Senin, 23 Juni 2014

Jilbab-Cadar dalam Pandangan Seluruh Agama dan Aliran yang Mengaku “Islam”


Pada akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 ini, pemakaian jilbab semakin semarak di dunia Islam, terutama di Indonesia. Meskipun demikian, praktek berjilbab masih mengundang kontroversi di sejumlah negara di Barat, seperti Perancis, Inggris, dan Amerika. Di negara-negara tersebut jilbab dianggap sebagai pakaian kuno yang akan mengekang kebebasan kaum wanita dan menghambat kemajuan umat Islam. Dalam konteks ini, jilbab selalu dikaitkan dengan persoalan politik dan ideologi. Padahal kewajiban berjilbab  bukan monopoli ajaran Islam tetapi juga ditetapkan dalam tradisi sebelum Islam. Murtadha Muthahhari menyatakan bahwa hijab dan kain kerudung sudah ada di tengah-tengah sebagian kaum sebelum Islam. Penduduk  Iran tempo dulu, kelompok-kelompok Yahudi, dan juga bangsa India merupakan bangsa pemakai jilbab. Jilbab juga digunakan sebagai pakaian yang terhormat oleh kaum wanita Zaroaster, Hindu, Yahudi, dan Kristen.
Tulisan ini  akan mencoba mengulas praktek berjilbab menurut Yahudi, Nasrani, Hindu, Buddha, Kejawen, dan JIL. Mengulas tema ini penting untuk memahami sejumlah pandangan stereotipikal tentang jilbab yang diidentifikasi sebagat produk budaya  Arab, anti-kemajuan, simbol  kebodohan, terorisme, dan sebagainya. Berkaitan dengan pandangan stereotipikal ini, Zahra Rahnavard mengingatkan kaum wanita untuk menyadari bahwa larangan berjilbab adalah senjata paling ampuh untuk merendahkan dan menghinakan kaum wanita. ["Pesan Pemberontakan Hijab Jerit Hati Wanita Muslimah, Zahra Rahnavard, (Bogor: Cahaya, 2003), cet. Ke-I, h.22].

Jilbab Menurut Ajaran Yahudi

Anjuran memakai jilbab-cadar bagi kaum Yahudi:
Talmud Yahudi menyatakan:
“Apabila seorang wanita melanggar syariat Talmud, seperti keluar ke tengah-tengah masyarakat tanpa mengenakan kerudung atau berceloteh di jalan  umum atau asyik mengobrol bersama laki-laki dari kelas apa pun, atau bersuara keras di rumahnya sehingga terdengar oleh tetangga-tetangganya, maka  dalam keadaan seperti itu suaminya boleh menceraikannya tanpa membayar  mahar padanya.” ["Al Hijab", Abul A'la Maududi, h. 6].
Seorang pemuka agama Yahudi, Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja. Dalam bukunya tersebut ia mengutip pernyataan beberapa Rabbi (pendeta Yahudi) kuno yang terkenal: “Bukanlah layaknya anak-anak perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup kepala” dan “Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut istrinya terlihat,” dan “Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan.” [Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen, Sherif Abdel Azeem,  (Yogyakarta: Gama Media,  2001), cet. Ke-2, h.74].
Kerudung juga menyimbolkan kondisi yang membedakan status dan kemewahan yang dimiliki wanita yang menge-nakannya. Kerudung kepala menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi.
Oleh karena itu di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur tidak diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai penutup kepala agar mereka lebih dihormati. (S.W.Schneider, 1984, hal 237).
Wanita-wanita Yahudi di Eropa menggunakan kerudung sampai abad ke 19 hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Dewasa ini, wanita-wanita Yahudi yang shalih tidak pernah memakai penutup kepala kecuali bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi). [S.W.Schneider, 1984, hal. 238-239].
Dalam Hukum Rabi Yahudi, wanita Yahudi yang sudah bersuami dan tidak berjilbab dipandang  sebagai wanita yang tidak terhormat. Hukum Rabi Yahudi juga melarang pembacaan dan doa di depan wanita yang sudah menikah tanpa menutup kepala dengan kerudung karena wanita yang membuka rambutnya itu dianggap sebagai wanita telanjang. Wanita ini bahkan dianggap sebagai wanita yang merusak kerendahan hatinya dan didenda dengan empat ratus zuzim karena pelanggarannya. [ibid, h. 74-75]
Syariat jilbab Yahudi yang ditetapkan oleh hukum Rabi maupun kitab Talmud yang diimani oleh  kaum  Yahudi  setelah  kitab  Taurat, menekankan  kepada kaum wanita untuk mentaati dan mengamalkannya. Bahkan ketika wanita Yahudi keluar rumah dan tidak memakai jilbab, maka laki-laki yang melihatnya harus menegurnya untuk berjilbab. Kalau laki-laki itu membiarkannya, maka ia terkutuk. Begitu pula para suami kepada istri-istrinya. Karena itu,  dapat dikatakan berjilbab  merupakan syariat yang harus ditegakkan dalam kehidupan Yahudi.
Jilbab yang dipakai oleh kaum wanita Yahudi bukan saja sebagai syariat yang harus ditaati,  namun juga sebagai lambang kemewahan, kewibawaan, dan mahalnya harga wanita yang suci, serta menunjukkan status sosial yang terhormat. Hal ini ditegaskan oleh Menachem M. Brayer bahwa,  jilbab wanita Yahudi tidak selamanya dianggap sebagai tanda kesederhanaan atau kerendahan  hati, melainkan juga simbol keistimewaan dan kemewahan, kewibawaan dan superioritas wanita bangsawan, serta menggambarkan mahalnya harga wanita sebagai milik suami yang suci, di  samping sebagai harga diri dan status sosial seorang wanita. [ibid, h. 75].
Pernyataan di atas juga memberikan kesan kuat bahwa jilbab telah dikenakan oleh wanita-wanita sebelum kaum Yahudi, karena jilbab merupakan aturan Tuhan yang diperintahkan kepada para istri-istri Nabi. Jilbab yang dipraktekkan oleh kaum wanita Yahudi tersebut masih bertahan sampai saat ini bahkan wanita-wanita yang berada di Eropa masih mempertahankan pemakaian jilbab sampai abad ke-19 ketika kehidupan wanita sudah mulai bercampur dengan kebudayaan sekuler.’ wanita-wanita Yahudi di Eropa masih mempertahankan tradisi untuk selalu menutup kepalanya supaya tidak terlihat rambutnya dengan wig. Namun wanita-wanita Yahudi yang ada di Timur Tengah masih menggunakan jilbabnya dikala mau keluar rumah maupun beribadah kepada Tuhan di Sinagoge. Berarti syariat jilbab mau dipraktekkan dikalangan kaum wanita Yahudi sebagai ketaatan kepada aturan syariat Talmud dan hukum Rabi Yahudi.
Jilbab yang ditekankan oleh syariat Talmud dan hukum Rabi begitu keras dan tegas kepada kaum wanita Yahudi. Akan tetapi di sisi lain, ada syariat Talmud dan aturan hukum para Rabi Yahudi yang begitu menghinakan kaum wanita, seperti diperbolehkannya para wanita untuk menjadi pelacur demi kemenangan kaum Yahudi. Dinyatakan oleh Rabbi Tam bahwa berzina dengan orang non-Yahudi, baik laki-laki maupun perempuan, tidak ada hukumnya, karena orang-orang asing adalah keturunan hewan. [Talmud Kitab Hitam Yahudi Yang Menggemparkan, Muhammad  Asy-Syarqawi, (Jatiwaringin: Sahara, 2004), cet. Ke-1, h. 234].
Ungkapan Rabi Yahudi ini berarti membolehkan pelacuran dan perbuatan perzinahan bagi kaum wanitanya.

Jilbab Menurut Ajaran Nasrani

Anjuran memakai jilbab-cadar bagi kaum Nasrani:
“…Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah. Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung? Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah kehinaan bagi laki-laki, jika ia berambut panjang, tetapi bahwa adalah kehormatan bagi perempuan, jika ia berambut panjang? Sebab rambut diberikan kepada perempuan untuk menjadi penudung…” Korintus 11: 5-15).
“…Menjelang senja Ishak sedang keluar untuk berjalan-jalan di padang. Ia melayangkan pandangnya, maka dilihatnyalah ada unta-unta datang. Ribka juga melayangkan pandangnya dan ketika dilihatnya Ishak, turunlah ia dari untanya. Katanya kepada hamba itu: “Siapakah laki-laki itu yang berjalan di padang ke arah kita?” Jawab hamba itu: “Dialah tuanku itu.” Lalu Ribka mengambil telekungnya dan bertelekunglah ia.” (Genesis/Kejadian 24: 63-65)
Berjilbab dalam tradisi Kristen tidak jauh berbeda dengan tradsi Yahudi. Wanita-wanita di sekitar Yesus kristus berjilbab atau berkerudung sesuai dengan praktek wanita-wanita di sekitar para Nabi terdahulu. Pakaian mereka longgar dan menutupi tubuh mereka sepenuhnya. Mereka juga berjilbab untuk menutupi rambutnya. Hal itu berarti bahwa wanita-wanita kristen yang berjilbab merupakan tanda ketaatan kepada Tuhan. Tradisi berjilbab ini bahkan sudah lama dipraktekkan oleh para Biarawati katolik selama ratusan tahun. ["Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen", Sherif Abdel Azeem, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), cet. Ke-2, h.76].
Menutup kepala atau berjilbab yang dilakukan oleh para Biarawati Katolik itu sampai kini masih diberlakukan. Namun, wanita-wanita kristen saat ini, baik yang ada di Eropa atau Barat, dan termasuk di Indonesia, tidak memakai jilbab atau menutup kepalanya, walaupun Santo Paulus telah mengingatkan kepada jemaatnya untuk memakai kerudung atau berjilbab.
Menurut St. Paulus, menutup kepala bagi wanita itu sebagai simbol otoritas laki-laki yang  merupakan bayangan dan keagungan Tuhan, karena wanita diciptakan dari laki-laki dan untuk  kepentingan laki-laki pula. [Kitab I Korintus, 11: 7-9]
Begitu pula St.Tertullian menyatakan bahwa, wanita muda harus memakai kerudung ketika ia mau pergi ke jalan. Oleh karenanya, wanita diwajibkan untuk memakai jilbab ketika di Gereja  dan ketika berada di antara orang-orang yang tidak dikenal. ["Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen", Sherif Abdel Azeem, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), cet. Ke-2, h.76-77].


Dalam kaitan ini, Abu Ameenah Bilal Philips menegaskan bahwa, dalam kanon Gereja  katolik  terdapat artikel hukum yang mewajibkan wanita untuk menutup kepala mereka saat berada di  Gereja. Bahkan sekte-sekte Kristen, seperti kaum Amish dan Mennonite memelihara kerudung bagi kaum wanitanya hingga saat ini. ["Agama Yesus Yang Sebenarnya", Abu Ameenah Bilal  Philips,(Jakarta: Pustaka Dai, 2004), h. 179].
Namun wanita kristen yang berada di Barat atau di Eropa, atau juga di Indonesia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan saat datang ke Gereja pada setiap hari minggu tidak terlihat jemaat wanitanya memakai jilbab atau kerudung. Berjilbab dalam kristen ternyata sudah  dipraktekkan oleh Ibu Yesus kristus atau Bunda Maria, seperti terlihat dalam gambar-gambar Bunda Maria yang memakai jilbab. St. Paulus menekankan kepada wanita Kristen untuk berjilbab karena termasuk wanita yang mulia dan terhormat. Apalagi Bunda Maria sebagai ibu Yesus yang suci dan dimuliakan Tuhan.

Jilbab Menurut Ajaran Hindu

Anjuran memakai jilbab-cadar bagi kaum Hindu:
“Ketika Brahma berpapasan, ketika Brahma memilihkan anda seorang perempuan, kalian hendaknya menundukkan pandangan, tidak boleh memandang. Anda harus menyembunyikan pergelangan anda, dan tidak boleh memperlihatkan apa yang dipergelangan anda.” [Rigveda Book 8 Hymn 33 Verses 19].
“Orang tidak boleh senonoh, apabila seorang suami mengenakan pakaian istrinya, tidak boleh mengenakan pakaian lawan jenis.” [Rigveda Book 10 Hym 85 Verses 30].
“Rama berkata kepada Shinta, dia memerintahkan agar menundukkan pandangan dan mengenakan kerudung.” [Mahavir Charitra Act 2 Page 71].
Hal yang sama juga dilakukan dalam tradisi orang-orang India yang sebagian besar penganut ajaran Hindu. Pakaian yang panjang sampai menyentuh mata kaki dengan kerudung menutupi kepala adalah pakaian khas yang dipakai sehari-hari.

Jilbab-Cadar Menurut Ajaran Buddha

Anjuran memakai jilbab-cadar bagi kaum Buddha:
Pada masa Sang Buddha beberapa wanita memakai cadar walaupun lebih sebagai [pelindung] yang sama dengan topi daripada untuk menutupi wajah. Namun sekitar awal milenium pertama, cadar mulai dianggap sebagai hal yang sepantasnya bagi wanita kelas atas dan mereka yang berada dalam rumah tangga kerajaan untuk menutupi diri mereka dengan cadar. Ini merupakan awal dari apa yang disebut purdah, pengasingan para wanita dari khalayak ramai, sebuah trend yang menjadi lebih tersebar luas di India dengan diperkenalkannya agama Islam pada abad ke-13. Para wanita desa di India masih menarik kain sari mereka menutupi wajah mereka di hadapan pria yang tidak ada hubungan dengan mereka.
Lalitavistara [Sutra], sebuah kisah kehidupan Sang Buddha yang fantastis yang disusun sekitar abad pertama SM dan abad ke-3 M, mengandung kisah yang menarik berkenaan dengan masalah wanita memakai cadar. Berdasarkan karya ini, setelah Yasodhara terpilih menjadi istri Pangeran Siddhartha, orang-orang mengkritiknya karena tidak menutupi dirinya dengan cadar di hadapan ayah dan ibu mertuanya. Ini dianggap sebagai tanda ketidaksopanan dan ketidaksetiaan”
Lalitavistara menggambarkan wanita muda tersebut mempertahankan dirinya dalam kata-kata berikut:
“Mereka yang terkendali dalam perbuatan dan perilaku, baik dalam tutur kata, dengan indera-indera terkendali, tenang dan damai, mengapa mereka harus menutupi wajah mereka? Bahkan jika ditutupi dengan seribu cadar, jika mereka tidak tahu malu dan tidak sopan, tidak jujur dan tidak memiliki kebajikan, mereka hidup di dunia ini dengan tidak tertutupi dan tidak terlindungi. Bahkan tanpa ditutupi cadar jika indera-indera dan pikiran mereka terjaga dengan baik, mereka setia pada satu suami, tidak pernah berpikir tentang [pria] yang lain, mereka bersinar bagaikan matahari dan rembulan. Jadi mengapa mereka harus menutupi wajah mereka? Orang-orang bijaksana yang [dapat] membaca pikiran orang lain mengetahui maksudku seperti juga para dewa mengetahui perilaku dan kebajikanku, ketaatan dan kesopananku, Oleh sebab itu, mengapa aku harus menutupi wajahku?”
Walaupun kisah ini diragukan kebenarannya, ini sesuai dengan pandangan Sang Buddha bahwa hal-hal psikologis dan internal lebih penting daripada hal-hal material dan eksternal.
[http://sdhammika.blogspot.com/2011/01/veils-and-veiling-buddhist-view.html]
Dewi Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva), yang dikenal sebagai Buddha dengan 20 ajaran welas asih, juga digambarkan memakai pakaian suci yang panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna putih menutup kepala. [http://artikelunik.com/wp-content/uploads/2010/04/kwan_yin.jpg].
Kewajiban memakai jilbab bagi kaum wanita bukan monopoli tradisi Islam. Memakai jilbab juga  bagian dari tradisi keagamaan Yahudi, Nasrani, Hindu dan Buddha.
Dalam tradisi Yahudi, jilbab merupakan  simbol ketaatan dan kehormatan wanita terhadap suaminya, bentuk ibadah kepada Tuhan, lambang kemewahan, kewibawaan, kebangsawanan, dan kesucian wanita.
Meskipun prakteknya tidak ideal,  kewajiban memakai jilbab dalam tradisi kristen tercermin dalam ungkapan St. Paulus yang menyatakan bahwa wanita yang tidak berjilbab maka harus dicukur rambutnya sampai botak karena dianggap telah menghina suaminya.
Islam menegaskan bahwa kaum wanita diwajibkan  untuk berjilbab dan berpakaian yang sopan dan terhormat, tidak tipis dan ketat yang bisa menimbulkan rangsangan birahi dan fitnah. Jilbab dalam Islam tidak mengekang dan membuat wanita menjadi terbelakang melainkan wanita menjadi terjaga kesucian dan kehormatannya, terjaga keamanan dan kemuliaannya. Jadi, wanita muslimah yang berjilbab berarti membumikan  syariat Ilahi dalam kehidupannya sehingga menimbulkan kepribadian yang tangguh dan jati diri wanita yang shalihah.
Lain halnya dengan ajaran Kejawen dan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mana mereka mengatakan bahwa jilbab adalah tidak wajib dan merupakan budaya arab.

Jilbab Menurut Ajaran Kejawen
Jilbab Dilarang Masuk Keraton Yogyakarta:
Yogyakarta – Informasi cara berpakaian yang diperbolehkan masuk Keraton bagi para wartawan simpang-siur. Salah satunya pengenaan jilbab yang semula diperbolehkan masuk Keraton, ternyata direvisi oleh tim media center.
“Bukan jilbabnya yang tidak boleh, tetapi karena ini kegiatan adat istiadat, maka semua wartawan harus bersanggul,” kata Haris Djauhari, salah satu anggota tim media center, kepada Tempo, Minggu, 16 Oktober 2011 malam. “Jadi, tidak boleh mengenakan jilbab.”
Meski tidak diperbolehkan, informasi ini tidak disampaikan melalui pengumuman resmi, tetapi pendekatan personal. Pun demikian dengan larangan memakai kebaya brokat. “Kebaya brokat besok jangan dipakai ya, pakai kain kartini saja, bukan brokat,” kata Haris. Motif brokat yang bolong-bolong memang memperlihatkan bagian tubuh. Sementara kalau menggunakan kain tanpa motif brokat, seluruh tubuh tertutup rapat.
Kebiasaan di Keraton, selama ada kegiatan adat istiadat selama ini memang tak memperkenankan jilbab masuk Keraton. Contohnya, sungkeman pada perayaan Idul Fitri atau ngabekten. Untuk perempuannya mengenakan sanggul dan kebaya. Jadi, meskipun para pejabat mengenakan jilbab di pemerintahan, mereka melepaskan jilbab dan menggantinya dengan sanggul. Namun selama Tempo meliput acara di Keraton Kilen, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X sedang mengumumkan sesuatu yang tak berkaitan dengan adat istiadat, beberapa wartawan yang mengenakan jilbab tetap bisa masuk Keraton Kilen.
Tidak satu pintunya informasi ini menyebabkan peliputan tak seragam, khusus untuk wartawan putrinya. Ada yang tidak mengenakan sanggul, ada yang cuma dikuncir, ada pula yang make up lengkap dengan sanggul karena di tata tertib bagi wartawan memang mengumumkan hal itu. Obrolan para wartawan pun akhirnya melebar kepada penyewaan kebaya yang sulit dicari. Mahalnya ongkos make up, sanggul, dan pengenaan kebaya. Seorang wartawan NHK Jepang, misalnya, mengatakan karena tak bisa mengenakan kebaya dan sanggul, dia terpaksa mengambil paket seharga Rp 125.000. “Mahal juga ya,” katanya sembari tertawa.
Seorang wartawan Jerman kesulitan mencari kebaya karena ukuran tubuhnya yang jumbo. Seorang pemilik salon di kawasan Gejayan, Puri, mengaku sudah mencari pinjaman ke mana-mana, tetapi tidak juga menemukan kebaya yang dimaksud. “Wah, saya ikut bingung,” ujarnya.  [BERNADA RURIT TEMPOINTERAKTIF.COM]

Jilbab Menurut Ajaran Jil (Jaringan Islam Liberal)
Jilbab adalah tidak wajib, hanya budaya Arab!
Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang tokoh liberal Mesir, yang memberikan peryataan kontroversial bahwa, jilbab adalah produk budaya Arab. Pemikirannya tersebut dapat dilihat dalam buku Kritik Atas Jilbab yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation.
Dalam buku tersebut diyatakan bahwa jibab itu tak wajib. Bahkan Al-Asymawi dengan lantang berkata bahwa hadits-hadits yang menjadi rujukan tentang kewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutipannya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.”
Buku tersebut secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama. [http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=339]
M. Quraish Shihab (beliau adalah seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu Al- Qur’an dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998). Ia dilahirkan di Rappang, pada tanggal 16 Februari 1944. Ia adalah kakak kandung mantan Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu, Alwi Shihab),
Dalam menafsirkan surat Al-Ahzab:59,  M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang aneh dengan manyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.”[M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11, hal. 321.]
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap pendapatnya tersebut.
Di samping mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga mengulanginya dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Tidak hanya itu, ia juga menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia bahkan mempertanyakan hukum jilbab dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an. Tetapi apa hukumnya? [M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 171]
M Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan pendapat ganjilnya tersebut. Ia menulis:
Di atas -semoga telah tergambar- tafsir serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang berbeda -dan boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini. [Ibid, hal. 178.]
Selanjutnya, M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh -dalam kedudukannya sebagai adat- untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya. Tulisnya:
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini. [M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 178-179.]
Untuk mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa, meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula, menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya. [Ibid, hal. 179.]
M. Qurash Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Quraish Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat. [Ibid, hal. 179.]
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal.
Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah.
Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat.
Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama. Betulkah kesimpulannya tersebut? Tulisan ini mencoba untuk mengkritisinya.
["Meluruskan Qurais Sihab dan JIL tentang Jilbab" oleh FAHRUR MU’IS].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah?” (QS Al-Baqarah: 140).
Allah Ta’ala berfirman: ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al-Ma’idah: 50).
Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS Ar-Rum: 6-7).


Kamis, 19 Juni 2014

Petunjuk Islam Menjaga Pemuda Dari Narkoba


Mereka yang tidak senang dengan Islam nampaknya sudah tahu bahwa:  “jika ingin menghancurkan Islam, bukan dengan cara merobek Al-Qur’an, mencaci-maki Nabi mereka atau menyerang Ka’bah, maka serentak seluruh umat Islam dari berbagai penjuru dengan mengorbankan harta, jiwa dan raga mereka akan membela mati-matian. Tetapi caranya dengan merusak pemuda mereka, seks bebas, narkoba, maniak game dan kerusakan moral dan akhlak.”
Tentu pemuda Islam harus tahu dan hati-hati mengenai hal ini. Dan agama Islam-pun telah menaruh perhatian lebih terhadap para pemuda, menjaga pemuda agar tumbuh dalam bimbingan syariat, sehingga berguna bagi masyarakat dan agama.
Salah satu cara tersebut dengan menjerumuskan pemuda Islam dalam narkoba atau semisalnya seperti Miras dan penghalang akal lainnya. Berikut pembahasan sedikit mengenai hal ini.

Perhatian Islam terhadap pemuda
Para pemuda adalah generasi penerus bangsa dan tongkat estafet agama dan dakwah. Oleh karena itu agama Islam yang menaruh perhatian terhadap para pemuda dan pendidikan mereka. Karena memang masa muda adalah masa mencari jati diri, masa semangat masih bergelora dan masa penuh cita-cita.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu berkata:
“Para pemuda pada setiap umat manapun, mereka adalah tulang punggungyang membentuk unsur pergerakan dan dinamisasi. Dikarenakan dia mempunyai kekuatan yang produktif, kontribusi yang terus menerus. Dan tidak akan bangkit suatu umat umumnya  kecuali ada di pundak  (ada kepedulian dan sumbangsih) para pemuda  yang punya kepedulian dan semangat menggelora.”
Sindikat narkoba rupanya tahu benar bahwa pemuda adalah sasaran empuk bagi mereka. Para pemuda adalah incaran dari sindikat narkoba, karena memang para pemuda yang tidak labil jiwanya mudah dipengaruhi dan pemuda yang goyah mudah dipermainkan dengan bahasa “harga diri dan eksistensi”. Akhirnya tidak sedikit pemuda yang terjerat lingkaran setan narkoba.
Berikut beberapa langkah yang ditempuh agar para pemuda kita tidak terjerumus dalam narkoba:
Menyarankan para pemuda agar mengisi waktu dengan kegiatan positif
Karena kekosongan waktu adala sumber kerusakan pemuda. Karena kosongnya waktu dari kegiatan positif, akhirnya mereka melakukan berbagai perbuatan aneh-aneh yang intinya mencari perhatian dan eksistensi diri. Salah satu yang mereka ingin coba, bisa jadi adalah narkoba, apallagi lingkungan dan situasi mendukung.
Dan salah satu penyebab kerusakan pemuda adalah kekosongan waktu alias tidak ada kegiatan yang bernilai positif. Ditambah lagi masa-masa muda adalah masa mencari jati diri, masa membuktikan eksistensi, masa mencari perhatian dan masa penuh semangat dan bergairah. Akan tetapi dibalik semangat ini perlu kontrol dan perlu pembinaan agar tidak berlebihan dan keluar dari bimbingan syariat.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:
“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil”
Jadi jika para pemuda tidak menyibukkan diri dengan  kegiatan positif, maka mereka pasti akan mengisi dengan kegiatan negatif atau minimal kegiatan sia-sia yang tidak berfaidah.

Perhatian orang tua terhadap pemuda dan lingkungannya
Tidak sedikit pemuda yang terjerat narkoba berasal dari keluarga yang “broken home”  atau dari keluarga dengan bapak-ibu mereka yang sangat  sibuk, sehingga waktu dan perhatian terhadap anak lalai. Anak malah menjadi didikan pembantu atau sangat dipengaruhi lingkungan. Jika lingkungan dan teman-temannya buruk, maka anak sangat mudah terpengaruh dan tidak ada orang tua yang memantau.
Hendaknya orang tua memantau lingkungan dan teman pergaulan para pemuda. Karena ini sangat berpengaruh. Agama seseorang saja, sangat terpengaruh dengan teman bergaulnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang manusia akan mengikuti agama teman dekatnya, maka hendaknya salah seorang darimu melihat siapa yang dijadikan teman dekatnya”

Memberikan penyuluhan dan edukasi kepada para pemuda mengenai bahaya narkoba
Alhamdulillah untuk langkah yang satu ini sudah mulai sering dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, LSM, misi kemanusiaan dan tentunya agama Islam. Kita beri pengetahuan kepada para pemuda mengenai bahaya dari narkoba serta dampaknya bagi kehidupan masyarakat dan agama. Ini adalah termasuk yang dilarang oleh agama karena sama saja dengan membinasakan diri sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:
“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”(Al-Baqarah: 195)
Selain dampak kerusakan di dunia, kita jelaskan juga dampak akibat narkoba untuk kehidupan akherat mereka, kehidupan kampung abadi yang kekal kelak. Termasuk yang kita jelaskan kepada para pemuda, jangan sampai ikut-ikutan memakai apalalgi meyebarkannya. Karena dalam Islam hukumannya sangat berat di dunia apalagi di akherat.
Pengedar narkoba termasuk orang yang membuat kerusakan dimuka bumi.  Maka hukuman bagi  mereka yang membuat kerusakan di muka bumi adalah salah satu dari empat hukuman sesuai kebijakan pemerintah Islam. sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka  [1] dibunuh atau [2] disalib, [3] dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang,  [4] atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (Al-Maidah: 33)
Akan tetapi melihat besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh pengedar narkoba maka hukuman yang dipilih oleh para ulama adalah hukuman mati. Demikian juga hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah Islam adalah hukuman mati (ini disebut  ta’zir yaitu hukuman yang tidak ditetapkan oleh syariat yang menetapkannya adalah pemerintah Islam. Jika ditetapkan oleh syariat disebuthudud, misalnya hukuman potong tangan.)
Demikian semoga bermanfaat

Saya kutib dari tulisan dokter Raehanul Bahraen

Manfaat Demam Untuk Tubuh (Syariat Dan Medis)


Mungkin ada kita pernah melihat seorang ibu yang saking paniknya karena anaknya demam tinggi atau anaknya kejang karena demam, akhirnya sang ibu menyalahkan demam bahkan ada juga yang mencela
“kok demamnya naik terus sih, padahal sudah diberi obat”
Atau
“dasar demam ini! Ga tau apa kita susah ni.”
Ternyata demam yang dicela atau sangat tidak diharapkan, ada manfatnya baik bagi dunia maupun akhirat. berikut sedikit pembahasanya:
Sebagian orang yang tidak sabar, ketika ditimpa musibah atau sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya maka ia mengeluh bahkan mencela. Seseorang yang sakit mungkin awalnya ia akan mengeluh, akan tetapi lama-lama ia akan mencela dan memaki.  Apalagi jika sakit tersebut disertai dengan demam yang tinggi dan sulit hilang, atau hilang-muncul.
Terdapat larangan dalam syariat agar kita tidak mencela demam. dari Jabir radiyallahu ‘anhu:
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk Ummu as-Saib (atau Ummu al-Musayyib), kemudian beliau bertanya: ‘Apa yang terjadi denganmu wahai Ummu al-Sa’ib (atau wahai Ummu al-Musayyib), kenapa kamu bergetar?’ Dia menjawab: ‘Sakit demam yang tidak ada keberkahan Allah padanya.’ Maka beliau bersabda: ‘Janganlah kamu mencela demam, karena ia menghilangkan dosa anak Adam, sebagaimana alat pemanas besi mampu menghilangkan karat’.(HR Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
“Demam yaitu rasa panas/hangat merupakan jenis penyakit yang sering terjadi, akan tetapi terjadi karena takdir Allah, Allah yang menakdirkannya. Segala sesuatu yang merupakan perbuatan Allah maka tidak boleh bagi manusia mencelanya karena jika mencelanya berarti mencela penciptanya. Karenanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ‘jangalah kalian mencela waktu karena Allah adalah (pengatur dan pencipta) waktu.” (Syarh Riyadus Sholihin)
Demikianlah secara umum sakit bisa menggugurkan dosa seseorang asalkan dia bersabar Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
“Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan hapuskan kesalahannya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya” (HR Bukhori)
Dan beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau sesuatu hal yang lebih berat dari itu melainkan diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya karenanya.” (HR Muslim)
Bahkan bisa jadi ia tidak mempunyai dosa sama sekali, menjadi suci sebagaimana anak yang baru lahir ketika sembuh atau ketika meninggal karena penyakit tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Cobaan akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya maupun pada hartanya, sehingga ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun.” (HR Tirmidzi, Ahmad dan lainnya, dan dinyatakan hasan shohih oleh Syaikh Al Albani)

Hampir setiap manusia pernah terkena demam
Karenanya demam tidak perlu dicela karena memang sudah menjadi jatah manusia di dunia dan ternyata bermanfaat, bisa menggugurkan dosa-dosa kita.
Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
“demam adalah bagian jatah seorang mukmin dari neraka” (Dari Munad Ibnu Syihab dan dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari)
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terkena demam dengan panas dua kali lipat manusia.
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata:
“Aku pernah mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang sakit. Kemudian Aku letakkan tanganku di atas selimut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku dapati panasnya (sangat panas karena yang disentuh adalah selimutnya, bukan badannya).
Aku berkata, “wahai Rasulullah, betapa beratnya demam ini!”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya kami para nabi, diberi ujian yang sangat berat, sehingga pahala kami dilipat gandakan.”
Abu Said pun bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
Para nabi, kemudian orang shaleh. Sungguh ada diantara mereka yang diuji dengan kemiskinan, sehingga harta yang dimiliki tinggal baju yang dia gunakan. Sungguh para nabi dan orang shaleh itu, lebih bangga dengan ujian yang dideritanya, melebihi kegembiraan kalian ketika mendapat rezeki.”(HR Baihaqi)
Bahakan para sahabat juga terkena demam.
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah berkata:
“Para Sahabat terkena demam ketika sampai di Madinah. Maka Abu Bakar dan Bilal terkena demam. Kemudian ‘Aisyah menemui mereka kemudian berkata:
“Wahai ayah bagaimana keadaannmu? Wahai Bilal bagaimana keadaanmu?”
Abu Bakar ketika tertimpa demam beliau berkata:
“Setiap orang bersama keluarganya padahal kematian lebih dekat daripada tali sandalnya.”

Manfaat Demam Secara Medis
Ternyata demam memiliki menfaat bagi tubuh dan merupakan proses tubuh dalam adaptasi dan menyesuaikan dengan keadaan tubuh yang terkena serangan infeksi atau peradangan. Berikut ringkasan manfaat demam:
1. Meningkatkan kekebalan atau imunitas alami tubuh, sehingga infeksi bisa terkendali terutama infeksi virus.
2.   Mengurangi zat besi yang merupakan sumber makanan bagi kuman.
3.   Meningkatkan mobilitas sel darah putih untuk melawan penyakit dan infeksi.
4.   Demam bisa menurunkan efek racun dari kuman yaitu yang disebut endoktoksin.
5.   Dan masih banyak manfaat demam lainnya.

Akan tetapi demam juga perlu dikontrol dan jangan sampai terlalu lama dan berlebihan. Selebihnya bisa kontrol ke dokter untuk mengontrol demam dan memeriksakan penyebab demam.
Alhamdulillah segalanya memang ada hikmahnya dan tidaklah Allah menciptakannya dengan sia-sia.
Demikian semoga bermanfaat.


Saya kutib dari tulisan dokter Raehanul Bahraen

Larangan Mengambil Ilmu Dari Ahli Bid'ah


Diriwayatkan dari Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya salah satu tanda dekatnya hari Kiamat adalah ilmu diambil dari kaum ashaaghir (ahli bid'ah) *.”
[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (61), dari jalur tersebut al-Lalika-i meriwayatkannya dalam kitab Syarah Usbuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (102), ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XXII/908 dan 299), al-Harawi dalam kitab Dzammul Kalaam (11/137), al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/79), Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab Jaami’ Bayaanil 'llm (1052) dan lainnya dari jalur Ibnu Luhai'ah, dari Bakr bin Sawadah, dari Abu Umayyah. Saya (Syaikh Salim) katakan: "Sanadnya shahih shahih, karena riwayat al-'Abadillah dari Ibnu Luhai'ah adalah riwayat shahih. Adapun perkataan al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaa-id (I/1365) yang mendha'ifkan Ibnu Luhai'ah tidaklah tepat."]
* Ibnul Mubarak berkata dalam kitab az-Zuhd (hal. 21 dan 281): "Yang dimaksud kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah."
Ditambah lagi Ibnu Luhai'ah tidak tersendiri dalam meriwayatkan hadits ini, ia telah diikuti oleh Sa'id bin Abi Ayyub yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' (I/137). Sa'id adalah perawi tsiqah.

Ada dua penyerta lain lagi bagi hadits ini:
Pertama: Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata:
"Manusia senantiasa shalih dan berpegang kepada yang baik selama ilmu datang kepada mereka dari Sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari orang-orang yang berilmu dari mereka. Jika ilmu datang kepada mereka dari kaum ashaaghir maka mereka akan binasa."
[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak (815), 'Abdurrazaq (XI/246), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (VIII/49) dan al-Lalikai dalam Syarh Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (101)]. Saya katakan: "Sanad hadits tersebut shahih."

Kedua: Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
 "Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama generasi pertama masih tersisa dan generasi berikut menimba ilmu dari mereka. Jika generasi pertama telah berlalu sebelum generasi berikut menimba ilmu dari mereka, maka manusia akan binasa."
[Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/78-79) dan Ahmad dalam kitab az-Zuhd (hal. 189) melalui dua jalur dari Salman.

Kedua hadits ini memiliki hukum marfu', sebab perkara di atas termasuk salah satu tanda hari Kiamat yang tidak dapat dikatakan atas dasar logika dan ijtihad. Wallahu a'lam.

Kandungan Bab:
1.     Kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu yang berani mengeluarkan fatwa meski mereka tidak memiliki ilmu. Hal ini telah diisyaratkan dalam hadits yang berbicara tentang terangkatnya ilmu.
2.      Ulama adalah kaum Akaabir meskipun usia mereka muda. Ibnu 'Abdil Barr berkata dalam kitab Jaami'Bayaanil’llm, "Orang jahil itu kecil, meskipun usianya tua. Orang alim itu besar meskipun usianya muda." Lalu ia membawakan sebuah sya'ir, "Tuntutlah ilmu, karena tidak ada seorangpun yang lahir langsung jadi ulama. Sesungguhnya orang alim tidaklah sama dengan orang jahil. Sesepuh satu kaum yang tidak punya ilmu Akan menjadi kecil bila orang-orang melihat kepadanya."
3.   Ilmu adalah yang bersumber dari Sahabat radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka. Itulah ilmu yang berguna. Jika tidak demikian, maka pemiliknya akan binasa karenanya. Dan pemiliknya tidak akan menjadi imam, tidak menjadi orang dipercaya dan diridhai.
4.     Para penuntut ilmu harus mengambil ilmu dari orang-orang yang bertakwa, shalih dan mengikuti Salafush Shalih. Sebab, keberkatan selalu bersama mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Keberkahan selalu bersama kaum akaabir (ahli ilmu) kalian." [HR Ibnu Hibban (955), al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (36-37), al-Hakim (I/62), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VIII/171-172), al-Khathib al-Baghdadi dalam Taarikh Baghdaad (XI/165), al-Bazzar dalam Musnadnya (1957) dan lainnya melalui beberapa jalur dari 'Abdullah bin al-Mubarak, dari Khalid al-Hadzdza', dari 'Ikrimah, dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu. Saya katakan: "Sanadnya shahih].
5.     Ulama Salaf terdahulu telah mengisyaratkan keterangan ini yang dapat menyelamatkan kita dari kejahilan dan menjaga kita dari kesesatan.

Seorang tabi'in yang mulia, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu..!" [HR Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/14) dengan sanad shahih].
Sebab, ilmu ini hanya dibawa oleh orang-orang yang terpercaya, maka selayaknya diambil dari mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Musa 'lsa bin Shabih, Telah diriwayatkan sebuah hadits shahih dari Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan kaum yang melampaui batas, takwil orang-orang jahil dan pemalsuan ahli bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu." (Al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' [1/129]).
Oleh karena itu pula harus dibedakan antara ulama Ahlus Sunnah dengan ahli bid'ah, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Muhammad bin Siirin rahimahullah:
"Dahulu, orang-orang tidak bertanya tentang sanad. Namun setelah terjadi fitnah (munculnya bid'ah), mereka berkata, 'Sebutkanlah perawi-perawi kalian!' Jika perawi tersebut Ahlus Sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Dan jika ahli bid'ah, maka tidak akan mereka ambil haditsnya." [HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/15) dengan sanad shahih].
Demikian pula harus dilihat spesialisasi tiap-tiap orang dan mengambil pendapatnya dalam bidang yang sudah menjadi spesialisasinya. Sebab setiap ilmu memiliki tokoh-tokoh tersendiri, mereka dikenal dengan ilmu tersebut dan ilmu tersebut dapat diketahui melalui mereka.
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:
"Sesungguhnya, ilmu ini adalah agama, maka periksalah dari siapa engkau mengambil ajaran agamamu. Aku sudah bertemu tujuh puluh orang yang mengatakan, fulan berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaiahi wa sallam bersabda di tiang masjid ini -beliau menunjuk Masjid Nabawi namun aku tidak mengambil satu pun hadits dari mereka.- Sesungguhnya, ada beberapa orang dari mereka yang apabila diberi amanat harta, maka ia akan memelihara amanat tersebut. Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam bidang ini. Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin Syihab pernah datang ke sini, lalu mereka berkerumun di depan pintunya." [Lihat kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/98)].
Para ahli ilmu telah mengingatkan hal ini dalam tulisan-tulisan mereka. Tujuannya untuk melindungi generasi mendatang agar tidak terpengaruh oleh klaim-klaim dari orang-orang yang bertambah subur tanaman mereka di tanah yang tandus. Yakni orang-orang yang ingin mencuat sebelum matang, ingin muncul sebelum tiba waktunya..!
Mereka berkoar-koar di majelis-majelis ilmu, sibuk mengeluarkan fatwa dan sibuk mengarang buku. Mereka mendesak naik ke puncak yang telah ditempati oleh para ulama terlebih dulu. Mereka menempatinya untuk merubuhkan batas-batas pemisahnya dan mengurai jalinannya.
Aksi mereka bertambah gila lagi dengan berdatangannya orang-orang awam dan orang-orang yang setipe dengannya ke majelis-majelis mereka dengan perasaan takjub, amat girang menyimak cerita-cerita kosong mereka.
Al-Khathib al-Baghdaadi berkata dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/960), "Seorang penuntut ilmu seharusnya menimba ilmu dari ahli fiqih yang terkenal kuat memegang agama, dikenal shalih dan menjaga kesucian diri."
Kemudian ia mengatakan: "Dan hendaknya ia juga harus menghiasi diri dengan etika-etika ilmu, seperti sabar, santun, tawadhu' terhadap sesama penuntut ilmu, bersikap lembut kepada sesama, rendah hati, penuh toleransi kepada teman, mengatakan yang benar, memberi nasihat kepada orang lain dan sifat-sifat terpuji lainnya."
Dalam kitabnya yang langka, yakni al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami' (1/126-127), beliau telah menulis beberapa pasal. Kami akan menyebutkan inti dari pasal-pasal tersebut:
1.    Tingkatan keilmuan para perawi tidaklah sama, harus didahulukan mendengar riwayat dari perawi yang memiliki sanad 'Ali (lebih dekat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika sanad para perawi tersebut sama dalam hal ini, sedang ia ingin mengambil sebagian saja dari sanad-sanad tersebut, maka hendaklah ia memilih perawi yang lebih populer dalam bidang hadits, yang dikenal ahli dan menguasai ilmu ini.
2.        Jika para perawi tersebut juga sama dalam kedua hal tersebut, maka hendaklah memilih perawi yang memiliki nasab dan silsilah yang lebih mulia. Riwayatnyalah yang lebih layak disimak.
3.   Hal itu semua berlaku bila para perawi itu telah memenuhi kriteria lain, seperti istiqamah di atas manhaj Salafush Shalih, terpercaya dan terhindar dari bid'ah. Adapun perawi yang tidak memenuhi kriteria di atas, maka harus dijauhi dan jangan menyimak riwayat darinya.
4.     Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mendengar riwayat dari perawi yang telah terbukti kefasikannya. Seorang perawi dapat disebut fasik karena banyak perkara, tidak hanya karena perkara yang berkaitan dengan hadits. Adapun yang berkaitan dengan hadits misalnya memalsukan matan hadits atas nama Rasulullah saw. atau membuat-buat sanad-sanad atau matan-matan palsu. Bahkan katanya, alasan diadakannya pemeriksaan terhadap para perawi awalnya adalah disebabkan perkara di atas.
5.    Di antara para perawi itu ada yang mengaku telah mendengar dari syaikh yang belum pernah ditemuinya. Karena itulah para ulama mencatat tarikh kelahiran dan kematian para perawi. Ditemukanlah riwayat-riwayat sejumlah perawi dari syaikh-syaikh yang tidak mungkin bertemu dengan mereka karena keterpautan usia yang sangat jauh.
6.   Ulama ahli hadits juga menyebutkan sifat-sifat ulama dan kriteria mereka. Dengan demikian banyak sekali terbongkar kedok sejumlah perawi.
7.    Jika perawi tersebut terlepas dari tuduhan memalsukan hadits, terlepas dari tuduhan meriwayatkan hadits dari syaikh yang belum pernah ditemuinya dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat menjatuhkan kehormatannya, hanya saja ia tidak memiliki kitab riwayat yang didengarnya itu dan hanya beipatokan kepada hafalannya dalam menyampaikan hadits, maka tidak boleh mengambil haditsnya hingga para ulama ahli hadits merekomendasikannya dan menyatakan ia termasuk dalam deretan penuntut ilmu yang memiliki perhatian kepada ilmu, memelihara dan menghafalnya dan telah diuji kualitas hafalannya dengan mengajukan hadits-hadits yang terbolak-balik kepadanya.

Jika perawi itu termasuk pengikut hawa nafsu dan pengikut madzhab yang menyelisihi kebenaran, maka tidak boleh mendengar riwayatnya, meskipun ia dikenal memiliki banyak ilmu dan kuat hafalannya.
Seorang penuntut ilmu syar'i harus mengetahui hakikat sebenarnya. la harus tahu dari siapa ia mengambil ajaran agamanya. Janganlah ia mengambil ilmu dari ahli bid'ah, karena mereka akan membuatnya sesat sedang ia tidak menyadarinya.
(Disalin dari kitab Ensiklopedi Larangan Jilid I, cet.Kedua, Muharram 1426 H/Februari 2005 M, hal. 219-224, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah)

Semoga bermanfaat...

Saya kutib dari catatan akhi Abu Muhammad Herman

 
Back To Top