Tampilkan postingan dengan label tasawuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tasawuf. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Desember 2014

Rebo Wekasan Dalam Pandangan Islam


Allahumma yassir wa a’in
Isu tahun baru di rebo wekasan mulai santer di dunia maya. Berbagai macam mitos turut menyemarakkan kaehadiran tahun baru kali ini. Bahkan sudah ada yang meramalkan dengan adanya kecelakaan. Karena rebo wekasan menjadi hari paling ditakutkan oleh sebagian golongan yang begitu gandrung dengan klenik dan ramalan.
Ada Apa dengan Rebo Wekasan
Rebo Wekasan (rebo pungkasan) dalam bahasa Jawa, ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ atau ‘pungkasan’ artinya terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Safar.
Mereka yang perhatian dengan rebo wekasan berkeyakinan bahwa setiap tahun akan turun 320.000 balak, musibah, atau bencana, dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Safar.
Sumber Referensi yang kami jumpai yang mengajarkan aqidah ini adalah kitab Kanzun Najah karya Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds. Salah satu tokoh sufi, murid Zaini Dahlan. Dalam buku tersebut, dia menyatakan di pasal: Hal-hal yang Dianjurkan ketika bulan safar :
Ketahuilah bahwa sekelompok nukilan dari keterangan orang shaleh -sebagaimana nanti akan diketahui- bahwa pada hari rabu terakhir bulan safar akan turun bencana besar. Bencana inilah yang akan tersebar di sepanjang tahun itu. Semuanya turun pada hari itu. Siapa yang ingin selamat dan dijaga dari bencana itu, maka berdoalah di tanggal 1 safar, demikian pula di hari rabu terakhir dengan doa yang sama. Siapa yang berdoa dengan kalimat itu maka Allah akan menyelamatkannya dari keburuhan musibah tersebut. Inilah yang aku temukan dari tulisan orang-orang shaleh.
Selanjutnya, penulis menyebutkan beberada doa yang dia ajarkan. (Kanzun Najah, hlm. 49).
Sebagaimana dalam tatanan masyarakat jawa ada orang yang gandrung dengan klenik jawa, diantara penganut agama islam juga ada yang gandrung dengan klenik ‘islam’. Yang tentu saja, bukan bagian dari ajaran islam. Hanya saja dibumbuhi dengan istilah-istilah islam dan dilengkapi dengan berbagai amalan bid’ah yang sama sekali tidak ada tuntunannya. Karena sama-sama klenik, tidak ada beda antara klenik jawa dengan klenik ‘islam’, keduanya bersumber dari tahayul dan khurafat. Celakanya, keyakinan semacam ini berkembang subur di aliran sufi.
Untuk itu, jangan karena semata ditulis dalam buku berbahasa arab, kemudian itu menjadi mutlak benar. Ajaran klenik bagian yang dikembangkan dan dilestarikan di aliran sufi, dan oleh beberapa tokohnya, keyakinan ini dibukukan.
Tahun Baru yang Mengerikan
Jika kita berkeyakinan, akan ada bencana besar yang menimpa umat manusia di malam tahun baru disebabkan banyaknya dosa dan maksiat, maka layak kita benarkan. Karena sebab terbesar datangnya musibah yang menimpa manusia adalah dosa dan maksiat yang menimpa mereka.
Allah tegaskan dalam al-Qur’an :
“Apapun musibah yang menimpa kalian, semuanya disebabkan perbuatan maksiat yang kalian lakukan.” (QS. As-Syura: 30)
Sudah menjadi rahasia umum, malam tahun baru menjadi salah satu momen paling rame melakukan pesta zina. Tidak salah jika kita sebut, hari zina internasional. Inilah yang sejatinya lebih mengerikan. Acara maksiat, tanpa ada penanganan serius dalam mengatasinya.
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jika perbuatan kekejian sudah merebak dan dilakukan dengan terang-terangan di tengah-tengah masyarakat, maka Allah akan menimpakan kehancuran kepada mereka.” (HR. Hakim 2577 dan dinyatakan oleh Ad-Dzahabi: Sesuai syarat shahih Muslim)
Allahu Akbar, bukankah ini ancaman yang sangat menakutkan. Gara-gara perbuatan mereka yang tidak bertanggung jawab itu, kemudian menjadi sebab Allah menimpakan berbagai bencana yang membinasakan banyak manusia. Tahun baru telah menyumbangkan masalah besar bagi masyarakat.
Ini yang seharusnya kita takutkan. Allah datangkan bencana disebabkan maksiat. Bukan rebo wekasan hasil tahayul orang sufi. Allah tidak menciptakan hari rebo terakhir di bulan safar sebagai sumber sial. Namun dosa dan maksiat yang dilakukan manusia, itulah sumber sial dan malapetaka.
Kaum muslimin, perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah. Kita ingat kisah Nabi Musa ‘alaihis salam yang berdoa memohon ampun kepada Allah, karena kelancangan yang dilakukan kaumnya dengan menyembah anak sapi.
Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata, “Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang BODOH di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-A’raf: 155)
Berusahalah untuk memperbanyak istighfar kepada Allah. Memohon ampunan kepada-Nya. Semoga dengan banyaknya istigfar yang kita ucapkan di malam zina ini, Allah berkenan mengampuni kita. Sebagaimana Musa memohon ampunan kepada Allah, disebabkan ulah kaumnya yang bodoh, yang mengundang murka Allah.
Yaa Allah.., akankah Engkau membinasakan kami disebabkan ulah orang-orang BODOH di malam tahun baru ini?


Selasa, 06 Mei 2014

Mereka Yang Meninggalkan Tasawuf : Syaikh Abdudzdzahir Abu Samah (Imam besar dan Maha Guru di Tanah Haram)


Syaikh Abdudzdzahir bin Muhammad Nuruddin Abu Samah, seorang Alim dari Al-azhar, pemuka para Imam dakwah yang menyeru kepada Sunnah di Mesir, juga Imam dan Guru besar di tanah Haram Mekkah. Betapa seringnya beliau disakiti karena sebab terangnya kebenaran yang beliau bawa hingga menerangi penduduk dunia ini sekalian. Mesjid beliau menjadi saksi penyerangan para pengecut yang tak mampu menyerang beliau kecuali ketika beliau berdiri sholat mengimami manusia yng seolah-olahnya ketika beliau sholat itu beliau beranjak dari negeri dunia ini menuju negeri akhirat.
Syaikh yang tak suka di puji ini -Rahimahulloh- dilahirkan di Kota Taliin, suatu kota di Mesir pada tahun 1300 H dari keluarga yang dikenal snagat perhatian dengan Al-Qur’an, baik hafalan atau pengajarannya. Sehingga Syaikh Abdudzdzahir ini menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya di usia Sembilan tahun dengan bimbingan orang tuanya. Selanjutnnya beliau bertekun di Al-Azhar membaca Qira’ah Sab’ah seiring dengan bertambahnya keinginan menghafal Sunnah, juga perhatian besar terhadap tafsir, fikih, bahasa dan ilmu-ilmu lainnya. Di masa kecilnya Syaikh Abdudzdzahir ini sering hadir di majelis Syaikh Muhammad Abduh.
Setelah bertahun-tahun lamanya beliau menuntut ilmu beliau berjumpa seorang Alim yang di sebut dengan Al-‘Allamah Syinqith yaitu Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithy -Rahimahulloh- hingga kebenaran menyentuh hatinya maka hati itu pun bercahaya dengan cahaya aqidah salafiyah. Beliau pun bertekun menelaah kitab-kitab Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan yang sejalan dengan kedua Imam ini. Kembali kepada kebenaran serta mengikut dalil. Dan adalah hal yang sangat mendukung beliau penguasaannya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah serta diri beliau yang siap sedia menerima kebenaran.
Di suatu masa beliau beraktivitas di sebuah madrasah di daerah Suwais selanjutnya kembali ke Kairo menuntut ilmu di Madrasah Dar Ad-da’wah. Beberapa lama kemudian beliau dipercaya sebagai pengajar di Iskandaria, dan di sanalah beliau berdiri tegak menyeru dakwah, menerangi kegelapan, merobohkan bangunan-bangunan prasangka, membebaskan manusia dari penyembahan sesame hamba kepada hanya menyembah Tuhan para hamba itu, merangsak maju terhadap penyeru kemusyrikan serta menghancurkan kemusyrikan mereka itu, mendebat ahli bid’ah hingga bid’ah-bid’ah itu bertanggalan, menolong ahlussunnah serta meninggikan bendera mereka. Adalah dakwahnya Syaikh Abdudzdzahir ini adalah sebab terangkatnya kebodohan , beliau menjauhkan hamparan para peminta-minta dalam buruknya kesyirikan yang mereka lakukan, hingga menjadi berkurang mereka-mereka yang suka menziarahi masyhad (tempat ziarah penganut tasawuf), sebaliknya bertambah banyak orang-orang yang sholat di mesjid, menjauhi kesyirikan yang menghamba,untuk selanjutnya mengangkat tinggi bendera tauhid. Dan syaikh ini termasuk pengasas gerakan Anshorus Sunnah Al-Muhammadiyah di Iskandaria.
Tentu saja perjuangan beliau ini akan memunculkan penentangan, ini suatu kemestian. Bahkan ternnyata yang menentang membawa gangguan yang luar biasa. Yang paling besar di antara penentangan itu gangguan yang dilaksanakan ketika mengimami sholat di Mesjid yang dilakukan oleh para pengagum masyhad dan kuburan, dari para sufi dan yang sejalan dnegan mereka. Bagi mereka tak ada penghormatan bagi rumah-rumah Allah atau bagi mereka yang berada dihadapan Allah. Adalah sebab gangguan mereka ini dari apa yang telah kita ceritakan berupa kesungguhan beliau dan penelanjangan beliau terhadap hakikat para sufi, para pengagum masyhad dan tempat-tempat ziarah yang berisi kemusyrikan, pembatalan beliau terhadap aqidah Asy’ariyah, dan terutama sekali karena Syaikh Abdudzdzahir ini sangat mengetahui dengan keadaan mereka, beliau -sebelumnya-adalah panutan mereka hingga Allah yang bersifat Al-Haady dan Al-Qadiir menunjuki beliau. Allah menjaga beliau dari kejahatan dan rencana buruk mereka, dan sesungguhnya tipu daya kebatilan adalah suatu hal yang akan binasa.
Di antara orang yang menerima cahaya kebenaran dengan debat, kesungguhan dan ketegaran yang beliau pegang yaitu sejumlah besar Maha Guru (Masyayikh) di Al-Azhar, salah satunya bahkan yang paling menonjol seorang Alim dari Al-Azhar ini yang juga termasuk Ahli bait Nabi Shollallahu alaihi wasallam, Syaikh Ahli Hadits Muhammad Abdurrazzak Hamzah. Sebelumnya dalam rentetan perdebatan yang berkepanjangan akhirnya beliau menggenggam kebenaran, menjadikan dalil sebagai ikutan hingga Syaikh Muhammad Abdurrazzak ini menerima dakwah sekaligus mendakwahkannya.
Satu hal yang perlu dicatat dari beliau -walaupun amal kebaikan beliau melimpah ruah, beliau sangat tak suka di puji, hal ini pernah beliau sebutkan ketika mengomentari biografi beliau yang di muat di salah satu kitabnya. Beliau berkomentar : “Salamun ‘Alaik, Amma ba’du. Sungguh telah sampai kepadaku kitabmu yang hampir-hampir aku tak mampu menengoknya disebabkan apa yang engkau muat dari riwayat hidupku hingga aku letakkan dua tanganku menutupi wajahku karena malu, sungguh engkau telah memakaikan pakaian yang besar menutupi dengan pujian dan sanjungan berlebih yang aku tak pantas mendapatkannya….”
Setelah gigihnya kesungguhan perjuangan yang luar biasa ini dunia pun mengenal beliau, mengenalnya sebagai seorang alim yang memberikan nasehatnya, mendebat dan mengalahkan, debu-debu tak sanggup merintangi beliau, tidaklah berhadapan dengan beliau seorang penuntut kebenaran melainkan dengan perdebatan dengan beliau itu menjadi terbuka hatinya menerima kebenaran yang beliau bawa, sebagaimana tidaklah mendebat beliau seorang ahlul bathil kecuali tersadar diri dan kebathilannya berjatuhan. 
Hingga akhirnya di suatu ketika Syaikh Abdudzdzahir di percaya sebagai Imam di tanah Haram Mekkah, sebagai Maha Guru pengajar di Masjidil Haram juga di Darul Hadits Mekkah Al-Mukarromah. Beliau pun memegang kepercayaan ini bersama orang kepercayaan beliau, yaitu murid sekaligus sahabat juga menantunya yaitu Syaikh Abdurrazzak Hamzah. Kedua tokoh ini melahirkan banyak gelombang Ulama yang ‘aamiliin, dan mendapat petunjuk dari dakwah keduanya sejumlah besar penuntut ilmu yang tersesat di lembah kesyirikan dan kebid’ahan. 
Selalu dan selalu Syaikh Abdudzdzahir ini mennyebar al-haq, meremuk redamkan kebathilan dengan pengajaran dan tulisannya . Banyak sekali risalah yang beliau tulis, di antaranya : Ar-risalah Al-Makkiyah fir-raddi ’ala Ar-risalati Ar-ramliyah, Hayatul Quluub bi du’ai ’Allamil Ghuyuub, Al-auliaa, Al-karomaat.
Dan adalah Syaikh Abdurradzdzak Abu Samah ini termasuk pengasas gerakan Jama’ah Anshorus Sunnah Al-Muhammadiah di Mesir, selain termasuk dari pengasas Darul Hadits di Mekkah Al-Mukarromah. Konsisten di jalan ini hingga beliau wafat di Mesir tahun 1370 H. Semoga Allah mengampuni dan merahmati beliau, mengangkat derajatnya di ’Illiyyiin. Dan aku akhiri cerita singkat tentang beliau ini dengan bait-bait Nuniah yang pernah beliau gubah menunjukkan kesyukuran beliau terhadap semua nikmat yang beliau rasa :
Segala puj bagi Allah yang menunjukiku suatu karunia yang sebelumnya aku berada ditepian nereka.Demi Allah jikalau seluruh anggota tubuhku mengucap syukur wahai Tuhanku sepanjang masa, tidaklah itu bagiku kecuali suatu kelemahan dan kekurangan di banding kesyukuran yang semestinya aku haturkan.
Engkau kuatkan diriku, engkau tolong dan engkau pelihara dari semua gangguan orang yang dengki dan berniat jahat. Engkau hinakan musuh-musuhku serta tak Engkau luluskan rencana mereka menyakiti dan meyemai permusuhan denganku. Telah Engkau wariskan buatku dzikir yang bijak sebagai keutamaan serta engkau karunia aku dengan beragam nikmat tanpa mampu aku mengira-ngiranya.
Engkau angkat cerita tentang diriku ketika mereka ingin mencampakkannya. Dan Engkau siapkan untuk diriku semulia-mulia tanah air. Engkau diamkam diriku di antara Hathim dan zamzam, serta menjadi Imam bagi mereka yang bertaqwa. Engkau muliakan diriku , tunjuki serta memberi petunjuk kepada orang yang Engkau kehendaki dari mereka yang tersesat dan linglung. Apakah kepada dirimu mereka yang memendam dengki berani menggugat? Orang yang bersikeras padahal dirimu penuh kebaikan.Orang yang dzalim padahal diriMu sepaling adil orang yang bersikap adil. Jauh sekali diriMu dari kedzaliman dan aniaya. 
Dan jikalah bukan karuniaMu tiadalah aku mampu walaupun punya kesempatan. Karena itu sempurnakanlah nikmatMu yang telah Engkau karuniakan wahai Sebaik-baik Dzat yang diseru oleh semua lisan. Akhirilah dengan keberuntungan hambamu ini, sesungguhnya dia mengharap dalam kesendirian atau pun keramaian. Karuniakanlah baginya Jannatun Na’iim serta melihat wajahmu yang Agung beserta semua teman. Dan tolonglah Saudara Tauhid, penguasa tanah Arab Abdul Aziz, menangkan dia dari penyembah berhala. Dan pukullah belakang mereka yang menentang dengan pedangnya. Kecapkanlah bagi para penentang keburukan di setiap tempat.
Dan Kekalkanlah sholawat dan salamMu terhadap orang yang telah Engkau utus dengan Syari’at keimanan, juga buat keluarga dan sahabatnya selama bintang gemintang masih bermunculan, tak lupa teruntuk tabi’iin yang kebaikan menyertai mereka selalu. (Selesai Goresan kata Syaikh Abdudzdzahir)
Semoga bermanfaat Untukmu yang menginginkan berkibarnya bendera Tauhid di mana pun berada.


Penulis akhi Habibi Ihsan

Rabu, 23 April 2014

Mereka Yang Meninggalkan Tasawuf: Al-Muhaddits Abu Syu’aib Ad-Dakkaly Ash-Shiddiqy


Beliau seorang Ahli Hadits yang di gelari dengan Hafidznya Maghrib, Abu Syu’aib bin Abdurrahman Ash-Shiddiqi Ad-dakkaly-Rahimahulloh- yang wafat tahun 1354 H. Beliau seorang yang mempunyai kekuatan hafalan luar biasa, ini bisa dilihat ketika masa beliau menghafal berbagai pelajaran di masa mudanya . Beliau hanya memerlukan waktu satu hari untuk menghafal Ajurumiyah, 10 hari untuk seribu bait Alfiyah, 14 hari untuk menghafal Mukhtashar Al-Kholil, dan selanjutnya untuk setiap bait Alfiyah beliau menguasai 10 syawahid dari syai’r-sya’ir arab yang dijadikan sebagai dalil bait tersebut sekaligus mengetahui siapa saja yang mengucapkan sya’ir itu. Beliau menguasai juga qira’ah sab’ah, kokoh dalam qaedah-qaedah bahasa Arab ditambah kecerdasan yang tajam dan tabiat yang kuat dalam adab dan akhlak yang baik.
Syaikh Ahli hadits ini pun berkelana ke Mesir dan Hijaz, menemui para pembesar-pembesarnya, serta mengimami manusia di tanah Haram Makkah. Di sanalah beliau terkesan dengan gerakan pembaharuan yang sedang berlangsung di Mekkah dan Hijaz. Setelahnya beliau kembali ke Negerinya Maghrib yang para penguasa di sana membesarkan beliau. Beliau berdakwah menyeru kepada beramal dengan hadits dengan tetap menghormati mazhab Maliki dengan tanpa ta’ashub (fanatik buta) kepada mazhab ini. Dalam masalah aqidah beliau menyeru kepada manhaj Salaf dan menolak mazhabnya kaum mutakallimin, menyeru kepada jalan Sunnah, menolak bid’ah, menyerang jalan-jalan kaum shufi dengan keras bahkan menganggap bodoh syi’ar-syiar mereka.
Hingga manusia pun berhadap kepadanya, menjadi muridnya, bahkan mereka menganggap Syaikh yang kuat hafalannya ini sebagai mujaddid Islam di masanya di Negeri Mahgrib yang tinggi itu. Seorang Imam besar dalam keilmuannya dan melimpah ruahnya pelajaran yang dia berikan, hingga di kenal mempunyai banyak murid dan pengikut.
Syaikh Abu Syu’aib Ad-dakkaly ini meninggalkan di belakang beliau banyak sekali pengikut yang menjadi ulama, terutama mereka-mereka yang bertekun di Ribath Al-Fath. Beliau mengajarkan semua kitab Sunnah yang enam serta sejumlah besar kitab-kitab adab dan tafsir Al-Qur’an yang disela-sela semua itu beliau melontarkan gagasan pembaharuannya.
Di antara murid-muridnya yang masyhur serta mendukung gagasan-gagasan pembaharuannya, ikut tegak memerangi tasawuf dan semua ragam kebid’ahannya sepeninggal beliau, yaitu : Syaikh Muhammad Hasan Al-Hajawy, Al-Hafidz Muhammad Al-Madany bin Al-Ghazy al-’ilmy, Al-Qadhi Al-Imam Muhammad bin Abdussalam As-Saaih Ar-Ribaathy, Al-Qadhi Abdul Hafidz bin Thahir Al-Faasy Al-Fihry, dan Al-’Allamah Asy-syariif Muhammad bin Al-’araby al-’alawy.
Sekilas tentang dakwah murid-murid Syaikh Muhaddits Abu Syu’aib :
Syaikh Muhammad bin Al-hasan Al-Hajawy, yang dengan dakwah pemurniannya serta menyeru kepada jalannya Salaf, meninggalkan kejumudan yang membeku. Beliau menyusun sebuah kitab yang berharga sekali, di antaranya kitab Al-Fikrus Saamy Fie Tarikh Al-fikh Al-islamy. Beliau menyeru kepada aqidah Salaf, meninggalkan ta’wil dalam masalah sifat, memerangi kaum sufi pada syiar mereka berupa tarekat dan ghuluw pada para sholihin. Beliau menyeru kepada pembaharuan Fikih Islam dengan kembali kepada sumber asalnya yang jernih. Beliau wafat tahun 1376 H.
Al-Hafidz Muhammad Al-Madany bin Al-ghazy Al-’ilmy. Beliau ini adalah tahi lalat (pesona) yang ada di ”dahi masa” saat itu. Beliau mempunyai kitab berupa Syarah (penjelasan) terhadap kitab ”Al-Mukhtashar” tapi tidak selesai, Syarah terhadap kitab Al-Mursyid Al-Mu’in beserta dalil-dalinya. Selain itu beliau mengajarkan kitab ”Zaadul Ma’aad” karya Ibnul Qayyim di Jami’ As-Sunnah di Ribath. Adapula Syarah beliau untuk kitab Nashihatu Ahli Islam karya Syaikh Ja’far Al-Kattany dalam 4 jilid. Dan adalah Syaikh Al-Madany ini mempunyai jangkauan yang luas dalam masalah hadits dan adab. Beliau wafat tahun 1378 H.
Al-Qadhi Muhammad Bin Abdussalam As-saaih Ar-ribaathy, seorang yang mempuanyai jangkauan luas dalam berbagai bidang ilmu. Beliau ini sebagaimana Gurunya Syaikh Syu’aib dalam dakwahnya menyeru kepada Sunnah dan melempar jauh kebid’ahan. Wafat tahun 1368 H.
Al-Qadhi Abdul Hafidz bin Thohir Al-Fihry, seseorang yang mempunyai banyak karya tulis tentang taraajum (biografi perawi hadits) dan isnaad (mata rantai hadits). Beliau pun berdakwah di antara aktivitas beliau menyeru kepada jalannya Salaf, menjauhi kebid’ahan dan segala khurafat.
Al-‘allamah Asy-syarief Muhammad bin Al-Araby Al-Alawy, beliau termasuk yang paling masyhur di antara yang dekat dengan Syaikh Abu Syu’aib Ad-dakkaly, pembawa bendera beliau sepeninggalnya-Rahimahulloh-. Manakala Sulthan Muhammad bin Yusuf di asingkan tahun 1373 H. Lalu dibai’atlah anak pamannya Muhammad bin Arafah, maka Syaikh Alawy ini menentang hal ini dengan penentangan yang besar serta memfatwakan bolehnya membunuh mereka yang merebut kekuasaan ini. Hingga mereka yang membolehkan hal ini menampakkan penentangannya lalu mengasingkan beliau ke Shahraa. Hingga banyak ujian menimpa beliau. Akan tetapi manusia berkumpul di sekeliling beliau sepeninggal Gurunya, Syaikh Abu Syu’aib Ad-Dakkaly. Mereka menjadikan Syaikh Alawy sebagai Syaikhul Islam di Negeri Maghrib. Adalah Syaikh Ibnul ‘Araby Al-‘alawy ini penentangannya terhadap tasawuf lebih keras dibanding Gurunya Syaikh Ad-Dakkaly. Setelah Negeri Maghrib merdeka beliau menjauh tidak jauh dari sana disebabkan apa yang beliau lihat berupa penyimpangan hukum dari syariat Islam, hingga Akhirnya beliau wafat tahun 1384 H. Beliau sama sekali tak meninggalkan suatu karya tulis.
Demikian sekilas lintas tentang Muhaddist dari Maghrib Syaikh Abu Syu’aib Ad-dakkaly dengan murid-murid utamanya-Rahimahulloh-, dan adakah yang ingin menyusul jejak langkah beliau dan murid-muridnya itu ?
Demikian, semoga bermanfaat.


Penulis: Akhi Habibi Ihsan

Sabtu, 19 April 2014

Mereka Yang Meninggalkan Tasawuf: Syaikh Muhammad 'Ied Bin Jaadullah Al-'Abbasy


Sesungguhnya di antara pertanda adanya taufik bagi orang yang menghendaki petunjuk bahwa dia di tunjukan jalan (perjumpaan) terhadap Ulama Sunnah dan bahwa dia menjaga jarak dengan ahlu bid’ah ataupun mereka-mereka yang aktivitasnya dicela secara syar’i. Dan jika kakinya tergelincir dia pun bersegera menuju kebenaran, maka dia adalah pencari kebenaran bukan pencari popularitas ataupun harta walaupun karena itu dia mesti menanggung kepedihan, dibodoh-bodohkan dan tumpang tindihnya derita menimpanya, Dan tidaklah itu semua baginya kecuali bagaikan penghapus. Dan jalan tersebut tidaklah mampu menjalaninya kecuali para lelaki perwira. Seperti itulah permulaan salah seorang yang mata rantainya nasabnya termasul ahlu bait Nabi Shollallahu alaihi wasallam, yaitu Syaikh Muhammad ’Ied bin Jaadullah Al-’Abbasy. Semoga Allah memanjangkan kekalnya kebaikan terhadap beliau.
Syaikh ’Ied lahir pada tahun1357 H di Suriah yang masuk bagian Syam ketika itu. Beliau memulai kehidupannya dengan menghafal Al-Qur’an serta bertekun sebagai murid dari banyak Masyayikh di negerinya yang mereka iu berfaham Asy’ari dan sufi. Syaikh juga menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Hasan Hanbakah Al-Maidaany yang di antara Gurunya di Madrasah ini Mulla Ramadhan Al-Buthi seorang sufi kalangan Naqsyabandiyah yang masyhur ketika itu ketidak mauan Mulla ini membaca surah Al-Masad karena dianggap menyakiti Nabi Sholallahu alaihi wasallam disebabkan surah ini mengandung doa dan celaan terhapa pamannya !! Selain kepada Mulla ini Syaikh ’Ied juga belajar kepda Syaikh Ahmad Kaftaruu An-Naqsyabandy, Mufti Suriah masa itu, sosok yang tak perlu kita ceritakan (karena kemashurannya).
Seperti itulah, dalam lingkungan faham Asy’ary dan Sufi Syaikh ’Ied tumbuh besar dan di antara pengikut akidah ilmu kalam yang menyelisihi petunjuk Sunnah Nabawiyah, di antara jalan-jalan tasawuf yang jauh dari jalannya syariat Muhammadiyah, mereka-mereka yang memusuhi ahlus sunnah dengan tuduhan karena mereka adalah wahhabi,..!
Akan tetapi Allah apabila menghendaki bagi salah seorang dari mereka menggapai Petunjuk-Nya, Allah tunjuki untuk menjalani jalan-jalan petunjuk itu sekaligus Dia mudahkan untuk mejalaninya, Dia tolong dan arahkan berjumpa dengan orang yang memegang Sunnah. Seperti demikian itulah yang terjadi terhadap Syaikh ’Ied melalu jalan teman beliau, yaitu Ustadz Khairuddin Wanily-rahimahulloh- beliau yang memperkenalkan Syaikh ’Ied kepada Muhaddits Negeri Syam, seorang yang ’alim, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani-rahimahulloh.
Syaikh ’Ied sediri pernah menyebutkan hal ini : ”Pada tahun 1374 Sahabatku Ustadz Khairuddin Wanily memperkenalkanku dengan seorang yang Alim, Ahli hadits yang bermanhaj Salaf, seorang yang mulia, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Aku pun mulai mengikuti pelajaran dan pertemuan ilmiah yang beliau berikan. Aku terkagum-kagum dengan ilmunya, tahqiq ilmiahnya, juga manhaj Salaf yang dia anut dengan kekaguman yang tumpang tindih. Setelahnya aku mulai mengenal -disela-sela itu semua- akan para Syaikh yang menyeru kepada dakwah Salafiyah ini terutama sekali Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Hafidz Ibnu Katsir dan banyak lagi yang lainnya. Aku bertekun di majelis Syaikh Albani ini mempelajari bagaimana dakwah Salafiyah ini secara menyeluruh dan sempurna. Sebagaimana aku pun mempelajari ilmu hadits dari Syaikh Albani. Dan tiadalah hari demi hari berlalu melainkan menambah pertautan dan keimanan kepada dakwah ini sekaligus kekaguman terhadap sosok Syaikh Al-Albani sehingga aku benar-benar bertekun dengan beliau dan termasuk mereka yang sedikit dan dekat dengan beliau. Ini semua berbeda dengan manhaj-manhaj dakwah yang lain, yang sebelumnya telah aku rasai semuanya itu.”
Beliau pernah pula bercerita tentang dakwah Syaikh Al-Albani ini : ”Adalah dakwah salafiyah sebelumnya di Negeri Syam ini adalah dakwah yang terus berkurang walaupun dengan pemahaman yang jelas dan benar-benar lurus sebagaimana enggannya seseorang kepada kehidupan, semangat, dan pembelaan yang layak untuk dakwah ini. Padahal di sana di jumpai para Masyayikh dan para Da’i yag mereka meniti manhaj dan aqidah para Salaf ini secara umum, akan tetapi kiranya mereka lemah dari menampakkan, menjelaskan dan keberanian dari menyerukan dakwah ini secara luas. Mereka hanya menyerukan dakwah ini kepada para pencintanya, atau pun murid-muridnya yang ini pun dalam keadaan yang terbatas serta dibayang-bayangi rasa takut dan kuatir. Ditambah lagi mereka tidak kokoh dalam ilmu hadits sehingga dakwah ini hanya terbatas berada dikalangan para penuntut ilmu yang sedikit dan di situ pun terdapat kekeruhan.
Manakala Guru kami ini, yaitu Syaikh Al-Albani berada di antara manusia semuanya beliau menampakkan dakwah ini sepenuh tenaga dan keberanian beliau, tanpa takut karena Allah celaan dari siapa pun jua, sanggup dan tegar menanggung berbagai macam gangguan, penentangan, tuduhan dan fitnah secara dzalim, pengaduan kepada pemerintah, pelarangan dari berfatwa dan mengajar juga berkumpul, tuduhan mengganggu ketertiban umum hingga beliau pernah di penjara dengan masa yang cukup lama, di usir dari tempat tinggalnya. Akan tetapi semua itu malah menjadikan Syaikh Al-Albani makin kokoh bagai tiang yang tegak kokoh, sama sekali tak merasa lemah, tak lembek bahkan tak surut mundur kemauannya hingga dia menemui Tuhannya Tabaraka Wa Ta’alaa. Adalah Syaikh Al-Albani melanglang buana di berbagai kota dan Negara menyeru kepada manhaj Salaf dan kepada dalil, berdebat dan berdiskusi, menulis dan mengajar, tanpa lesu dan rasa lemah, tanpa rasa malas dan rasa bosan.
Dengan semua itu, dakwah ini di tolong dan akhirnya menyebar dan seperti inilah berkembang dakwah ini menyeru kepada Tauhid, mengikut Sunnah serta mengutamakan dalil, memerangi kebid’ahan dan semua yang muhdats, menyebarkan hadits-hadits yang shohih, memerangi hadits-hadits yang lemah dan maudhu (palsu), juga mendekatkan Sunnah kepada ummat. Dan para murid dan pencinta beliau meyebar ke semua pelosok hingga dakwah kepada manhaj Salaf ini menjadi pembicaraan manusia, menarik perhatian dan keinginan mereka untuk mempelajarinya.” (Selesai Cerita Syaikh ’Ied)
Di atas semua itulah Syaikh ’Ied menjadi murid, lalu berdakwah hingga beliau menjadi seorang penelaah yang menyusun karya tulis -setelah hidayah agung ini- puluhan karya tulisnya, di antaranya ”Silsilah Dakwah Salafiyah”, juga disebarkannya berbagai kitab salaf dengan jerih payah beliau, ikut serta dalam berbagai majalah ilmiah, menjadi seorang pembimbing, penulis dan pelindung hingga usia beliau melewati tujuh puluh tahun yang masih terlihat ruh (kekuatan) masa mudanya yang selalu terlihat dalam dakwah yang beliau berikan. Semoga Allah selalu memberkahi dan menambah keutamaanya.
Syaikh ’Ied punya banyak karya tulis, di antaranya:
Kitabu Bid’ati At-ta’ashshub Al-Mazhaby, Mulhaq kitab At-ta’ashshub, Pengantar untuk risalah Al-hadits Hujjatun Binafsih, Risalah Qadhiyatul Insan Al-Kubra, Pembahasan Nasihaty Lil-Jama’aat, Kitabu Hakikat At-Tawassul, Pembahasan kitab Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an, Pembahasan tentang Ad-Dakwah Salafiyah fie Bilaadi Syam, Pengantar dan catatan buat risalah Ma’aakhij ijtima’iyah ’ala hayatil mar’atil Arabiyyah, takhrij dan ta’liq buat kitab At-Tafsierul Wadhih ’ala manhaji Salafis Sholeh, penulisan dan perapian terhadap kitab At-Tawassul Ahkamuhu wa Anwa’uh, takhrij dan ta’liq buat kitab Al-Fikrush Shufi, ta’liq dan takhrij buat kitab Syifa’ul ’Aliel, Sirah Nabawiyah Ash-Shohihah wa fiqhiha.
Itulah karya Syaikh ’Ied dan dakwahnya, kisah hidayah yang beliau dapatkan maka semoga Allah memberkati beliau Syaikh ’Ied, menambah ilmu, keutamaan, dan karunia-Nya.
Washollallahu ’ala Nabiyina Muhammad Wa ’Ala Aalihi Wa shohbih. Walhamdulillahi Rabbil ’Aalamiin.

Penulis dan Penerjemah: Akhi Habibi Ihsan.
Sumber aslinya di sini

Selasa, 26 Februari 2013

Pendapat Imam Syafi’I tentang Sufi




Beliau telah menyebutkan ciri-ciri mereka untuk memperingatkan agar tidak tertipu dengan mereka dan masuk ke dalam bid’ah sufiyah. Hal ini nampak sangat jelas dalam teks-teks ucapan beliau tentang firqoh (golongan, sekte) ini. Di antara ucapan beliau:
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Yunus bin Abdil A’la, dia berkata: Aku mendengar Imam Asy-Syafii berkata: “Kalau seorang menganut ajaran tasawuf (tashawwuf) pada awal siang hari, tidak datang waktu zhuhur kepadanya melainkan engkau mendapatkan dia menjadi dungu.” (Manaqib Imam As-Syafii 2/207, karya Imam Al-Baihaqi)
Dungu adalah sedikitnya akal. Dan itu adalah penyakit yang berbahaya. Tidaklah aneh ahli tasawwuf dalam waktu kurang dari sehari akan menjadi orang yang dungu. Tulisan-tulisan mereka sendiri menjadi saksi tentang hal itu.
An-Nabhani -seorang sufi- dalam kitabnya yang penuh dengan khurofat, kezindiqan, dan kesesatan; yang berjudul Jami’ Karomat Auliya tentang biografi Ahmad bin Idris, dia berkata:
[Di antara karomahnya yang agung yang tidak bakal dicapai kecuali oleh orang-orang tertentu adalah berkumpulnya dia dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan bangun (terjaga), kemudian dia mengambil wirid-wiridnya, hizb-hizbnya dan sholawatnya yang masyhur dari beliau secara langsung. Dia (Ahmad bin Idris) diuji dengan hilangnya indera dengan benda-benda yang ada. Kemudian dia mengeluhkan kepada sebagian guru-gurunya. Kemudian sang guru berkata: ‘Kaana (Jadilah dia).’ Ahmad bin Idris menceritakan dirinya: Maka dengan semata ucapan sang guru “kaana”, hilang dariku semua rasa sakit, kemudian aku bangkit waktu itu juga dan jadilah aku seperti orang yang tidak ditimpa sesuatupun. Aku memuji Allah. Dan aku mengetahui bahwa telah pasti apa yang dikatakan para tokoh sufi: Awal jalan adalah junun (kegilaan), pertengahannya funun, dan akhirnya ‘kun fa yakun’.”]
Perkataan ini tidak pernah diucapkan oleh seorang yang berakal sama sekali. Karena tidak ada yang berhak dengan sifat seperti ini -yaitu mengucapkan kepada sesuatu ‘kun fa yakun’ selain Allah. Allah berfirman tentang Diri-Nya:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia (Kun fa Yakun). (Yasin: 82)
Mereka –ahil tasawwuf- telah mengakui bahwa diri mereka adalah gila.
Sehingga tidak keliru ketika Imam Asy-Syafii mengatakan: “Tidaklah aku melihat seorang sufi yang berakal sama sekali.” (Manaqib Imam As-Syafii 2/207, karya Imam Al-Baihaqi)
Imam Asy-Syafii rohimahulloh berkata: “Tidaklah ada seorang yang berteman dengan orang-orang sufi selama 40 (empat puluh) hari, kemudian akalnya akan kembali selama-lamanya.”
Dan beliau membacakan syair:
Tinggalkan orang-orang yang bila datang kepadamu menampakkan ibadah
Namun jika bersendirian, mereka serigala buas (Talbis Iblis hal. 371)
Imam Asy-Syafii juga berkata: “Dasar landasan tasawwuf adalah kemalasan.” (Al-Hilyah 9/136-137)
Kenyataan sufiyah menjadi saksi apa yang dikatakan Imam Asy-Syafii bahwa dasar landasan mereka adalah malas. Mereka adalah orang yang paling rajin dalam menunaikan bid’ah dan penyelisihan syariat. Dan mereka juga orang yang paling sangat malas dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menghidupkan sunnah-sunnah nabi (tuntunan-tuntunan nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai tambahan suatu waktu Imam Waki’ (salah satu guru Imam Asy-Syafii) berkata kepada Sufyan bin ‘Ashim: “Kenapa engkau meninggalkan hadits Hisyam?” Sufyan bin Ashim menjawab: “Aku berteman dengan satu kaum dari sufiyyah, dan aku merasa kagum dengan mereka, kemudian mereka berkata: ‘Jika kamu tidak menghapus hadits Hisyam, kami akan berpisah denganmu’.” Maka Imam Waki’ berkata: “Sesungguhnya ada kedunguan pada mereka.” (Talbis Iblis hal 371-372)

Sabtu, 10 November 2012

Sufi bukan Bagian dari Islam karna Sufi sama seperti Syiah




Tasawuf merupakan gerakan berpola pikir filsafat klasik yang mengekor kepada para filosof dan ahli syair Romawi, India dan Persia. Namun, dalam hal ini, kita akan membatasi kajian masalah sufi dengan berkedok Islam.
Kedok Islam ini dikenakan sebagai upaya menutupi hakikatnya. Maka barangsiapa yang meneliti dan mengamati gerak-geriknya, niscaya akan berkesimpulan, bahwa sufi bukan Islam. Baik menyangkut aqidah, prilaku dan pendidikan.

MENGENAL BEBERAPA KEYAKINAN SUFI
Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf, yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim. Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang yang memperbaharui agama-Nya.
Yakni, dengan membersihkan Islam dari bermacam aqidah dan filsafat yang mengalir dalam benak manusia akibat pengaruh pola pikir keberhalaan. Maka, diungkaplah borok-borok mereka, dipilah perkataan mereka serta diterangkan kebohongannya. Metoda merekapun dibuyarkan dengan menelaah kitab-kitab induk sufi. Berikut secara ringkas ditampilkan keyakinan-keyakinan mereka.

ILMU LADUNI
Istilah ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala tentang nabi Khidir:
"wa 'allamnaahu min Ladunnaa 'ilmaan" Artinya :...Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.". [Al-Kahfi : 65].
Yang dimaksud dengan ayat diatas, menurut mereka, adalah disingkapnya alam ghaib bagi mereka. Caranya, dengan kasyaf (penyingkapan), tajliyat (penampakan) serta melakukan kontak langsung dengan Allah dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka berdalil dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengganjari kepada kalian semua". [Al-Baqarah : 282].
Pemikiran ilmu laduni dipelopori oleh Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H), seorang penganut Syi'ah yang mahir ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah. Orang-orang sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting itu, diantaranya :
[1] Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar'i. Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi, "Yang paling aku sukai pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut : mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. Karena hal itu hanya akan menyita perhatiannya".
Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani, "Jika seseorang menimba ilmu (hadits), bepergian untuk mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah condong kepada dunia."
[2] Menghancurkan sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha'if (lemah), munkar dan maudhu' (palsu) dengan cara kasyaf. Sebagaimana dikatakan Abu Yazid Al-Busthami, "Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati.
Hal itu seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami : "Telah mengabarkan pada aku hatiku dari Rabbku". Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu Al-hadits) mengatakan : "Telah mengabarkan kepada kami Fulan". Padahal, bila ditanya dimana dia (si Fulan tersebut) ?.
Tentu akan dijawab : "Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah meninggal". "(Kemudian) dari Fulan (lagi)". Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : "Ia telah meninggal". Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi, "Ulama Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat.
Itulah yang menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para wali mengambil ilmu dari Allah (secara langsung). Yakni, dengan cara Ia (Allah) mengilhamkan kedalam hati para wali". Dikatakan oleh Asy-Sya'rani, "Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama ilmu hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf".
[3] Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan menuju kemaksiatan serta kesalahan. Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat seorang murid membawa papan tulis (baca : buku), maka dikatakannya kepada murid tersebut :"Sembunyikan auratmu". Bahkan, mereka saling mewariskan sebagian pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan salaf, umpanya : Barang siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih banyak dari benarnya.

Sanggahan Terhadap Pernyataan-Pernyataan Sebagaimana Diungkap Diatas :
Pertama: Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma' para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.
Padahal Allah telah menjadikan masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj yang berbeda-beda. Dan peristiwa yang demikian itu, berulang kali terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi. Seperti, sezamannya nabi Luth denga nabi Ibrahim, nabi Yahya dengan nabi Isa.
Sesungguhnya para nabi tersebut dibangkitkan untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad shalallallahu 'alaihi wa sallam dibangkitkan untuk seluruh manusia hingga hari kiamat. Telah bersabda Shallallahu 'alaihi wa sallam. Artinya: "Adalah para nabi diutus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim].
Artinya: "Tidak seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi atau Nashrani, kemudian tidak beriman kepadaku, melainkan akan dimasukkan ke neraka" [Hadits Shahih Riwayat Muslim I/93]
Aqidah semacam ini merupakan asasnya Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Artinya: "Tidaklah engkau Kami utus kecuali untuk seluruh manusia, sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan". [Saba' : 28]
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Artinya: "Katakanlah, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua". [Al-A'raf : 157]
Dan siapa saja yang 'alim, baik jin maupun manusia, diperintahkan untuk mengikuti rasul yang ummi ini. Maka barangsiapa yang mengaku bahwa dengan kemampuannya dapat keluar dari minhaj dan petunjuk nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ke minhaj lainnya, walaupun minhaj Isa, Musa, Ibrahim, maka dia sesat dan menyesatkan. Telah bersabda Shalallahu 'alaihi wa sallam. Artinya: "Seandainya Musa turun, lalu kalian semua mengikutinya dan meninggalkan aku, maka sungguh sesatlah kalian. Aku adalah bagian kalian, dan kalian adalah bagian dari umat-umat yang ada". [Riwayat Baihaqi dalam Syu'abu al-Iman, dan lihat pula dalam Irwa'al-Ghalil karangan Al-Bani hal. 1588]
Adapun keyakinan orang-orang sufi bahwa nabi Khidir masih tetap hidup, selalu berhubungan dengan mereka, mengajarkan kepada mereka ilmu yang diajarkan Allah kepadanya, seperti nama-nama Allah yang Agung, hal ini merupakan dusta dan mengada-ada. Karena menyelesihi Al-Qur'an secara nyata: Artinya: "Dan tidaklah kami jadikan seorang manusiapun sebelummu abadi". [Al-Anbiya' : 34] Artinya: "Tidak ada satu jiwapun yang bernafas pada hari ini yang datang dari zaman seratus tahun sebelumnya, sedangkan dia saat sekarang ini masih hidup". [Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Jabir]
Hadits-hadits yang menerangkan masih hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu' (palsu) menurut kesepakatan seluruh ulama hadits.
Kedua: Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Artinya: "Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)". [Al-Baqarah : 282]
Hal itu bukanlah hujjah, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan pemahaman ayat ini dan telah menentukan cara mencari ilmu yang disyari'atkan dan diwajibkan atas setiap muslim. Seperti sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Artinya: "Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan cara belajar". [Hadits Riwayat Daruquthni dalam Al-Ifrad wa al-Khatib dalam tarikhnya dari Abu Hurairah dan Abu Darda'. Lihat Silsilah Ash-Shahihah 342]
Kata innama (sesungguhnya) disini adalah untuk membatasi.
Ketiga: Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan ilham.
Berkenan dengan ilmu itu sendiri, termasuk tentunya dalam pengamalannya. Bahkan sebatas mencari ilmu semata. Berkata Ibnu Al-Jauzi, "Iblis menginginkan untuk menutup jalan tersebut dengan cara yang paling samar. Memang jelas bahwa yang dimaksud adalah mengamalkannya bukan sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam hal ini para penipu itu telah menyembunyikan masalah pengamalannya. Dan tidaklah kasyaf yang mereka dakwakan itu, kecuali hanya khayalan setan belaka.
Artinya: "Maukah Aku khabarkan kepada kalian tentang kepada siapa setan turun ? (Setan) turun kepada setiap pendusta dan suka berbuat dosa. Mereka menghadapkan pendengarannya itu (kepada setan), dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta". [Asy-Syu'ara : 221-223]
Artinya: "Tidaklah kamu melihat bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang kafir untuk menghusung mereka agar berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh ? Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksaan bagi mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung (hari siksaan) itu untuk mereka dengan perhitungan yang teliti. Ingat ketika hari Kami mengumpulkan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat. Dan kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga". [Maryam : 83-86]
Adapun pengakuan mereka, seperti pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa kasyaf merupakan bagian dari iman yang benar. Dan maksud kasyaf adalah disingkapkannya sebagian yang tersembunyi, dan tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat serta kelemahan sebagian manusia. Kasyaf semacam inilah yang disebutkan dalam hadits syarif sebagai firasat seorang yang beriman. [11] Jadi bila ada perkataan mereka semacam ini : "Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Rabb-ku" tidak lain adalah perkataan khurafat.
Keempat: Sebagian mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu. Seperti, kata Ibnu Arabi, "Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi. Aku melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq. Saat itu di tangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa kitab.
Maka sabdanya kepadaku, 'Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam'. Ajarkan dan sebarkan kepada manusia agar bisa memetik manfa'at darinya. Kemudian aku katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil amri diantara kita sebagaimana yang engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan cita-cita dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan kitab ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. tanpa mengurangi dan menambahinya".

Bantahan Terhadap Pendapat Diatas Adalah Sebagai Berikut:
[1] Para Rasul tidak memerintahkan kemaksiatan apalagi kekufuran, seperti yang memenuhi kitab Fushush Al-Hikam. Seperti, mengkafirkan nabi Allah, Nuh (hal. 70-72), meyakini bahwa Fir'aun itu telah beriman (hal. 21), membenarkan pendirian Samiri dan perbuatannya dalam membuat patung (yang menimbulkan fitnah di kalangan bani Israil) hingga mengibadahinya (hal. 188).
[2] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyuruh menyelisihi syari'at. Sesungguhnya, ada yang mengatakan bahwa setan menampakkan diri dalam bentuk nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di hadapan Ibnu Arabi. Padahal mustahil hal itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi) telah tertipu dan terperdaya.
Walau ia mengatakan yang demikian itu dengan niat baik dan prasangka bersih. Tetapi yang demikian itu mustahil, karena setan tidak akan mampu menyerupai nabi. Maka, bagaimana hal itu bisa terjadi padahal Nabi yang ma'shum Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: Artinya : Barangsiapa yang melihatku (dalam mimpinya) maka sesungguhnya akulah dia. Karena "sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku". [Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah, mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya Shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Lihat Shahih Al-Jami' dan ziyadahnya V/293]

 
Back To Top