Minggu, 12 Oktober 2014

Benarkah Imam Bukhori Berpendapat Bahwa Al-Qur’an Adalah Makhluk ?


Nama Imam Bukhari bukanlah nama yang asing bagi kita. Seorang ulama ahli hadits yang mendapat julukan Amirul Mukminin fil Hadits. Para ulama pun menyatakan bahwa kitabnya Shahih Bukhari adalah kitab yang paling sahih setelah al-Qur’an. Kemudian, setelah itu diikuti oleh kitab muridnya, yaitu kitab Shahih karya Imam Muslim. Semoga Allah merahmati mereka berdua.
Meskipun demikian, itu bukan berarti perjalanan hidup Sang Imam mulus begitu saja. Ada saja terpaan fitnah yang melanda beliau, bersama dengan kemuliaan dan kebesaran yang beliau miliki. Tatkala fitnah tentang aqidah atau keyakinan bahwa al-Qur’an makhluk telah disalah alamatkan kepada beliau oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab. Padahal, keyakinan al-Qur’an makhluk merupakan keyakinan Sekte Sesat yang amat terkenal di masa itu, yaitu Jahmiyah.
Pengantar Sebelum Menyimak Kisah Beliau
al-Qur’an adalah kalam atau ucapan Allah. Ini sudah jelas. Akan tetapi, bolehkah kita katakan bahwa pelafalan al-Qur’an itu makhluk, atau bukan makhluk, atau harus diam dalam persoalan ini,..?
Jawaban yang lebih tepat, memberikan hukum umum dalam permasalahan ini, yaitu Dengan Serta Merta Menolak atau Menerima Pernyataan ‘Pelafalan Al-Qur’an Adalah Makhluk’ Adalah Tidak Tepat. Sebab hal ini harus dirinci terlebih dahulu. Jika yang dimaksud dengan Pelafalan Itu Adalah Perbuatan (fi’il) mengucapkannya yang hal itu Termasuk Perbuatan Hamba maka jelas ini adalah Makhluk, Karena Hamba Beserta Perbuatannya Adalah Makhluk.
Namun, apabila yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah Ucapan yang Dilafalkan (Maf’ul) maka itu adalah Kalam Atau Ucapan Allah dan Bukan Makhluk, Karena Kalam Allah Merupakan Salah Satu Sifat-Nya, sedangkan Sifat-Nya Bukan Makhluk.
Perincian semacam ini telah diisyaratkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan: “Barangsiapa yang berpendapat bahwa lafalku dalam membaca al-Qur’an adalah makhluk dan yang dia maksud dengannya adalah al-Qur’an maka dia adalah penganut paham Jahmiyah”. Perkataan Imam Ahmad dan yang dia maksud adalah al-Qur’an menunjukkan bahwa apabila yang dia maksudkan bukanlah al-Qur’an akan tetapi perbuatan melafalkan yang ini merupakan perbuatan manusia, maka orang yang mengucapkannya tidak bisa dicap sebagai penganut paham Jahmiyah.
(Diambil dari Fathu Rabbil Bariyyah hal. 70 cet. Dar Ibnul Jauzi).
Fitnah Yang Menimpa Sang Imam
Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya: “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya”. Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul ‘masalah’ di majelis Muhammad Bin Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.
Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara dirinya dengan Imam Bukhari, -semoga Allah merahmati mereka berdua-. Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya: “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi’ah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”
Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad atau dengki terhadap beliau. Mereka menuduh Bukhari berpendapat bahwa al-Qur’an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu berkata: “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an, apakah ia makhluk atau bukan makhluk ?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Imam Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab: “al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan: “Kalau begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab: “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan: “Kalau begitu al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah: “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan kesalah pahaman di antara para hadirin.
Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun berkata: “al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian - maka dia adalah mubtadi’ atau ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan: “Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari - maka tidak halal hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas imamah atau penutup kepala yang dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam ini. al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Muslim telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”
Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan: “Barangsiapa Yang Mendakwakan Aku Berpandangan Bahwa Al-Qur’an Yang Aku Lafalkan Adalah Makhluk, Sesungguhnya Dia Adalah Pendusta. Sesungguhnya Aku Tidak Berpendapat Seperti Itu.”
Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab: “Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini: Siapa Pun Diantara Penduduk Naisabur Dan Negeri-Negeri Yang Lain Yang Mendakwakan Bahwa Aku Berpendapat Al-Qur’an Yang Aku Lafalkan Adalah Makhluk Maka Dia Adalah Pendusta. Sesungguhnya Aku Tidak Pernah Mengatakan Hal Itu. Yang Aku Katakan Adalah Perbuatan Hamba Adalah Makhluk.”
(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)
Abdullah anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku rahimahullah. Aku berkata: “Apa pendapatmu mengenai orang yang mengatakan bahwa tilawah adalah makhluk dan lafal kita dengan al-Qur’an adalah makhluk, sedangkan al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk? Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi orang seperti ini? Apakah dia layak disebut sebagai ahli bid’ah?”. Beliau menjawab: “Orang semacam ini semestinya dijauhi. Itu adalah ucapan ahli bid’ah. Dan itu merupakan perkataan kaum Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 178). Abdullah juga mengatakan: “Aku mendengar ayahku rahimahullah berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa lafalku dengan al-Qur’an adalah makhluk maka dia adalah penganut Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 180)
Ketika membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam kitabnya Jarh wa Ta’dil Abdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata: “Ayahku -Abu Hatim- dan Abu Zur’ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua meninggalkan haditsnya, yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi mengirimkan surat kepada mereka berdua yang menceritakan bahwasanya di daerah mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman bahwa lafalnya dengan al-Qur’an adalah makhluk.” (lihat al-Jarh wa at-Ta’dil VII/191).
Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah membantah perkataan ini dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’. Beliau berkata: “Apabila mereka berdua meninggalkan haditsnya, ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru dunia.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/633 risalah magister karya Abu Abdirrahman Muhammad ats-Tsani)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jarh atau celaan dari sebagian ulama yang ditujukan kepada Imam Bukhari Tidak Bisa Diterima. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Setiap orang yang telah terbukti kuat keadilan atau kredibilitasnya maka tidak boleh diterima tajrih atau celaan kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu diterangkan kepadanya sampai pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan yang lain kecuali memang harus menjatuhkan jarh atau celaan kepadanya.” (lihatDhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)
Pelajaran Yang Bisa Dipetik
Kisah di atas mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum muslimin, terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da’i. Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah pentingnya setiap muslim maupun muslimah untuk mempelajari aqidah Islam dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kesesatan. Karena aqidah inilah yang menjadi landasan agama kita. Hendaknya setiap muslim memahami hakikat keimanan dan tauhid yang menjadi intisari aqidah Islam. Jangan sampai seorang muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da’i- meremehkan masalah aqidah ini. Masalah aqidah adalah masalah yang sangat penting dan mendasar.
Selain itu, kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk menjadi seorang penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang yang berusaha untuk senantiasa mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha manusia. Orang arab mengatakan: “Ridha manusia adalah cita-cita yang tak akan pernah tercapai.” Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa ikhlas itu adalah “Melupakan Pandangan Manusia Dengan Senantiasa Melihat Kepada Penilaian Al-Khaliq, Yaitu Allah.”
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita yang kita terima tidak benar atau tidak sempurna sehingga akan menimbulkan kesalah pahaman bagi orang yang mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait dengan orang yang memiliki kedudukan di masyarakat, baik dari kalangan ulama ataupun penguasa. Kewajiban kita sebagai sesama muslim adalah menjaga kehormatan dan harga diri saudara kita, apalagi mereka adalah orang yang memiliki kedudukan dan keutamaan di mata publik.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da’i dan tokoh masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan kata-kata yang kurang tepat atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan suasana yang kurang harmonis, kekacauan, dan bahkan permusuhan yang tidak pada tempatnya.
Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara sesama guru atau da’i itu timbul dan semakin bertambah parah akibat ulah sebagian murid-murid mereka yang suka membuat masalah. Oleh sebab itu seorang guru harus objektif dan berhati-hati dalam menerima berita dari muridnya. Demikian pula, seorang murid juga tidak boleh sembarangan dalam menafsirkan perkataan gurunya tanpa meminta kejelasan terhadap ungkapan yang diduga bisa memicu permasalahan. Apalagi di dalam situasi fitnah (kekacauan), hendaknya seorang murid fokus kepada tugasnya yaitu belajar dan tidak disibukkan dengan qila wa qola (kabar burung) dan pembicaraan yang kurang bermanfaat baginya.
Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh wa ta’dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah perkara sepele. Jarh wa ta’dil tidak seperti kacang goreng yang bisa dibeli dengan harga murah oleh siapa saja. Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat mulia. Ilmu yang membutuhkan pemahaman yang mendalam, ketelitian, dan kehati-hatian. Tidak semua orang boleh berbicara tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak setiap ulama ahli dan mapan di bidang ini. Jarh wa ta’dil juga memiliki kaidah dan batasan-batasan yang harus diperhatikan. Memang, memperingatkan dari kemungkaran adalah suatu kebaikan yang sangat besar, akan tetapi mengingkari kemungkaran pun ada kaidahnya, tidak boleh secara serampangan.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da’i untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena banyak permasalahan yang terjadi diantara mereka diantara penyebabnya adalah karena sifat yang tercela ini. Oleh sebab itu ada suatu ungkapan yang populer di kalangan para ulama Jarh wa Ta’dil : Kalamul aqraan yuthwa wa laa yurwa, artinya: “Kritikan antara orang-orang yang sejajar kedudukannya cukup dilipat -tidak diperhatikan- dan tidak diriwayatkan.” Karena terkadang kritikan yang muncul diantara sesama mereka adalah karena faktor hasad. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang demikian itu.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap husnudhon atau berprasangka baik kepada saudara kita. Karena perasaan su’udhon atau buruk sangka yang tidak dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat adalah termasuk perbuatan dosa. Selain itu, kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain. Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah termasuk nasehat, akan tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi kesalahan kita itu tidak kecil dan tidak sedikit. Allahul musta’aan.
Kisah ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da’i harus siap menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan dakwahnya. Seorang da’i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah dalam menyikapi berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu pula seorang penimba ilmu. Bahkan, setiap orang yang beriman pasti mendapatkan ujian dari Allah yang menuntut mereka untuk bersabar tatkala mendapatkan musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan kenikmatan.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat. Mereka menyadari bahwasanya tugas mereka sebagai ulama adalah mendakwahkan ilmu dan membimbing umat menuju kebaikan. Mereka sama sekali tidak menyimpan ambisi-ambisi politik atau mengejar target-target duniawi. Ulama sejati tidak takut celaan para pencela dan tidak khawatir apabila ditinggalkan jama’ah, selama dia tegak di atas kebenaran.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya kebid’ahan, yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di dalam agama Islam. Bid’ah ini tidak hanya berkutat dalam masalah amalan, tetapi ia juga terjadi dalam masalah aqidah atau keyakinan. Bahkan, diantara keyakinan yang bid’ah itu ada yang bisa menyebabkan kafir bagi orang yang meyakininya. Oleh sebab itu para ulama salaf sangat keras dalam mengingkari para pelaku kebid’ahan. Sebagian diantara mereka mengatakan: “Bid’ah itu lebih dicintai Iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat masih mungkin untuk bertaubat, sedangkan bid’ah hampir tidak mungkin pelakunya bertaubat.” Sebab pelaku kebid’ahan menganggap dirinya tidak melakukan kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang masih mengakui bahwa dirinya memang telah berbuat maksiat.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh dalam membela kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus menyelisihi banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam pandangan kita. Sesungguhnya kebenaran itu diukur dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau ‘allan. Sebagian ulama salaf berpesan: “Hendaknya kamu mengikuti jalan kebenaran. Janganlah kamu merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah jalan-jalan kebatilan. Dan janganlah kamu merasa gentar karena banyaknya orang yang binasa.”
Dan yang terakhir, kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian permasalahan- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya. Ulama adalah Pewaris Para Nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka dengan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa ulama bukanlah nabi yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita tidak boleh meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka. Apabila kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah- maka wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti dengan bersangka baik dan tetap menghargai jerih payah mereka. Imam Syafi’i rahimahullah berpesan kepada para pengikutnya: “Apabila kamu temukan di dalam bukuku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah atau tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku.”


Sumber : di sini

Sabtu, 11 Oktober 2014

Hukum Berobat Ke Dokter Gigi Ketika Puasa


Hal ini cukup sering ditanyakan, karena periksa ke dokter gigi banyak intervensi terhadap mulut, seperti membilas, menyuntik anestesi dan mencabut gigi yang mengeluarkan darah. Bagaimana jika tidak sengaja tertelan air bilasan? Apakah suntikan membatalkan puasa? Apakah darah yang keluar membatalkan puasa?
Pertanyaan diajukan kepada syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah :
“Jika seseorang mengalami sakit gigi kemudian pergi ke dokter gigi, dokter kemudian membersihkan dan mencabut salah satu giginya. Apakah berpengaruh terhadap puasanya? Seandainya dokter memberikan suntikan anestesi, apakah ada pengaruhnya terhadap puasa ?”
Jawaban :
“Tidak ada dari apa yang engkau sebutkan yang bisa mempengaruhi sahnya puasa (membatalkan). Bahkah hal tersebut dimaafkan (diberi keringanan). Wajib baginya menjaga diri dari menelan sesuatu berupa obat atau darah. Demikian juga suntikan yang disebutkan, tidak ada pengaruhnya pada sahnya puasa. Karena statusnya bukan semakna dengan makan dan minum. Hukum asalnya adalah puasa sah dan selamat (dari pembatal).”
Dan dianjurkan juga sebaiknya memeriksakan diri ketika malam hari karena lebih selamat.

Berikut Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,
Pertanyaan :
"Dokter gigi perlu memberikan suntikan anestesi lokal kepada pasien, suntikan ini tidak mengenyangkan (semakna makan dan minum). Apakah berpengaruh terhadap puasanya? Perlu diketahui bahwa pasien tidak bisa menunda pengobatan hingga malam (mungkin sakitnya tidak tertahan, pent) atau ditunda sampai setelah Ramadhan."
Jawaban:
“Tidak mengapa memberikan suntikan anestesi lokal di mulut untuk pengobatan karena bukanlah semakna dengan makan dan minum.”

Catatan:
Suntikan yang tidak mengenyangkan seperti suntikan antinyeri tidak membatalkan puasa, silahkan baca lebih lanjut :

Darah yang keluar tidak membatalkan puasa, karena dikiaskan dengan bekam. Pendapat yang menyatakan bahwa darah yang keluar tidak batal jika tidak banyak dan membuat tubuh lemah. Silahkan baca lebih lanjut : 

Demikian semoga bermanfaat

Sumber : di sini

Donor Darah Tidak Membatalkan Puasa dan Menerima Transfusi Darah Membatalkan Puasa


Anggapan bahwa donor darah membatalkan puasa masih ada pada sebagian kaum muslimin, namun yang pendapat yang paling kuat -insyaAllah- bahwa Donor Darah Tidak Membatalkan Puasa. Adapun Transfusi Darah Maka Dia Membatalkan Puasa. Berikut sedikit pembahasannya:

Donor Darah Tidak Membatalkan Puasa
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama, pendapat yang lebih kuat adalah tidak membatalkan puasa
Pendalilan : diqiyaskan dengan berbekam yang menurut pendapat terkuat, bekam tidaklah membatalkan puasa.
Berikut penjelasan lebih rinci :

Pendapat Yang Menyatakan Batalnya Puasanya :
Ini adalah pendapat mazhab Hanabilah, Ishaq, Ibnu Al-Mundzir dan sebagian besar fuqaha Ahli Hadits, dan menjadi pilihan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalilanya sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam :
“Orang yang membekam dan dibekam batal puasanya” ( HR Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad Darimi. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 931 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Pendapat Yang Menyatakan Tidak Batalnya Puasa :
Ini adalah pendapat Mazhab Jumhur ulama salaf dan khalaf. Pendalilan sebagai berikut:
1.   Hadits Tentang Batalnya Berbekam Dimansukh (Dihapuskan)
Terdapat hadits riwayat Syaddad bin Aus disebutkan bahwa pada tahun penaklukkan kota mekkah, tepatnya  hari kedelapan belas bulan Ramadhan, Nabi shalallahu alaihi wasalam berjalan melewati seorang laki-laki yang sedang berbekam lalu beliau bersabda : “Orang yang membekam dan dibekam batal puasanya”. Selanjutnya Ibnu Abbas bersama-sama beliau melaksanakan Haji wada’. Pada saat haji ini beliau berbekam dalam keadaan ihram dan berpuasa. Apabila tindakan bekam rasulullah shalallahu alaihi wasalam dilakukan pada musim haji Wada’ maka riwayat ini menjadi nasikh atau penghapus riwayat sebelumnya. Karena setelah kejadian itu beliau tidak lagi menjumpai Ramadhan, di mana beliau wafat pada bulan Rabi’ul Awwal.
2.   Ada Rukhshah (Keringanan) Mengenai Bekam
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam. (HR. Ad Daruquthni, An Nasa’i dalam Al Kubro, dan Ibnu KhuzaimahSyaikh Al Albani dalam Irwa’ (4/74) mengatakan bahwa semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya, akan tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu’ -sampai pada Nabi- atau mawquf -sampai sahabat-)
3.   Makruh Jika Melemahkan Badan
Maka hukumnya tidak sampai mengharamkan. dikuatkan riwayat lain dalam shahih Bukhari dari Anas bin Malik,
“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas mengatakan : “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no. 1940)

Catatan tambahan :
Ada juga pendapat yang merinci yaitu Jika Darah Yang Didonor Dalam Jumlah Besar Kemudian Memperlemah Tubuh Maka Membatalkan Dan Darah Yang Didonor Sedikit Maka Tidak Membatalkan.

Pertanyaan:
“Apa hukum mendonorkan darah pada siang hari bulan Ramadhan ?”
Jawab:
“Jika seseorang mendonorkan darahnya pada siang hari bulan Ramadhan maka membatalkan puasanya. (rincian pertama) jika darah yang didonor dalam jumlah besar dan memberikan pengaruh padanya (kelemahan tubuh) maka membatalkan puasa (rincian kedua) jika dalam jumlah kecil maka tidak membatalkan puasa.”
Maka kenyataannya bahwa orang yang melakukan donor darah tidak merasa lemah sekali, silahkan bertanya kepada mereka yang sudah rutin, merasa lemah setelah donor darah mungkin bisa jadi karena syarat-syarat menjadi donor tidak terlalu terpenuhi, misalnya tensi agak rendah, Hb agak rendah dan lain-lain. Atau bisa jadi ia agak takut dengan darah.
Bahkan terkadang merasa lebih segar dari sebelumnya terutama mereka yang rutin donor darah, kecuali beberapa orang yang melakukan donor darah pertama kali mungkin merasa agak lemah sedikit (tidak sampai lemah sekali dan kepayahan) . Maka donor darah tidak membatalkan puasa.
Lebih amannya lakukan donor darah ketika malam hari misalnya setelah shalat tawarih, selain tubuh juga sudah segara karena mendapat makanan berbuka. Ini juga bisa keluar dari khilaf ulama. Wallahu a’lam.

Menerima Transfusi Darah Membatalkan Puasa
Menerima darah saat transfusi jelas membatalkan puasa. Karena darah pada hakikatnya adalah tempat sari- sari makanan, terutama pada bagian yang disebut plasma darah. Maka menerima darah sama hakikatnya dengan mendapatkan sari-sari makanan yang ini disamakan dengan makan dan minum yang membatalkan puasa.
Sebagaimana infus sari-sari makanan (misalnya infus glukosa dan infus elektrolit), ini juga hakikatnya sama dengan makan dan minum karena ini adalah tujuan dari makanan yaitu bisa memberikan sari-sari makanan ke seluruh tubuh melalui darah. Sebagai bukti kita bisa melihat seseorang yang tidak makan dan minum selama beberapa hari karena penyakit akan tetapi tetap bisa bertahan karena mendapat infus.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
Suntikan atau infus yang bisa memberikan energi makanan dan mencukupkan dari makan dan minum. Jika dilakukan maka membatalkan puasa walaupun hakikatnya bukan makanan dan minuman, karena hal tersebut sama maknanya dengan makan dan minum sehingga berlaku hukum makan dan minum.
Adapun suntikan atau infus yang tidak memberikan energi makanan maka bukan termasuk pembatal puasa, sama saja jika dimasukan melalui otot (intramuskular-pent) ataupun melalui pembuluh darah (intravena-pent) walaupun ia mendapati rasanya di kerongkonganya. Maka tidak membatalkan puasa karena bukan termasuk makanan dan minuman dan bukan pula semakna dengan makan dan minum.
Tidak dianggap keberadaan rasa makanan di kerongkongan selain melalui makan dan minum. Oleh karena itu para ahli fiqh berkata, “seandainya dioleskan buah Khandzal (buah yang sangat pahit rasanya dan digunakan dahulu sebagai obat pemicu muntah) pada telapak kaki, kemudian ia dapati rasanya di kerongkongan maka puasanya tidak batal.”


Sumber : di sini

Puasa Arafah Ikut Wuquf di Arafah Atau Ikut Pemerintah


Puasa Arafah yang dilakukan tahun ini apakah ikut wukuf di Arafah ataukah ikut ketetapan pemerintah? Karena kalau ikut ketetapan pemerintah, maka puasa Arafah akan berbeda dengan waktu Jamaah haji wukuf di Arafah. Waktu wukuf di Arafah pada hari Jumat, 3 Oktober 2014. Sedangkan untuk 9 Dzulhijjah di Indonesia jatuh pada 4 Oktober 2014.
Kalau Begitu Puasa Arafah Ikut Siapa?
Yang jelas kasus semacam ini sudah ada sejak masa silam. Kita semestinya bersikap legowo dan lapang dada, menghargai perbedaan yang terjadi.
Namun mengedepankan persatuan dalam masalah ini, itu lebih baik. Landasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani).
Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata :
“Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri), Bukan Dengan Ormas Atau Golongan Tertentu.
Hadits di atas menunjukkan bahwa berpuasalah dan berhari rayalah bersama pemerintah. Kalau ketetapan pemerintah berbeda dengan wukuf di Arafah, tetap ketetapan pemerintah yang diikuti.
Ikuti Hilal di Negeri Masing-Masing, Bukan Ikut Wukuf di Arafah
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Hilal di negeri masing-masinglah yang jadi patokan, itulah maksud perintah hadits. Yang menguatkannya pula adalah riwayat dari Kuraib, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya, setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku : “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab : “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan :
“Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi : “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas :
Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.(HR. Muslim no. 1087).
Ini jadi dalil bahwa hilal di negeri kita tidak mesti sama dengan hilal Kerajaan Saudi Arabia, hilal lokal itulah yang berlaku. Kalau hilal negara lain terlalu dipaksakan berlaku di negeri ini, coba bayangkan bagaimana hal ini diterapkan di masa silam yang komunikasinya belum maju seperti saat ini.
Imam Nawawi rahimahullah membawakan judul untuk hadits Kuraib : “Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.”
Imam Nawawi rahimahullah juga menjelaskan : “Hadits Kuraib dari Ibnu ‘Abbas jadi dalil untuk judul yang disampaikan. Menurut pendapat yang kuat di kalangan Syafi’iyah, penglihatan rukyah (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak belum diqasharnya shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 175). Namun sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hilal internasionallah yang berlaku. Maksudnya, penglihatan hilal di suatu tempat berlaku pula untuk tempat lainnya.
Tidak Masalah Jika Puasa Arafah Beda dengan Hari Wukuf di Arafah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut : “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab : “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.”
Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini adalah hari Idul Adha di negara mereka.
Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”. (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H)
Kesimpulan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, puasa Arafah mengikuti penanggalan atau penglihatan di negeri masing-masing dan tidak mesti mengikuti wukuf di Arafah.
 Wallahu a’lam, wallahu waliyyut taufiq.


Jumat, 10 Oktober 2014

Apa Itu Buroq


Buraq atau Buroq termasuk binatang ghaib, yang tidak akan pernah kita jumpai di alam ini. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menaikinya ketika isra’ mi’raj, itu bagian dari keistimewaan dan mukjizat beliau dari Allah, yang tentu saja tidak mungkin bisa ditiru orang lain.
Dialah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. Al-Jin: 26 – 27)
Mengingat ini masalah ghaib, sikap yang harus kita kedepankan adalah mengikuti dan meyakini apa yang disebutkan dalam dalil. Artinya, kita hanya boleh meyakini sesuai informasi yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara bentuk dan sifat buraq yang disebutkan dalam hadis shahih,
1.   Bentuknya seperti binatang tunggangan.
2.   Ukurannya lebih tinggi dari keledai dan lebih pendek dari bighal. (Bighal adalah peranakan hasil perkawinan antara kuda dengan keledai).
3.   Berwarna putih.
4.   Langkah kakinya, sejauh ujung pandangannya..
5.   Bisa diikat sebagaimana layaknya hewan tunggangan.
Diantara hadis yang menceritakan sifat-sifat di atas,
a.    Hadis dari Malik bin Sha’sha’ah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kejadian isra mi’raj. Salah satu cuplikan kisahnya:
Dibawakan kepadaku hewan tunggangan berwarna putih, lebih pendek dari bighal dan lebih tinggi dari pada keledai. Yaitu buraq. (HR. Bukhari 3207)
b.   Hadis dari Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Kemudian dibawakan kepadaku seekor hewan tunggangan putih, namanya Buraq. Lebih tinggi dari pada keledai dan lebih pendek dari bighal. Satu langkah kakinya di ujung pandangannya. Lalu aku dinaikkan di atasnya. (HR. Ahmad 17835, Muslim 164, dan yang lainnya).
c.    Sesampainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjidil aqsha, beliau shallallahu ’alai wa salam mengikat buraqnya di tempat yang biasa digunakan para nabi untuk mengikat tunggangannya. Beliau mengatakan:
Aku mengikat buraq di salah satu pintu masjid baitul maqdis, tepat di mana para nabi mengikatkan hewan tunggangan mereka (Muslim no. 162, Abu Ya’la dalam musnadnya 3375)

Apakah Buraq punya Sayap ?
Banyak yang mengilutrasikan buraq layaknya gambar kuda bersayap. Bahkan kadang ditambahi tanduk.
Kami tidak menjumpai adanya riwayat yang menjelaskan bahwa buraq bersayap. Dan sekali lagi, mengingat ini masalah ghaib, kita hanya bisa mengikuti apa yang disebutkan dalam dalil, tanpa menambah-nambahi. Membuat ilustrasi seperti kuda terbang sembrani, jelas ini menebak-nebak hal yang ghaib, yang dilarang dalam islam.
Demikian, Allahu a’lam.


Jawaban dari Ustadz Ammi Nur Baits

Sabtu, 04 Oktober 2014

Bai’at Bid’ah Di Kalangan Hizbiyyah


Di antara manhaj bid’ah di dalam Islam adalah apa yang dilakukan sebagian kelompok yang mengatas namakan Islam, yang terjerumus ke dalam fitnah hizbiyyah. Mereka menerapkan hadits-hadits tentang bai’at, yang seharusnya dipahami sebagai kewajiban taat seorang muslim kepada pemerintahnya, namun diarahkan kepada kelompok mereka masing-masing, yang mewajibkan para pengikutnya untuk berbai’at kepada pemimpin kelompoknya.
Barangsiapa yang tidak berbai’at kepadanya (pemimpin kelompok) maka dia mati jahiliah. Lalu dibangun di atas pemahaman ini bahwa yang dimaksud mati jahiliah adalah kafir dan keluar dari Islam. Sehingga yang tidak berbai’at kepada pimpinan jamaahnya dianggap kafir dan halal darahnya.
Kemudian, berdasarkan pemikiran ini, di antara mereka ada yang sampai kepada tingkat pemahaman menganggap halalnya mencuri atau merampas harta kaum muslimin dengan keyakinan bahwa harta mereka adalah ghanimah (harta rampasan perang milik orang kafir). Atau enggan shalat di belakangnya di masjid-masjid kaum muslimin karena menganggap bermakmum di belakang orang kafir hukumnya tidak sah. Bahkan sampai pada tingkatan upaya melakukan gerakan bawah tanah yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan alasan bahwa pemerintahan mereka telah kafir dan tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga telah gugur kewajiban taat dan kewajiban berbai’at kepadanya. Sedangkan bai’at hanyalah diserahkan kepada pemimpin kelompoknya saja. Dari sinilah cikal-bakal munculnya kaum teroris Khawarij yang memorak-porandakan keamanan negeri-negeri muslimin. 
Di sisi lain, sebagian bai’at diterapkan oleh kelompok- kelompok bid’ah hizbiyyah berorientasi bukan pada pemberontakan terhadap penguasa yang sah dan melakukan tindak kekerasan. Namun lebih fokus kepada sikap kultus individu kepada pemimpin kelompok dan menaati seluruh ucapannya, serta menganggap bahwa seluruh ucapannya adalah benar dan tidak pernah salah. Ini seperti keyakinan kelompok- kelompok Shufiyah (Sufi) terhadap pemimpin dan orang yang dianggapnya sebagai wali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun secara umum, bai’at- bai’at bid’ah hizbiyyah tersebut telah menanamkan pemahaman akan wajibnya taat kepada pemimpin yang dibai’at dan diharamkan menyelisihi perintah serta aturannya, karena hal itu akan menyebabkan mereka mati dengan cara mati jahiliah. Demikian menurut sangkaan mereka. Abu Qilabah rahimahullahu berkata: “Tidaklah satu kaum melakukan satu bid’ah melainkan mereka akan menghalalkan pedang (yakni menghalalkan darah kaum muslimin).” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al- Lalaka’i, no. 247)
Berikut ini, kami sebutkan beberapa kelompok sempalan yang menerapkan metode bai’at kepada para pengikutnya untuk taat kepada pemimpinnya. Bai’at jamaah Al-Ikhwanul Muslimun (IM) Di dalam jamaah Al-Ikhwanul Muslimun, bai’at sudah ditetapkan oleh pemimpinnya semenjak berdirinya, yakni Hasan Al-Banna. Dalam salah satu tulisannya, Hasan Al-Banna menjelaskan tentang bai’at dalam jamaahnya: “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kami ada sepuluh maka hafalkanlah: Pemahaman, ikhlas, beramal, berjihad, berkorban, ketaatan, teguh, jernihkan pemikiran, persaudaraan, dan kepercayaan.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, jilid 1/1-2)
Tatkala menjelaskan masalah ketaatan, dia berkata: “Yang saya maksudkan dengan ‘ketaatan’ adalah melaksanakan perintah dan menjalankannya sendirian, baik di saat sulit atau mudah, di saat semangat ataupun terpaksa.” (Rasa’il Hasan Al- Banna, jilid 1/7) Dia menyebutkan tiga tahapan: ta’rif, takwin, dan tanfidz. Lalu dia menjelaskan tahapan kedua takwin dengan mengatakan : “Aturan dakwah pada tahapan ini adalah Sufi yang murni dalam hal rohaninya dan ketentaraan murni dari sisi amalannya. Dan syiar kedua perkara ini adalah ‘perintah dan taat’ tanpa disertai keraguan, waswas, dan rasa berat.” (Rasa’il Hasan Al- Banna, 1/7) 
Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullahu mengomentari bai’at Al-Ikhwanul Muslimun ini: “Kritikan saya terhadap bai’at ini dari beberapa sisi: 
Pertama: Bai’at merupakan hak penguasa tertinggi. Barangsiapa yang mengambil bai’at bukan pada penguasa tertinggi, sungguh dia telah berbuat bid’ah yang tercela di dalam agama.
Kedua: Tidak diketahui bahwa para pengemban dakwah mengambil bai’at atas dakwah mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu telah menegakkan dakwah di abad ke-12 hijriah di Najd, namun beliau tidak pernah mengambil bai’at dari siapapun untuk taat kepadanya. Hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah dalam dakwahnya. Demikian pula Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Al- Qar’awi ketika menegakkan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala di Kerajaan Arab Saudi bagian selatan. Beliau tidak pernah mengatakan kepada seseorang bahwa dia ingin mengikatnya dengan bai’at dalam dakwahnya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberi berkah dalam dakwahnya. Sebelum mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tidak pernah mengambil bai’at dari siapapun dan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberkahi dakwahnya. 
Ketiga: Bai’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya lebih sedikit dari apa yang disebutkan Al-Banna. Dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma disebutkan: “Kami membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, sebatas kemampuan kalian.” Ini bagian dari sepuluh rukun yang disebutkan. Manakah dalil atas rukun-rukun lainnya? 
Keempat: Dia menjadikan bentuk ketaatan pada tahapan kedua dari tiga tahapan dakwah yang dia ada-adakan sebagai ketaatan militer yang harus dijalankan, baik perintah itu salah atau benar, batil atau haq. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para sahabatnya untuk mendengar dan taat dan berkata “Sesuai kemampuan kalian.” (Dinukil dengan ringkas dari kitab Al-Maurid Al-Adzb Az-Zulal, karya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An- Najmi rahimahullahu, hal. 214-217) Bai’at jamaah 354/ Islam Jamaah (LDII) 
Dalam Islam Jamaah, yang bernaung dibawah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), perintah amir mendapat tempat istimewa dan sangat menentukan
serta merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits yang manqul. Hal itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari para pengikutnya. Kepatuhan mereka kepada amir adalah sami’na wa atha’na mas tatha’na (kami mendengar dan taat semampu kami). Untuk mempertebal keyakinan pengikutnya, mereka mengarahkan ayat dan hadits yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada ulil amri, kepada wajib taat kepada amir jamaahnya. Segala keputusan ada di tangan amir. Mulai dari boleh tidaknya seseorang berdakwah sampai kepada soal nikah. Amirlah yang menentukan apakah seseorang boleh atau tidak menikah dengan gadis atau pemuda pilihannya, ataupun bercerai dari istri atau suaminya. Demikian pula dalam soal harta. Amirlah yang menentukan apakah seseorang boleh menjual hartanya, misalnya sawah, rumah, kendaraan, dan lain sebagainya. (Bahaya Islam Jamaah, hal. 145) Demikian pula dalam hal penafsiran, semua anggota Islam Jamaah dilarang menerima segala penafsiran yang tidak bersumber dari imam. Sebab penafsiran yang tidak berasal dari imam semuanya salah, sesat, berbahaya, dan tidak manqul. (Bahaya Islam Jamaah, hal. 22) 
Jamaah Ansharut Tauhid Jamaah yang dipimpin oleh Abu Bakr Abdush Shamad Ba’asyir yang merupakan salah satu tokoh Khawarij di negeri kita ini, juga menerapkan sistem bai’at as- sam’u wat tha’ah (mendengar dan taat) kepada para pengikutnya. Ba’asyir -yang sebelumnya juga pernah menjadi Amir MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) sebelum terjadinya perpecahan di antara mereka- juga menerapkan pola yang sama ketika masih di MMI, yaitu bai’at untuk mendengar dan taat kepadanya. Ba’asyir memosisikan dirinya sebagai amir yang harus ditaati layaknya penguasa sebuah negeri. Nash- nash yang seharusnya diarahkan kepada penguasa muslim di sebuah negeri, dia terapkan kepada organisasi dan para pengikutnya. Dalam makalah “Selayang pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT)” terbitan jamaah tersebut, pada hal. 7, dia menyebutkan sistem yang diterapkan dalam jamaah ini: “Sistem organisasi perjuangan adalah dalam bentuk jamaah dan imamah.” Juga disebutkan: “Amir wajib ditaati selama perintah dan kebijaksanaannya tidak maksiat berdasarkan dalil yang qath’i.”
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59) [Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid hal. 9] 
Perhatikanlah, ayat yang semestinya diterapkan untuk penguasa negeri justru diarahkan kepada jamaah dan kelompoknya, bak mendirikan negara di dalam sebuah negara. Jamaah ini mengikat para pengikutnya dengan ikatan janji, yang disebut mu’ahadah, mu’aqadah, atau yang lebih masyhur dengan penyebutan bai’at. Dalam Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid disebutkan: “Mu’ahadah artinya perjanjian atas ketaatan dalam hal yang ma’ruf. Berarti, pemberian janji (sumpah setia) dari seseorang kepada amir untuk sam’u dan tha’ah dalam hal selain maksiat. Baik dalam keadaan senang atau terpaksa, dalam kesempitan atau kelapangan, serta tidak mencabut bai’at dari ahlinya dan menyerahkan urusan kepadanya.” (Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid, hal. 23) Dengan doktrin sam’u (mendengar) dan tha’ah (taat) kepada para pengikutnya, mereka pun rela berjuang dengan harta dan jiwa mereka sekalipun, jika mendapat perintah dari amir jamaahnya, Abu Bakr Ba’asyir, meskipun bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebab, yang wajib ditaati menurut mereka adalah amir jamaahnya, bukan amir Indonesia yang dianggap telah melakukan pelanggaran syariat. Bahkan ketika masih menjabat sebagai amir MMI, dengan tegas mengeluarkan pernyataan sikap atas nama ahlul halli wal ‘aqdi Majelis Mujahidin, dengan judul Fatwa syar’i terhadap pemerintahan SBY-JK, yang mengharamkan tindakan pemerintah ketika menaikkan harga BBM. Pada bagian akhir menyebutkan keputusan yang berbunyi: “Apabila SBY-JK tidak mengembalikan amanah kepada rakyat secara konstitusional, maka rakyat tidak mempunyai kewajiban lagi untuk menaatinya.” (Risalah Mujahidin, edisi 5 Muharram 1428 H/Feb 2007, hal. 89) Lebih tegas lagi menyatakan bahwa pemerintah sekarang ini telah murtad dan keluar dari Islam, dalam tulisan yang berjudul “SURAT ULAMA kepada Presiden Republik Indonesia”, di mana Abu Bakr Ba’asyir menjadi urutan pertama yang menandatangani isi surat tersebut. Disebutkan pada hal. 25-26: “Setiap muslim yang bertauhid akan sampai pada kesimpulan yang ditarik oleh para ulama yang tsiqah (terpercaya) baik salaf maupun kontemporer, yaitu jatuhnya vonis murtad bagi para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini. Para penguasa muslim yang menguasai negeri- negeri kaum muslimin hari ini telah melakukan banyak hal yang
membatalkan keislaman mereka, sehingga kemurtadan mereka berasal dari banyak hal. Artinya, kemurtadan mereka adalah kemurtadan yang sangat parah sehingga hujjah tentang murtadnya mereka tidak terbantahkan lagi.” Dari sini semakin nampak, bahwa bai’at JAT kepada pemimpinnya adalah bai’at pemberontakan dan khuruj (keluar) dari ketaatan kepada penguasa negeri, karena mereka telah dianggap kafir dan murtad. Masih banyak lagi kelompok dan organisasi yang mengikat para pengikutnya dengan sistem jamaah dan imamah, yang semestinya diarahkan kepada penguasa negeri.
Al-’Allamah Al- Albani rahimahullahu berkata: “Adapun bai’at yang dilakukan satu kelompok bagi seseorang terhadap pemimpinnya, atau satu jamaah kepada pemimpinnya, dan yang semisalnya, pada hakikatnya termasuk bid’ah yang baru muncul pada masa kini. Tidak diragukan lagi bahwa ini dapat menimbulkan berbagai fitnah yang sangat banyak di kalangan kaum muslimin.” (Silsilah Al-Huda wan Nur, kaset no. 288) 
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata pula: “Bai’at yang terdapat pada jamaah-jamaah merupakan bai’at yang ganjil dan mungkar. Di dalamnya terkandung makna bahwa seseorang menjadikan untuk dirinya dua imam dan dua penguasa, (pertama) imam tertinggi yang merupakan imam yang menguasai seluruh negeri, dan (kedua) imam yang dibai’atnya. Juga akan menjurus kepada kejahatan, dengan keluar dari ketaatan kepada para penguasa, yang dapat menyebabkan pertumpahan darah dan musnahnya harta benda, yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Silsilah Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, kaset no. 6, side B) 
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim menyadari bahaya munculnya kelompok- kelompok yang mengikat para pengikutnya dengan bai’at. Munculnya kelompok yang seperti ini akan semakin menambah perpecahan kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya radhiyallahu’anhum. Wallahu a’lam. 
Sumber: 


Penulis : Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal 

 
Back To Top