Tampilkan postingan dengan label Syi'ah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syi'ah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Maret 2014

Tokoh Syi’ah Bingung dalam Menjawab Pertanyaan dalam Dialog


Alhamdulillah dialog tadi malam mengenai syiah sudah ada dalam website "Kajian Al Amiry". Semua pemirsa dan penyimak dapat mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil. Berikut isinya:
Alhamdulillah, dialog kami (Muhammad Abdurrahman Al Amiry) bersama Pembesar Syiah Indonesia (Emilia Renita Az) telah berlangsung. Dan banyak ikhwah yang menyaksikan dialog kami berdua. Dan yang menyaksikan dialog tersebut ada yang dari kalangan sunni maupun syi'i (Walaupun dialog berjalan kurang lancar karena adanya komentar lain yang bermunculan baik dari sunni maupun dari syi'i). Akan tetapi dialog sudah di saring, yang hendak melihat dialog lengkapnya silahkan kunjungi akun facebook Al Amiry.  Berikut adalah ringkasan dialog yang berlangsung antara kami dan Emilia Renita Az tadi malam.
=> Kami (Al Amiry) berkata :
“Jumat malam sebagaimana yang dijanjikan Emilia Renita Az”
Jikalau malam ini juga tidak ditanggapi olehnya, maka dialog dianggap selesai dan cara yang akan dilakukan oleh kami untuk membongkar kesesatan dan kekufuran syiah bukan dengan cara dialog melainkan hanya bantahan apa yang dikatakan olehnya tanpa melakukan dialog.
Tema yang belum dituntaskan adalah "Nikah Mut'ah".
Bagaimana seorang syiah terutama dedengkotnya (Emilia Renita) tidak menerima syariat nikah mut'ah dan bahkan menyatakan mut'ah adalah amalan jorok yang mana pelakunya tidak bisa menjaga iffah.
Padahal secara nash, dalam kitab-kitab syiah banyak riwayat yang melaknat dan mengancam orang yang tidak melakukan nikah mut'ah.
Seandainya nikah mut'ah adalah ibadah kenapa harus malu untuk menyatakan "Iya". Sebagaimana nikah syari yang dilakukan oleh sunni, mereka bangga dengan nikah syari yang mana diumumkan dengan walimatul ursy.
Kenapa dedengkot syiah malu ataukah ini taqiyyah yang dilakukan olehnya ??
Pembahasan belum selesai, kalau malam ini juga tidak ditanggapi, maka dialog dianggap selesai karena dialog yang dilakukan olehnya, kami anggap tidak fair. Karena ditunda tanpa kejelasan bahkan jauh dari hari yang ditetapkan”.

Setelah beberapa waktu muculnya undangan ini, akhirnya Emilia Renita menangapi. Akan tetapi yang lucu dan sedikit menggelitik diri saya adalah ternyata si Emilia malah menanggapi kami dengan dalil akan kebolehan nikah mut’ah dengan cara pembawaan dalil yang serampangan. Padahal yang jadi tema pokok pembahasan adalah “Mengapa Emilia menolak amalan nikah mut’ah sedangkan dia adalah pembesar syiah” sebagaimana beberapa hari yang lalu dia menyatakan bahwasanya Nikah Mut’ah adalah amalan jorok dan yang melakukan nikah mutah adalah orang yang tidak bisa menjaga iffahnya. Maka kami katakan kepadanya:

=> Al Amiry berkata :
Anda wahai Emilia telah keluar dari pembahasan. Ingat, anda telah mengatakan bahwasanya anda tidak mau nikah mut'ah seharusnya anda membawakan dalil akan keharaman nikah mut'ah dalam kitab-kitab syiah bukan malah memabawakan dalil yang membolehkan nikah mutah.
Bukan kah anda yang menyatakan bahwasanya mutah itu jorok ?? Kenapa sekarang anda malah membolehkannya ?? Kontradiktif
Bukankah ini kebalik??
Kalau anda membawakan dalil yang membolehkan mut'ah, maka ana bertanya kepada anda, berapa kali anda mut'ah ?? Sudah 4 kali kah ?? sehingga derajat anda seperti nabi ??

=> Emilia berkata :
Saya tidak pernah bilang mut'ah itu jorok.. Saya ini syiah yang TIDAK MUNGKIN MENGHARAMKAN NIKAH MUT'AH, karena itu ada dalil kuat untuk MENGHALALKANNYA. Tapi saya jelaskan saya tidak melakukannya karena tidak semua yang halal dalam al-qur'an harus kita lakukan. NIKAH MUT'AH adalah solusi buat para wanita menjaga iffahnya.

=> Al Amiry berkata :
Thoyyib. Perkataan anda yang pertama wahai Emilia: “Tapi saya jelaskan saya tidak melakukannya karena tidak semua yang halal dalam al-qur'an harus kita lakukan. NIKAH MUT'AH adalah solusi buat para wanita menjaga iffahnya”. 
Tanggapan kami: Memang semua yang halal tidak harus dilakukan, akan tetapi nikah mut’ah dalam ajaran syiah bukan hanya sekedar halal tapi “wajib”. Karena ada riwayat syiah yang mengancam orang-orang yang tidak melakukan nikah mutah. Jadi anda pun wajib melakukannya karena mut’ah bukan hanya sekedar halal tapi wajib karena ada ancaman bagi yang meninggalkan mut’ah. Salah satu ancaman dalam kitab syiah bagi orang yang tidak melakukan nikah mut'ah:
"Barang siapa yang keluar dari dunia (wafat) dan dia tidak nikah mut'ah maka dia datang pada hari kiamat sedangkan kemaluannya terpotong" Tafsir manhaj ash shadiqin 2/489
Perkataan anda yang kedua: “NIKAH MUT'AH adalah solusi buat para wanita menjaga iffahnya”.
Tanggapan kami: Kemarin anda menyatakan yang nikah mutah adalah orang yang tidak menjaga iffah.. Sekarang anda malah menyatakan bahwasanya nikah mut’ah adalah jalan untuk menjaga iffah. Sungguh perkataan yang aneh alias “kontradiktif”

=> Emilia berkata :
Dimana dan kapan saya bilang," nikah mutah adalah orang yang tidak menjaga iffahnya" ?
Ini saya berikan lagi jawaban saya kemarin. tolong jangan dibalik-balik atau mengambil kesimpulan sendiri, Perkataan saya: "... Itu pertanyaannya vulgar Banget. Aku ga pernah mut'ah, dan aku gak minat mut'ah. Apa gak ada pertanyaan yang lebih normal? Aku ini syiah, yang sangat menjaga iffaah. Aku juga gak tersentuh laki-laki selain muhrimku. Jadi jangan memfitnah aneh-aneh. Aku gak seburuk yang kalian tuduhkan kepadaku"
Jika anda menyatakan tidak mau mut'ah berarti sama saja anda menyatakan mut'ah adalah haram .. ( dan BUKAN BERARTI SAYA MENGHARAMKAN NIKAH MUT'AH )

=> Al Amiry berkata :
Thoyyib.. Lantas perkataan anda yang di atas silahkan ditafsirkan. Silahkan ditafsirkan oleh anda, Langsung saja to the point dengan pernyataan yang jelas.
Saya tanya kepada anda “apakah dengan kalimat diatas, anda mendukung mutah atau malah mengharamkannya.. ??”
Jika anda menyatakan ada syariat mut'ah, kenapa anda malah tidak mau mut'ah ?
Sedangkan dengan jelas, ada nash riwayat akan laknat yang tidak nikah mut'ah..

=> Emilia berkata : 
Makanya dibaca dong, ustad.. Kan MUT'AH ITU JENIS-JENIS PERNIKAHAN dalam Islam yang tertulis dalam al-Qur'an, sehingga syarat-syaratnya sama dengan nikah daim juga. Sebagai istri tentu saya tidak bisa nikah mut'ah dan YA, BUAT SAYA NIKAH MUT'AH ITU HARAM KARENA SAYA ISTRI ORANG. Sebagaimana DAGING KAMBING juga HARAM buat orang yang sakit darah tinggi dll, misalnya.
" Juga Jika anda menyatakan ada syariat mut'ah, kenapa anda malah tidak mau mut'ah ?? " - Ya karena secara syar'i, nikah mut'ah tidak bisa dilakukan seorang istri yang bersuami
"Sedangkan dengan jelas, ada nash riwayat akan laknat yang tidak nikah mut'ah.." saya tidak pernah menemukan tuh, riwayat laknat untuk yang tidak nikah mut'ah. mohon dibuktikan

=> Al Amiry berkata :
Perkataan anda wahai Emilia: “Ya, nikah mut’ah itu haram karena saya istri orang, Ya karena secara syar'i, nikah mut'ah tidak bisa dilakukan seorang istri yang bersuami”.
Maka kami tanggapi: Tadi anda, katakan bahwasanya anda tidak melakukan nikah mut’ah karena “semua yang halal tidak wajib dilakukan” sekarang anda malah beralasan “karena saya istri orang”.
Berganta-ganti alasan kah ??
Thayyib, kedua-duanya akan kami jawab.
Adapun Alasan Emilia yang pertama: “Semua yang halal tidak wajib dilakukan”
Maka tanggapan kami: Ini sudah kami jawab. Yang dipermasalahkan dalam tema “bukan halal atau tidak halalnya mut’ah”. Akan tetapi yang jadi masalah adalah “nikah mut’ah bukan hanya sekedar halal dalam ajaran syiah akan tetapi wajib”. Karena ada hukuman bagi orang yang tidak melakukan nikah mut’ah, seperti dilaknat dan kemaluannya akan terpotong pada hari kiamat.
Adapun alasan Emilia yang kedua: “YA, BUAT SAYA NIKAH MUT'AH ITU HARAM KARENA SAYA ISTRI ORANG, Ya karena secara syar'i, nikah mut'ah tidak bisa dilakukan seorang istri yang bersuami”
Maka tanggapan kami: “Justru, ulama anda sepakat akan kebolehan nikah mut’ah bagi seorang wanita yang sudah nikah alias sudah punya suami”. Disebutkan dalam kitab syiah:
Diperbolehkan bagi seorang istri untuk bermut’ah (kawin kontrak dengan lelaki lain) tanpa izin dari suaminya, dan jika mut’ah dengan izin suaminya maka pahala yang akan didapatkan akan lebih sedikit, dengan syarat wajibnya niat bahwasanya ikhlas untuk wajah Allah” Fatawa 12/432
Jadi, adanya jalaluddin atau tidak adanya jalaluddin itu bukanlah masalah bagi anda untuk nikah mutah lagi menurut ajaran syiah. Akantetapi menagapa anda malah berpegang teguh tidak mau mut’ah sedangkan ada ancamannya ??
Dan perktaan anda wahai Emilia: “Saya tidak pernah menemukan riwayat yang melaknat orang yang tidak nikah mut'ah. mohon dibuktikan”
Maka kami tanggapi: “Thoyyib, akan kami buktikan riwayat yang melaknat orang yang tidak melakukan nikah mut’ah” Disebutkan dalam salah satu kitab syiah:
"Bahwasanya malaikat akan selalu meminta ampun untuk orang yang melakukan nikah mutah dan melaknat orang yang menjauhi nikah mutah sampai hari kiamat" Jawahir Al kalam 30/151
Riwayat lainnya:
"Nikah mutah adalah bagian dari agamku dan dagama bapak-bapakku dan orang yang melakukan nikah mutah maka dia mengamalkan agama kami, dan yang mengingkari nikah mutah dia telah mengingkari agama kami, dan anak mutah lebih utama dari anak yang nikah daim dan yang mengingkari mutah kafir murtad” Minhaj Ash Shodiqin hal. 356
Kasihan kalau pembesar syiah tidak mengetahui fatwa seperti ini.
Karena sudah ada fatwa ittifaq dari ulama-ulama syiah akan kebolehan istri bermutah tanpa izin suami, maka mengapa anda tidak melakukan mut’ah ?? Sedangkan sudah ada jelas nash riwayat yang melaknat orang yang tidak ingin mut’ah.
Kami ulangi riwayat yang sudah disebutkan paling atas akan ancaman syiah yang tidak melakukan nikah mut'ah:
"Barang siapa yang keluar dari dunia (wafat) dan dia tidak nikah mut'ah maka dia datang pada hari kiamat sedangkan kemaluannya terpotong" Tafsir manhaj ash shadiqin 2/489

Lama tidak dijawab olehnya, akhirnya Emilia lari dari tema pembahasan. (Entah apa yang membawanya lari dari tema pembahasan)
=> Emilia berkata :
MANA LEBIH AFDOL ANTARA PERNYATAAN UMAR DENGAN AYAT TSB DI BAWAH INI ?
BUATAN UMAR : Aṣ-ṣhalātu khayru min an-naūm [ Solat itu lebih baik dari tidur ]
Al `Ankabuut 29:45 Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
RIWAYAT UMAR MERUBAH AZAN SUBUH dirawikan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwattha', pada bab "Tentang Seruan Untuk Shalat", bahwa muazin mendatangi Umar bin Khaththab untuk memberitahu tentang tibanya waktu shalat Subuh. Ketika dijumpainya Umar masih tidur, si muazin berkata: "Ash-shalatu khayrun min an-naum". Maka Umar memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan ke dalam azan Subuh.
Shahih Al-Bukhari (Bab "Azan") atau permulaan Bab "Shalat" (Pasal tentang sifat atau cara Azan) dari Shahih Muslim, Khalifah Umar adalah orang yang pertama yang menambahkan perkataan "al-Solah Khairun mina n-Naum." Ianya tidak dilakukan oleh Rasulullah SAWA. [al-Halabi, al-Sirah, hlm.110]
Al-'Allamah Az-Zarqani - ketika sampai pada hadis ini dalam Syarh Al-Muwattha' - menulis sebagai berikut: Berita tentang ini dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya yang dirawikan melalui Waki' dalam kitabnya, Al-Mushannaf, dari Al-'Amri, dari Nafi', dari Ibn Umar, dari Umar bin Khaththab.
Az-Zarqani menulis selanjutnya: Ad-Daruqutni juga merawikannya dari Sufyan, dari Muhammad bin 'Ajlan, dari Nafi', dari Ibn Umar bahwa Umar berkata kepada muazin: "Jika engkau sudah menyerukan Hayya 'alal-falah di waktu azan Subuh, maka katakanlah: Ash-shalatu khayrun min an-naum (dua kali)."

=> Al Amiry berkata :
Beginilah, percumanya kalau dialog bersama syiah. Lari dari tema karena gak bisa jawab.
Adapun riwayat "AshSholatu khoirun minan naum” dalam shalat shubuh itu bukan Umar bin Khottob yang buat melainkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Adapun kalau Umar yang buat, maka sah-sah saja.. Karena sunnah khulafa ar rasyidin harus dipegang. Rasulullah bersabda:
"Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada sunnah ku dan sunnah khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk. Dan berpegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi graham kalian" HR Tirmidzi abu dawud dll
Adapun riwayat tadi, maka bukan Umar radhiyallahu anhu yang membuatnya. Tapi langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lihat riwayat ini:
"Dari Muhammad bin abdil malik, bin Abi mahdzurah dari bapaknya dari kakenya. Dia berkata: Wahai Rasulullah ajarkan aku sunnahnya azan. Rasul bersabda: Kamu katakan: Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar Allahu akbar.. Asyhadu an laa ilaaha illallah.. (hingga lafadz azan yang terkahir yang ada dalam riwayat) Kemudianpada akhir hadits, Rasulullah bersabda: Jika kamu dalam shalat shubuh, maka katakanlah Ash sholatu khoirun minan naum, ashhaltu khoirun minan naum, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laailaaha Illalah" HR Abu Dawud
Lihat akhir hadits diatas. Jadi sangat jelas bukan Umar yang membuat-buat, akan tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Jadi anda jangan lari cerita.. Tema yang pertama saja belum anda tuntaskan sudah mau lari cerita.

Lama tidak dijawab oleh Emilia, maka kami katakan:
=> Al Amiry berkata :
Ikhtitam (Penutupan) dari ana:
"Karena tidak ada tanggapan lagi dari emilia renita, dan karena jawabannya wara-wari. Gak pernah connect dan lari-lari tema karena gak bisa jawab. Yang dari awal sampai akhir, lari cerita terus bahkan bertentangan dengan fatwa ittfaq dari ulama syiah.
Bahkan, malah lari cerita ke Azan.. Sangat miris, jika dialog sama mereka yang seperti ini. Tidak pernah fokus dan selalu locat-loncat. Padahal dulu, dia sendiri yang minta dialog agar fokus pada tema dan gak loncat-loncat. Ternyata dia sendiri yang melanggar permintaannya.
Maka karena waktu sudah larut, kami hendak off. Walhasil, ternyata dialog yang kami lakukan berjam-jam tidak membuah kan hasil yang jelas dari Emilia.. Bahkan sikap Emilia sangat bertentangan dengan nash-dan ulama-ulama syiah.
Inilah bukti tidak konsekuennya dia dalam ajaran syiah, itulah sebab taqiyyah yang ada dalam syariat syiah. Jadi biasakanlah selalu jujur dan jangan selalu bohong, Karena kebohongan juga akan kecium bau busuknya dan ujung-ujungnya akan mengundang kontradiktif.
Akhir kalam, ana hendak off. Dan para penonton dan penyimak sangat bisa mengambil faidah dan bisa menilai mana yang benar dan mana yang koneskuen dan mana yang tidak.
Jazakumullah khoiran atas perhatian antum semua. Insya Allah dialog akan segera diterbitkan dan disusun dalam website "Kajian Al Amiry". Wassalam alaikum Ya ikhwaanii Al Kiraam. Baarokallahu fiikum ikhwaanii As Sunniyyin.

=> Emilia berkata :
Ma'aaf internet mati, jadi baru bisa nyambung lagi sekarang. Tapi saya sudah menjawab semua yang ditanyakan , dan TIDAK menjawab beberapa fitnah yang dituduhkan juga pertanyaan yang mengulang-ulang. Kalau saya memberikan artikel tentang azan sebetulnya untuk menyentil mereka yang juga memberikan kepada buku SD, gambar kaos dll yang sebetulnya ga related ke perbincangan kita. Masa mereka bisa, saya ga bisa? Ga nyambungnya saya, hanya supaya kalian juga introspeksi betapa ga nyamannya, diskusi dengan adab seperti itu. Terima kasih kepada kalian yang menghormati majelis ilmu ini terutama Ust yang memfasilitasi diskusi ini dan semua yang mendoakan saya.. Doa yang sama dari saya untuk semua. Terima kasih. Allahummuwaffiq..”
Selesai dialog..

Walhasil, Emilia tetap terjatuh dalam salah satu dari 2 kesalahan. 
Kesalahan Pertama: Menghalalkan mut'ah (walaupun perkataannya kontradiktif dengan perkataan yang kemarin)
Kesalahan Kedua: Tidak mau nikah mut'ah yang mana ajaran syiah jelas mengancam penganutnya yang tidak melakukan nikah mut'ah.
Kesalahan pertama diancam oleh sunni, kesalahan kedua diancam oleh syiah. Dan sampai sekarang Emilia Renita Az tidak memiliki mauqif (sikap) yang jelas dan tegas untuk memilih salah satu dari keduanya. 
Sekian.. Anda semua dapat melihat mana yang haq dan mana yang bathil. Sehingga hatilah-hatilah wahai saudaraku akan bahaya dan kesesatan syiah. Karena kedunguan syiah adalah penyakit yang sangat memalukan. Bentengi kelurga kita semua dengan benteng keimanan yang kuat.
Wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad. 

Penulis: Muhammad Abdurrahman Al Amiry

Artikel: al-amiry.blogspot.com

Jumat, 24 Mei 2013

Mengapa Aku Keluar Dari Syi'ah, "Sayyid Husain Al-Musawi"





Sayyid Husain Al-Musawi bukanlah nama yang asing di kalangan Syi'ah. Dia adalah ulama besar Syi'ah yang lahir di Karbala dan belajar di Hauzah hingga mendapat gelaran mujtahid. Dia juga mempunyai kedudukan yang istimewa di sisi Imam Syi'ah, Khomeini.
Kisah Sayyid Husain Al-Musawi
Setelah melalui pengembaraan spiritual yang panjang, dia akhirnya keluar dari Syi'ah, karena menemukan begitu banyak penyimpangan dan kesesatan. Tulisan ini ditulis dari bukunya, "Mengapa Saya Keluar Dari Syi'ah". Pertanggung jawabannya pada Allah dan sejarah sebelum akhirnya dia dibunuh.
Aku lahir di Karbala, tumbuh di lingkungan orang-orang Syi'ah dan diasuh oleh bapaku, yang taat beragama. Aku belajar dibeberapa sekolah yang ada di kota hingga menjangkau usia remaja. Kemudian bapaku mengirimku ke sebuah Hauzah, semacam pesantren, di kota ilmu Najaf. Ini merupakan induk kota ilmu, tempat para ulama yang terkenal, menimba ilmu agama, seperti Imam Sayyid Muhammad Ali Husain Kasyif Al-Ghita. Dia adalah tokoh di Kota Ilmu. Semenjak itu aku mulai serius memikirkan masalah ilmu. Aku mempelajari mazhab Ahlul-Bait, tetapi di sisi lain aku mendapat celaan dan serangan terhadap Ahlul-Bait.
Aku belajar tentang masalah-masalah syari'at untuk beribadah kepada Allah tetapi di dalamnya terdapat nash-nash yang menyatakan kekafiran terhadap Allah subhanallahu wa ta'ala. "Ya Allah, apakah yang aku pelajari ini? Apakah mungkin ini semua merupakan madzhab Ahlul-Bait yang benar?"
Sesungguhnya hal ini menyebabkan terpecahnya keperibadian seseorang. Karena, bagaimana dia menyembah Allah sementara di sisi lain dia kufur kepada Allah? Bagaimana dia mengikuti sunnah Rasulullah sementara di sisi lain dia menyerangnya? Bagaimana dikatakan mengikuti ahlul bait, mencintai dan mempelajari madzhab mereka, sementara dia manghina dan mengejek mereka?
"Turunkan rahmat dan kasih sayang-Mu Ya Allah. Jika bukan karena rahmat-Mu, niscaya aku termasuk orang yang sesat, bahkan termasuk orang yang rugi".
Aku kembali bertanya kepada diriku: "Apa sikap para tokoh, imam dan orang-orang yang dianggap sebagai ulama? Apakah sikap mereka terhadap hal ini? Apa mereka melihat seperti yang aku lihat? Apakah mereka mempelajari apa yang aku pelajari?"
Aku butuh seseorang untuk mengadukan semua kebingunganku dan menumpahkan seluruh kesedihanku. Akhirnya aku mendapat petunjuk dengan mendapatkan ide yang bagus, yaitu melakukan studi yang komprehensif dan mengkaji lagi semua materi pelajaran yang pernah aku dapatkan. Aku membaca semua yang aku dapatkan dari referensi, baik yang mu'tabar, maupun yang tidak.
Aku membaca setiap buku yang sampai ke tanganku. Aku merenung untuk mengkaji beberapa alinea dan nash-nash tersebut dan aku komentarkan berdasarkan pemikiran yang ada di dalam otakku.
Ketika selesai membaca referensi yang mu'tabar, aku mendapatkan sejumlah kertas, lalu aku simpan, semoga pada suatu hari nanti Allah menetapkan suatu keputusan bagiku.
Aku memohon kepada Allah dalam menjelaskan kebenaran ini. Akan banyak tuduhan, fitnah, dan usaha pembunuhan yang akan ditemui kalau seseorang membuka kesesatan Syi'ah, tapi aku sudah memperhitungkan semua itu, dan hal itu tidak menghalangku untuk melakukannya.
Orang-orang Syi'ah telah membunuh bapak para pemimpin kami,yaitu Uzhma Imam Sayyid Abul Hasan Al-Ashfani, seorang imam Syi'ah terbesar setelah masa keghaiban imam hingga sekarang. Tidak diragukan lagi bahawa beliau adalah seorang tokoh besar Syi'ah. Namun, ketika beliau hendak meluruskan manhaj Syi'ah dan membersihkan khurafat-khurafat yang ada didalamnya, mereka menyembelihnya sebagaimana menyembelih seekor kambing. Sebagaimana mereka juga telah membunuh Sayyid Ahmad Al-Kasrawi ketika ia menyatakan berlepas diri dari penyimpangan-panyimpangan Syi'ah dan hendak meluruskan manhaj Syi'ah, mereka mencincang tubuh Sayyid Ahmad menjadi beberapa potong.
Masih banyak orang yang mengalami nasib sama karena keberanian mereka dalam menentang aqidah yang bathil yang dimasukkan kedalam madzhab Syi'ah. Dan mereka juga menghendakki aku mengalami nasib yang sama. Namun hal itu tidak menggetarkanku. Cukuplah bagiku untuk menympaikan kebenaran, menasihati saudaraku, memberi peringatan kepada mereka, dan berpaling pada kesesatan.
Seandainya aku menginginkan kesenangan dunia, mut'ah (nikah kontrak) dan khumus (seperlima harta yang di infakkan para penganut Syi'ah) telah cukup untuk mewujudkan semua itu, sebagaimana dilakukan orang selain aku yang menjadi kaya di daerahnya masing-masing. Sebahagian mereka menaiki mobil yang paling mewah dengan model paling mutakhir. Tetapi alhamdulillah aku berpaling dari semua itu sejak aku mengenal kebenaran.

Menganggap Najis Ahlussunnah
Keyakinan yang tersebar diantara kami, kalangan pengikut syi'ah adalah pengutamaan terhadap ahlul bait. Madzhab Syi'ah semuanya dilandaskan atas kecintaan kepada ahlul bait. Berlepas diri dari orang awam, yaitu ahlussunnah, berlepas diri dari tiga khalifah dan Aisyah binti Abu Bakar karena sikap mereka terhadap ahlulbait.
Yang mengakar didalam akal semua orang Syi'ah, baik yang muda maupun yang tua, orang pandai maupun orang bodoh, lelaki maupun perempuan, adalah bahwa sahabat telah melakukan kezaliman terhadap ahlul bait, menumpahkan darah mereka, dan menghalalkan kehormatan mereka. Yang ditanamkan keyakinan oleh para ulama dan mujtahid Syi'ah adalah bahawa musuh mereka yang terbesar adalah ahlussunnah. Hal itu kerana orang sunni dianggap najis dalam pandangan Syi'ah, hingga kalau dicuci seribu kali pun najisnya tidak akan hilang.
Hampir semua kitab Syi'ah yang aku pelajari penuh dengan bahasa yang kasar dan diluar akal sehat. Berbagai cacian, umpatan dan kata-kata kotor berhamburan disetiap kitab. Bahkan sering apa yang diungkapkan tidak memiliki logika yang waras. Bacalah Al-Kafi, Nahjul Balaghah, Al Ihtijaj, Rijal Kisyi.
Jika kita hendak menelusuri semua yang dikatakan tentang ahlulbait, pembicaraannya akan memanjang. Sebab tidak seorang pun diantara mereka yang selamat dari kata-kata kotor, kalimat yang buruk, atau tuduhan yang hina. Telah banyak dinisbatkan kepada mereka perbuatan yang tercela.
Bacalah riwayat ini,"Rasulullah tidak tidur sehingga mencium bahagian depan wajah Fatimah"(Bihar Al-Anwar,43/44).
"Rasulullah menyimpan wajahnya diatas dua pa**dara Fatimah." (Bihar Al-Anwar 43/78).
Sebuah penistaan yang sangat buruk, bagaimana Rasulullah, yang begitu mulia, melakukan hal yang tidak masuk akal seperti itu.

Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah telah dipraktikkan dengan bentuk yang paling buruk, para wanita telah dihinakan dengan sehina-hinanya. Sebagian besar mereka memuaskan nafsu birahinya atas nama agama di balik tabir yang bernama mut'ah.
Mereka telah membawakan riwayat-riwayat yang memberikan motivasi untuk melakukan mut'ah, menetapkan dan memperinci pahalanya, serta hukuman atas orang yang meninggalkannya. Bahkan mereka yang tidak mut'ah dianggap kafir. Ash Shaduq meriwayatkan dari Ash Shadiq, dia berkata: "Sesungguhnya mut'ah adalah agamaku dan agama bapakku. Barangsiapa mengingkarinya, berarti dia mengingkari agama kami dan beraqidah selain agama kami." (Man La Yahdhuruhu Al Faqih,3/366). Ini adalah pengkafiran terhadap orang yang menolak mut'ah.
Untuk menguatkan lagi mut'ah ini, nama Rasulullah pun dibawa-bawa, seperti ditulis dalam Man La Yahdhuruhu Al Faqih,3/366, "Barangsiapa melakukan mut'ah dengan seorang wanita, dia akan aman dari murka Allah, Yang Maha Memaksa. Barangsiapa melakukan mut'ah dua kali, dia akan dikumpulkan bersama orang-orang baik. Barangsiapa melakukan mut'ah tiga kali, dia akan berdampingan denganku di syurga."
Semangat kata-kata inilah yang mendorong para ulama kota ilmu Najaf, wilayah para imam, melakukan mut'ah dengan banyak wanita. Seperti ulama Sayiid Shadr, Barwajardi, Syairazi, Qazwani, Sayyid Madani, dan banyak lagi yang lainnya.
Simaklah riwayat ini. Dari Sayyid Fathullah Al Kasyani, meriwayatkan dalam tafsir Manhaj Ash-Shadiqin, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Barangsiapa melakukan mut'ah satu kali, darjatnya seperti Husain alaihissalam, yang melakukan dua kali,darjatnya seperti Hasan alaihissalam, yang melakukan tiga kali, darjatnya sama dengan Ali bin Abi Thalib dan barangsiapa melakukan mut'ah empat kali, darjatnya sama seperti darjatku".
Sungguh tidak masuk akal. Katakanlah jika ada seorang laki-laki jahat melakukan mut'ah sekali, darjatnya sama dengan Husain alaihissalam, lalu mut'ah dua kali, naik lagi darjatnya. Semudah itu?? Apakah kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam sehina itu?? Walau orang yang melakukan mut'ah telah sampai pada darjat keimanan yang tinggi, apakah darjatnya seperti darjat Husain, saudaranya, bapanya atau pamannya?

Sang Imam Mut'ah dengan Anak Kecil
Ketika Imam Khomeini tinggal di Iraq, aku bolak-balik berkunjung kepadanya. Aku menuntut ilmu darinya sehingga hubungan antara aku dengannya menjadi erat sekali. Suatu waktu pergi bersamanya untuk menuju suatu kota dalam rangka memenuhi undangan, yaitu kota yang terletak disebelah barat Mosul, yang ditempuh lebih kurang setengah jam dengan mobil.
Imam Khomeini memintaku untuk pergi bersamanya. Kami disambut dan dimuliakan dengan pemuliaan yang sangat luar biasa selama kami tinggal di salah satu keluarga Syi'ah yang tinggal di sana. Dia telah menyatakan janji setia untuk menyebarkan fahaman Syi'ah diwilayah tersebut.
Ketika selesai, perjalanan kami kembali, di jalan saat kami pulang, kami melewati Baghdad dan Imam Khomeini hendak beristirahat dari keletihan perjalanan. Maka dia memerintahkan menuju daerah peristirahatan di mana di sana tinggal seorang laki-laki asal Iran yang bernama Sayyid Shahib. Antara dia dan Imam terjalin hubungan persahabatan yang cukup kental.
Sayyid Shahib meminta kami untuk bermalam dirumahnya pada malam itu dan Imam Khomeini pun menyutujuinya.
Ketika datang waktu Isya', dihidangkan pada kami makan malam. Orang-orang yang hadir mencium tangan Imam dan menanyakan padanya beberapa masalah dan Imam menjawabnya.
Ketika tiba saatnya untuk tidur dan orang-orang yang hadir sudah pulang, Imam Khomeini melihat anak perempuan yang masih kecil, umurnya sekitar lima tahun tetapi dia sangat cantik. Imam meminta kepada bapanya, yaitu Sayyid Shahib, untuk memberikan anak itu kepadanya agar dia melakukan mut'ah dengannya. Maka si bapak menyutujuinya dengan merasa senang sekali. Lalu Imam Khomeini tidur dan anak perempuan itu ada dipelukannya, sedangkan kami mendengar tangis dan teriakan anak itu.
Malam pun berlalu. Ketika tiba waktu pagi, kami duduk dan menyantap makan pagi.Sang Imam melihat kepadaku dan diwajahku terlihat tanda-tanda tidak senang dan pengingkaran yang sangat jelas, karena bagaimana mungkin dia melakukan mut'ah dengan anak yang masih kecil padahal didalam rumah ada gadis yang sudah baligh.
Imam Khomaini bertanya kepadaku: "Sayyid Husain, apa pendapatmu tentang melakukan mut'ah dengan anak kecil?"
Aku berkata kepadanya: "Ucapan yang paling tinggi adalah ucapanmu, yang benar adalah perbuatanmu, dan engkau adalah seorang imam mujtahid. Tidak mungkin bagiku berpendapat atau mengatakan kecuali sesuai dengan pendapat dan perkataanmu. Perlu difahami bahawa tidak mungkin bagiku untuk menentang fatwamu."
Lalu dia berkata: "Sayyid Husain, sesungguhnya mut'ah dengan anak kecil itu hukumnya boleh tetapi hanya dengan cumbuan, ciuman dan impitan paha. Adapun bersenggama, sesungguhnya ia belum kuat untuk melakukannya. "Lihat juga kitab Imam Khomeini yang berjudul Tahrir Al Wasilah 2/241, nombor 12, yang membolehkan mut'ah dengan anak yang masih disusui.

Mut'ah dengan Wanita Bersuami
Sangat jelas, kerusakkan yang disebabkan oleh mut'ah sangat besar dan kompleks.
Diantaranya,
Pertama, menyalahi nash-nash syari'at, karena menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
Kedua, riwayat-riwayat dusta yang bermacam-macam dan penisbatannya kepada para imam, padahal didalamnya mengandung caci maki yang tidak diridhoi oleh orang yang dalam hatinya terdapat sebiji sawi dari keimanan.
Ketiga, kerusakan yang ditimbulkannya dengan membolehkan mut'ah dengan wanita yang sudah bersuami, walau ia ada dibawah penjagaan seorang lelaki tanpa diketahui oleh suaminya. Dalam keadaan ini seorang suami tidak akan merasa aman kepada istrinya karena kemungkinan nanti istrinya nikah mut'ah dengan lelaki lain. Ini adalah kerusakan di atas kerusakan! Tak dapat dibayangkan bagaimana perasaan seorang suami yang mengetahui istri yang berada di bawah perlindungannya mut'ah dengan lelaki lain.
Keempat, para bapak juga merasa tidak aman dengan anak perempuannya, karena mungkin saja anaknya melakukan mut'ah tanpa izinnya lalu tiba-tiba hamil entah dengan siapa.
Kelima, kebanyakan orang yang melakukan mut'ah membolehkan diri mereka untuk nikah mut'ah tetapi akan berkeberatan kalau anaknya dinikahi dengan cara mut'ah. Dia sedar bahwa mut'ah ini mirip zina dan aib bagi dia tapi dia sendiri melakukan hal itu untuk anak orang. Kalaulah nikah mut'ah adalah sesuatu yang disyari'atkan, mengapa kebanyakan bapak merasa keberatan untuk membolehkan anak perempuan atau kerabatnya melakukan nikah mut'ah?
Keenam, dalam pernikahan mut'ah, tidak ada saksi, pengumuman, ke ridho an wali wanita dan tidak berlaku hukum waris suami-istri tetapi ia hanyalah seorang istri yang dikontrak. Pembolehan mut'ah akan membuka peluang bagi pemuda-pemudi untuk tenggelam dalam kubangan dosa sehingga akan merusak citra agama.
Jadi jelaslah bahaya mut'ah dari sisi kehidupan beragama, moral dan sosial. Sehingga mut'ah diharamkan, karena mengandung bahaya yang banyak.
Dakwaan pengharaman hanya khusus berlaku pada hari Khaibar adalah dakwaan yang tidak berasaskan dalil. Di samping itu kalaulah pangharaman mut'ah hanya berlaku pada hari Khaibar, tentu ada penegasan dari Rasulullah yang mengharamkan mut'ah. Makna perkataan bahwa nikah mut'ah diharamkan pada hari Khaibar ialah bahwa pengharamannya dimulai semenjak hari Khaibar sampai hari Kiamat. Adapun perkataan para ulama kami (ulama Syi'ah) adalah mempermainkan nash-nash syari'at.
Betapa banyak orang yang melakukan mut'ah menghimpun anak dan ibunya, wanita dan saudaranya, bapanya . . . dan kekacauan lain.
Seorang perempuan datang padaku menanyakan kejadian yang menimpa dirinya. Perempuan ini menceritakan bahwa ia pernah nikah mut'ah dengan tokoh dan ulama berpengaruh, Sayyid Husain Shadr, dua puluh tahun yang lalu, dan dia hamil. Setelah puas, tokoh ini menceraikannya. Ia bersumpah bahwa ia hamil sebagai hasil hubungan dengan Sayyid Shadr, karena tidak ada yang mut'ah dengannya kecuali Sayyid Sahdr. Setelah anak gadisnya dewasa, ia menjadi gadis yang cantik dan siap menikah. Tapi ibunya menemukan sang anak telah hamil. Ketika ditanya tentang hal itu, ia mengatakan bahwa ia telah menikah mut'ah dengan Sayyid Shadr dan kehamilannya karena nikah mut'ah itu. Sang ibu tercengang dan kehilangan kendali dan mengatakan bahwa Sayyid Shadr itu adalah ayahnya. Lalu ibu ini menceritakan kisah itu pada anaknya, darah dagingnya! Di Iran kejadian seperti itu sudah tidak terhitung banyaknya!
Mari kita simak firman Allah subhanallahu wa ta'ala:
"Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya...."(QS An Nur:33).
Barangsiapa belum mampu menikah secara syar'i karena sedikitnya bekal yang dimilikinya, hendaklah dia menjaga kesucian diri sampai Allah mengaruniakan rezeki kepadanya hingga dia mampu. Kalaulah mut'ah dihalalkan, niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk menjaga kesucian dan menunggu sampai tiba waktunya dimudahkan baginya urusan pernikahan.
Telah sama-sama diketahui bahwa Islam datang untuk memerintahkan perbuatan-perbuatan yang utama dan melarang perbuatan-perbuatan yang tercela. Islam datang untuk mewujudkan kemaslahatan hamba dan agar jalan hidup mereka menjadi teratur. Sebaliknya tidak diragukan lagi bahwa mut'ah akan mengacau kehidupan. Mut'ah menyebarkan kerusakan yang tidak terkira.
Sesungguhnya merebaknya praktek mut'ah akan menjerumuskan umat pada meminjamkan kemaluan. Meminjamkan kemaluan artinya seorang lelaki akan memberi isteri atau ibunya kepada lelaki lain.
Sangat disayangkan fatwa-fatwa meminjamkan kemaluan ini banyak didengungkan oleh para ulama Syi'ah, seperti As Sistani, Sayyid Shadr, Asy Syairazi, Ath Thabathabai, Al Barwajardi. Kebanyakan mereka membolehkan para tamu meminjam isteri mereka jika tamunya tertarik dan dipinjamkan selama tamu menginap.
Merupakan kewajiban kita untuk memberi peringatan kepada orang-orang awam atas perbuatan keji ini, agar mereka tidak menerima fatwa para tokoh yang memperbolehkan perbuatan yang tidak bermoral dan keji ini.
Perkaranya tidak hanya berhenti sampai di sini, bahkan memperbolehkan melakukan sodomi kepada para wanita. Mereka meriwayatkan beberapa riwayat dan menisbatkannya kepada para imam.

Ihwal Khumus
Sesungguhnya khumus, seperlima harta yang harus dikeluarkan oleh orang-orang Syi'ah dari hasil usaha mereka, adalah sesuatu yang dieksploitasi dengan cara yang sangat buruk oleh para ahli fiqh dan mujtahid syi'ah. Ia menjadi mata pencairan dan pemasukan para tokoh dan mujtahid dalam jumlah yang sangat besar, padahal nash syari'at menunjukkan bahwa kalangan awam orang-orang Syi'ah terbebas dari kewajiban membayar seperlima harta mereka.
Membayar khumus hukumnya sekadar mubah dan tidak diwajibkan bagi setiap orang untuk mengeluarkannya. Mereka diperbolehkan menggunakan harta tersebut sebagaimana panggunaan harta lain atau penggunaan hasil usahanya.
Telah terjadi perlombaan di antara para Sayyid dan mujtahid dalam memperoleh khumus. Oleh sebab itu mereka berusaha menurunkan persentase khumus yang diambil dari harta manusia dengan tujuan agar manusia berbondong-bondong menyetorkan khumusnya kepada mereka. Maka di antara mereka ada yang melakukan cara-cara setan.
Imam Khomeini adalah orang yang sangat kaya raya dengan khumus ini. Ketika di Iraq, kekayaannya berlimpah. Sehingga ketika berangkat ke Prancis dan tinggal di sana, dia memiliki tabungan berupa uang dinar Iraq di samping dolar Amerika yang didepositkan di bank Paris dengan bunga yang besar.
Di atas semua itu sesungguhnya silsilah dan keturunan adalah sesuatu yang dapat diperjual-belikan. Barangsiapa menginginkan keturunan yang terhormat yang disandarkan kepada ahlul bait, tidak ada jalan lain selain datang kepada saudara perempuannya atau isterinya untuk datang kepada Sayyid untuk nikah mut'ah dengannya atau dia membayar membayar sejumlah uang sehingga dengan cara itu ia mendapat keturunan yang terhormat.

Inilah praktik yang tidak asing lagi di kota ilmu itu.
Aku teringat dengan sahabatku yang mulia, Ahmad Ash Shafi An Najafi. Aku mengenalnya setelah aku meraih gelar mujtahid, kami menjadi teman yang sangat kental walaupun umur berbeda jauh. Dia berkata kepadaku: "Anakku, Hussain, janganlah kamu kotori dirimu dengan khumus, karena itu adalah harta yang haram." Kami terlibat diskusi yang intensif sampai aku yakin bahwa khumus adalah harta yang haram.

Kitab Suci Lain
Tapi yang paling berat dari penyimpangan Syi'ah adalah adanya kitab suci lain selain Al-Qur'an dan mengatakan bahwa Al-Qur'an itu palsu. Ketika membaca dan meneliti referensi kami yang mu'tabar, aku mendapatkan nama-nama kitab lain yang diklaim oleh para ulama kami bahwa semuanya diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bahwa kitab-kitab itu dikhususkan untuk Ali radhiyallahu 'anhu. Kitab-kitab tersebut adalah Al-Jami'ah, Shahifah An Namus, Shahifah Al-Abithah, Shahifah Dzuabah As-Saif, Shahifah Ali, Al-Jufr, Mushaf Fatimah, Al Qur'an.
Tentang mushaf Fathimah, dari Ali bin Said dan Abu Abdullah alaihissalam (Ja'afar As Shadiq), dia berkata: "Kami memiliki mushaf  Fathimah, di dalamnya terdapat ayat dari kitabullah, dia menekankan kepada Rasulullah dan keluarganya dan ditulis langsung oleh Ali dengan tangannya."(Bihar Al Anwar,26/48).
Jika kitab itu di diktekan oleh Rasulullah dan ditulis oleh Ali, mengapa beliau menyembunyikan dari umatnya? Allah subhanallahu wa ta'ala berfirman: "Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan apa yang diperintahkan itu, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya...."(QS Al-Maidah:67).
Tentang Al-Qur'an, sepakat ulama dan mujtahid kami bahwa Al-Qur'an satu-satunya kitab yang telah berubah di antara kitab yang diakui oleh Syi'ah. Al-Muhaddiths An-Nuri Ath-Thibrisi telah menghimpun semua dalil dan bukti atas terjadinya perubahan yang besar-besaran di dalam Al-Qur'an dalam kitabnya yang ia beri nama Pemutus dalam Menetapkan Terjadinya Perubahan dalam Kitab Tuhan segala tuhan (Fashlu al-khithab fi Ittsbati Tahrif Kitabi Rabbi Al-Arbab).
Dalam kitabnya dia telah menghimpun seribu riwayat yang menyatakan telah terjadinya perubahan. Dia menghimpun perkataan para ahli fiqh dan para ulama Syi'ah yang menyatakan secara terus-terang bahwa Al-Qur'an yang berada di tangan manusia pada hari ini telah berubah dari aslinya.
Al-Qur'an yang hakiki adalah Al-Qur'an yang ada pada Ali dan para imam sesudahnya hingga ia akan berada pada Al-Qaim.
Oleh kerana itu, ketika menghadapi kematian, Imam Al-Khaui berwasiat kepada kami, para murid dan kadernya di hauzah: "Pegang teguhlah Al-Qur'an ini hingga munculnya Qur'an Fathimah."
Sesungguhnya perkara yang paling aneh dan mengherankan adalah bahwa semua kitab ini telah diturunkan dari sisi Allah dan dikhususkan bagi Imam Ali dan para imam sesudahnya tetapi itu semua tersembunyi dari umat. Jika kitab-kitab tersebut benar-benar dimiliki oleh Imam Ali, untuk apa disembunyikan?
Setelah berkelana dalam perjalanan yang sungguh meletihkan dan menyakitkan, apa yang perlu aku perbuat? Apakah aku harus tetap dalam kedudukan dan jabatan seperti sekarang ini serta mengeruk harta yang sangat banyak dari orang-orang yang tidak tahu apa-apa dan berfikiran sederhana atas nama khumus dan sumbangan dalam perayaan-perayaan lalu menaiki mobil mewah dan nikah mut'ah dengan wanita-wanita cantik? Ataukah aku harus meninggalkan kesenangan, menjauhi perbuatan-perbuatan haram dan memakan kebenaran karena yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu.
Aku mengetahui bahwa Abdullah bin Saba' adalah seorang Yahudi yang mendirikan Madzhab Syi'ah dan aliran-aliran dalam islam. Dia menanamkan permusuhan dan kebencian di antara mereka setelah sebelumnya diikat oleh cinta kasih dan keimanan yang menyatukan hati mereka: "Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak sadar."(QS Al-Baqarah:9)
Setelah aku menerbitkan bukuku, Untuk Allah kemudian untuk Sejarah (Mengapa Saya Keluar Dari Syi'ah), keluarlah fatwa dari kota ilmu tentang pengkafiran diriku, pencabutan semua gelar keilmuanku. Semua hukum orang murtad dijatuhkan kepadaku dan diharamkan bagi kalangan Syi'ah membaca bukuku.

 
Back To Top