Jumat, 30 Agustus 2013

Berhati-Hatilah Dalam Menyampaikan Hadits


Hadits ancaman berdusta atas nama Rasulullah merupakan hadits yang mutawatir yang diriwayatkan oleh puluhan sahabat, bila dicari di kutubus-sab’ah (Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmidzi & Abu Dawud) -belum di kitab-kitab hadits lain- ditemukan puluhan hadits dengan lafadz "man kadzaba alaiyya" (barangsiapa yang berdusta atas namaku). Beberapa lafadz hadits ancaman berdusta atas nama Nabi diantaranya :
“Barangsiapa berdusta terhadapku, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 1291, Muslim no. 3, Abu Dawud 3651, Ibnu Majah no. 30, 33, 36, 37, at-Tirmidzi 2659, 3715, Ahmad no. 584, 1075, 1413, 2675, 2974, dst)
"Barangsiapa berkata tentangku yang tidak pernah aku katakan, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka." (HR. Bukhari no. 109, dari Salamah al-Akwa radhiyallahu 'anhu, lihat juga di Ahmad no. 469, 6478, 8266) 
"Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan (yakni berdosa), dan barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka" (HR. Bukhari no. 3461, Ahmad no. 6486, 6888, 7006, at-Tirmidzi no. 2669 ; dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma)
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.”  (HR. Bukhari no. 1291, Muslim no. 4, Ahmad no. 18140, 18202, dari Mughiran bin Syu’bah radhiyallahu anhu)
"Akan ada orang-orang pada akhir umatku menceritakan sebuah hadits kepada kalian yang mana kalian belum pernah mendengarnya dan tidak pula bapak kalian. Maka kalian jauhilah dan mereka jauhilah." (HR. Muslim no. 6 -Muqaddimah Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
"Hendaklah kalian berhati-hati memperbanyak meriwayatkan dariku. Siapa yang berkata atas namaku, janganlah sekali-kali berkata kecuali yang haq atau jujur. Siapa yang berkata atas namaku dengan apa yang tidak pernah aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (Hasan, HR. Ibnu Majah no. 35, Ahmad no. 22538 ; dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu)

Imam Ibnu Hibban rahimahullah telah membuat pasal khusus  :
Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa [Rasulullah] shallallahu 'alaihi wasallam, padahal ia tidak mengetahui keshahihannya.” (Shahih Ibnu Hibban 1/hal. 210)
Kemudian beliau membawakan hadits  Rasulullah :
“Barangsiapa yang berkata atas (nama) ku (dengan) sesuatu yang tidak pernah aku ucapkan maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka” (Hadits no. 28, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. dihasankan oleh syaikh Albani) 
Barangsiapa yang menyampaikan sebuah hadits (dariku) dan dia mengetahui bahwa hadits tersebut adalah dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta. (Hadits no. 29, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu) 
"Cukuplah seseorang dianggap berdosa tatkala membicarakan semua yang ia dengar"  (Hadits no. 30, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Shahih, diriwayatkan juga Abu Dawud no. 4992, Imam muslim meriwayatkan dengan hadits semakna كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ Cukuplah seseorang (dinilai) berdusta jika dia menceritakan semua yang didengarnya – Shahin Muslim 1/10)  

Teladan dari para shahabat radhiyallahu 'anhum :
1.        Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Jami' bin Syaddad dari 'Amir bin 'Abdullah bin Az Zubair dari Bapaknya berkata, "Aku berkata kepada Az-Zubair (bin Awwam), "Aku belum pernah mendengar kamu membicarakan sesuatu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana orang-orang lain membicarakannya?" Az-Zubair menjawab, "Aku tidak pernah berpisah dengan beliau, aku mendengar beliau mengatakan: "Barangsiapa berdusta terhadapku maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka." (Shahih Bukhari No. 104)
2.        Dari Amr bin Maimun, dia berkata, "Aku tidak pernah melewatkan pengajian yang diadakan Ibnu Mas'ud pada Kamis sore kecuali aku selalu mendatanginya." Dia berkata, "Aku sama sekali tidak pernah mendengar Ibnu Mas'ud mengatakan, 'Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda'." Kemudian pada suatu sore Ibnu Mas'ud berkata dengan kepala tertunduk, 'Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda." Amr menceritakan, "Aku melihatnya berdiri sedang kancing bajunya terbuka. Bercucuran air mata dari kedua kelopak matanya, dan dari lehernya keringat mengalir deras." Amr melanjutkan, "Mungkin kurang dari itu atau lebih dari itu, mendekati itu atau seperti itu keadaannya." (Shahih : HR. Ibnu Majah no. 23)
3.        Dari Abdurrahman bin Abu Laila, dia berkata, "Kami berkata kepada Zaid bin Arqam, 'Riwayatkanlah kepada kami hadits dari Rasulullah!' Dia berkata, 'Kami telah semakin tua dan telah menjadi pelupa, dan menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah berat'." (Shahih : HR. Ibnu Majah no. 25, Ahmad no. 19305, 19324)

Perkataan para ulama rahimahumullah
1.   Berkata Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah :
"Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan dasar zhan (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang masuk kedalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka" (Syarah Musykil al-Atsar no. 426, I/373)
2.   Berkata Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah :
"Menyebutkan hadits-hadits dalam khutbah tanpa menyebutkan para perawinya dibolehkan dengan syarat bahwa ia sebagai ahli hadits, atau ia menukilnya dari buku yang penulisnya adalah ahli hadits. Adapun berpegang pada suatu hadits yang ia dapatkan dari sebuah buku yang penulisnya tidak tergolong ahli hadits, atau di buku-buku khutbah yang penulisnya juga demikian, maka hal itu tidak diperbolehkan. Barang siapa yang melakukannya, ia berhak diberi hukuman yang keras. Ternyata, demikianlah keadaan para khatib. Mereka hanya melihat buku-buku khutbah yang di dalamnya terdapat hadits, mereka pun menghafalkannya, lalu ia sampaikan dalam khutbahnya, tanpa memperdulikan apakah hadits-hadits tersebut ada dasarnya atau tidak? Maka wajib atas para penguasa setiap negara untuk memepringatkan para khatib yang melakukan hal demikian." (Al-fatawa al-haditsiyah hal. 32, lihat juga Koreksi Total Praktek Khutbah dan Ceramah- Su'ud bin Malluh bin Sulthan al-'Anazi.)
3.   Berkata al-Anshari rahimahullah :
“Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut.” (Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal 15, juga di Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi hal. 162.)
4.   Berkata Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah :
“Cara yang harus ditempuh bagi orang yang ingin berhujjah dengan hadits yang tertera dalam kitab-kitab Sunan dan kitab-kitab Musnad itu satu, karena semua kitab itu tidak mensyaratkan shahih dan hasan dalam penghimpunannya. Jadi, bila orang yang hendak berhujjah ini mampu untuk mengetahui hadits shahih dari lainnya, maka ia tidak boleh berhujjah dengan hadits dari kitab-kitab Sunan itu sebelum ia memperhatikan ketersambungan sanadnya dan keadaan para perawinya. Selain itu, ia juga tidak boleh berhujjah dengan hadits dari kitab-kitab Musnad sampai ia benar-benar menguasai disiplin ilmu ini. Dan bila orang yang hendak berhujjah tidak mampu melakukan hal itu maka jalan terbaik baginya adalah memperhatikan hadits tersebut. Bila hadits tersebut disebutkan dalam shahihain atau ada di antara ulama hadits yang secara jelas menyatakan keshahihannya maka ia boleh mengikutinya dalam masalah tersebut. Bila ia tidak menjumpai seorang ulama menilai hadits itu shahih atau hasan maka ia tidak boleh berhujjah dengannya. Orang semacam ini ibarat orang yang mencari kayu bakar di malam yang gelap gulita. Boleh jadi ia berhujjah dengan suatu riwayat yang bathil, tapi ia tidak merasa." (An-Nu’kat ‘ala Kitab Ibn Shalah, 1/449)
5.   Berkata syaikh al-Albani rahimahullah :
“Dan ketahuilan bahwa mengenal hadits dha’if adalah kewajiban dan juga menjadi suatu keniscayaan bagi setiap muslim yang kerap menyampaikan pengajian dan nasihat kepada orang lain. Sering kali para pengarang, mubaligh dan khatib meremehkan hal ini, khususnya para ahli sastra di forum-forum seminar dan kajian-kajian lain misalnya. Kebanyakan mereka meremehkan hal ini. Mereka menggunakan hadits-hadits yang tidak memiliki asal-usul, tanpa mengindahkan larangan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam meriwayatkan hadits dari beliau kecuali yang shahih. Sebagaimana perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam : "Hendaklah kalian berhati-hati memperbanyak meriwayatkan dariku. Siapa yang berkata atas namaku, janganlah sekali-kali berkata kecuali yang haq atau jujur. Siapa yang berkata atas namaku dengan apa yang tidak pernah aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”  

Maka mengenal hadits dha'if adalah hal penting, dan hal itu juga termasuk dalam penjelasan hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan dalam Shahihain, "Kebanyakan manusia bertanya tentang kebaikan dari Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, sedang aku bertanya tentang keburukan, sebab khawatir akan melakukannya . . ." (al-hadits).
Begitu juga perkataan penyair:
"Aku mengenal keburukan bukan keburukan, namun untuk menjauhinya.
Siapa yang tidak mengenal keburukan, ia akan terjerumus kedalamnya” (Dha’if Adabul Mufrad li Imam al-Bukhari hal. 6-7)


Di ambil dari catatan Ustadz Agung Supriyanto

Minggu, 18 Agustus 2013

Kisah Sabar yang Paling Mengagumkan


Prof. Dr. Khalid al-Jubair penasehat spesialis bedah jantung dan urat nadi di rumah sakit al-Malik Khalid di Riyadh mengisahkan sebuah kisah pada sebuah seminar dengan tajuk Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan). Mari sejenak kita merenung bersama, karena dalam kisah tersebut ada nasihat dan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. 
Sang dokter berkata:
Pada suatu hari -hari Selasa- aku melakukan operasi pada seorang anak berusia 2,5 tahun. Pada hari Rabu, anak tersebut berada di ruang ICU dalam keadaan segar dan sehat.
Pada hari Kamis pukul 11:15 -aku tidak melupakan waktu ini karena pentingnya kejadian tersebut- tiba-tiba salah seorang perawat mengabariku bahwa jantung dan pernafasan anak tersebut berhenti bekerja. Maka akupun pergi dengan cepat kepada anak tersebut, kemudian aku lakukan proses kejut jantung yang berlangsung selama 45 menit. Selama itu jantungnya tidak berfungsi, namun setelah itu Allah Ta'ala menentukan agar jantungnya kembali berfungsi. Kamipun memuji Allah Ta'ala.
Kemudian aku pergi untuk mengabarkan keadaannya kepada keluarganya, sebagaimana anda ketahui betapa sulit mengabarkan keadaan kepada keluarganya jika ternyata keadaannya buruk. Ini adalah hal tersulit yang harus dihadapi oleh seorang dokter. Akan tetapi ini adalah sebuah keharusan. Akupun bertanya tentang ayah si anak, tapi aku tidak mendapatinya. Aku hanya mendapati ibunya, lalu aku katakan kepadanya: "Penyebab berhentinya jantung putramu dari fungsinya adalah akibat pendarahan yang ada pada pangkal tenggorokan dan kami tidak mengetahui penyebabnya. Aku kira otaknya telah mati." 
Coba tebak, kira-kira apa jawaban ibu tersebut?
Apakah dia berteriak? Apakah dia histeris? Apakah dia berkata:
"Engkaulah penyebabnya!"
Dia tidak berbicara apapun dari semua itu bahkan dia berkata: "Alhamdulillah." Kemudian dia meninggalkanku dan pergi.
Sepuluh hari berlalu, mulailah sang anak bergerak-gerak. Kamipun memuji Allah Ta'ala serta menyampaikan kabar gembira sebuah kebaikan yaitu bahwa keadaan otaknya telah berfungsi.
Pada hari ke-12, jantungnya kembali berhenti bekerja disebabkan oleh pendarahan tersebut. Kami pun melakukan proses kejut jantung selama 45 menit, dan jantungnya tidak bergerak. Maka akupun mengatakan kepada ibunya: "Kali ini menurutku tidak ada harapan lagi." Maka dia berkata: "Alhamdulillah, ya Allah jika dalam kesembuhannya ada kebaikan, maka sembuhkanlah dia wahai Rabbi."
Maka dengan memuji Allah, jantungnya kembali berfungsi, akan tetapi setelah itu jantung kembali berhenti sampai 6 kali hingga dengan ketentuan Allah Ta'ala spesialis THT berhasil menghentikan pendarahan tersebut, dan jantungnya kembali berfungsi.
Berlalulah sekarang 3,5 bulan, dan anak tersebut dalam keadaan koma, tidak bergerak. Kemudian setiap kali dia mulai bergerak dia terkena semacam pembengkakan bernanah aneh yang besar di kepalanya, yang aku belum pernah melihat semisalnya. Maka kami katakan kepada sang ibu bahwa putra anda akan meninggal. Jika dia bisa selamat dari kegagalan jantung yang berulang-ulang, maka dia tidak akan bisa selamat dengan adanya semacam pembengkakan di kepalanya. Maka sang ibu berkata: "Alhamdilillah." 
Kemudian meninggalkanku dan pergi. Setelah itu, kami melakukan usaha untuk merubah keadaan segera dengan melakukan operasi otak dan urat syaraf serta berusaha untuk menyembuhkan sang anak. Tiga minggu kemudian, dengan karunia Allah Ta'ala, dia tersembuhkan dari pembengkakan tersebut, akan tetapi dia belum bergerak.
Dua minggu kemudian, darahnya terkena racun aneh yang menjadikan suhunya 41,2oC. maka kukatakan kepada sang ibu: "Sesungguhnya otak putra ibu berada dalam bahaya besar, saya kira tidak ada harapan sembuh." Maka dia berkata dengan penuh kesabaran dan keyakinan: "Alhamdulillah, ya Allah, jika pada kesembuhannya terdapat kebaikan, maka sembuhkanlah dia."
Setelah aku kabarkan kepada ibu anak tersebut tentang keadaan putranya yang terbaring di atas ranjang nomor 5, aku pergi ke pasien lain yang terbaring di ranjang nomor 6 untuk menganalisanya. Tiba-tiba ibu pasien nomor 6 tersebut menagis histeris seraya berkata: "Wahai dokter, kemari, wahai dokter suhu badannya 37,6o, dia akan mati, dia akan mati." Maka kukatakan kepadanya dengan penuh heran: "Lihatlah ibu anak yang terbaring di ranjang no 5, suhu badannya 41o lebih sementara dia bersabar dan memuji Allah." Maka berkatalah ibu pasien no. 6 tentang ibu tersebut:
"Wanita itu tidak waras dan tidak sadar."
Maka aku mengingat sebuah hadits Rasulullah yang indah lagi agung: 
(طُوْبَى لِلْغُرَبَاِء) "Beruntunglah orang-orang yang asing." Sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, akan tetapi keduanya menggoncangkan ummat. Selama 23 tahun bekerja di rumah sakit aku belum pernah melihat dalam hidupku orang sabar seperti ibu ini kecuali dua orang saja.
Selang beberapa waktu setelah itu ia mengalami gagal ginjal, maka kami katakan kepada sang ibu: "Tidak ada harapan kali ini, dia tidak akan selamat." Maka dia menjawab dengan sabar dan bertawakkal kepada Allah: "Alhamdulillah." Seraya meninggalkanku seperti biasa dan pergi.
Sekarang kami memasuki minggu terakhir dari bulan keempat, dan anak tersebut telah tersembuhkan dari keracunan. Kemudian saat memasuki pada bulan kelima, dia terserang penyakit aneh yang aku belum pernah melihatnya selama hidupku, radang ganas pada selaput pembungkus jantung di sekitar dada yang mencakup tulang-tulang dada dan seluruh daerah di sekitarnya. 
Dimana keadaan ini memaksaku untuk membuka dadanya dan terpaksa menjadikan jantungnya dalam keadaan terbuka. Sekiranya kami mengganti alat bantu, anda akan melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda..
Saat kondisi anak tersebut sampai pada tingkatan ini aku berkata kepada sang ibu: "Sudah, yang ini tidak mungkin disembuhkan lagi, aku tidak berharap. Keadaannya semakin gawat." Diapun berkata: "Alhamdulillah." Sebagaimana kebiasaannya, tanpa berkata apapun selainnya. 
Kemudian berlalulah 6,5 bulan, anak tersebut keluar dari ruang operasi dalam keadaan tidak berbicara, melihat, mendengar, bergerak dan tertawa. Sementara dadanya dalam keadaan terbuka yang memungkinkan bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda, dan ibunyalah yang membantu mengganti alat-alat bantu di jantung putranya dengan penuh sabar dan berharap pahala.
Apakah anda tahu apa yang terjadi setelah itu?
Sebelum kukabarkan kepada anda, apakah yang anda kira dari keselamatan anak tersebut yang telah melalui segala macam ujian berat, hal gawat, rasa sakit dan beberapa penyakit yang aneh dan kompleks? Menurut anda kira-kira apa yang akan dilakukan oleh sang ibu yang sabar terhadap sang putra di hadapannya yang berada di ambang kubur itu? Kondisi yang dia tidak punya kuasa apa-apa kecuali hanya berdo'a, dan merendahkan diri kepada Allah Ta'ala?
Tahukah anda apa yang terjadi terhadap anak yang mungkin bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda 2,5 bulan kemudian?
Anak tersebut telah sembuh sempurna dengan rahmat Allah Ta'ala sebagai balasan bagi sang ibu yang shalihah tersebut. Sekarang anak tersebut telah berlari dan dapat menyalip ibunya dengan kedua kakinya, seakan-akan tidak ada sesuatupun yang pernah menimpanya. Dia telah kembali seperti sedia kala, dalam keadaan sembuh dan sehat.
Kisah ini tidaklah berhenti sampai di sini, apa yang membuatku menangis bukanlah ini, yang membuatku menangis adalah apa yang terjadi kemudian:
Satu setengah tahun setelah anak tersebut keluar dari rumah sakit, salah seorang kawan di bagian operasi mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki berserta istri bersama dua orang anak ingin melihat anda. Maka kukatakan kepadanya: "Siapakah mereka?" Dia menjawab, "tidak mengenal mereka."
Akupun pergi untuk melihat mereka, ternyata mereka adalah ayah dan ibu dari anak yang dulu kami operasi. Umurnya sekarang 5 tahun seperti bunga dalam keadaan sehat, seakan-akan tidak pernah terkena apapun, dan juga bersama mereka seorang bayi berumur 4 bulan.
Aku menyambut mereka, dan bertanya kepada sang ayah dengan canda tentang bayi baru yang digendong oleh ibunya, apakah dia anak yang ke-13 atau 14? Diapun melihat kepadaku dengan senyuman aneh, kemudian dia berkata: "Ini adalah anak yang kedua, sedang anak pertama adalah anak yang dulu anda operasi, dia adalah anak pertama yang datang kepada kami setelah 17 tahun mandul. Setelah kami diberi rizki dengannya, dia tertimpa penyakit seperti yang telah anda ketahui sendiri."
Aku tidak mampu menguasai jiwaku, kedua mataku penuh dengan air mata. Tanpa sadar aku menyeret laki-laki tersebut dengan tangannya kemudian aku masukkan ke dalam ruanganku dan bertanya tentang istrinya. Kukatakan kepadanya: "Siapakah istrimu yang mampu bersabar dengan penuh kesabaran atas putranya yang baru datang setelah 17 tahun mandul? Haruslah hatinya bukan hati yang gersang, bahkan hati yang subur dengan keimanan terhadap Allah Ta'ala."
Tahukah anda apa yang dia katakan?
Diamlah bersamaku wahai saudara-saudariku, terutama kepada anda wahai saudari-saudari yang mulia, cukuplah anda bisa berbangga pada zaman ini ada seorang wanita muslimah yang seperti dia.
Sang suami berkata: "Aku menikahi wanita tersebut 19 tahun yang lalu, sejak masa itu dia tidak pernah meninggalkan shalat malam kecuali dengan udzur syar'i. Aku tidak pernah menyaksikannya berghibah (menggunjing), namimah (adu domba), tidak juga dusta. Jika aku keluar dari rumah atau aku pulang ke rumah, dia membukakan pintu untukku, mendo'akanku, menyambutku, serta melakukan tugas-tugasnya dengan segenap kecintaan, tanggung jawab, akhlak dan kasih sayang."
Sang suami menyempurnakan ceritanya dengan berkata: "Wahai dokter, dengan segenap akhlak dan kasih sayang yang dia berikan kepadaku, aku tidak mampu untuk membuka satu mataku terhadapnya karena malu." Maka kukatakan kepadanya: "Wanita seperti dia berhak mendapatkan perlakuan darimu seperti itu." Kisah selesai.
Kukatakan:
Saudara-saudariku, kadang anda terheran-heran dengan kisah tersebut, yaitu terheran-heran terhadap kesabaran wanita tersebut, akan tetapi ketahuilah bahwa beriman kepada Allah Ta'ala dengan segenap keimanan dan tawakkal kepada-Nya dengan sepenuhnya, serta beramal shalih adalah perkara yang mengokohkan seorang muslim saat dalam kesusahan, dan ujian. Kesabaran yang demikian adalah sebuah taufik dan rahmat dari Allah Ta'ala.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."  (QS. Al-Baqarah: 155-157)
Nabi bersabda:
"Tidaklah menimpa seorang muslim dari keletihan, sakit, kecemasan, kesedihan tidak juga gangguan dan kesusahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali dengannya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya." (HR. al-Bukhari (5/2137))
Maka, wahai saudara-saudariku, mintalah pertolongan kepada Allah Ta'ala, minta dan berdo'alah hanya kepada Allah Ta'ala terhadap berbagai kebutuhan anda sekalian.
Bersandarlah kepada-Nya dalam keadaan senang dan susah. Sesungguhnya Dia Ta'ala adalah sebaik-baik pelindung dan penolong.
Mudah-mudahan Allah Ta'ala membalas anda sekalian dengan kebaikan, serta janganlah melupakan kami dari do'a-do'a kalian. 

"Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)." (QS. Al-A'raf: 126)

Jumat, 16 Agustus 2013

Sudahkah Anda Belajar dari Romadhon Kemarin?


Kata-kata seperti ini “uang-uangu sendiri, ngapain kamu yang sewot” mungkin pernah terucap dari lisan anda, terutama ketika ada saudara anda yang menegur anda karena anda membelanjakan harta anda di jalan yang haram.
Kadang kala anda juga berucap: badan-badanku sendiri, apa urusan anda... ? Atau mulut-mulutku sendiri, masalah buat anda... ?
Ucapan yang menggambarkan bahwa anda merasa bahwa anda bebas tidak mau terikat dengan norma, bertindak sesuka hati anda untuk berbuat atau menuruti semua kemauan anda.
Apapun yang anda mau, maka tidak boleh ada yang mencampuri atau menghalangi kemauan anda.
Bahkan bisa jadi anda memiliki keyakinan bahwa IMPIAN dan CITA-CITA TERBESAR anda ialah mewujudkan atau menuruti segala selera dan kemauan anda, tanpa ada yang membatasi atau menghalang-halangi.
Sobat, ketahuilah bahwa pola pikir demikian inilah yang sejatinya hendak dikikis dengan puasa Bulan Romadhon kemarin yang telah kita jalani bersama.
Tujuannya jelas, yaitu menjadikan anda sebagai hamba Allah yang senantiasa patuh kepada perintah dan larangan-Nya. Dan membebaskan anda dari perbudakan kepada syahwat dan kepuasan pribadi, sebagaimana yang menimpa kaum musyrikin. Renungkanlah firman Allah subhanallahu wa ta'ala tentang mereka:
“Tidaklah ada yang mereka ikuti selain praduga dan syahwat / selera diri mereka, padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Tuhan mereka.” ( An Najem 23)
Sobat, sudahkah anda berhasil membebaskan diri anda dari pemikiran: badan-badanku sendiri, harta-hartaku sendiri, mulut-mulutku sendiri....?

Semoga menjadi renungan bagi kita semua, khususnya diri saya sendiri.

Rabu, 14 Agustus 2013

Analogi Puasa Syawal Seperti Puasa Setahun Penuh


Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR Muslim)
“Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal.” (QS Al An’am ayat 160)
Dari 2 dalil di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa Romadhon adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465).
Apakah Harus Berurutan 6 Hari Langsung?
Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328:Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini.”  Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48).
Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Idul Fitri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.

 
Back To Top