Tanya : Benarkah
Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar meralat pendapatnya tentang pembayaran fidyah bagi
wanita hamil dan menyusui ?
Jawab : Sepanjang pengetahuan kami tidak
benar klaim atas hal tersebut.Memang benar ada riwayat dari Ibnu ‘Abbaas
radliyallaahu ‘anhumaa tentang kewajiban qadla’ sebagai berikut :
‘Abdurrazzaaq,
dari Ats-Tsauriy [1] dan dari Ibnu Juraij [2], dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas,
ia berkata: “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadlaan dimana
keduanya menqadla’ puasa (yang ditinggalkannya) tanpa membayar fidyah”
[Diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq 4/218 no. 7564].
Sanad
riwayat ini shahih.
Ibnu
Hazm juga membawakan riwayat ‘Abdurrazzaaq tersebut dalam Al-Muhallaa, namun
tanpa penyebutan Ats-Tsauriy :
“Sebagaimana
yang kami riwayatkan dari jalan ‘Abdurazzaaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’ [3],
dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Wanita yang hamil dan menyusui bolh berbuka
di bulan Ramadlaan dimana keduanya menqadla’ puasa (yang ditinggalkannya) tanpa
membayar fidyah” [Al-Muhallaa, 6/263]. [4]
Riwayat
ini seakan-akan bertentangan riwayat Ibnu ‘Abbaas yang lain seperti :
Telah
mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq [5], ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Rauh [6], ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi
‘Aruubah [7], dari Qataadah [8], dari ‘Azrah [9], dari Sa’iid bin Jubair [10],
dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala ‘anhumaa, ia berkata : “Diberikan
keringanan (rukhshah) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua atau lanjut usia
atas hal itu meskipun mereka mampu berpuasa, untuk berbuka bila menghendakinya
atau memberi makan orang miskin setiap hari, tanpa perlu mengqadlanya. Kemudian
hal itu di-nasakh dengan ayat : ‘Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu’ (QS.
Al-Baqarah : 185). Akan tetapi hukum itu tetap (tsabt) (masih berlaku) bagi
laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia apabila mereka tidak sanggup
berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui apabila mereka khawatir (atas
dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap
harinya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jaaruud no. 381; dishahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Irwaaul-Ghaliil 4/18].
Telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz [11], ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Yaziid [12], ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Sa’iid, dari Qataadah, ia berkata : Disebutkan kepada kami bahwasannya
Ibnu ‘Abbaas berkata kepada Ummu Waladnya sedang hamil atau menyusui : “Engkau,
kedudukanmu seperti yang tidak mampu. Kewajibanmu adalah membayar tebusan
(fidyah) tanpa perlu berpuasa”. Ini berlaku jika ia khawatir terhadap dirinya
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy, 3/429 no. 2761; dishahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Irwaaul-Ghaliil, 4/19].
Telah
menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil [13] : Telah menceritakan kepada
kami Abaan [14] : Telah menceritakan kepada kami Qataadah : Bahwasannya
‘Ikrimah [15] telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata :
“(Hukum
itu) ditetapkan bagi wanita hamil dan menyusui” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud
no. 2317; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/48].
Bagaimana
memahami riwayat-riwayat di atas ?
Cara
yang paling inshaf dalam memahami riwayat-riwayat yang terlihat
bertolak-belakang adalah dengan jalan penjamakan. Dan di sini sangat
memungkinkan. Riwayat Ibnu ‘Abbaas yang dibawakan Ibnul-Jaarud dan Ath-Thabariy
tentang kebolehan membayar fidyah dijelaskan ‘illat-nya, yaitu jika ada
kekhawatiran terhadap dirinya atau anaknya. Adapun riwayat yang dibawakan
‘Abdurrazzaaq tidak dijelaskan. Oleh karena itu, perkataan Ibnu ‘Abbaas agar
wanita yang hamil atau menyusui itu mengqadla’ puasa yang ditinggalkannya,
karena ia termasuk orang yang kuat dan tidak ada kekhawatiran terhadap dirinya.
Maka, ini kembali ke hukum asal perintah untuk berpuasa (qadla’).
Untuk
riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, maka ada riwayat sebagai berikut :
Telah
berkata Syaikh (yaitu Al-Baihaqiy) : Telah diriwayatkan oleh Anas bin ‘Iyaadl [16],
dari Ja’far bin Muhammad [17], dari Ibnu Labiibah atau Ibnu Abi Labiibah [18],
dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsmaan [19] : Bahwasannya ada seorang wanita
hamil berpuasa yang kemudian kehausan di bulan Ramadlaan. Maka ditanyakan
tentangnya kepada Ibnu ‘Umar, dan ia memerintahkannya untuk berbuka dan memberi
makan (fidyah) kepada orang miskin setiap harinya sebanyak satu mudd. Kemudian
ia tidak membolehkannya. Apabila telah sehat, maka ia harus mengqadlanya
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 4/230].
Kualitas
riwayat di atas adalah Lemah (Dha’iif)
dengan kelemahan yang ada pada diri Ibnu Abi Labiibah. Selain itu Al-Baihaqiy
membawakan riwayat secara mu’allaq dari Anas bin ‘Iyaadl.
Oleh
karena itu, riwayat ini tidak layak dipergunakan sebagai hujjah. Yang shahih
dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah kebolehan berbuka dan membayar fidyah.
Telah
menceritakan kepada kami Hanaad [20], ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdah[21], dari Sa’iid [22], dari Naafi ’[23], dari ‘Aliy bin Tsaabit [24],
dari Naafi’ [25], dari Ibnu ‘Umar sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbaas dalam
permasalahan wanita hamil dan menyusui [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam
Tafsir-nya 3/428; dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dan Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil
4/20].
Telah
menceritakan kepada kami Abu Shaalih Al-Ashbahaaniy [26] : Telah menceritakan
kepada kami Abu Mas’uud [27] : Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj [28] :
Telah menceritakan kepada kami Hammaad [29], dari Ayyuub [30], dari Naafi’,
dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya istrinya pernah bertanya kepadanya (tentang
kewajiban puasa) yang pada saat itu ia dalam keadaan hamil. Maka Ibnu ‘Umar
menjawab : “Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap
harinya dan jangan kamu mengqadla” [Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni 3/198 no.
2388; sanadnya jayyid sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaaniy dalam
Irwaaul-Ghaliil 4/20].
Oleh
karena itu, kedudukan atsar kedua orang shahabat di atas adalah sangat kuat.
Tidak ternukil adanya penyelisihan dari kalangan shahabat lain atas perkataan
mereka sebagaimana dikatakan Ibnu Qudaamah :
“Tidak
ada shahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar)”
[Al-Mughniy fil-Fiqh 3/140 – melalui perantaraan At-Tarjiih, hal. 60].
Kesimpulan : Tidak benar bahwa Ibnu ‘Abbaas dan
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum menarik pendapatnya dalam kebolehan membayar
fidyah bagi wanita hamil dan menyusui.
Wallahu a’lam bish-shawwaab.
Catatan kaki :
[1] Sufyaan
bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih
(97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal.
394 no. 2458].
[2] Ia
adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy,
Abul-Waliid (wafat : 149/150/151 H) – seorangyang tsiqah, faqiih, lagi
mempunyai keutamaan; namun banyak melakukan tadliis dan irsaal [idem, hal. 624
no. 4221].
[3]
‘Athaa’ bin Abi Rabbaah; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai banyak
keutamaan (w. 114 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 677 no. 4623].
[4]
Untuk diketahui, bahwa riwayat yang dibawakan Ibnu Hazm ini bukan sebagai
penguat riwayat ‘Abdurrazzaaq, karena keduanya hanyalah satu jalan riwayat
dengan sanad dan matan yang sama.
[5]
Ibraahiim bin Marzuuq bin Diinaar Al-Umawiy; seorang yang tsiqah, namun kadang
melakukan kekeliruan (w. 270 H) [lihat biografi selengkapnya dalam
Tahdziibul-Kamaal 2/197-198 no. 242 dan Tahdziibut-Tahdziib 1/163 no. 290].
[6] Rauh
bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan Al-Qaisiy; seorang yang tsiqah faadlil,
mempunyai banyak tulisan (w. 205 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].
[7]
Sa’iid bin Abi ‘Aruubah; seorang yang tsiqah haafidh, lagi mempunyai banyak
tulisan. Akan tetapi ia mengalami percampuran dalam hapalan (ikhtilaath) (w.
156/157 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal.
384 no. 2378].
[8]
Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi
tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [idem hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92,
Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii
Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
[9]
‘Azrah bin ‘Abdirrahmaan bin Zuraarah Al-Khuzaa’iy; seorang yang tsiqah.
Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 676 no. 4608].
[10]
Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang
tsiqah, tsabat, lagi faqiih (w. 95 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [idem, hal. 374-375 no. 2291].
[11]
Bisyr bin Mu’adz Al-‘Aqadiy Abu Sahl Al-Bashriy Adl-Dlariir; seorang yang
shaduuq (w. 245 H) [idem, hal. 171 no. 709].
[12] Ia
adalah Yaziid bin Zurai’ Al-‘Aisyiy Abu Mu’aawiyyah Al-Bashriy; seorang yang
tsiqah lagi tsabat (101-182 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [idem, hal. 1074 no. 7764].
[13]
Muusaa bin Ismaa’iil Al-Minqariy Abu Salamah At-Tabuudzakiy Al-Bashriy; seorang
yang tsiqah lagi tsabat (w. 223 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [idem, hal. 977 no. 6992].
[14]
Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 977 no. 6992].
[15]
‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah,
tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
[16]
Anas bin ‘Iyaadl bin Dlamrah Abu Dlamrah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah
(104-200 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 154
no. 569].
[17]
Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Abu
‘Abdillah Al-Madaniy Ash-Shaadiq; seorang yang shaduuq lagi imaam (80-148 H).
Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 200 no. 958].
[18] Ia
adalah Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Labiibah atau dipanggil Ibnu Abi
Labiibah; seorang yang lemah dan banyak memursalkan riwayat [idem, hal. 870 no.
6120].
[19]
‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman bin ‘Affaan Al-Qurasyiy Al-Umawiy; seorang yang
tsiqah lagi mulia/terhormat (w. 96 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 530 no. 3525].
[20]
Hanaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang
yang tsiqah (w. 243 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1025 no.
7370].
[21]
‘Abdah bin Sulaimaan Al-Kilaabiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah
lagi tsabat (w. 187 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem,
hal. 635 no. 4297].
[22] Ia
adalah Sa’iid bin Abi ‘Aruubah.
[23] Ia
adalah Naafi’ bin Maalik bin Abi ‘Aamir At-Taimiy Abu Suhail Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah (w. setelah tahun 140-an). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 996 no. 7131].
[24]
‘Aliy bin Tsaabit bin ‘Amru bin Akhthab Al-Bashriy Al-Anshaariy; seorang yang
tsiqah [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/177 no. 968]. [25] Naafi’ Abu ‘Abdillah
Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur
(w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[26] Ia
adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Haaruun Abu Mas’uud Al-Ashbahaaniy; seorang
yang tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy (w. 324 H) [Taraajimu
Rijaali Ad-Daaruquthniy, hal. 56 no. 94].
[27] Ia
adalah Ahmad bin Al-Furaat bin Khaalid Adl-Dlabbiy Abu Mas’uud Ar-Raaziy
Al-Haafidh (w. 258 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 96 no. 88].
[28]
Hajjaaj bin Al-Minhaal Al-Anmaathiy Abu Muhammad As-Sulamiy; seorang yang
tsiqah lagi faadlil (w. 216 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [idem, hal. 224 no. 1146].
[29]
Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid,
berubah hapalannya di akhir hayatnya (w. 167). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya [idem, hal. 268-269 no. 1507].
[30]
Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang
tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].
Selengkapnya
silahkan baca di blog Ustadz Doni Arif Wibowo
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih