanaman secara organik atau tidak organik. Tentunya konsumen yang ingin menjaga kesehatan akan memilih yang organik.
Untuk bisa tahu arti dari angka-angka itu, di bawah ini ada beberapa contoh label yang biasa menempel pada buah-buahan.
3017 : Buah Pears, Konvensional, Tidak Organik.
4454 : Buah Jeruk, Konvensional, Tidak Organik.
84032 : Buah Melon, Semangka, Konvensional, Tidak Organik, dan Modifikasi Genetis.
84011 : Buah Pisang, Konvensional, Tidak Organik, dan Modifikasi Genetis.
94011 : Buah Pisang, Organik.
93308 : Buah Melon, Semangka, Organik.
Label pada buah tersebut pada dasarnya terdiri atas 4 atau 5 angka. Nah, sekarang Anda perlu mengingat tiga hal sederhana di bawah ini :
Empat Angka : Konvensional, Tidak Organik.
Lima Angka Dimulai Angka 8 : Konvensional, Tidak Organik, dan Modifikasi Genetis.
Lima Angka Dimulai Angka 9 : Organik.
Perlu Anda ingat kembali bahwa Konvensional itu artinya Ditanam dengan pupuk berbasis petroleum dan pestisida.
Sedangkan Modifikasi Genetis artinya Telah Direkayasa, Bukan Alamiah Lagi, Ya Semacam Buah Frankeinstein.
Buah yang menjadi contoh di atas merupakan buah impor, tetapi tidak semua buah impor ada labelnya, begitu juga buah lokal.
Berdasarkan label tersebut dapat disimpulkan buah berlabel 5 angka dengan 9 didepan adalah buah paling sehat.
Hindari yang berlabel 5 angka dengan angka 8 diawal. Apalagi buah-buahan dengan label 4 angka penuh racun.

Sumber :


Ditulis oleh : dokter Raehanul Bahraen

Sabtu, 20 Desember 2014

Beginilah Akhir Kisah Sang Pencela Abu Hurairah -radhiallahu anhu-


“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka (infaknya tersebut) tidak menandingi satu mud atau setengah mud (infak) salah seorang dari mereka.” (Muttafaq alaihi)
Di awal majelis Syaikh Dhiya'urrahman Al A’dzami mengisahkan kepada kami, bahwa sewaktu menghadiri pertemuan yang diadakan Rabithah dulu, beliau bertemu dengan Syaikh Abdul Hakim Hamadah yang merupakan seorang kabid di Rabitah Al Alam Al Islamy.
Saat itu Syaikh Al A’Dzamy baru saja menyelesaikan risalah yang berjudul Abu Hurairah Min Khilal Marwiyyatih, sebuah risalah yang secara khusus berisi pembelaan terhadap Sahabat Abu Hurairah -radhiallahu anhu-. Syaikh Abdul Hakim Hamada pun menemuinya dan menceritakan akhir kisah pencela Abu Hurairah yang bernama Mahmud Abu Rayyah.
Syaikh Abdul Hakim mengatakan : “Aku akan mengisahkan padamu bagaimana akhir hayat seorang yang bernama Abu Rayyah, dan aku meminta kepadamu agar menceritakan kisah ini kepada orang-orang yang mengambil riwayat darimu.”
Syaikh Abdul Hakim melanjutkan : “Menjelang matinya aku menyempatkan diri untuk menemuinya, begitu tiba dikediamannya aku meminta izin pada anaknya untuk menjenguk Ayahnya. Namun sang anak tak mengizinkan aku masuk. Setelah memohon berkali-kali diapun mengizinkanku masuk ke kamar tempat dimana Abu Rayyah dirawat. Begitu masuk aku melihat Ia terbaring dengan Wajah Hitam Dan Gosong, Matanya Melotot Dan Menatap Tajam Ke Arah Dinding Sambil Berteriak, ahh... ahh... Aba Hurairah... Aba Hurairah...
Seoalah-olah Abu Hurairah sedang berdiri di hadapannya dan menuntut balas atas kedzoliman yang dilakukannya selama ini.
Aku tidak bisa bertahan lebih dari dua menit di ruangan itu, akupun bergegas keluar karena pemandangan mengerikan itu.”
Syaikh Al A’Dzami mengatakan : “Begitulah akhir kisahnya di dunia.. Bagaimana di akhirat kelak. Ambillah kisah ini dariku dengan sanad yang tinggi dan muttashil.”
Kami yang hadirpun tersenyum.
Siapa Sebenarnya Mahmud Abu Rayyah Itu..?
Abu Rayyah adalah seorang pemikir dan sastrawan mesir. Pada mulanya dia termasuk orang yang gigih membela Islam dan Sunnah Nabi. Sejumlah artikelnya pernah dimuat dibeberapa media mesir. secara umum ulasan dalam artikel-artikel tersebut menunjukkan perhatian yang besar kepada umat Islam dan pembelaannya terhadap Sunnah. Dia bahkan termasuk salah seorang yang turut mengkritik Taufiq Al-Hakim saat mengkampanyekan penyatuan agama (wihdatul adyan).
Dalam melakukan penelitain ia menolak untuk tunduk pada teori-teori para ulama dan sarjana yang jauh lebih senior darinya. Ia berupaya memunculkan teori dan metode baru yang dianggapnya sebagai upaya konstruktif terhadap keilmuan islam. Sikap inilah yang membawanya pada penyimpangan.
Penyimpangannya mulai tampak dalam salah satu artikel yang dimuat oleh majalah Al-Fath tahun 1942 M. Dalam tulisannya tersebut ia menampakkan diri sebagai pembela Al-Qur`an padahal disaat yang sama dia merendahkan dan melecehkan Sunnah. Akhirnya ia menuai hujan kritik dari para ulama yang hidup dimasa itu semisal Syaikh Abdurrazzaq Hamzah dan Syaikh Abdurrahman Al Muallimy Al Yamany.
Dalam berbagai tulisannya Mahmud Abu Rayyah selalu berupaya mendiskripsikan para sahabat nabi yang mulia terutama Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dengan sifat-sifat negatif. Dia menuduh para sahabat dengan tuduhan yang keji. Al A'Dzami mengatakan : “Belakangan diketahui bahwa terdapat banyak kecurangan ilmiah dalam karya tulisnya. Tuduhan-tuduhannya kepada para sahabat nabi terutama Abu Hurairah dibangun diatas kedustaan dan asumsi yang keliru.”
Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab penyimpangan Abu Rayyah. Namun setelah para ahli mempelajari karya tulis dan pemikirannya hanya satu teori yang dikuatkan. Mereka mengatakan : “Dalam studi kritik hadits Abu Rayyah banyak dipengaruhi oleh Pemikiran Orientalis, salah satu diantaranya adalah Goldziher. Di Mesir sendiri tercatat sejumlah pemikir yang juga terpengaruh oleh pemikiran Goldziher, diantaranya Dr Ali Hasan Abdul Kadir, Toha Hussin, Dr Ahmad Amin dan Rasyad Khalifa.
Berikut ini beberapa referensi yang turut membedah pemikiran Abu Rayyah:
1.   Difa’ ‘an Abi Hurairah, Abdul Mun’im Shalih Al-’Ali.
2.   As Sunnah, wa Makaanatuha fit Tasyri’ Al-Islami, oleh Dr. Musthafa As-Siba’i.
3.   Al-Anwar Al-Kasyifah, Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi.
4.   Abu Hurairah Min Khilali Marwiyatih, Dhiya'urrahman Al A'Dzamy.
5.   Difa’ ‘anis Sunnah, Muhammad Abu Syahbah, menjawab syubhat para orientalis.
6.   Zawabi’ fi Wajhis Sunnah, Shalahuddin Maqbul Ahmad.
7.   Al-Burhan fi Tabri`ah Abi Hurairah minal Buhtan, Abdullah bin Abdil Aziz bin Ali An-Nashir.


Penulis : Ustadz Aan Chandra Thalib

Jumat, 19 Desember 2014

Rebo Wekasan Dalam Pandangan Islam


Allahumma yassir wa a’in
Isu tahun baru di rebo wekasan mulai santer di dunia maya. Berbagai macam mitos turut menyemarakkan kaehadiran tahun baru kali ini. Bahkan sudah ada yang meramalkan dengan adanya kecelakaan. Karena rebo wekasan menjadi hari paling ditakutkan oleh sebagian golongan yang begitu gandrung dengan klenik dan ramalan.
Ada Apa dengan Rebo Wekasan
Rebo Wekasan (rebo pungkasan) dalam bahasa Jawa, ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ atau ‘pungkasan’ artinya terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Safar.
Mereka yang perhatian dengan rebo wekasan berkeyakinan bahwa setiap tahun akan turun 320.000 balak, musibah, atau bencana, dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Safar.
Sumber Referensi yang kami jumpai yang mengajarkan aqidah ini adalah kitab Kanzun Najah karya Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds. Salah satu tokoh sufi, murid Zaini Dahlan. Dalam buku tersebut, dia menyatakan di pasal: Hal-hal yang Dianjurkan ketika bulan safar :
Ketahuilah bahwa sekelompok nukilan dari keterangan orang shaleh -sebagaimana nanti akan diketahui- bahwa pada hari rabu terakhir bulan safar akan turun bencana besar. Bencana inilah yang akan tersebar di sepanjang tahun itu. Semuanya turun pada hari itu. Siapa yang ingin selamat dan dijaga dari bencana itu, maka berdoalah di tanggal 1 safar, demikian pula di hari rabu terakhir dengan doa yang sama. Siapa yang berdoa dengan kalimat itu maka Allah akan menyelamatkannya dari keburuhan musibah tersebut. Inilah yang aku temukan dari tulisan orang-orang shaleh.
Selanjutnya, penulis menyebutkan beberada doa yang dia ajarkan. (Kanzun Najah, hlm. 49).
Sebagaimana dalam tatanan masyarakat jawa ada orang yang gandrung dengan klenik jawa, diantara penganut agama islam juga ada yang gandrung dengan klenik ‘islam’. Yang tentu saja, bukan bagian dari ajaran islam. Hanya saja dibumbuhi dengan istilah-istilah islam dan dilengkapi dengan berbagai amalan bid’ah yang sama sekali tidak ada tuntunannya. Karena sama-sama klenik, tidak ada beda antara klenik jawa dengan klenik ‘islam’, keduanya bersumber dari tahayul dan khurafat. Celakanya, keyakinan semacam ini berkembang subur di aliran sufi.
Untuk itu, jangan karena semata ditulis dalam buku berbahasa arab, kemudian itu menjadi mutlak benar. Ajaran klenik bagian yang dikembangkan dan dilestarikan di aliran sufi, dan oleh beberapa tokohnya, keyakinan ini dibukukan.
Tahun Baru yang Mengerikan
Jika kita berkeyakinan, akan ada bencana besar yang menimpa umat manusia di malam tahun baru disebabkan banyaknya dosa dan maksiat, maka layak kita benarkan. Karena sebab terbesar datangnya musibah yang menimpa manusia adalah dosa dan maksiat yang menimpa mereka.
Allah tegaskan dalam al-Qur’an :
“Apapun musibah yang menimpa kalian, semuanya disebabkan perbuatan maksiat yang kalian lakukan.” (QS. As-Syura: 30)
Sudah menjadi rahasia umum, malam tahun baru menjadi salah satu momen paling rame melakukan pesta zina. Tidak salah jika kita sebut, hari zina internasional. Inilah yang sejatinya lebih mengerikan. Acara maksiat, tanpa ada penanganan serius dalam mengatasinya.
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jika perbuatan kekejian sudah merebak dan dilakukan dengan terang-terangan di tengah-tengah masyarakat, maka Allah akan menimpakan kehancuran kepada mereka.” (HR. Hakim 2577 dan dinyatakan oleh Ad-Dzahabi: Sesuai syarat shahih Muslim)
Allahu Akbar, bukankah ini ancaman yang sangat menakutkan. Gara-gara perbuatan mereka yang tidak bertanggung jawab itu, kemudian menjadi sebab Allah menimpakan berbagai bencana yang membinasakan banyak manusia. Tahun baru telah menyumbangkan masalah besar bagi masyarakat.
Ini yang seharusnya kita takutkan. Allah datangkan bencana disebabkan maksiat. Bukan rebo wekasan hasil tahayul orang sufi. Allah tidak menciptakan hari rebo terakhir di bulan safar sebagai sumber sial. Namun dosa dan maksiat yang dilakukan manusia, itulah sumber sial dan malapetaka.
Kaum muslimin, perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah. Kita ingat kisah Nabi Musa ‘alaihis salam yang berdoa memohon ampun kepada Allah, karena kelancangan yang dilakukan kaumnya dengan menyembah anak sapi.
Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata, “Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang BODOH di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-A’raf: 155)
Berusahalah untuk memperbanyak istighfar kepada Allah. Memohon ampunan kepada-Nya. Semoga dengan banyaknya istigfar yang kita ucapkan di malam zina ini, Allah berkenan mengampuni kita. Sebagaimana Musa memohon ampunan kepada Allah, disebabkan ulah kaumnya yang bodoh, yang mengundang murka Allah.
Yaa Allah.., akankah Engkau membinasakan kami disebabkan ulah orang-orang BODOH di malam tahun baru ini?


Minggu, 12 Oktober 2014

Benarkah Imam Bukhori Berpendapat Bahwa Al-Qur’an Adalah Makhluk ?


Nama Imam Bukhari bukanlah nama yang asing bagi kita. Seorang ulama ahli hadits yang mendapat julukan Amirul Mukminin fil Hadits. Para ulama pun menyatakan bahwa kitabnya Shahih Bukhari adalah kitab yang paling sahih setelah al-Qur’an. Kemudian, setelah itu diikuti oleh kitab muridnya, yaitu kitab Shahih karya Imam Muslim. Semoga Allah merahmati mereka berdua.
Meskipun demikian, itu bukan berarti perjalanan hidup Sang Imam mulus begitu saja. Ada saja terpaan fitnah yang melanda beliau, bersama dengan kemuliaan dan kebesaran yang beliau miliki. Tatkala fitnah tentang aqidah atau keyakinan bahwa al-Qur’an makhluk telah disalah alamatkan kepada beliau oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab. Padahal, keyakinan al-Qur’an makhluk merupakan keyakinan Sekte Sesat yang amat terkenal di masa itu, yaitu Jahmiyah.
Pengantar Sebelum Menyimak Kisah Beliau
al-Qur’an adalah kalam atau ucapan Allah. Ini sudah jelas. Akan tetapi, bolehkah kita katakan bahwa pelafalan al-Qur’an itu makhluk, atau bukan makhluk, atau harus diam dalam persoalan ini,..?
Jawaban yang lebih tepat, memberikan hukum umum dalam permasalahan ini, yaitu Dengan Serta Merta Menolak atau Menerima Pernyataan ‘Pelafalan Al-Qur’an Adalah Makhluk’ Adalah Tidak Tepat. Sebab hal ini harus dirinci terlebih dahulu. Jika yang dimaksud dengan Pelafalan Itu Adalah Perbuatan (fi’il) mengucapkannya yang hal itu Termasuk Perbuatan Hamba maka jelas ini adalah Makhluk, Karena Hamba Beserta Perbuatannya Adalah Makhluk.
Namun, apabila yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah Ucapan yang Dilafalkan (Maf’ul) maka itu adalah Kalam Atau Ucapan Allah dan Bukan Makhluk, Karena Kalam Allah Merupakan Salah Satu Sifat-Nya, sedangkan Sifat-Nya Bukan Makhluk.
Perincian semacam ini telah diisyaratkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan: “Barangsiapa yang berpendapat bahwa lafalku dalam membaca al-Qur’an adalah makhluk dan yang dia maksud dengannya adalah al-Qur’an maka dia adalah penganut paham Jahmiyah”. Perkataan Imam Ahmad dan yang dia maksud adalah al-Qur’an menunjukkan bahwa apabila yang dia maksudkan bukanlah al-Qur’an akan tetapi perbuatan melafalkan yang ini merupakan perbuatan manusia, maka orang yang mengucapkannya tidak bisa dicap sebagai penganut paham Jahmiyah.
(Diambil dari Fathu Rabbil Bariyyah hal. 70 cet. Dar Ibnul Jauzi).
Fitnah Yang Menimpa Sang Imam
Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya: “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya”. Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul ‘masalah’ di majelis Muhammad Bin Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.
Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara dirinya dengan Imam Bukhari, -semoga Allah merahmati mereka berdua-. Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya: “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi’ah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”
Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad atau dengki terhadap beliau. Mereka menuduh Bukhari berpendapat bahwa al-Qur’an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu berkata: “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an, apakah ia makhluk atau bukan makhluk ?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Imam Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab: “al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan: “Kalau begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab: “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan: “Kalau begitu al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah: “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan kesalah pahaman di antara para hadirin.
Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun berkata: “al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian - maka dia adalah mubtadi’ atau ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan: “Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari - maka tidak halal hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas imamah atau penutup kepala yang dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam ini. al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Muslim telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”
Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan: “Barangsiapa Yang Mendakwakan Aku Berpandangan Bahwa Al-Qur’an Yang Aku Lafalkan Adalah Makhluk, Sesungguhnya Dia Adalah Pendusta. Sesungguhnya Aku Tidak Berpendapat Seperti Itu.”
Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab: “Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini: Siapa Pun Diantara Penduduk Naisabur Dan Negeri-Negeri Yang Lain Yang Mendakwakan Bahwa Aku Berpendapat Al-Qur’an Yang Aku Lafalkan Adalah Makhluk Maka Dia Adalah Pendusta. Sesungguhnya Aku Tidak Pernah Mengatakan Hal Itu. Yang Aku Katakan Adalah Perbuatan Hamba Adalah Makhluk.”
(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)
Abdullah anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku rahimahullah. Aku berkata: “Apa pendapatmu mengenai orang yang mengatakan bahwa tilawah adalah makhluk dan lafal kita dengan al-Qur’an adalah makhluk, sedangkan al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk? Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi orang seperti ini? Apakah dia layak disebut sebagai ahli bid’ah?”. Beliau menjawab: “Orang semacam ini semestinya dijauhi. Itu adalah ucapan ahli bid’ah. Dan itu merupakan perkataan kaum Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 178). Abdullah juga mengatakan: “Aku mendengar ayahku rahimahullah berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa lafalku dengan al-Qur’an adalah makhluk maka dia adalah penganut Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 180)
Ketika membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam kitabnya Jarh wa Ta’dil Abdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata: “Ayahku -Abu Hatim- dan Abu Zur’ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua meninggalkan haditsnya, yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi mengirimkan surat kepada mereka berdua yang menceritakan bahwasanya di daerah mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman bahwa lafalnya dengan al-Qur’an adalah makhluk.” (lihat al-Jarh wa at-Ta’dil VII/191).
Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah membantah perkataan ini dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’. Beliau berkata: “Apabila mereka berdua meninggalkan haditsnya, ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru dunia.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/633 risalah magister karya Abu Abdirrahman Muhammad ats-Tsani)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jarh atau celaan dari sebagian ulama yang ditujukan kepada Imam Bukhari Tidak Bisa Diterima. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Setiap orang yang telah terbukti kuat keadilan atau kredibilitasnya maka tidak boleh diterima tajrih atau celaan kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu diterangkan kepadanya sampai pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan yang lain kecuali memang harus menjatuhkan jarh atau celaan kepadanya.” (lihatDhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)
Pelajaran Yang Bisa Dipetik
Kisah di atas mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum muslimin, terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da’i. Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah pentingnya setiap muslim maupun muslimah untuk mempelajari aqidah Islam dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kesesatan. Karena aqidah inilah yang menjadi landasan agama kita. Hendaknya setiap muslim memahami hakikat keimanan dan tauhid yang menjadi intisari aqidah Islam. Jangan sampai seorang muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da’i- meremehkan masalah aqidah ini. Masalah aqidah adalah masalah yang sangat penting dan mendasar.
Selain itu, kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk menjadi seorang penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang yang berusaha untuk senantiasa mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha manusia. Orang arab mengatakan: “Ridha manusia adalah cita-cita yang tak akan pernah tercapai.” Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa ikhlas itu adalah “Melupakan Pandangan Manusia Dengan Senantiasa Melihat Kepada Penilaian Al-Khaliq, Yaitu Allah.”
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita yang kita terima tidak benar atau tidak sempurna sehingga akan menimbulkan kesalah pahaman bagi orang yang mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait dengan orang yang memiliki kedudukan di masyarakat, baik dari kalangan ulama ataupun penguasa. Kewajiban kita sebagai sesama muslim adalah menjaga kehormatan dan harga diri saudara kita, apalagi mereka adalah orang yang memiliki kedudukan dan keutamaan di mata publik.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da’i dan tokoh masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan kata-kata yang kurang tepat atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan suasana yang kurang harmonis, kekacauan, dan bahkan permusuhan yang tidak pada tempatnya.
Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara sesama guru atau da’i itu timbul dan semakin bertambah parah akibat ulah sebagian murid-murid mereka yang suka membuat masalah. Oleh sebab itu seorang guru harus objektif dan berhati-hati dalam menerima berita dari muridnya. Demikian pula, seorang murid juga tidak boleh sembarangan dalam menafsirkan perkataan gurunya tanpa meminta kejelasan terhadap ungkapan yang diduga bisa memicu permasalahan. Apalagi di dalam situasi fitnah (kekacauan), hendaknya seorang murid fokus kepada tugasnya yaitu belajar dan tidak disibukkan dengan qila wa qola (kabar burung) dan pembicaraan yang kurang bermanfaat baginya.
Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh wa ta’dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah perkara sepele. Jarh wa ta’dil tidak seperti kacang goreng yang bisa dibeli dengan harga murah oleh siapa saja. Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat mulia. Ilmu yang membutuhkan pemahaman yang mendalam, ketelitian, dan kehati-hatian. Tidak semua orang boleh berbicara tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak setiap ulama ahli dan mapan di bidang ini. Jarh wa ta’dil juga memiliki kaidah dan batasan-batasan yang harus diperhatikan. Memang, memperingatkan dari kemungkaran adalah suatu kebaikan yang sangat besar, akan tetapi mengingkari kemungkaran pun ada kaidahnya, tidak boleh secara serampangan.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da’i untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena banyak permasalahan yang terjadi diantara mereka diantara penyebabnya adalah karena sifat yang tercela ini. Oleh sebab itu ada suatu ungkapan yang populer di kalangan para ulama Jarh wa Ta’dil : Kalamul aqraan yuthwa wa laa yurwa, artinya: “Kritikan antara orang-orang yang sejajar kedudukannya cukup dilipat -tidak diperhatikan- dan tidak diriwayatkan.” Karena terkadang kritikan yang muncul diantara sesama mereka adalah karena faktor hasad. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang demikian itu.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap husnudhon atau berprasangka baik kepada saudara kita. Karena perasaan su’udhon atau buruk sangka yang tidak dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat adalah termasuk perbuatan dosa. Selain itu, kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain. Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah termasuk nasehat, akan tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi kesalahan kita itu tidak kecil dan tidak sedikit. Allahul musta’aan.
Kisah ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da’i harus siap menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan dakwahnya. Seorang da’i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah dalam menyikapi berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu pula seorang penimba ilmu. Bahkan, setiap orang yang beriman pasti mendapatkan ujian dari Allah yang menuntut mereka untuk bersabar tatkala mendapatkan musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan kenikmatan.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat. Mereka menyadari bahwasanya tugas mereka sebagai ulama adalah mendakwahkan ilmu dan membimbing umat menuju kebaikan. Mereka sama sekali tidak menyimpan ambisi-ambisi politik atau mengejar target-target duniawi. Ulama sejati tidak takut celaan para pencela dan tidak khawatir apabila ditinggalkan jama’ah, selama dia tegak di atas kebenaran.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya kebid’ahan, yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di dalam agama Islam. Bid’ah ini tidak hanya berkutat dalam masalah amalan, tetapi ia juga terjadi dalam masalah aqidah atau keyakinan. Bahkan, diantara keyakinan yang bid’ah itu ada yang bisa menyebabkan kafir bagi orang yang meyakininya. Oleh sebab itu para ulama salaf sangat keras dalam mengingkari para pelaku kebid’ahan. Sebagian diantara mereka mengatakan: “Bid’ah itu lebih dicintai Iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat masih mungkin untuk bertaubat, sedangkan bid’ah hampir tidak mungkin pelakunya bertaubat.” Sebab pelaku kebid’ahan menganggap dirinya tidak melakukan kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang masih mengakui bahwa dirinya memang telah berbuat maksiat.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh dalam membela kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus menyelisihi banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam pandangan kita. Sesungguhnya kebenaran itu diukur dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau ‘allan. Sebagian ulama salaf berpesan: “Hendaknya kamu mengikuti jalan kebenaran. Janganlah kamu merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah jalan-jalan kebatilan. Dan janganlah kamu merasa gentar karena banyaknya orang yang binasa.”
Dan yang terakhir, kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian permasalahan- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya. Ulama adalah Pewaris Para Nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka dengan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa ulama bukanlah nabi yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita tidak boleh meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka. Apabila kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah- maka wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti dengan bersangka baik dan tetap menghargai jerih payah mereka. Imam Syafi’i rahimahullah berpesan kepada para pengikutnya: “Apabila kamu temukan di dalam bukuku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah atau tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku.”


Sumber : di sini

 
Back To Top