Puasa Arafah yang dilakukan tahun ini apakah ikut wukuf di Arafah ataukah
ikut ketetapan pemerintah? Karena kalau ikut ketetapan pemerintah, maka puasa
Arafah akan berbeda dengan waktu Jamaah haji wukuf di Arafah. Waktu wukuf di
Arafah pada hari Jumat, 3 Oktober 2014. Sedangkan untuk 9 Dzulhijjah di
Indonesia jatuh pada 4 Oktober 2014.
Kalau Begitu Puasa Arafah Ikut Siapa?
Yang jelas kasus semacam ini sudah ada sejak masa silam. Kita semestinya
bersikap legowo dan lapang dada, menghargai perbedaan yang terjadi.
Namun mengedepankan persatuan dalam masalah ini, itu lebih baik.
Landasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas
kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian
berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR.
Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani).
Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata :
“Para ulama
menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya
bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang
dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri), Bukan
Dengan Ormas Atau Golongan Tertentu.
Hadits di atas menunjukkan bahwa berpuasalah dan berhari rayalah bersama
pemerintah. Kalau ketetapan pemerintah berbeda dengan wukuf di Arafah, tetap
ketetapan pemerintah yang diikuti.
Ikuti Hilal di Negeri Masing-Masing, Bukan Ikut Wukuf di Arafah
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah.
Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka
genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun
‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Hilal di negeri masing-masinglah yang jadi patokan, itulah maksud perintah
hadits. Yang menguatkannya pula adalah riwayat dari Kuraib, bahwa Ummu Fadhl
bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka
menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya, setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang
dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di
Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah.
Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku :
“Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab : “Kami
melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya,
saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa
dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan :
“Kalau kami
melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30
hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi : “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah
Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas :
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim no.
1087).
Ini jadi dalil bahwa hilal di negeri kita tidak mesti sama dengan hilal
Kerajaan Saudi Arabia, hilal lokal itulah yang berlaku. Kalau hilal negara lain
terlalu dipaksakan berlaku di negeri ini, coba bayangkan bagaimana hal ini
diterapkan di masa silam yang komunikasinya belum maju seperti saat ini.
Imam Nawawi rahimahullah membawakan judul untuk hadits
Kuraib : “Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika
mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.”
Imam Nawawi rahimahullah juga menjelaskan :
“Hadits Kuraib dari Ibnu ‘Abbas jadi dalil untuk judul yang disampaikan.
Menurut pendapat yang kuat di kalangan Syafi’iyah, penglihatan rukyah (hilal)
tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang
terdekat selama masih dalam jarak belum diqasharnya shalat.” (Syarh
Shahih Muslim, 7: 175). Namun sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hilal
internasionallah yang berlaku. Maksudnya, penglihatan hilal di suatu tempat
berlaku pula untuk tempat lainnya.
Tidak Masalah Jika Puasa Arafah Beda dengan Hari Wukuf di Arafah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai
berikut : “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan
perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah.
Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah
mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab : “Permasalahan ini adalah turunan dari
perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah
berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu
berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.”
Misalnya di
Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan
di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah
sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara
tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada
hari ini karena hari ini adalah hari Idul Adha di negara mereka.
Demikian
pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah
ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8
Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada
tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan
tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah
pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa
dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari
dan Muslim).
Orang-orang
yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang
yang melihatnya.
Sebagaimana
manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu
mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu
sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya
masing-masing)”. (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413
H)
Kesimpulan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, puasa
Arafah mengikuti penanggalan atau penglihatan di negeri masing-masing dan tidak
mesti mengikuti wukuf di Arafah.
Wallahu a’lam, wallahu waliyyut taufiq.
Penulis
: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih