Jumat, 25 Oktober 2013

Hukum Ucapan “Aku Mencintaimu Karena Allah” Kepada Lawan Jenis yang Bukan Mahram


Fatwa Syaikh Khalid Al Mushlih
Soal: Bolehkah seorang wanita mengatakan inni uhibbuka fillah (“Aku mencintaimu karena Allah”) kepada laki-laki ajnabi yang bukan mahram-nya?

Jawab: Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tidak diperbolehkan seorang wanita mengatakan “Aku mencintaimu karena Allah” kepada laki-laki ajnabi yang bukan mahram-nya, baik itu disampaikan melalui lisan maupun tulisan. Betapapun bagusnya ilmu & agama yang ada pada laki-laki tersebut maka hukumnya tetap terlarang. Karena wanita yang beriman dilarang untuk merendahkan suaranya ketika berbicara kepada laki-laki asing yang bukan mahram-nya.
Dalam al-Qur’an Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada wanita-wanita yang paling sempurna keimanannya:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al-Ahzab : 32).
Ibnul ‘Arabi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, Ahkamul Qur’an (586/3) : “Dalam ayat ini Allah memerintahkan istri-istri Nabi agar mereka berbicara dengan perkataan yang baik, jelas, dan tidak menimbulkan sangkaan yang tidak-tidak di hati orang yang mendengarnya, dan Allah juga memerintahkan mereka agar senantiasa mengatakan perkataan yang ma’ruf”.
Demikianlah Allah melarang istri-istri Nabi dari berkata-kata lembut yang dapat mengundang syahwat padahal mereka adalah ummahatul mukminin. Lembut disini mencakup lembut dalam konten kata-katanya maupun lembut dalam sikap dan penuturan katanya.
Larangan Allah ini berlaku untuk seluruh wanita beriman dan larangan kepada selain istri-istri Nabi tentu lebih ditekankan lagi. Karena sesungguhnya syahwat yang ada pada mereka lebih bisa mendekatkan mereka kepada perbuatan zina. Maka hendaknya seorang wanita yang beriman tidak melembutkan kata-katanya dan tidak mendayu-dayukannya ketika berbicara dengan laki-laki ajnabi yang bukan mahramnya. Karena hal itu lebih bisa menjauhkan mereka dari persangkaan yang tidak-tidak dan keinginan untuk berbuat buruk.
Adapun hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata:
أن رجلاً كان عند النبي صلى الله عليه وسلم فمر به رجل فقال: يا رسول الله إني لأحب هذا، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أعلمته؟ قال: لا، قال: أعلمه، قال: فلحقه فقال: إني أحبك في الله، فقال: أحبك الذي أحببتني له
Bahwasanya ada seorang sahabat yang sedang berada di sisi Nabi shāllallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, kemudian seseorang lewat di hadapan mereka. Lantas sahabat ini mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar mencintai orang ini”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya: “Apakah engkau telah memberitahukan rasa cintamu kepadanya?” Ia berkata: “Belum.” Beliau berkata: “Jika demikian, pergilah dan beritahukan kepadanya”. Maka ia langsung menemui orang itu dan mengatakan “Inni uhibbuka fillah” (sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah), lalu orang tersebut menjawab: “Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu, Dzat yang telah menjadikanmu mencintai aku karena-Nya).
Hadist ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dan Abu Dawud dalam Sunan-nya. Hadist ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam.
Dalam riwayat Ath-Thabrani terdapat tambahan: “kemudian sahabat ini kembali menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan jawaban orang tersebut kepada beliau. Mendengar cerita sahabat ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “engkau akan bersama dengan orang yang kau cintai dan untukmu pahala atas apa yang kau harapkan dari rasa cintamu itu”.
Hadist ini dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mustadrak (189/4).
Hadits di atas tidak menunjukkan bolehnya seorang wanita mengungkapkan perkataan “Aku mencintaimu karena Allah” kepada laki-laki ajnabi yang bukan mahram-nya, demikian juga sebaliknya. Hadist ini hanya berlaku untuk sesama jenis, laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan selama aman dari fitnah dan tidak menimbulkan persangkaan yang tidak-tidak di hati keduanya.
Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (247/1), beliau berkata: “Apabila seorang wanita memiliki perasaan cinta (baca: simpati) kepada wanita lain maka hendaknya dia beritahukan kepadanya”. Maka tidak diperbolehkan seorang laki-laki mengatakan “Aku mencintaimu karena Allah” kepada seorang wanita kecuali jika wanita tersebut adalah istrinya atau mahram-nya yang lain.
Dan tidak pernah kita jumpai satupun dari para sahabiyah Nabi yang mengatakan ungkapan tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padahal Allah telah menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai sebuah kewajiban atas orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.
Demikian juga, tidak pernah kita jumpai riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan ungkapan tersebut kepada salah seorang dari mereka. Semoga Allah senantiasa menjaga agama kita dan menganugerahkan kepada kita petunjuk. Hanya kepada-Nya lah kita meminta.
Aamiin.


Artikel dari: Muslimah.Or.Id

Kamis, 17 Oktober 2013

Klasifikasi Hadis Menurut Ilmu Musthalah Hadis


Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah:
Hadits Shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan sanadnya bersambung, tidak ber-’illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits.
Hadits Maqbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Maqbul, biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
Hadits Dha’if  adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Hadits Dha’if  banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan yang tidak dipenuhinya.

Syarat-syarat Hadits Shahih
Suatu hadits dapat dinilai shahih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
1.   Rawinya bersifat Adil
2.    Sempurna Ingatan (dhobit)
3.    Sanadnya Tidak Terputus / Muttasil
4.    Hadits itu Tidak Berillat dan
5.    Hadits itu Tidak Janggal (tidak Syadz)

Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu :
1.   Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
2.   Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3.   Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan.
4.   Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara’.

Klasifikasi Hadits Dha’if  berdasarkan kecacatan perawinya
1.        Hadits Maudhu’ adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik hal itu disengaja maupun tidak.
2.        Hadits Matruk adalah hadits yang ditinggalkan karena menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta atau ia memang perawi yang statusnya ditinggalkan oleh para imam.
3.        Hadits Munkar adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan,  yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan hadits Ma’ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
4.        Hadits Mu’allal (Ma’lul) adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli dalam ilmu hadits.
5.        Hadits Mudraj adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
6.        Hadits Maqlub adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain yang lebih shahih), disebabkan mendahului atau mengakhirkan. Maqlub bisa terjadi pada sanad dan matan.
7.        Hadits Mudhtharib adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
8.        Hadits Muharraf adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
9.        Hadits Mushahhaf adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
10.   Hadits Mubham adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan atau dengan kata lain, tidak disebutkan namanya.
11.   Hadits Syadz (janggal) adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang maqbul (tsiqah) akan tetapi menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedhabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
12.   Hadits Mukhtalith adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.

Klasifikasi hadits Dha’if  berdasarkan gugurnya rawi
1.   Hadits Muallaq adalah hadits yang gugur (inqitha’) rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
2.   Hadits Mursal adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya yaitu seseorang setelah tabi’in, biasanya yang digugurkan adalah sahabat.
3.   Hadits Mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
4.   Hadits Munqathi’ adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
5.   Hadits Mu’dhal adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi’in, tabi’in bersama tabi’ut tabi’in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi’in.

Klasifikasi hadits Dha’if  berdasarkan sifat matannya
1.   Hadits Mauquf adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
2.   Hadits Maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi’in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.

Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi
Hadits Mutawatir adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
Syarat syarat hadits mutawatir :
1.   Berita yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni berita yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
2.   Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong atau dusta.
3.   Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi’in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.

Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.
Macam-macam hadits Ahad
Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
Hadits Gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi
Definisinya adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau mimpi, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau mimpi tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi
Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
1.   Qala ( yaqalu ) Allahu
2.   Fima yarwihi ‘anillahi Tabaraka wa Ta’ala
3.   Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an
1.   Semua lafazh-lafazh Al-Qur’an adalah mu’jizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.
2.   Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur’an, tidak berlaku pada hadits qudsi, seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.
3.   Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur’an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
4.   Meriwayatkan Al-Qur’an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafazh sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.

Sumber Rujukan:
Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu – Muhammad Nashruddin Al-Albany
Kitab Hadits Maudhlu – Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah
Kitab Mengenal Hadits Maudhlu – Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy

Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib – Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany)

Jumat, 11 Oktober 2013

Renungan dalam Membaca Al-Faatihah dalam Shalat


Secara tidak langsung, kita sering meremehkan surat Al-Faatihah ketika sedang shalat, baik shalat berjama'ah ataupun shalat munfarid, yaitu dengan membacanya terlalu cepat bahkan tidak kira-kira, dengan 1 tarikan nafas maka jadilah ia seperti ini :
Bismillahirrahmanirrahim,alhamdulillahirabbilalamin,arrahmanirrahimimalikiyaumiddiniyyakana'buduwaiyyakanasta'in,ihdinashshirathalmustaqimashirathalladzinaanamtaalaihimghairilmaghduubialaihimwaladhdhaaaaaaalliiin . . . . Aamiiiiiiiinnnn . . . .
Allaahul Musta'an
Padahal, seandainya kawan-kawan tahu, di dalam Hadits Qudsiy berikut ini, sungguh mulia keadaan orang yang sedang membaca surat Al-Faatihah dalam shalatnya, yang mana ia membaca tanpa terburu-buru seperti seorang hamba yang sedang berdo'a kepada Robb-nya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ:{ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:{ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:{ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ } قَالَ اللَّهُ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً: فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ:{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ:{ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ”. ( رواه مسلم )
Diriwayatkan dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, Rasulullah shalallaahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Allah Ta'ala berfirman: "Aku membagi shalat antara Aku dan hambaKu separuh bagian, dan untuk hambaKu apa yang diminta,
maka jika hamba berkata: "Alhamdulillahi Rabbil 'alamin", Allah Ta'ala berfirman: "HambaKu memujiKu",
Jika hamba berkata: "Ar-rahmanirrahim", Allah Ta'ala berfirman: "HambaKu memujiKu",
Jika hamba berkata: "Maaliki yaumiddiin", Allah Ta'ala berfirman: "HambaKu memuliakanKu", dan Dia berfirman: "HambaKu berserah diri kepadaKu",
Jika hamba berkata: "Iyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin", Allah Ta'ala berfirman: "Ini antara Aku dan hambaKu, dan untuk hambaKu apa yang diminta",
Jika hamba berkata: "Ihdinash shiraathal mustaqiim, shiraathal ladziina an'amta 'alaihim ghairil maghdhuubi 'alaihim wa ladhdhaalliin", Allah berfirman: "Ini untuk hambaKu dan untuk hambaKu apa yang diminta". [Shohih Muslim no. 396]

Renungan :
Kita berbicara dengan bahasa yang teratur dan mudah dimengerti (yaitu dengan kaidah yang benar dengan tanda titik dan komanya) dengan orang yang lebih tinggi (kedudukannya) daripada kita, kawan-kawan kita dan dengan orangtua kita. Maka, seharusnyalah dengan Allah Ta'ala tatacara bermunajat kita diperbaiki, jika memang ia berhenti, maka berhentilah dan jangan tergesa-gesa seperti orang yang sedang terburu-buru mengejar kereta, sehingga aturan-aturan tajwidnya pun dilanggar bahkan hingga tidak memperhatikan makhraj-nya, sehingga tidak mustahil jika kita membaca seperti itu apa yang kita baca pun berubah maknanya. Na'udzubillah . . .
Yang sedang kita ajak bicara adalah Allah Ta'ala, Rabb semesta alam, yang telah menciptakan kita, menghidupkan kita, memberi kita rizki, Dzat yang paling layak untuk kita beri penghormatan dan penta'zhiman.

Wallaahu a'lam

Sumber: Akhi Tommi Marsetio

Kamis, 10 Oktober 2013

Orang yang Pertama Melakukan Penelitian Isnad


Ar-Romhurmuzi meriwayatkan dengan isnadnya dari Asy-Sya’bi (19-104 H) dari Ar-Robi’ bin Khutsaim ia berkata: “Barangsiapa yang mengucapkan ‘La Ilaha Illallahu wahdahu Laa Syariika lah, Lahul Mulku wa Lahul Hamdu Yuhyi wa Yumiitu wa Huwa ‘ala Kulli Syai-in Qodiir’ maka baginya begini . . . ”, lalu dia menyebutka kebaikan yang didapat.
Asy-Sya’bi berkata: “Maka aku berkata: ‘Siapa yang menyampaikan hadits ini kepadamu?’ ia menjawab: “Amru bin Maimun”. Aku (Sya’bi) berkata: “Siapa yang menyampaikan kepada dia?”. Ia berkata: “Abu Ayyub Sahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam”.
Yahya bin Sa’id berkata: “Ini adalah orang yang pertama meniliti isnad”. [1]
Adz-Dzahabi berkata: “Orang yang pertama men-tazkiyah dan men-jarh setelah masa sahabat adalah Asy-Sya’bi dan Ibnu Sirin dan orang yang semisal keduanya. Ada didapatkan dari mereka Tawtsiq Yunus dan Tadh’if yang lainnya”. [2]
Diantara ulama-ulama yang disebut-sebut bahwasanya mereka termasuk orang-orang yang pertama mengkritisi para perawi dan meniliti isnad adalah: Al-Hasan Al-Basri (21-110 H), Sa’ib bin Jubair (26 -95 H), Ibrahim An-Nakho’i (47 – 96 H). hanya saja Ibnu Siirin melakukannya secara lebih meluas dalam masalah ini dari pada yang lainnya.
Di akhir masa Tabi’in tampil Al-A’masy (148 H), Syu’bah (160 H) dan Malik.
Inilah tokoh-tokoh yang dianggap pertama-pertama melakukan penelitian Isnad secara makna istilah, namun begitu sejatinya cikal-bakal ilmu ini sudah dimulai sejak masa sahabat Rodhiyallahu ‘anhum.
Al-Hakim berkata: “Orang yang pertama menepis kedustaan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama adalah Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu”. [3]
Dan langkahnya diikuti setelah itu oleh Umar bin Al-Khottob rodhiyallahu ‘anhu yang meminta dari Abu Musa Al-Asy’ari seorang yang bersaksi untuk dalam masalah hadits meminta izin, sehingga sahabat Abu Sa’id Al-Khudri bersaksi bahwa ia juga mendengar dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama apa yang didengar Abu Musa. [4]
Ketika itu Abu Bakar dan Umar melakukannya bukan karena ragu atau tidak mempercayai sahabat yang meriwayatkan hadits, karena semua sahabat adalah orang yang paling bersih dan tidak pernah berdusta atas nama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi keduanya melakukan itu dalam rangka tatsabbut dalam perkara agama, agar manusia tidak lancang meriwayatkan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Umar berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Adapun sesungguhnya aku tidak menuduhmu, akan tetapi aku khawatir manusia mengarang-ngarang perkataan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam”. [5]
Al-Hakim berkata: “Sesungguhnya Abu Bakar, Umar, Ali dan Zaid bin Tsabit men-jarah dan men-ta’dil serta meniliti kebenaran riwayat-riwayat dan kelemahannya”. [6]
Jalan yang telah dirintis para sahabat Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallama ini untuk mengenali kebenaran atau kedustaan perawi, diikuti oleh Ta’biun dan generasi sesudahnya, dan semakin jauh dari periode yang telah diakui kebaikannya para ulama semakin luas membahasnya. Sehingga ketika usai abad ketiga ilmu ini telah berkembang pesat dan mencapai puncaknya. Lalu dinamakan dengan ilmu Jarh wat Ta’dil, yaitu ilmu untuk membedakan antara yang benar dan yang dusta,  antara yang kuat dan yang lemah , antara yang ditsiqohkan dan yang dicela, antara yang hafal dan yang lalai.
Imam Adz-Dzahaby dan lain-lainnya dari para “Huffazh” menetapkan bahwasanya Al-Jarh habis di penghujung tahun 300, yang tersisa hanyalah pencatatan dan penulisan di dalam kitab-kitab yang terus berlanjut hingga abad kelima hijriyah.
Kitab-kitab yang termasyhur yang muncul pada ilmu Al-Jarh wat Ta’dil pada tiga abad tersebut terbagi tiga macam :
1.   Kitab-kitab yang khusus menghimpun perawi-perawi Tsiqoot (terpercaya), seperti Kitab “Ats-Tsiqoot” karya Al-‘Ijly (261 H), Kitab “Ats-Tsiqoot” karya Ibnu Hibban (354 H) dan Kitab “Ats-Tsiqoot” karya Ibnu Syaahiin (385 H).
2.   Kitab-kitab yang khusus memuat para Dhu’afaa’ (perawi-perawi yang lemah), seperti Kitab Adh-Dhu’afaa’ Al-Kabir dan Adh-Du’afaa’ Ash-Shoghiir karya Imam Al-Bukhari (256 H), Kitab Ahwaalur Rijaal karya Al-Juuzjaany (259 H), Kitab Dhu’afaa’ wal Matruukiin karya An-Nasai (303 H), Kitab Adh-Dhu’afaa Al-Kabiir karya Al-‘Uqoily (322 H), Kitab Ma’rifatul Majruhiin minal Muhadditsiin karya Ibnu Hibban (354 H) dan Kitab Al-Kamil fi Dhu’afaa’ Ar-Rijaal karya Ibnu ‘Ady (365 H).
3.   Kitab-kitab yang menggabungkan antara perawi-perawi yang tsiqoh dan yang dho’if, seperti Kitab Ath-Thobaqootul Kubro karya Ibnu Sa’ad (230 H), Kitab Al-‘Ilal war Rijaal karya Imam Ahmad (241 H), Kitab At-Tarikh Al-Kabir, At-Tarikh Al-Awsath dan At-Tarikh Ash-Shoghir karya Imam Bukhari, Kitab At-Tarikh Al-Kabir karya Ibnu Abi Khoitsamah (279 H) dan Kitab Al-Jarhu wat Ta’diil karya Ibnu Abi Hatim (327 H).
Sebagai umat islam kita patut berbangga dengan adanya kitab-kitab ini dalam ilmu Al-Jarhu wat Ta’dil untuk menjaga kemurnian hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. [7]
(bersambung)

[1] Al-Muhadditsul Fashil (208).
[2] Diroosat fil Jarh wat Ta’dil (16).
[3] Al-Madkhol (46).
[4] Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhoini.
[5] Ar-Risalah (434).
[6] Ma’rifatus Sunan wal Atsar (1/140).
[7]  Lihat : Diroosaat fil Jarhi wat Ta’diil (16-21).

 
Back To Top