Riwayat dan persaksian,
meski berbeda dalam beberapa sisi tapi memiliki kesamaan dalam sisi yang lain.
Al-Imam An-Nawawiy rahimahullah berkata:
“Ketahuilah, bahwa
riwayat hadits dan persaksian memiliki kesamaan dalam beberapa sifat dan
memiliki perbedaan dalam beberapa sifat pula. Keduanya memiliki kesamaan dalam
hal persyaratan: Islam, berakal, baligh, ‘adalah, muru’ah, ke-dhabith-an
khabar, memiliki saksi ketika ia membawa (khabar tersebut), atau ketika
menyampaikannya. Sedangkan keduanya berbeda dalam hal kemerdekaan (dari status
budak), kedewasaan, jumlah, adanya tuduhan, dan penerimaan cabang (fara’)
bersamaan dengan keberadaan ashl.”
Dan dari sinilah dapat
terhukumi riwayat seorang ahli bid’ah di sisi ahlussunnah, tidaklah berbeda
dengan hukum persaksian mereka, dan jika pun ada perbedaan di antara keduanya hanya
dalam sebagian tafshil-nya. Maka hukum riwayat dari ahli bid’ah sangat
tergantung pada keadaan dari ahli bid’ah tersebut, apakah dia kafir atau tidak,
apakah dia menghalalkan kedustaan atau tidak, dan apakah ia mendakwahkan kepada
bid’ahnya atau tidak.
Maka seorang ahli
bid’ah yang kafir : Sesungguhnya riwayatnya tertolak dikarenakan termasuk syarat penerimaan
sebuah riwayat adalah keislaman sebagaimana yang telah lewat.
Telah dinukil
kesepakatan atas penolakan riwayat ahli bid’ah yang kafir, Al-Imam An-Nawawiy
dalam Syarh Shahih Muslim berkata :
“Para ulama dari
golongan ahli hadits, ahli fiqh, dan ahli ushul berkata : seorang ahli bid’ah
yang melakukan kekafiran dengan bid’ahnya, jangan kau terima riwayatnya menurut
kesepakatan (para ulama).”
Dan beliau menukil pula
dalam kitab (At-Taqriib):
“Barangsiapa yang
dengan bid’ahnya menjadikan kafir, janganlah berhujjah dengannya sesuai
kesepakatan (para ulama).”
Lalu nampak dari
perkataan Ibnu Ash-Shalaah menunjukkan pula atas kesepakatan penolakan riwayat
ahli bid’ah yang kafir, beliau berkata:
“Mereka (para ulama)
berbeda pendapat dalam hal penerimaan riwayat ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak
menyebabkan kekafiran.”
Maka dapat dipahami bahwasanya
ahli bid’ah yang kafir disepakati atas penolakan riwayatnya, oleh
karenanya Ibnu Katsiir berkata dalam kitab Ikhtishar-nya dengan
perkataan Ibnu Ash-Shalaah:
“Persoalan : seorang
ahli bid’ah yang kafir dengan bid’ahnya, maka tidak ada keraguan dalam hal
penolakan riwayatnya.”
Ibnu Hajar
Al-’Asqalaaniy berpendapat bahwa pendapat yang menolak riwayat dari ahli bid’ah
yang kafir adalah pendapat Jumhur Ulama, Al-Haafizh berkata:
“Kemudian untuk bid’ah,
jika menjadikan pelakunya kafir sebagaimana bid’ah dalam aqidah yang melazimkan
kekafiran atau kefasikan, maka untuk yang pertama, jumhur tidak menerima
riwayatnya, dan dikatakan diterima secara muthlaq, dan dikatakan jika ia tidak
berkeyakinan menghalalkan kedustaan dengan pembelaan (terhadap bidahnya) maka diterima
perkataannya.”
Oleh karenanya, As-Suyuthiy
membantah perkataan An- Nawawiy pada nukilannya mengenai kesepakatan atas
penolakan riwayat mereka yang kafir dengan bid’ahnya, beliau berkata:
“Dinyatakan klaim atas
kesepakatan pelarangan (menerima riwayat ahli bid’ah yang kafir), maka sungguh
telah dikatakan pula bahwa ia diterima secara muthlaq, lalu dikatakan bahwa
jika ia meyakini haramnya berdusta ...”
kemudian beliau membawakan
perkataan Ibnu Hajar yang telah berlalu. Adapun perkataan Ibnu Hajar:
“Penelitian menyeluruh
menunjukkan bahwa tidaklah ditolak seluruh riwayat dari pelaku yang menjadi
kafir dengan bid’ahnya...(hingga akhir),”
Maka perkataannya ini
tidak menunjukkan kemuthlakan atas pendapat yang menerima riwayat orang kafir
dengan bid’ahnya. Karena sebab inilah, beliau mengatakan:
“Tidaklah ditolak
seluruh riwayat dari pelaku yang menjadi kafir dengan bid’ahnya,”
Dan beliau tidak berkata:
“Orang kafir dengan bid’ahnya.”
Perbedaannya sangat jelas
antara kedua lafazh ini, karena sebenarnya lafazh pertama tersebut
dimaksudkan untuk menghindari penolakan semua riwayat dari orang-orang
yang
dikafirkan dengan bid’ahnya tanpa pijakan yang kuat -atas segala perbuatan
bid’ah yang telah dikenal di sisi ahli bid’ah-, maka dalam sifat-sifat
tersebut berlaku hukum takfir orang-orang yang menyelisihi dengan
menelanjangi penyelisihan-penyelisihannya -tidak dengan dikafirkan
dengan dalil- atas apa yang ahlussunnah berpijak atasnya.
Perkataannya:
“Maka yang dapat dijadikan
dasar adalah menolak riwayat-riwayat dari ahli bid’ah dengan pengingkaran
perkara-perkara yang telah mutawatir dari syari’at yang telah dimaklumi,”
Dari sini
jelas bahwa sesungguhnya tidaklah tertolak semua riwayat dari
orang yang dikafirkan dengan bid’ahnya hingga telah tetap kekafirannya
tersebut dengan keyakinan dan dalil. Adapun jika seorang ahli bid’ah
menghalalkan berdusta, seperti mereka yang menghalalkan berdusta
demi membela madzhabnya atau membela pengikut madzhabnya, maka tak
disangkal lagi, tertolaknya riwayat mereka dan tidak diterima karena
penghalalan berdusta (dalam periwayatan hadits) adalah kekufuran dan telah
ditetapkan atasnya hujjah pada perbuatan yang demikian, maka
riwayatnya marduud karena sebab kekufuran dan kedustaannya. Dan jika ia
tidak dihukumi dengan kekufuran -karena adanya penghalang dari sekian
penghalang-penghalang takfir-, riwayatnya tetap marduud karena sebab
kedustaannya. Lalu, tidaklah diterima riwayatnya atas segala keadaan dan dengan
kesepakatan para ulama.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Perlu adanya
persaksian orang yang dikenal dengan kedustaan, tersepakati baginya kedustaan
tersebut diantara para fuqaha’.”
Dengan inilah para
ulama Jarh wa Ta’diil tidak berselisih dalam menolak riwayat dari mereka yang
menghalalkan kedustaan, atas apa yang para ulama perselisihkan dalam hal
riwayat ahli bid’ah. Al-Khathiib rahimahullah berkata:
“Segolongan ulama berpendapat
akan penerimaan khabar-khabar ahlul hawa’ yang mana mereka tidak dikenal menghalalkan
dusta, dan membuat kesaksian palsu untuk para pengikutya.”
Ibnu Ash-Shalaah rahimahullah
berkata pada pemaparan pendapat-pendapat ulama dalam hal hukum
riwayat ahli bid’ah:
“Dan diantara mereka
ada yang menerima riwayat ahli bid’ah jika ia tidak menghalalkan kedustaan demi
membela madzhabnya atau membela pengikut madzhabnya.”
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
“Dan sesiapa yang tidak
kafir (dengan perbuatan bid’ahnya), dikatakan riwayatnya tidak dijadikan hujjah
secara muthlaq, dan dikatakan : dijadikan hujjah jika ia tidak termasuk orang yang
menghalalkan kedustaan demi membela madzhabnya atau pengikut madzhabnya.”
Ibnu Katsiir
rahimahullah berkata dalam Mukhtashar-nya:
“Ahli bid’ah jika ia
kufur dengan bid’ahnya, maka tidak diragukan lagi untuk ditolak riwayatnya, begitu
juga ahli bid’ah yang tidak kafir namun ia menghalalkan kedustaan, riwayatnya
tertolak pula.”
As-Suyuuthiy
rahimahullah berkata terkait kalam Imam An-Nawawiy : dijadikan hujjah jika ia
tidak termasuk orang yang menghalalkan kedustaan demi membela madzhabnya atau
pengikut madzhabnya:
“Sama saja apakah ia
menyerukan kepada bid’ahnya ataukah tidak, dan tidak diterima jika ia
menghalalkan yang demikian (yaitu berdusta).”
Maka yang nampak dengan
kesepakatan ulama ahli hadits dan ahli kritik riwayat adalah :
Penolakan riwayat
orang-orang yang menghalalkan berdusta dari golongan ahli bid’ah dan yang
selain mereka, dan bahwasanya khabar-khabar mereka tidaklah dijadikan hujjah di
sisi para ulama secara umum hingga di sisi orang yang mengijazahi riwayat si
ahli bid’ah tersebut, secara muthlaq.
Karena periwayatan
menandakan pembenaran sang perawi dan mereka telah menampakkan hakikat
kedustaan mereka, bahkan penghalalan mereka akan perbuatan dusta dan
keterikatan mereka dengannya bahwa mereka membela madzhab mereka dan pengikut
madzhab mereka.
Dengan inilah telah
dikenal dari para imam salaf bahwa mereka meninggalkan riwayat Raafidhah karena
legitimasi mereka akan kedustaan demi membela madzhab mereka tersebut.
Seorang lelaki bertanya
kepada Abu Hanifah rahimahullah:
“Dari siapakah kau
perintahkan diriku ini untuk mendengar atsar-atsar?”
Abu Hanifah menjawab:
“Dari semua yang ‘adil
terhadap hawa nafsunya kecuali golongan syi’ah, karena dasar keyakinan mereka
adalah menganggap sesat sahabat-sahabat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.”
Malik rahimahullah
ditanya mengenai Raafidhah, Malik berkata:
“Janganlah kau
membicarakan mereka dan jangan meriwayatkan dari mereka karena mereka adalah
pendusta.”
Dari Syariik bin
‘Abdillaah rahimahullah, ia berkata:
“Bawalah ilmu dari
semua yang kau jumpai kecuali Raafidhah, karena mereka gemar memalsukan hadits
dan mereka mengambil agama mereka dari hadits dusta tersebut.”
Dari Yazid bin Harun rahimahullah,
ia berkata:
“Ditulis hadits dari
semua pelaku bid’ah jika ia tidak mendakwahkan (bid’ahnya tersebut) kecuali Raafidhah.”
Dan dari Al-Imam
Asy-Syaafi’iy rahimahullah, ia berkata:
“Tidak pernah aku
melihat sebuah kaum ahli hawa’ yang (menghalalkan) berbohong melainkan
Raafidhah.”
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata:
“Telah bersepakat para
ulama ahli riwayat dan isnad bahwa Raafidhah adalah kaum paling berani
pendusta, dan kedustaan yang ada pada mereka telah ada sejak dahulu. Dengan
inilah para ulama Islam mengetahui perbedaan mereka (dengan madzhab-madzhab
bid’ah yang lain) karena saking banyaknya kedustaan mereka.”
Dalam kesempatan lain, beliau
berkata, “Maksudnya adalah para ulama semuanya sepakat bahwa kaum Raafidhah
lebih suka berdusta daripada kelompok bid’ah yang lainnya. Siapa saja yang
sering membaca kitab-kitab Jarh wa Ta’diil, terlihat bahwasanya sudah ma’ruf di
sisi mereka (para ulama Jarh wa Ta’dil) bahwa syi’ah lebih dikenal sebagai
pendusta, hingga pemilik kitab Shahih seperti Al-Bukhoriy tidak mau
meriwayatkan dari para perawi pendahulu syi’ah, seperti ‘Aashim bin Dhamrah, Al-Haarits Al-A’war, ‘Abdullaah bin Salamah dan
yang semisal mereka, bersamaan dengan dikenalnya para perawi tersebut
termasuk kaum syi’ah yang paling baik. Adapun Raafidhah, maka ashl bid’ah mereka
adalah zindiq, ilhaad, dan banyak menyengaja berdusta, mereka pun mengakui hal
yang demikian dengan mengatakan bahwa agama kami adalah taqiyyah, yaitu
mengucapkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada dalam hati, ini adalah
kedustaan dan kemunafikan yang nyata.”
Saya kutib dari Majalah
Riwayah Edisi 3, Penulis Asli Tommi Marsetio
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih