Nama
Imam Bukhari bukanlah nama yang asing bagi kita. Seorang ulama ahli hadits yang
mendapat julukan Amirul Mukminin fil Hadits. Para ulama pun menyatakan
bahwa kitabnya Shahih Bukhari adalah kitab yang paling sahih setelah al-Qur’an.
Kemudian, setelah itu diikuti oleh kitab muridnya, yaitu kitab Shahih karya
Imam Muslim. Semoga Allah merahmati mereka berdua.
Meskipun
demikian, itu bukan berarti perjalanan hidup Sang Imam mulus begitu saja. Ada
saja terpaan fitnah yang melanda beliau, bersama dengan kemuliaan dan kebesaran
yang beliau miliki. Tatkala fitnah tentang aqidah atau keyakinan bahwa
al-Qur’an makhluk telah disalah alamatkan kepada beliau oleh sebagian orang
yang tidak bertanggung jawab. Padahal, keyakinan al-Qur’an makhluk merupakan
keyakinan Sekte Sesat yang amat terkenal di masa itu, yaitu Jahmiyah.
Pengantar Sebelum Menyimak Kisah
Beliau
al-Qur’an
adalah kalam atau ucapan Allah. Ini sudah jelas. Akan tetapi, bolehkah kita
katakan bahwa pelafalan al-Qur’an itu makhluk, atau bukan makhluk, atau harus
diam dalam persoalan ini,..?
Jawaban yang
lebih tepat, memberikan hukum umum dalam permasalahan ini, yaitu Dengan
Serta Merta Menolak atau Menerima Pernyataan ‘Pelafalan Al-Qur’an
Adalah Makhluk’ Adalah Tidak Tepat. Sebab hal ini harus dirinci terlebih
dahulu. Jika yang dimaksud dengan Pelafalan Itu Adalah Perbuatan (fi’il)
mengucapkannya yang hal itu Termasuk Perbuatan Hamba maka jelas ini adalah Makhluk,
Karena Hamba Beserta Perbuatannya Adalah Makhluk.
Namun, apabila yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah Ucapan yang Dilafalkan
(Maf’ul) maka itu adalah Kalam Atau Ucapan Allah dan Bukan Makhluk, Karena
Kalam Allah Merupakan Salah Satu Sifat-Nya, sedangkan Sifat-Nya Bukan Makhluk.
Perincian
semacam ini telah diisyaratkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan: “Barangsiapa
yang berpendapat bahwa lafalku dalam membaca al-Qur’an adalah makhluk dan yang
dia maksud dengannya adalah al-Qur’an maka dia adalah penganut paham Jahmiyah”.
Perkataan Imam Ahmad dan yang dia maksud adalah al-Qur’an menunjukkan bahwa
apabila yang dia maksudkan bukanlah al-Qur’an akan tetapi perbuatan
melafalkan yang ini merupakan perbuatan manusia, maka orang yang mengucapkannya
tidak bisa dicap sebagai penganut paham Jahmiyah.
(Diambil dari
Fathu Rabbil Bariyyah hal. 70 cet. Dar Ibnul Jauzi).
Fitnah Yang Menimpa Sang Imam
Pada tahun
205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa
waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga
salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya:
“Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa
mendengar ilmu darinya”. Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun
mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika
muncul ‘masalah’ di majelis Muhammad Bin
Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di majelisnya
berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.
Sebenarnya,
sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara dirinya
dengan Imam Bukhari, -semoga Allah merahmati mereka berdua-. Beliau pernah
berpesan kepada murid-muridnya: “Janganlah kalian tanyakan kepadanya
mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah). Karena
seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut
pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu
akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi’ah), Jahmi,
dan penganut Murji’ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”
Ahmad bin
‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu
membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad atau dengki terhadap
beliau. Mereka menuduh Bukhari berpendapat bahwa al-Qur’an yang dilafalkan
adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada
beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu berkata: “Wahai
Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an, apakah ia makhluk
atau bukan makhluk ?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Imam Bukhari
berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun
memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab: “al-Qur’an adalah Kalam Allah,
bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang
dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi
sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan: “Kalau
begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah
makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab: “Perbuatan
kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.”
Hal itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan: “Kalau
begitu al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain
membantah: “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah
kesimpang-siuran dan kesalah pahaman di antara para hadirin.
Tatkala kabar
yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun berkata: “al-Qur’an
adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur’an
yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan
demikian - maka dia adalah mubtadi’ atau ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis
kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi
kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena
tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak
munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun
bubar meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim-
dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai Imam
adz-Dzuhli menyatakan: “Ketahuilah, barangsiapa yang ikut
berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari - maka tidak halal hadir dalam
majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil
selendangnya dan meletakkannya di atas imamah atau penutup kepala yang
dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan beliau
dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam adz-Dzuhli di
atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam
menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam ini. al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah berkata: “Muslim telah bersikap adil tatkala dia
tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini
-Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”
Pada
akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga
keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau menyerahkan
segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan
hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan maupun
kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan yang
dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin
Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan: “Barangsiapa
Yang Mendakwakan Aku Berpandangan Bahwa Al-Qur’an Yang Aku Lafalkan Adalah
Makhluk, Sesungguhnya Dia Adalah Pendusta. Sesungguhnya Aku Tidak Berpendapat
Seperti Itu.”
Abu Amr Ahmad
bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata:
“Wahai
Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita tentang dirimu
bahwasanya kamu berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.”
Maka Imam Bukhari menjawab: “Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini:
Siapa
Pun Diantara Penduduk Naisabur Dan Negeri-Negeri Yang Lain Yang Mendakwakan
Bahwa Aku Berpendapat Al-Qur’an Yang Aku Lafalkan Adalah Makhluk Maka Dia
Adalah Pendusta. Sesungguhnya Aku Tidak Pernah Mengatakan Hal Itu. Yang Aku
Katakan Adalah Perbuatan Hamba Adalah Makhluk.”
(Kisah
ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)
Abdullah
anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku rahimahullah. Aku
berkata: “Apa pendapatmu mengenai orang yang mengatakan bahwa tilawah adalah
makhluk dan lafal kita dengan al-Qur’an adalah makhluk, sedangkan al-Qur’an
adalah kalamullah dan bukan makhluk? Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi
orang seperti ini? Apakah dia layak disebut sebagai ahli bid’ah?”. Beliau
menjawab: “Orang semacam ini semestinya dijauhi. Itu adalah ucapan ahli bid’ah.
Dan itu merupakan perkataan kaum Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya
Abdullah bin Ahmad, no. 178). Abdullah juga mengatakan: “Aku mendengar ayahku
rahimahullah berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa lafalku
dengan al-Qur’an adalah makhluk maka dia adalah penganut Jahmiyah.”
(lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 180)
Ketika
membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam kitabnya Jarh wa Ta’dil
Abdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata: “Ayahku -Abu Hatim- dan Abu
Zur’ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua meninggalkan haditsnya,
yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi mengirimkan surat kepada mereka
berdua yang menceritakan bahwasanya di daerah mereka -Naisabur- dia menampakkan
pemahaman bahwa lafalnya dengan al-Qur’an adalah makhluk.” (lihat al-Jarh wa
at-Ta’dil VII/191).
Imam
adz-Dzahabi rahimahullah telah membantah perkataan ini dalam kitabnya Siyar
A’lam an-Nubala’. Beliau berkata: “Apabila mereka berdua meninggalkan
haditsnya, ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang
tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru
dunia.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh
adz-Dzahabi II/633 risalah magister karya Abu Abdirrahman Muhammad ats-Tsani)
Hal ini
menunjukkan kepada kita bahwa jarh atau celaan dari sebagian ulama yang
ditujukan kepada Imam Bukhari Tidak Bisa Diterima. Imam
Ahmad rahimahullah berkata: “Setiap orang yang telah terbukti kuat
keadilan atau kredibilitasnya maka tidak boleh diterima tajrih atau celaan
kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu diterangkan kepadanya sampai
pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan yang lain kecuali memang
harus menjatuhkan jarh atau celaan kepadanya.” (lihatDhawabith
al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)
Pelajaran Yang Bisa Dipetik
Kisah di atas
mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum muslimin, terlebih lagi
bagi para penimba ilmu dan para da’i. Pelajaran terpenting dari kisah ini
adalah pentingnya setiap muslim maupun muslimah untuk mempelajari aqidah Islam
dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari berbagai penyimpangan pemahaman dan
kesesatan. Karena aqidah inilah yang menjadi landasan agama kita. Hendaknya
setiap muslim memahami hakikat keimanan dan tauhid yang menjadi intisari aqidah
Islam. Jangan sampai seorang muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da’i-
meremehkan masalah aqidah ini. Masalah aqidah adalah masalah yang sangat
penting dan mendasar.
Selain itu,
kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk menjadi seorang
penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Bukan menjadi orang
yang memburu popularitas atau beramal karena ingin mendapatkan pujian dan
sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang yang berusaha untuk senantiasa
mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha manusia. Orang arab mengatakan: “Ridha
manusia adalah cita-cita yang tak akan pernah tercapai.” Sebagaimana
dikatakan oleh sebagian salaf bahwa ikhlas itu adalah “Melupakan Pandangan Manusia
Dengan Senantiasa Melihat Kepada Penilaian Al-Khaliq, Yaitu Allah.”
Kisah ini
memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima dan
menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita yang kita terima tidak benar atau
tidak sempurna sehingga akan menimbulkan kesalah pahaman bagi orang yang
mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait dengan orang yang memiliki kedudukan
di masyarakat, baik dari kalangan ulama ataupun penguasa. Kewajiban kita
sebagai sesama muslim adalah menjaga kehormatan dan harga diri saudara kita,
apalagi mereka adalah orang yang memiliki kedudukan dan keutamaan di mata
publik.
Kisah ini
juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da’i dan tokoh masyarakat-
untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih lagi jika kita
berada di depan orang banyak, karena penggunaan kata-kata yang kurang tepat
atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan suasana yang kurang harmonis,
kekacauan, dan bahkan permusuhan yang tidak pada tempatnya.
Kisah ini
juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bahwasanya terkadang
permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara sesama guru atau da’i itu
timbul dan semakin bertambah parah akibat ulah sebagian murid-murid mereka yang
suka membuat masalah. Oleh sebab itu seorang guru harus objektif dan
berhati-hati dalam menerima berita dari muridnya. Demikian pula, seorang murid
juga tidak boleh sembarangan dalam menafsirkan perkataan gurunya tanpa meminta
kejelasan terhadap ungkapan yang diduga bisa memicu permasalahan. Apalagi di
dalam situasi fitnah (kekacauan), hendaknya seorang murid fokus kepada tugasnya
yaitu belajar dan tidak disibukkan dengan qila wa qola (kabar burung) dan
pembicaraan yang kurang bermanfaat baginya.
Kisah ini
juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh wa ta’dil
(kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah perkara sepele.
Jarh wa ta’dil tidak seperti kacang goreng yang bisa dibeli dengan harga murah
oleh siapa saja. Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat mulia. Ilmu yang
membutuhkan pemahaman yang mendalam, ketelitian, dan kehati-hatian. Tidak semua
orang boleh berbicara tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak setiap ulama
ahli dan mapan di bidang ini. Jarh wa ta’dil juga memiliki kaidah dan
batasan-batasan yang harus diperhatikan. Memang, memperingatkan dari
kemungkaran adalah suatu kebaikan yang sangat besar, akan tetapi mengingkari
kemungkaran pun ada kaidahnya, tidak boleh secara serampangan.
Kisah ini
juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da’i untuk
membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena banyak
permasalahan yang terjadi diantara mereka diantara penyebabnya adalah karena
sifat yang tercela ini. Oleh sebab itu ada suatu ungkapan yang populer di
kalangan para ulama Jarh wa Ta’dil : Kalamul aqraan yuthwa wa laa yurwa,
artinya: “Kritikan antara orang-orang yang sejajar kedudukannya cukup dilipat
-tidak diperhatikan- dan tidak diriwayatkan.” Karena terkadang kritikan
yang muncul diantara sesama mereka adalah karena faktor hasad. Kita berlindung
kepada Allah dari sifat yang demikian itu.
Kisah ini
juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap husnudhon atau berprasangka
baik kepada saudara kita. Karena perasaan su’udhon atau buruk sangka yang tidak
dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat adalah termasuk perbuatan dosa. Selain
itu, kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak suka mencari-cari
kesalahan orang lain. Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah termasuk
nasehat, akan tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan yang
tidak kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi kesalahan kita itu tidak
kecil dan tidak sedikit. Allahul musta’aan.
Kisah ini
juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da’i harus siap menghadapi
berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan dakwahnya. Seorang
da’i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah dalam menyikapi berbagai
masalah yang dijumpainya. Begitu pula seorang penimba ilmu. Bahkan, setiap
orang yang beriman pasti mendapatkan ujian dari Allah yang menuntut mereka
untuk bersabar tatkala mendapatkan musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan
kenikmatan.
Kisah ini
juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati dan kelapangan
dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa mereka serta
menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat. Mereka menyadari
bahwasanya tugas mereka sebagai ulama adalah mendakwahkan ilmu dan membimbing
umat menuju kebaikan. Mereka sama sekali tidak menyimpan ambisi-ambisi politik
atau mengejar target-target duniawi. Ulama sejati tidak takut celaan para
pencela dan tidak khawatir apabila ditinggalkan jama’ah, selama dia tegak di
atas kebenaran.
Kisah ini
juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya kebid’ahan, yaitu
ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di dalam agama Islam. Bid’ah ini
tidak hanya berkutat dalam masalah amalan, tetapi ia juga terjadi dalam masalah
aqidah atau keyakinan. Bahkan, diantara keyakinan yang bid’ah itu ada yang bisa
menyebabkan kafir bagi orang yang meyakininya. Oleh sebab itu para ulama salaf
sangat keras dalam mengingkari para pelaku kebid’ahan. Sebagian diantara mereka
mengatakan: “Bid’ah itu lebih dicintai Iblis daripada maksiat. Karena pelaku
maksiat masih mungkin untuk bertaubat, sedangkan bid’ah hampir tidak mungkin
pelakunya bertaubat.” Sebab pelaku kebid’ahan menganggap dirinya tidak
melakukan kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang masih mengakui bahwa
dirinya memang telah berbuat maksiat.
Kisah ini
juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh dalam membela
kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus menyelisihi banyak orang,
bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam
pandangan kita. Sesungguhnya kebenaran itu diukur dengan al-Kitab dan
as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau ‘allan. Sebagian ulama salaf berpesan: “Hendaknya
kamu mengikuti jalan kebenaran. Janganlah kamu merasa sedih karena sedikitnya
orang yang menempuhnya. Dan jauhilah jalan-jalan kebatilan. Dan janganlah kamu
merasa gentar karena banyaknya orang yang binasa.”
Dan yang
terakhir, kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa perselisihan yang
terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian permasalahan- adalah realita
yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita dituntut untuk
bersikap bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya. Ulama adalah Pewaris
Para Nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka dengan tidak
berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa
ulama bukanlah nabi yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita
tidak boleh meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka.
Apabila kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu berdasarkan al-Kitab dan
as-Sunnah- maka wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita
ikuti dengan bersangka baik dan tetap menghargai jerih payah mereka. Imam
Syafi’i rahimahullah berpesan kepada para pengikutnya: “Apabila kamu temukan di dalam
bukuku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah atau tuntunan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku.”
Sumber
: di sini
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih