Kondisi umat Islam sekarang ini sudah
sedemikian memprihatinkan. Krisis multi dimensi dalam tatanan kehidupan
beragama semakin terasa. Sosok muslim ideal yang sesuai dengan syariat telah
ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan dalam pengamalan sehari-hari mereka
tampilkan, baik dalam bentuk lisan, amalan atau keyakinan. Dan lebih parah lagi
mereka tidak sadar bahwa bila telah melakukan suatu kesalahan.
Oleh karena itu kami akan mengangkat
kesalahan-kesalahan umat Islam dalam permasalahan aqidah yang telah menyebar
dan begitu popoler di masyarakat. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.
1.
Kesalahan
Memahami Kalimat Lailahailallah
Ini merupakan kesalahan esensial di
tengah masyarakat muslimin saat
ini. Mereka mencukupkan hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat
tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang
dituntut adalah nafi dan itsbat.
Nafi maknanya ialah seseorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid ini harus
membuang semua bentuk peribadaatan kepada selain Allah.
Makna itsbat adalah menetapkan semua bentuk-bentuk peribadatan hanya kepada
Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Maksudnya adalah pemurnian agama itu hanya untuk Allah dan kufur (mengingkari)
terhadap sesembahan selain-Nya. Berdasarkan firman
Allah,
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan),"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” [An-Nahl 36]
Oleh karena itu dalam melafazkan kalimat
tauhid ini harus ada konsekwensi yang mesti dipenuhi. Yaitu mengesakan Allah
yang disertai ketaatan dan ketundukan untuk melaksanakan perintah-Nya dan mejauhi larangan-larangan-Nya. Bukan hanya sekedar beribadah
kepada Allah saja tanpa di iringi
dengan pengingkaran terhadap thagut.
2.
Istihzaa’
(Memperolok) Perkara-Perkara Agama
Sebagai misal meperolok-olokkan masalah
jenggot, jilbab, menaikkan pakaian diatas mata kaki, Islam sudah tidak relevan
dengan zaman karena
membatasi kebebasan wanita, hukum waris dan lain sebagainya.
Ketahuilah, jika olok-olokan itu
ditujukan kepada syariat maka, sungguh dia telah menjadi KAFIR dan keluar dari ajaran agama Islam.
Karena menghina syariat berarti menghina pembuat syariat, yaitu Allah. Begitu
pula ia telah menghina Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [2].
Berdasarkan dalil.
Katakanlah,"Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah
beriman.”
[At-Taubah: 65-66]
Dan seandainya olok-olokkan itu
ditujukan kepada orangnya (pelaku syariat), maka dia termasuk orang yang fasiq
dan sudah tergelincir di tempat yang sangat berbahaya.
3.
Ungkapan
Sebagian Orang, “Ini sudah kehendak takdir”,
atau, “Jika zaman sudah berkehendak maka akan
menjadi begini dan begini”.
Ini juga merupakan kesalahan yang harus
segera ditinggalkan. Karena zaman dan takdir tidak memiliki kehendak. Kehendak
dan takdir kepunyaan Allah. Perhatikanlah firman Allah.
“Dia telah menciptakan
segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” [Al-Furqan: 2]
Termasuk sifat Allah adalah berbuat
sesuai dengan kehendak-Nya.
Tidak akan pernah ada satu kejadianpun kecuali dengan iradah-Nya. Tidak akan ada di alam ini satupun
yang keluar dari ketentuan takdir-Nya,
dan tidak akan muncul kecuali karena takdir-Nya pula. Apa yang ditakdirkan tidak
akan pernah meleset. [3]
4.
Perkataan
yang masyhur dari kalangan ilmuwan atau pelajar yang mempelajari ilmu Biologi,
Kimia atau yang lain, “Partikel ini tidak mungkin
bisa hancur” atau “Tidak mungkin zat ini
akan terbentuk” dan ucapan-ucapan lain yang senada.
Mereka tidak sadar, bahwa ucapan
termasuk bathil. Perlu diingat, semua yang ada di alam ini asalnya tidak ada.
Allahlah yang menciptakannya dan semua makhluk pasti akan mengalami kehancuran
atau kematian. Kemudian Allah hidupkan pada saat yang lain sesuai dengan
kehendak Allah.
“Dialah yang menjadikan
mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik
amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [Al-Mulk : 2]
Jadi tidak ada satu makhlukpun yang
hancur atau tercipta dengan sendirinya. Adapun makhluk yang bakal Allah
kekalkan adalah Syurga dan Neraka disertai dengan kenikmatan atau adzab di dalamnya, begitu juga dengan
penghuninya. Sedangkan yang lain akan mengalami kehancuran. tiap-tiap yang
berjiwa pasti merasakan kematian
5.
Mengeluh
Dan Mencela Waktu.
Kesalahan seperti ini lebih banyak
dilakukan oleh para penyair, seniman dan sastrawan melalui karya-karyanya.
Kemudian diikuti oleh masyarakat umum sehingga menjadi suatu yang lumrah di
kalangan masyarakat. Contohnya, “Zaman telah
menguasaiku” atau “Zaman telah berkhianat”
atau “Zaman telah gila” dan lain sebagainya.
Untuk lebih jelas, perhatikanlah penjelasan berikut ini.
Jika yang dimaksud hanya untuk
memberikan tentang sifat suatu ‘zaman’, maka hal itu diperbolehkan. Contoh, “Hari ini sangat panas” atau “sangat dingin” dengan syarat tanpa disertai
celaan, berdasarkan firman Allah atas ucapan Luth Alaihissallam.
“Ini adalah hari yang amat
sulit..”
[Huud : 77]
Jika celaan terhadap waktu diiringi
dengan keyakinan bahwa ‘waktu’ adalah penentu terhadap berbagai kejadian
(musibah dan bencana), maka hal ini termasuk perbuatan syirik akbar (besar)
karena berkeyakinan ada kekuatan atau kekuasaan selain Allah. Berdasarkan
dalil.
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada
mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” [Al-Faathir : 13]
Jika terjadi celaan terhadap waktu namun
si pencela masih berkeyakinan bahwa Allahlah pelakunya dan penentunya, maka hal
ini termasuk larangan. [4]. Dalilnya.
Janganlah kalian mencela waktu karena
sesungguhnya Allah itu adalah penentu waktu.
Maksudnya, Dialah Allah yang mengatur
dan mengusai waktu (masa), berdasarkan dalil.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Allah berfirman, “Aku disakiti oleh Anak Adam ia
mencela waktu, Aku adalah pengatur waktu. Aku membolak-balikkan siang dan
malam.” [HR. Muslim 5862]
Oleh karena itu kita harus meyakini
bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah. Keyakinan yang
sebenar-benarnya disertai dengan membenarkan secara lisan dan amalan [5]
6.
Ketika
seseorang memperingatkan orang lain dengan sunnah terutama yang menyangkut
perkara yang zahir seperti, “Pakailah jilbab
!” atau, “Peliharalah janggutmu” atau, “Naikkanlah pakaianmu diatas mata kaki”, maka dia
akan menjawab, “Hal itu tidak penting karena taqwa
itu tempatnya di hati.”
Ketahuilah, bahwa jawaban itu merupakan
jawaban yang benar, namun dibalik jawaban itu terselubung niat yang bathil.
Rasulullah juga pernah mengatakannya, akan tetapi kapankah beliau
mengucapkannya ? Beliau mengucapkannya ketika memberikan nasehat kepada para
shahabatnya agar mereka berpegang teguh dengan adab-adab Islam. Beliau bersabda:
“Janganlah kalian saling
mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing,
jangan saling bermusuhan, janganlah membeli diatas pembelian orang lain.
Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara
muslim yang lain, jangan ia mendhalimi saudaranya, jangan mentelantarkannya,
jangan menghinanya. Taqwa tempatnya disini (Beliau mengisyaratkan ke dada tiga
kali) Cukuplah keburukan bagi seseorang yang dia meremehkan saudaranya sesama
muslim. Setiap muslim diharamkan kepada muslim yang lain darah, harta dan
kehormatannya.”
[Shahih Muslim 2564]
Begitulah, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengucapkan perkataan itu dalam perkara-perkara mu’amalah.
Sedangkan pada diri orang yang dinasehati tersebut jelaslah tidak menginginkan
untuk mengamalkan nasehat dan sunnah. Seandainya hal itu benar-benar ada pada
hatinya. Maka secara otomatis anggota tubuhnya akan tunduk dan segera
merealisasikan taqwa dalam bentuk amalan, sebagaimana yang dilakukan oleh para
shahabat ketika di nasehati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
7.
Perkataan
sebagian orang setelah terjadi satu kejadian yang tidak di sukai, “Seandainya tadi ini yang dikerjakan tentu terjadi begini
dan begini”
Hal ini termasuk larangan karena
berpaling dari takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
“Bersungguh-sungguhlah pada suatu yang bermanfaat bagimu, minta
tolonglah kepada Allah dan janganlah merasa lemah ! Jika kamu tertimpa sesuatu,
janganlah kamu mengatakan, “Seandainya saya mengerjakan begini maka akan
terjadi begini” akan tetapi ucapkanlah, “Allah sudah mentakdirkan dan apa yang
Dia dikehendaki Allah pasti akan terjadi”. Sesungguhnya ucapan, ‘Seandainya’
akan membuka peluang syaithan.”
[HR. Muslim]
Akan tetapi kadang timbul pertanyaan, “Apakah semua ucapan ‘Seandainya’ itu dilarang secara
mutlak dalam semua permasalahan atau tidak ?” Jawabnya adalah sebagai
berikut:
a) Jika lafaz ‘seandainya’dimaksudkan
sekedar pemberitahuan, maka hal diperbolehkan. Misalnya, “Seandainya engkau
datang, aku pasti akan memuliakanmu !” atau “Seandainya aku tahu engkau ada
pasti aku akan mengunjungimu !”
b) Jika dimaksudkan untuk pengharapan
terhadap perkara yang di syari’atkan, maka hal itu dianjurkan bahkan
disunnahkan. Contoh, “Seandainya aku memiliki kemampuan, maka aku akan berhaji”
atau “Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan bershadaqah” Hal ini
berdasarkan kisah dua orang yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam yang masyhur.
“Dunia ini hanya milik empat golongan. Kemudian Beliau
menyebutkan dua orang. Seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu ia
menginfakkan hartanya di jalan Allah, dan seseorang yang tidak diberi harta
tetapi dia berkata, “Seandainya aku memiliki harta seperti Fulan, sungguh aku
pasti beramal sebagaimana dia beramal.” [Shahih Jami’ 3024]
c) Sikap mengeluh terhadap sesuatu yang
telah terjadi. Maka hal ini terlarang berdasarkan hadits diatas.
8.
Do’a
yang diucapkan sebagian orang kepada sebagian yang lain, “Semoga Allah memanjangkan umurmu” atau, “Semoga Allah mengekalkan hari-harimu”.
Hal ini tidak diperbolehkan karena tidak
akan pernah ada seorangpun yang kekal. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
Semua yang ada di bumi itu akan binasa.
Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan. [Ar-Rahman
: 26-27]
Jika ingin mendo’akan orang lain,
ucapkanlah, “Semoga Allah memanjangkan umurmu dalam
ketaatan” karena hidup tidak akan berguna jika jauh daari ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
9.
Salah
memahami ‘Ibadah’.
Sebagian orang menyangka bahwa ibadah
hanya berkisar pada shalat, puasa, zakat dan haji. Padahal ibadah itu mencakup
seluruh cabang-cabang iman yang jumlahnya sekitar tujuhpuluh lebih.
“Iman itu ada 70 atau 60
cabang lebih. Yang paling afdhal adalah ucapan laa ilaaha illaallaah dan yang
paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk cabang
dari iman.”
[HR. Muslim]
Maka jelaslah, bahwa ibadah itu mencakup
seluruh aspek kehidupan meliputi aspek mu’amalah, perekonomian, dan
persenjataan (yang sesuai dengan syari’at)
10.
Munculnya
syubhat, “Terkadang kecanggihan teknologi bisa
membantah nash (teks) dari Al-Qur’an maupun dari Hadits.”
Ketahuilah, wajib bagi seorang muslim
berkeyakinan bahwa yang ada dalam Al-Qur’an ataupun Hadits yang shahih tidak
mungkin bertentangan dengan teknologi yang benar. Ini merupakan kenyataan yang
wajib bagi kita untuk mengimaninya dan membenarkan yang telah dijelaskan Allah
dan Rasul-Nya.
Misalnya, muncul keragu-raguan sebagian orang terhadap firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala.
“Dan Dia mengetahui apa-apa yang ada di dalam rahim.” [Luqman : 34]
Berdasarkan ayat diatas, apa-apa yang
ada di dalam rahim hanyalah Allah yang mengetahuinya dan merupakan rahasia-Nya. Namun kenyataannya (menurut
mereka), para dokter juga bisa mengetahui apa yang di rahim dengan peralatan
modern. Yaitu tentang jenis kelamin janin. Inilah salah satu contoh syubhat
yang bisa menggoyahkan keimanan.
Maka sebagai jawabannya adalah sebagai
berikut. Lafazh “maa” pada ayat tersebut termasuk lafaz yang bermakna umum.
Artinya bisa mencakup semua yang berkaitan dengan janin dalam ciptaannya.
Bentuk, warna, panjang, rizqi, amalan, keadaannya di dunia (sengsara atau
bahagia), ajalnya dan lain sebagainya. Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu 'anhu.
“Sesungguhnya salah seorang diantara kalian, dikumpulkan
penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi
segumpal darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal
daging selama 40 har. Kemudian seorang Malaikat diutus kepada janin tersebut,
lalu ia meniupkan ruh dan diperintahkan dengan empat perkara yaitu tentang
rizkinya, ajalnya, amalannya dan celaka atau bahagia.” [HR. Bukhari]
Pengetahuan terhadap janin masuk dalam
takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dokter tidak akan bisa mengetahuinya
kecuali setelah diciptakan, disempurnakan bentuknya, hampir keluar dari rahim
ibunya. Bagaimana sebelum itu, maka mereka tidak akan bisa mengetahuinya,
walaupun menggunakan alat yang canggih sekalipun. Oleh karena itu jelaslah
bahwa nash itu tidak akan bertentangan dengan teknologi yang benar.
11.
Masyhurnya
beberapa nama yang selayaknya di ganti karena mengandung tazkiyah (penyucian)
terhadap diri. Seperti: Iman, Fitnah, Abrar, Mallak dan lain sebagainya.
Rasulullah pernah merubah nama “Murroh”
menjadi Zaenab atau Juwairiyah. [6]
12.
Dugaan
sebagian orang “Semua perkara itu sudah
ditakdirkan, maka kita tidak perlu berdo’a kepada Allah.”
Ini juga termasuk kesalahan yang
menyebar di tengah umat. Perlu diketahui bahwa do’a termasuk sebab, berdasarkan
sabda Rasulullah.
“Tidak ada yang bisa
merubah takdir kecuali do’a.”
[Dihasankan oleh Al-Albani]
Maksudnya, bahwa do’a termasuk penyebab.
Kadang-kadang Allah menghindarkan musibah seseorang disebabkan do’a, atau Allah
memberikan kebaikan anak dan rizki juga disebabkan do’a. Berdasarkan hadits
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tidaklah seorang hamba berdo’a, tidak
meminta keburukan atau untuk memutuskan tali silaturrahim kecuali Allah akan
memberikan satu diantara tiga hal. Yaitu dikabulkan doanya, atau Allah
hindarkan dia dari keburukan atau Allah simpan doanya di sisi Allah untuk dia.
Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan
memperbanyak do’a” Rasulullah menjawab, “Allah
lebih memperbanyak (pengabulan-Nya).” [HR Tirmidzi]
Do’a merupakan ibadah dan kita diperintahkan
untuk berdo’a. Do’a merupakan sebab dari takdir dan sesungguhnya do’a juga
sudah ditakdirkan oleh Allah.
Dan Rabbmu berfirman, “Berdo'alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” [Ghaafir : 60]
13. Jawaban seseorang ketika dilarang dari
penyimpangan, ia menjawab, “Karena kebanyakan orang
melakukannya.”
Jelas ini merupakan jawaban yang tidak
berdasar (hujjah) dan jauh dari kebenaran. Sebagaimana kita saksikan bahwa
kebanyakan orang pada zaman sekarang tidak memahami syari’ah Islam serta banyak
menyimpang dari Islam. Hal ini dipertegas dengan firman Allah.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.”
[Al-An’am: 116]
Ditambah lagi dengan sedikitnya Ahlus
Sunnah dibandingkan dengan banyaknya Ahlul bid’ah, belum lagi orang-orang
kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kita mengikuti yang sedikit tetapi berada di
atas kebenaran.
14.
Sebagian
orang menggantungkan tulisan yang berlafadz Allah dan Muhammad secara sejajar
di dinding-dinding rumah, papan-papan atau kitab-kitab dan lainnya.
Hal ini termasuk larangan. Karena
memiliki makna menjadikan tandingan bagi Allah Azza wa Jalla. Lebih parah lagi,
seandainya yang menyaksikannya dari kalangan orang-orang awam yang tidak
mengetahui maknannya. Mereka menganggap bahwa, seolah ada kesejajaran kedudukan
antara Allah dan Muhammad. Perhatikanlah firman Allah.
“Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.”
[Al-Baqarah: 22]
Dan jika lafadz Muhammad dihilangkan,
maka tinggalah lafadz Allah saja. Dan ini juga termasuk kesalahan. Karena
lafadz Allah saja termasuk dari dzikir sufiyah yang lazimnya, dengan mengucap
‘Allah…Allah…Allah’.
Oleh karenanya, selayaknya kita
meninggalkan hal yang semacam ini (menggantungkan lafadz semacam ini) . Hal ini
belum pernah dicontohkan oleh Salaf As-Shalih Radhiyallahu 'anhum.
15.
Persaksian
ucapan dengan ‘Syahid’ terhadap orang yang meninggal di jihad fisabilillah.
Maka semacam ini termasuk kesalahan juga. Karena hanya Allahlah yang mengetahui
keadaan hati orang tersebut.
Allah yang lebih mengetahui terhadap
orang-orang yang jihad fi sabilillah. Kita tidak bisa mengetahui hakekat hati
orang yang meninggal tersebut. Apakah benar-benar ikhlas niatnya ataukah tidak
? Sehingga masih berharap dunia. Atau apakah aqidahnya sudah lurus ataukah
belum? Selayaknya kita hanya mengatakan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah n
secara umum,
“Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia
adalah syahid.”
Oleh karena itu kita dilarang menetapkan
seseorang tertentu yang meninggal di jalan Allah dengan sebutan ‘syahid Fulan’,
karena ta’yin itu membutuhkan dalil. Jadi lafadz man menunjukkan keumuman, bukan ta’yin
(pengkhususan) terhadap seseorang tertentu. Sehingga selayaknya kita mendoakan
dengan mengatakan, “Semoga dia termasuk syahid”,
bukan dengan “syahid Fulan.”
16. Merasa ada keberuntungan atau kesialan
berkaitan dengan mushaf (al-Qur’an).
Maksudnya, ketika membuka mushaf
kemudian menjumpai ayat yang didalamnya ada kebaikan, maka optimis
mendapatkannya. Dan sebaliknya, ketika membaca ayat yang didalamnya ada
keburukan (adzab), maka merasa pesimis terhindar darinya. Oleh karena itu para
ulama melarang hal semacam ini.
17. Penulisan ص atau SAW untuk mempersingkat
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kalangan ulama musthalah hadits,
melarang hal ini. Karena termasuk menghilangkan pahala shalawat atas Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bagi seseorang. Dan seandainya saja seseorang
menulis shalawat secara lengkap, maka penulisnya akan mendapat pahala. Begitu
pula orang-orang yang membacanya.
“Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan
bershalawat kepadanya sepuluh kali karenanya.” [Abu Daud]
Maka tidak selayaknya bagi seorang
muslim meninggalkan pahala yang besar hanya karena untuk mempercepat dan
mempersingkat tulisan.
18.
Mengiringi
doa dan masyi’ah (kehendak) seperti doa sebagian orang “mudah-mudahan Allah merahmatimu, Insya Allah!” atau “semoga Allah memberikan rizqi kepadamu, Insya Allah !”
Perhatikanlah dua contoh doa di atas
sehingga nampak jelas. Maka doa tersebut termasuk larangan jika dalam masyi’ah
tersebut, kita bersikap masa bodoh terhadap doa kita (dikabulkan atau tidak
terserah Allah Azza wa Jalla) tanpa adanya harapan. Berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu'laiahi wa asallam,
Janganlah salah seorang
dari kalian berkata-kata,”Ya Allah ampunilah aku jika engkau berkehendak dan
rahmatilah aku jika engkau berkehendak…” [Bukhari kitab Ad-Da’awat 6339, Muslim
Kitab Dzikir dan Do’a no. 2679].
Akan tetapi diperbolehkan berdo’a
disertai masyi’ah ( khat ) dengan syarat bertabaruk dan mengharapkan dengan
sangat dikabulkan doanya.
19.
Mencaci-Maki
Syetan.
Hal ini juga termasuk larangan
berdasarkan sabda Nabi,
“Janganlah kalian mencela syetan dan berlindunglah kepada Allah
dari keburukkannya.”
[As-Shahihah no. 2422 dikeluarkan Ad-Dalimi dan selainnya]
Dan hadits yang lain.
Dari Abu Malik, dari seorang laki-lak,
dia berkata, “Aku membonceng Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam maka terantuklah tungganganya.” Maka aku katakan, “Celakalah
setan.” Maka beliau bersabda,“Janganlah engkau katakan ‘celaka setan’. Jika
engkau mengatakan hal itu, setan akan merasa dirinya besar sampai sebesar rumah
dan dia akan berkata ‘dengan kekuatanku !’akan tetapi katakanlah,’Bismillah’.
Maka jika engkau katakan demikian, dia akan merasa kecil sekecil lalat.”
[Dikeluarkan Abu Daud, dan selainnya.” Lihat Al-Kalam At-Thayib 237] [7]
Dan perlu diketahui bahwa
pencelaan/pencacimakian kita terhadap setan tidak berpengaruh sedikitpun
terhadap keputusan Allah karena kita mencaci atau tidak, syetan sudah dilaknat
oleh Allah Azza wa Jalla.
20.
Merasa
akan mendapat sial pada bulan safar, dengan berkeyakinan akan banyak terjadi
“bala” sehingga menunda safar (berpergian), pernikahan dan lain-lainnya.
Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada tathayur, tidak ada hammah
tidak ada safar.”
[HR. Bukhari 5757, Muslim 2220]
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud
dengan shafara adalah bulan safar. Dan ini berdasarkan pendapat yang rajih.
Oleh karena itu selayaknya bagi kita memperlakukan bulan ini seperti
bulan-bulan yang lain, tanpa dihinggapi rasa khawatir dan dibayangi kesialan
terhadap seseuatupun yang akan terjadi.
Demikianlah duapuluh kesalahan dalam
beraqidah yang telah menyebar dan begitu populer di tengah umat. Pun masih
banyak didapati kesalahan-kesalahan aqidah yang lain. Semoga Allah senantiasa
membimbing kita, sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Amiin.
Wallahu ‘alam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
05/Tahun VI/1423H/2002. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Disarikan dari kitab Akhta’un
‘Aqdiyah karya Syeikh Abdurrahman bin Shalih Al-Mahmud dan kitab Alfazh Wa
Mafahim karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin disertai beberapa tambahan
dari sumber lain oleh Abu Ziyad Ibnu Sofwan – Al-Furqan Gresik
[2]. Lih. At-Tauhid oleh Shalih Fauzan
hal. 42
[3]. Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 89 oleh
Syaikh Shalih al-Utsaimin
[4]. Untuk lebih jelas, lihat Syarh
Lum’atul I’tiqad hal. 22 atau Al-Manahi Al-Syar’iyah hal 74 oleh Syeikh Salim
Al-Hilali
[5]. Tentang celaan tidak hanya terbatas
pada waktu saja, karena kita juga dilarang mencela kendaraan, angin, ayam
jantan dan penyakit panas. Lihat Hashaidul Alsun hal. 156-159 oleh Husein
Al-Uwaisyah
[6]. Llihat Fathul Baari no. 6192,
Muslim 2140
[7]. Ucapan “Celakalah engkau syaitan!”
memberikan kesan, bahwa setan memiliki andil dalam suatu kejadian. Sehingga
setan menjadi bangga dengan hal itu.
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih