Rabu, 30 Juli 2014

Menyingkap Keabsahan Halal Bihalal


Pengertian Halal Bihalal dan Sejarahnya
Secara bahasa, halal bihalal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Makkah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia -dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya ‘halal?’ saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jamaah haji biasa bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan / minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang ‘made in Indonesia’. Kata halal bihalal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia.” [1]
Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bihalal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan salat Idul Fitri. [2] Kadang-kadang, acara halal bihalal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Konon, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sambernyawa’. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama. [3]
Halal bihalal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal-bihalal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia. [4] Namun, dalam kaca mata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan; karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru mengurangi kesempurnannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bihalal menurut pandangan syariah.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal bihalal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fitri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.
Hari raya dalam Islam harus berlandaskan dalil (tauqifiy)
Hukum asal dalam bab ibadah adalah bahwa semua ibadah haram sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab mu’amalah. Tapi masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifiy (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Asy-Syathibi mengatakan:
“Dan sungguh adat istiadat dari sisi ia adat, tidak ada bid’ah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya.” [5]
Dan tauqifiy dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi:
1.   Tauqifiy dari sisi landasan penyelenggaraan, di mana Nabi -shallallah ‘alaih wasallam- membatasi hanya ada dua hari raya dalam satu tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu.
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah -shallallah ‘alaih wasallam- datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya: “Apakah dua hari ini?” Mereka menjawab: “Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa Jahiliyah.” Beliaupun bersabda: “Sungguh Allah telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud no. 1134, dihukumi shahih oleh al-Albani) [6] Maka, sebagai bentuk pengalaman dari hadits ini, pada zaman Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- dan generasi awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7], berbeda dengan umat Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki landasan syar’i.
2.   Tauqifiy dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan minum, berpakaian, bermain dan bergembira juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariah. [8]

Pengkhususan Membutuhkan Dalil
Di satu sisi Islam telah menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan ‘id, seperti bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan. Syariah Islam merujuk perkara ini kepada adat dan tradisi masing-masing.
Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu ditekankan agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya, sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak ada dasarnya dalam Islam. [9]
Namun mengkhususkan hari Idul Fitri dengan bermaaf-maafan membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil.
Nabi -shallallah ‘alaih wasallam- dan para sahabat tidak pernah melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat utnuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain. Tapi hal itu tidak lantas membuat mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan.
Jadi, mengkhususkan Idul Fitri untuk bermaaf-maafan adalan penambahan syariah baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaannya pada masa Rasulullah -shallallah ‘alaih wasallam- sudah ada jika itu maslahat (kebaikan), dan beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan.” [10]

Serupa dengan bersalam-salaman setelah shalat dan mengkhususkan ziarah kubur di hari raya
Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas secara khusus tentang halal bihalal. Namun ada masalah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan halal bihalal dan sudah banyak dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah shalat dan pengkhususan ziarah kubur di hari raya.
Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
Dari al-Bara’ (bin ‘Azib) ia berkata: Rasulullah -shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah.” (HR. Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727, dihukumi shahih oleh al-Albani) [11]
Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat, hukumnya berubah; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariah baru dalam agama. Di samping itu, bersalama-salaman setelah shalat juga membuat orang tersibukkan dari amalan sunnah setelah shalat yaitu dzikir. [12]
Ibnu Taimiyyah ditanya tentang masalah ini, maka beliau menjawab: “Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah bid’ah, wallahu a’lam”. [13]
Lebih jelas lagi, para ulama menghitung pengkhususan ziarah kubur di hari raya termasuk bid’ah,[14] padahal ziarah kubur juga merupakan amalan yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan dalam hadits berikut:
Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata: Rasulullah -shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah; karena ia mengingatkan akhirat.” (HR Ashhabus Sunan, dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang dihukumi shahih oleh Syu’aib al-Arnauth)
Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari ajaran Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang terus menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya berubah menjadi tercela. Wallahu a’lam.

Beberapa Pelanggaran Syariah Dalam Halal Bihalal
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bihalal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariah, di antaranya:
1.   Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fitri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal “urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran”. Dan jadilah “mohon maaf lahir batin” ucapan yang “wajib” pada hari Raya Idul Fitri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut:
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah -shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. al-Bukhari nomor 6.169)
2.   Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi -shallallah ‘alaih wasallam- melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut:
Dari Abu Usaid al-Anshari ia mendengar Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita: “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya.” Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking lekatnya mereka kepadanya”. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani) [15]
3.   Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam halal bihalalatau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadits berikut:
Dari Ma’qil bin Yasar ia berkata: Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani) [16]
Al-Albani berkata: “Ancaman keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Di dalamnya terkandung dalil haramnya menjabat tangan wanita, karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama.” [17]

Penutup
Dari paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa yang dipermasalahkan dalam halal bihalal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya. Pengkhususan ini adalah penambahan syariah baru yang tidak memiliki landasan dalil. Jadi seandainya perkumpulan-perkumpulan yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fitri kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan yang diperbolehkan; karena merupakan ekspresi kegembiraan yang disyariatkan Islam di hari raya, dan batasannya merujuk ke adat dan tradisi masyarakat setempat. Tentunya jika terlepas dari pelanggaran-pelanggaran syariah, antara lain yang sudah kita sebutkan di atas. Selain di Indonesia, pertemuan yang umum disebutmu’ayadah (saling mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada di belahan dunia Islam lain tanpa pengingkaran dari ulama.
Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok tidak boleh!“, ingatlah bahwa Nabi -shallallah ‘alaih wasallam- menyebut setiap perkara baru dalam agama sebagai syarrul umuur (seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana kita bisa meremehkannya? Setiap muslim harus berhati-hati dengan perkara-perkara baru yang muncul belakangan. Amalkanlah sunnah dan Islam yang murni, karena itulah wasiyat Nabi tercinta -shallallah ‘alaih wasallam-.Wallahu a’lam.

[5] Al-I’tisham, 2/98
[6] Shahih Sunan Abi Dawud, 4/297
[7] Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, 1/499
[8] Mi’yarul Bid’ah hal. 262
[9] Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, 2/6
[10] Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, 2/101
[11] As-Silsilah ash-Shahihah, 2/24 no. 525
[12] Fatawa Syaikh Abdullah bin ‘Aqiel, 1/141.
[13] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 23/339
[14] Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, hal. 247
[15] As-Silsilah ash-Shahihah, 2/355 no. 856
[16] Ghayatul Maram, 1/137
[17] Majmu’ Fatawa al-Albani, 1/220 (asy-Syamilah)

Minggu, 27 Juli 2014

Asal Muasal kalimat ‘Minal 'Aidzin Wal Faizin’


Frasa yang akan banyak diucapkan orang di hari berbuka (baca: ‘iedul fitri) adalah “Minal Aidin Wal Faizin”.
Seringkali frasa berbahasa Arab ini diikuti dengan frasa berbahasa Indonesia : maaf lahir dan batin. Orang mengucapkan dua frasa ini biasanya sambil menyorongkan tangan untuk bersalaman.
SMS pun akan banyak mengutip frasa ini. Bahkan iklan di media cetak dan televisi juga menampilkan rangkaian kata ini. Seringkali pula tulisan berhuruf latin ini dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai kaligrafi huruf Arab.
Tapi, tahukah kita bahwa frasa “Minal Aidin Wal Faizin” itu Tidak Dikenal dalam budaya Arab (terlebih lagi dalam islam)?
Dalam buku berjudul “Bahasa !” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin “berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.” Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam lema kata per kata.
Lalu, apa arti Minal Aidin Wal Faizin ?
Terjemahan frasa ini adalah : dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Mungkin maksud lengkapnya adalah: ”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).”
Ternyata, adalah suatu kesalahan besar jika kita mengartikan Minal Aidin Wal Faizin dengan “Mohon Maaf Lahir Dan Bathin”.
Hmmmm...
Sekarang mari kita garis bawahi “Mohon Maaf Lahir dan Bathin” ini. Seolah-olah saat Idhul Fithri hanya khusus dengan ucapan semacam itu. Sungguh sebuah salah kaprah, karena Idhul Fithri bukanlah waktu khusus untuk saling maaf memaafkan. Memaafkan bisa kapan saja tidak terpaku dihari Idhul Fitri. Demikian Rasul mengajarkan kita. 
Tidak ada satu ayat Qur'an ataupun suatu Hadist yang menunjukan adanya pengucapan “Mohon Maaf Lahir dan Batin” disaat-saat Idhul Fitri.
Balik lagi ke "Minal 'Aidin Wal Faizin". Arti dari ucapan tersebut adalah :
“Dari orang yang kembali dan meraih kemenangan”
Kita Mau Kembali Kemana ? Apa pada ketaatan atau kemaksiatan ?
Meraih kemenangan ? Kemenangan apa ? Apakah kita menang melawan bulan Ramadhan sehingga kita bisa kembali berbuat keburukan ?
Satu hal lagi yang mesti dipahami, setiap kali ada yang mengucapkan: “Minal ‘Aidin wal Faizin” lantas diikuti dengan kalimat “Mohon Maaf Lahir dan Batin”. 
Karena mungkin kita mengira artinya adalah kalimat selanjutnya.
Ini sungguh KELIRU LUAR BIASA.
Coba saja sampaikan kalimat itu pada saudara-saudara seiman kita di Pakistan, Turki, Saudi Arabia atau negara-negara lain (selain nusantara)....PASTI PADA BINGUNG!. 
Ucapan yang lebih baik dan dicontohkan langsung oleh para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu :
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha), satu sama lain saling mengucapkan ;
Taqobbalallahu minnaa wa minkum (Semoga Alloh menerima amalku dan amal kalian).” [Fathul Bari 2/446, Ibnu Hajar Asqalaniy, dan Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259)]
Jadi lebih baik, mengucapkan:
"Selamat Hari Raya Idhul Fitri, Taqobbal Allahu minna wa minkum" (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian)
Semoga risalah ini bermanfaat dan saling berbagi niat untuk meluruskan kekeliruan yang selama ini terjadi.
Semoga Allah Azza wa jalla selalu memberikan rahmat, hidayah dan taufiqnya.
Aamiin.
Semoga bermanfaat.


Penulis Akhi Novy Rostian (di kutib dari catatan akhi Sugeng Purnomo)

Minggu, 20 Juli 2014

Relakah Dirimu Menjadi Hiasan Syaitan Di Dunia Nyata dan Dunia Maya


Adalah hal yang wajar apabila seorang wanita ingin terlihat cantik, asalkan ditujukan untuk suaminya sendiri. Lalu bagaimana halnya kalau ada wanita yang ingin terlihat cantik dengan jilbabnya tapi bukan untuk dilihat suaminya?

ATAU PASANG PHOTO DI FB AGAR SEMUA MATA MEMANDANGINYA ?

Duhai wanita muslimah yang merindukan Jannah, wanita macam apakah yang ingin selalu tampil cantik tapi bukan untuk suaminya?
Siapakah yang telah meracunimu sedemikian rupa?
Apakah dirimu rela menjadi hiasan syaitan?
Sungguh menyedihkan, sungguh memprihatinkan. Ingin menitik rasanya air mata ini menyaksikan polah tingkah wanita muslimah yang "berjilbab", tetapi tidak memahami hikmah dari disyari'atkannya jilbab bagi mereka.
Dengan "sepotong" kain yang hanya menutupi rambutnya, mereka katakan telah berjilbab. Dengan "selembar" kain yang diikat-ikatkan ke lehernya, mereka katakan telah berjilbab. Yang lebih menyedihkan lagi, mereka mengenakan celana jeans ketat agar dikatakan sebagai wanita muslimah yang dinamis. Bahkan berdandan menor agar terlihat cantik sehingga rela menjadi santapan mata para lelaki hidung belang. Allahul Musta'an.
Duhai wanita muslimah, saudariku fillah. Janganlah kau jadikan dirimu sebagai fitnah bagi laki-laki yang beriman, meskipun kau katakan tidak berniat seperti itu. Janganlah kau jadikan dirimu hiasan syaitan. Ketahuilah, bahwa para wanita shalihah yang merindukan Jannah tidak akan pernah rela menjadikan dirinya TONTONAN bagi kaum laki-laki yang bukan mahramnya. Para wanita yang beriman kepada hari akhir, tidak akan TEGA membuat laki-laki yang beriman terfitnah oleh dirinya. Maka janganlah kau jadikan dirimu sebagai SUMBER FITNAH.
Bukankah kehancuran Bani Israil -bangsa yang terlaknat- berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan. (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap Dunia dan Wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil Dari Kaum Wanita. (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku Yang Lebih Berbahaya Terhadap Kaum Lelaki Dari Fitnah (Godaan) Wanita. (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
“Wanita itu aurat, maka Bila Ia Keluar Rumah, Syaitan Menghiasnya (dalam pandangan pria sehingga terjadilah fitnah).”
(Dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3109, dan Al-Irwa’ no. 273. Dishahihkan pula oleh Al-Imam Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi'i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)
Sungguh, fitnah wanita termasuk cobaan terbesar dan paling mengerikan bagi kaum Adam. Karena wanita, dua orang laki-laki berkelahi. Lantaran wanita, dua kubu saling bermusuhan dan saling serang. Oleh sebab wanita, darah begitu murah dan mudah diguyurkan. Karena wanita, seseorang dapat terjatuh ke dalam jurang kemaksiatan. Bahkan, karena wanita, si cerdas yang baik dapat berubah menjadi dungu dan liar.
Jarir bin ‘Athiyyah al-Khathafi bersenandung:
Sesungguhnya indahnya mata-mata hitam wanita jelita
Telah membunuh kita dan tiada lagi menghidupkannya
Mereka pun taklukkan si cerdas hingga tiada berdaya
Sedang mereka manusia paling lemah dari ciptaan-Nya
Duhai wanita muslimah, saudariku fillah. Simaklah baik-baik firman Allah Ta'ala berikut ini, semoga Allah Ta'ala menjauhkan dirimu dari perbuatan "ingin terlihat cantik" kepada selain suami:
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)
“Apabila kalian meminta sesuatu keperluan kepada mereka maka mintalah dari balik hijab atau tabir, yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
Sungguh kusampaikan nasihat ini kepadamu, saudariku fillah, agar dirimu tidak temasuk orang-orang yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala berikut ini:
"Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman." (Al-Baqarah: 8)
Modal mereka hanyalah makar dan tipu daya semata. Materi yang mereka miliki hanya dusta dan kebohongan belaka. Mereka memiliki otak materialis untuk sekedar memuaskan semua pihak, kaum mukminin dan orang-orang kafir, sehingga bisa aman berada di antara golongan mana pun. Allah Ta'ala berfirman:
"Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Pada Hal Mereka Hanya Menipu Dirinya Sendiri Sedang Mereka Tidak Sadar." (Al-Baqarah: 9)
Hati mereka sudah dipenuhi oleh penyakit syubhat dan syahwat, sehingga membinasakannya. Tujuan-tujuan buruk telah menguasai keinginan dan niat mereka sehingga merusaknya. Kerusakan mereka telah menghantarkan kepada kebinasaan sehingga para dokter yang ahli pun tidak mampu mengobatinya. Firman Allah Ta'ala:
"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta." (Al-Baqarah: 10)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Setiap anak Adam itu pasti bersalah (pernah berbuat salah). Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat (kepada Allah)." (Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selain keduanya)
Allah Ta'ala berfirman:
"Mereka yang mendengarkan perkataan, lalu mereka mengikuti dengan sebaik-baiknya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang menggunakan akal." (Az Zumar: 18)
"Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)." (An Nisaa': 27)
Semoga bermanfaat....


Saya kutib dari catatan akhi Abu Muhammad Herman

Sabtu, 19 Juli 2014

5 Hal yang Tidak Boleh Diucapkan Orangtua Kepada Anak


Bukan rahasia lagi, orangtua harus memperhatikan cara mereka berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Apa yang kita katakan -dan cara kita mengatakannya- adalah masalah penting. Cara komunikasi orangtua akan memberi dampak pada hubungan orangtua-anak dalam jangka panjang.
Kalimat sederhana yang keluar dari mulut orangtua saat sedang frustrasi dapat berdampak besar.
"Kata-kata bisa menyakitkan dan tidak bisa ditarik ulang, jadi berhati-hatilah," ujar Debbie Pincus, seorang terapis, pembimbing orangtua dan penulis "The Calm Parent: AM & PM".
"Kita manusia. Kehidupan kita gila-gilaan dan kadang kita tidak memberikan waktu beristirahat dan berpikir kepada diri sendiri," ujar Pincus. “Hanya berhati-hatilah dan bertanggung jawab, dengan siapa pun kita berbicara."

Berikut ini lima hal yang tidak boleh diucapkan orangtua kepada anak mereka.
" Aku Tidak Peduli "Anak kecil senang bercerita tentang segala sesuatu. Tentang pembicaraan mereka dengan teman-temannya, bentuk awan yang mereka rasa mirip dengan ular laut, alasan mereka menekan seluruh isi pasta gigi ke dalam bak mandi. 
Tetapi terkadang orangtua tidak ingin mendengarkan mereka. Jangan pernah mengatakan Anda tidak peduli dengan cerita mereka. Itu akan membuat anak-anak merasa tidak penting dan menghilangkan rasa percaya.
Saran : Beritahulah anak Anda bahwa masalah itu bisa dibahas di lain waktu, ketika Anda dapat fokus pada pembicaraan sang anak. Tetapi jangan ingkar janji. Jangan lupa membahas.

“ Kamukan Sudah Besar! " Putri Anda berusia 7 tahun tapi masih bertingkah selayaknya anak umur 3. Jangan pernah menyalahkan tingkahnya sembari mengatakan “Kamu kan sudah besar!” Ini akan membuat anak-anak merasa dikritik padahal mereka bisa saja sedang punya masalah dan butuh bantuan untuk menyelesaikannya.
Saran : “Ketika Anda hendak bereaksi, ambillah jeda waktu sebentar,” kata Pincus. Pikirkan matang-matang dampak perkataan Anda, jadi bukan asal reaksi spontan. Jeda membantu menurunkan adrenalin sehingga otak bisa berpikir tanpa emosi.

" Minta Maaf " Anak Anda merebut mainan temannya dan membuatnya menangis. Anda langsung memerintahkan sang anak untuk meminta maaf atas tindakannya. Anda memang bermaksud mulia, tetapi memaksa anak untuk meminta maaf tidak mengajari mereka kemampuan sosial, kata Bill Corbett, penulis buku dan pendidik.
Anak kecil tidak dapat langsung mengerti kenapa mereka harus meminta maaf. Bila selalu disuruh, mereka bisa saja makin lambat memahami alasan meminta maaf bila telah melakukan tindakan buruk
Saran : Anda meminta maaf kepada anak kecil yang dibuat menangis oleh anak Anda, sehingga pada saat bersamaan Anda memberi dia contoh bagus kelakuan yang ingin ditanamkan.

" Masak Nggak Bisa Juga? " Anda mengajari anak menangkap bola lima kali berturut-turut, dan dia belum mahir juga. Atau, ketika belajar soal matematika, dia tak kunjug paham. Anda pun langsung bertanya “Masak nggak bisa juga?” Komentar ini akan menjatuhkan mental mereka.
Sebab, sebagaimana dikatakan pakar pembelajaran Jill Laurean, anak-anak akan menangkap pertanyaan itu dengan berbeda. Mereka akan mengira Anda bertanya “Kenapa nggak bisa juga? Apa yang salah dengan kamu sehingga nggak bisa?”
Saran: Ambil waktu istirahat. Jika Anda sudah tidak tahu cara lain mengajari anak mengenai sesuatu, berhentilah. Lanjutkan pelajaran ketika Anda sudah siap untuk mencobanya lagi, mungkin setelah mencari pendekatan lain untuk mengajar apa pun yang sedang dipelajari anakmu.

" Ditinggal Ya! " Anak Anda menolak meninggalkan toko mainan atau taman, sementara Anda telat janjian. Jadi Anda memberikan ultimatum untuk menakut-nakuti dia: "Ditinggal ya!" Untuk anak yang masih kecil, ketakutan ditinggalkan orangtua adalah sesuatu yang sangat nyata. Tapi apa yang terjadi saat ancaman tidak berhasil? Anak dengan cepat belajar kalau ayah atau ibu memberikan ancaman kosong. 
Saran : Jangan bilang kepada anak bahwa Anda akan meninggalkan mereka. Sebaiknya, bikin rencana perjalanan (dari toko mainan ke tempat selanjutnya) sebelum berangkat dari rumah.


Saya kutib dari catatan Ustadz Doni Arif Wibowo

Senin, 14 Juli 2014

Wahabi, Mohammad Natsir dan Indonesia


Sejak dulu sampai masa kampanye Pilpres 2014 di Negeri kita tak jemu-jemunya mengangkat tema lama yaitu Wahabi. Spanduk salah satu Capres dengan bunyi “Menolak Ajaran Wahabi, Menjaga Tradisi” terpampang mesra disudut kota. Wahabi seolah seperti hantu yang menakutkan. Di Negeri ini Wahabi diidentikkan dengan Islam Garis Keras yang suka memaksakan kehendaknya, gemar menyesatkan sesama muslim dengan cap ahli bid'ah, takfiri dan tuduhan lainnya. Seolah-olah kaum Wahabi ini tidak layak tinggal di Republik Indonesia yang kita cintai. Padahal ajaran Wahabisme atau yang sering disebut Salafisme/ Salafi-Wahabi tidak lain hanya ingin mengajarkan semangat Purifikasi Agama. Mengajarkan Tauhid yang lurus yang menghindarkan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk.
Barangkali kita lupa akan sejarah Bangsa, atau kita yang malas membaca. Kaum Wahabi ikut serta dalam memerdekakan Bangsa ini dari Penjajahan Kolonial Belanda, baik jaman pra-kemerdekaan maupun pasca-kemerdekaan. Tidak usahlah kita sebut siapa-siapanya, karena buku-buku sejarah sudah menuliskannya. Tinggal kita mau membacanya atau tidak.
Saya hanya ingin sedikit bercerita, tentang sosok Pahlawan Bangsa yang terkenal dengan Mosi Integralnya yang berhasil menyatukan kembali keseluruhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah dipecah belah oleh Belanda. Beliau adalah Mohammad Natsir -rahimahullahu ta'ala rahmatan wasi'atan-, Natsir muda belajar Agama kepada Ustadz A. Hassan -rahimahullahu ta'ala rahmatan wasi'atan- salah satu Ulama' Reformis di Indonesia. Pemikiran dan ajaran keislaman A. Hassan tertancap kuat didada Natsir. A. Hassan yang lancar berbahasa Arab dan Inggris itu, bersama para pendiri Persis, memang memelopori pendekatan baru dalam Agama. Dia melarang taqlid (membebek) pada pendapat Ulama', menghilangkan batas-batas madzab yang membelenggu dan juga banyak mengkritik kaum 'Alawiyyin yang selalu meminta kedudukan lebih tinggi dalam urusan Agama. Ajaran-ajaran A. Hassan ini sangat mencerahkan bagi Natsir, sampai-sampai beliau memutuskan untuk melempar kuliah hukum. Padahal menjadi ahli hukum adalah cita-cita Natsir. Saking kuatnya pengaruh A. Hassan dalam diri Natsir, beliau tuangkan dalam salah satu surat kepada anaknya, “Percakapan dan pertukar pikiran dengan Tuan A. Hassan itu banyak sekali pengaruhnya bagi jiwa dan arah hidup Abah selanjutnya. Sudah tentu yang dibicarakan soal agama. Dicampur dengan soal politik, soal pergerakan kemerdekaan.”
Kita bisa simpulkan bahwa ajaran Guru Agama Natsir ini dalam kacamata lawan-lawan politiknya pasti akan disebut ajaran Wahabi. Namun, apakah beliau mengajarkan pengrusakan dan pemecah belah persatuan ummat dan bangsa? Tentu tidak, beliau hanya mengajarkan pentingnya ummat akan kesadaran kembali kepada ajaran Islam yang murni yang bebas dari Takhayul, Bid'ah dan Khurafat.
Semangat pembelaan Natsir terhadap ajaran Islam salah satunya lewat tulisan. Beliau menggagas Madjallah Comitte "Pembela Islam". Natsir bahkan sempat mengkritik dengan keras kaum bid'ah dalam pergerakan. Menurut dia, kaum bid'ah adalah mereka yang suka mengadakan kegiatan maulud, pesta besar khatam Qur'an anak-anaknya, dan pesta perkawinan yang berlebihan. Natsir menganggap kaum bid'ah banyak bergabung dalam Partai Syarekat Islam Indonesia. Dalam tulisan di Pembela Islam edisi 62 misalnya: “kalaoe pergerakan politiek Islam membenarkan kaoem ahli bid'ah masuk djadi anggotanja, apakah beda pergerakan politik Islam ini dengan partij politik jang berasas kebangsaan jang menerima anggotanja dari orang-orang Islam tjap 'hanja bibir'?”
Itu semua merupakan secuil dari salah satu kisah kaum Islamiyyin pemersatu bangsa. Menyebut bid'ah terhadap sebuah amalan dan menyebut ahli bid'ah secara umum sudah mereka lakukan hampir satu abad yang lalu sebagai bentuk kritik dan pembelaan terhadap Islam. Oleh karena itu, tidak usahlah kita alergi dengan istilah bid'ah dan ahli bid'ah, yang ujung-ujungnya akan ditelikung ke isu Wahabi pemecah belah ummat dan bangsa. Bagi yang gemar mencap bahwa ajaran Purifikasi (Wahabi) adalah pemecah belah ummat dan bangsa silakan baca sejarah Mosi Integral dari seorang Natsir, yang corak keislamannya moderat sekaligus puritan yang identik dengan Wahabisme. Beliaulah yang menggagas bersatunya kembali wilayah-wilayah Republik setelah dipecah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan dalam sidang bersama parlemen dan senat Republik Indonesia Serikat. Dua hari kemudian, saat perayaan ulang tahun kelima proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Momen bersejarah itu dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia. Dan Mohammad Natsir patut dicatut sebagai sang arsitek utama.
Jikalau yang dimaksud Wahabi itu adalah sebuah manifestasi gerakan keislaman dengan semangat pembaharuan dan melawan segala jenis bid'ah dan macam-macamnya, dan corak keislaman Mohammad Natsir adalah demikian. Maka, kesimpulannya Wahabi adalah sebagai Pemersatu Republik. Titik.
Untuk lebih memuaskan kita tentang permasalahan dan pembahasan bid'ah, mari kita sama-sama mencari dan membaca tulisan Prof. Tengku Hasbi Ash Shiddiqie tentang macam-macam bid'ah dan pembahasannya yang ditulis sekitar tahun 1939. Juga buku yang ditulis KH. Moenawar Chalil berjudul Kembali Kepada Al Qur-an dan As-Sunnah yang terbit pertama kali sekitar tahun 1956. Juga buku-buku dan tulisan Buya Hamka dan A. Hassan. Ingat kata Bung Karno, "Jasmerah!"


Saya kutib dari tulisan Ustadz Muhammad Fikri Hidayatullah

 
Back To Top