Hadis Maudhu’ dapat diketahui melalui tanda-tandanya,
baik dalam sanad maupun dalam matan. Berikut penjelasannya:
Tanda-Tanda Maudhu’ pada
Sanad
a.
Pengakuaan
Pembuatnya Sendiri
Sebagaimana pengakuan Abdul
Karim bin Abu Al-Auja, ketika akan dihukum mati, ia mengatakan: “Demi Allah,
aku palsukan padamu 4.000 buah hadis, di dalamnya aku halalkan apa yang
diharamkan dan aku haramkan apa yang dihalalkan.”
Kemudian dihukum pancung
lehernya atas instruksi Muhammad bin Sulaiman bin Ali, Seorang Gubernur Bashrah
(160-173 H). maysarah bin Abdi Rabbih Al-Farisi mengaku banyak memalsukan hadis
tentang keutamaan Al-Qur’an dan Ali radhiyallahu'anhu. Ia mengaku membuat hadis maudhu’ lebih dari 70
hadis. Demikian juga Abu Ishamah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami’ mengaku
banyak membuat hadis maudhu’ yang disandarkan kepada Ibnu Abbas tentang
keutamaan Al-Qur’an.
b.
Adanya
Bukti dalam Pengakuannya (dalam ceritanya)
Seperti seseorang yang
meriwayatkan hadis dengan ungkapan yang mantap serta meyakinkan dari seorang
syaikh padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu atau dari seorang syaikh
yang tidak pernah pergi atau berangkat ke luar (dari kotanya) atau seorang
syaikh yang telah wafat sementara ia masih kecil atau belum lahir. Untuk
mengetahui ini harus mempelajari
buku-buku Tawarikh Ar-Ruwah.
Ma’mun bin Ahmad Al-Harawi
mengaku mendengar hadis dari Hisyam bin Hammar. Al-Hafidz bin Hibban bertanya:
“Kapan anda datang ke Syam,..?” Ma’mun menjawab: “Pada tahun 250 H.” Ibnu
Hibban menjelaskan: “Hisyam bin Ammar wafat pada tahun 245 H.” Sahut Ma’mun:
“Hisyam bin Ammar yang lain.” Hal ini membuktikan adanya pengakuan bahwa ia
tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Ammar (yang asli).
c.
Adanya
Bukti pada Keadaan Rowi
Seperti yang disandarkan
Al-Hakim dari Saif bin Umar Al-Tamimi, aku disisi Sa’ad bin Tharif, ketika
anaknya pulang dari sekolah (al-Kuttab) menangis, ditanya bapaknya: “Mengapa engkau
menangis?” Anaknya menjawab: “di pukul guru” Lantas Sa’ad berkata: “Sungguh
saya buat hina mereka sekarang” Memberitakan kepadaku Ikrimah dari Ibnu Abbas
secara marfu’:
“Guru-guru anak kecilmu adalah orang yang paling jelek diantara kamu. Dia
paling sedikit sayangnya terhadap anak yatim dan yang paling kasar terhadap
orang-orang miskin”
Ibnu Ma’in berkata “tidak
halal seseorang meriwayatkan hadis dari Sa’ad bin Tharif.” Ibnu Hibban
berkomentar: “Ia memalsukan hadis.” Al-Hakim juga berkata: “Ia dituduh Zindiq
dan gugur dalam periwayatan.”
d.
Kedustaan
Perowi
Seorang perowi yang dikenal
dusta meriwayatkan suatu hadis sendirian dan tidak ada seorang tsiqoh yang
meriwayatkannya.
Tanda-Tanda Maudhu’ pada
Matan
a.
Lemah
Susunan Lafal dan Maknanya
Salah satu tanda ke-maudhu’-an
suatu hadis adalah lemah dari segi bahasa dan maknanya. Secara logis tidak
dibenarkan bahwa ungkapan itu datang dari Rasul. Banyak hadis-hadis panjang
yang lemah susunan bahasa dan maknanya. Seorang yang memiliki keahlian bahasa
dan sastra memiliki ketajaman dalam memahami hadis dari Nabi atau bukan. Hadis maudhu’
ini bukan bahasa Nabi yang mengandung sastra, karena sangat rusak susunannya.
Ar-Rabi’ bin Khats’ yang berkata:
“Sesungguhnya hadis itu bercahaya seperti cahaya siang kami mangenalnya
dan memiliki kegelapan bagaikan gelap malam kami mengenalnya.”
Hadis palsu jika
diriwayatkan secara jelas, bahwa ini lafal dari Nabi dapat terditeksi oleh
pakar yang ahli dalam bidangnya sehingga tercium bahwa ini hadis sesungguhnya
dan ini hadis palsu. Jika tidak dinyatakan secara jelas, menurut Ibnu Hajar
Al-Asqalani, hadis itu dikembalikan kepada maknanya yang rusak, karena bisa
jadi ia beralasan riwayah bi al ma’na
atau karena tidak bisa menyusun secara baik.
b.
Rusaknya
Makna
Maksud rusaknya makna karena
bertentangan dengan akal sehat, menyalahi kaidah kesehatan, mendorong kepada perbuatan
maksiat dan juga tidak bisa di ta’wilkan. Misalnya, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Al-Jauzi dari jalan Thariq Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam dari ayahnya dari kakeknya secara marfu’:
“Bahwasannya perahu Nabi Nuh berthawaf di Ba’it (Ka’bah) tujuh kali dan
shalat di Maqam Ibrahim dua reka’at.”
Hadis ini maudhu’ karena
menyelisihi akal sehat, bagaimana mungkin sebuah perahu besar dapat
berputar-putar mengelilingi Ka’bah 7 kali seperti orang yang sedang melakukan
thawaf haji, demikian juga melakukan shalat di Maqam Ibrahim.
Contoh lain, hadis maudhu’
yang mendorong pada perbuatan maksiat:
“Memandang wajah yang cantik dapat menerangkan mata, dan memandang wajah
yang jelek dapat menyebabkan sedih.”
Hadis palsu diatas
didalamnya terdapat perowi yang bernama Abu Sa’id Al-Adawi.
c.
Menyalahi
Teks Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir
Termasuk tanda maudhu’
adalah menyalahi Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir dan tidak mungkin dita’wilkan,
kecuali jika dapat dikompromikan melalui takhshish al-amm atau
tafshil al-mujmal dan lain-lain sebagaimana langkah pemecahan yang telah
dilakukan oleh Ulama Ushul Fiqih. Contoh hadis palsu yang bertentangan dengan
ayat Al-Qur’an, misalnya:
“Anak hasil zina tidak bisa
masuk syurga sampai tujuh keturunan.”
Hadis palsu diatas,
bertentangan dengan firman Allah subhanallahu
wa ta'ala:
Dan tidaklah seorang membuat
dosa melainkan kemadhorotannya kembali kepada dirinya sendiri. (QS Al-An’am:
164)
Contoh hadis palsu yang
bertentangan dengan Hadis Mutawatir, misalnya:
“Jika kalian memberitakan
suatu hadis dari padaku sesuai kebenaran, maka ambilah hadis itu, baik aku
mengatakannya atau tidak.”
Hadis palsu diatas,
jelas-jelas bertentangan dengan hadis mutawatir yang disabdakan Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang
mendustakanku dengan sengaja, maka hendak siap-siaplah tempat tinggalnya di
dalam neraka.”
d.
Menyalahi
Realita Sejarah
Misalnya hadis yang
menjelaskan Nabi memungut Jizyah pada penduduk Khaibar dengan disaksikan oleh
Sa’ad bin Mu’adz, padahal Sa’ad sudah meninggal pada masa perang Khandaq
sebelum kejadian tersebut. Jizyah disyari’atkan setelah perang Tabuk pada
Nasrani Najran dan Yahudi Yaman.
e.
Hadis
Sesuai dengan Madzab Perowi
Misalnya, hadis yang
diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaini, ia berkata: saya mendengar Ali berkata:
“Aku menyembah Tuhan bersama
Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya seorang pun dari umat ini lima atau tujuh
tahun.”
Hadis ini mengkultuskan Ali
sesuai dengan prinsip Madzab Syi’ah, tetapi pengkultusan itu juga tidak masuk
akal, bagaimana Ali beribadah bersama Rasul lima atau tujuh tahun sebelum umat
ini.
f.
Mengandung
Pahala yang berlebihan bagi amal yang kecil
Biasanya motif pemalsuan
hadis ini disampaikan para tukang kisah yang ingin menarik para pendengarnya
atau agar menarik pendengar untuk melakukan perbuatan amal sholeh. Tetapi
memang terlalu tinggi, dalam membesar-besarkan suatu pahala yang berlebihan terhadap
amal sholeh yang kecil. Misalnya:
“Barangsiapa yang shalat
dhuha sekian rekaat, diberi pahala 70 Nabi”
g.
Sahabat
Dituduh Menyembunyikan Hadis
Sahabat dituduh
menyembunyikan hadis dan tidak menyampaikan atau meriwayatkan kepada orang
lain, padahal hadis itu secara transparan harus disampaikan Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Misalnya, Nabi memegang tangan Ali bin Abi Tholib di hadapan para sahabat
semua, kemudian bersabda:
“Ini wasiatku, dan saudaraku
dan Khalifah setelah aku.”
Seandainya itu benar hadis
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu banyak di antara para sahabat yang
meriwayatkannya, karena masalahnya adalah untuk kepentingan umum yakni
Kepemimpinan. Tidak mungkin para sahabat diam tidak meriwayatkan, jika hal itu
terjadi benar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian tanda-tanda ke-maudhu’-an hadis, para ahli
hadis yang bergelut dalam bidangnya mengetahui secara dalam sekalipun baru
mencium perbedaan antara hadis yang
disampaikan Nabi atau susunan para pendusta.
Wallahu a’lam
akhi.....thank's
BalasHapusklo bisa buat silsilah para parawi hadis palsu juga
BalasHapussupaya kita pafa tahu