Kamis, 02 Oktober 2014

Benarkah Ibnu ‘Abbaas Dan Ibnu ‘Umar Mencabut Fatwanya Tentang Pembayaran Fidyah Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui ?


Tanya : Benarkah Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar meralat pendapatnya tentang pembayaran fidyah bagi wanita hamil dan menyusui ?

Jawab : Sepanjang pengetahuan kami tidak benar klaim atas hal tersebut.Memang benar ada riwayat dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang kewajiban qadla’ sebagai berikut :
‘Abdurrazzaaq, dari Ats-Tsauriy [1] dan dari Ibnu Juraij [2], dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadlaan dimana keduanya menqadla’ puasa (yang ditinggalkannya) tanpa membayar fidyah” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq 4/218 no. 7564].

Sanad riwayat ini shahih.
Ibnu Hazm juga membawakan riwayat ‘Abdurrazzaaq tersebut dalam Al-Muhallaa, namun tanpa penyebutan Ats-Tsauriy :
“Sebagaimana yang kami riwayatkan dari jalan ‘Abdurazzaaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’ [3], dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Wanita yang hamil dan menyusui bolh berbuka di bulan Ramadlaan dimana keduanya menqadla’ puasa (yang ditinggalkannya) tanpa membayar fidyah” [Al-Muhallaa, 6/263]. [4]

Riwayat ini seakan-akan bertentangan riwayat Ibnu ‘Abbaas yang lain seperti :
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq [5], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rauh [6], ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah [7], dari Qataadah [8], dari ‘Azrah [9], dari Sa’iid bin Jubair [10], dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala ‘anhumaa, ia berkata : “Diberikan keringanan (rukhshah) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua atau lanjut usia atas hal itu meskipun mereka mampu berpuasa, untuk berbuka bila menghendakinya atau memberi makan orang miskin setiap hari, tanpa perlu mengqadlanya. Kemudian hal itu di-nasakh dengan ayat : ‘Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu’ (QS. Al-Baqarah : 185). Akan tetapi hukum itu tetap (tsabt) (masih berlaku) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia apabila mereka tidak sanggup berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui apabila mereka khawatir (atas dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jaaruud no. 381; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/18].

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz [11], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid [12], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah, ia berkata : Disebutkan kepada kami bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata kepada Ummu Waladnya sedang hamil atau menyusui : “Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu. Kewajibanmu adalah membayar tebusan (fidyah) tanpa perlu berpuasa”. Ini berlaku jika ia khawatir terhadap dirinya [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy, 3/429 no. 2761; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil, 4/19].

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil [13] : Telah menceritakan kepada kami Abaan [14] : Telah menceritakan kepada kami Qataadah : Bahwasannya ‘Ikrimah [15] telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata : “(Hukum itu) ditetapkan bagi wanita hamil dan menyusui” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2317; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/48].

Bagaimana memahami riwayat-riwayat di atas ?
Cara yang paling inshaf dalam memahami riwayat-riwayat yang terlihat bertolak-belakang adalah dengan jalan penjamakan. Dan di sini sangat memungkinkan. Riwayat Ibnu ‘Abbaas yang dibawakan Ibnul-Jaarud dan Ath-Thabariy tentang kebolehan membayar fidyah dijelaskan ‘illat-nya, yaitu jika ada kekhawatiran terhadap dirinya atau anaknya. Adapun riwayat yang dibawakan ‘Abdurrazzaaq tidak dijelaskan. Oleh karena itu, perkataan Ibnu ‘Abbaas agar wanita yang hamil atau menyusui itu mengqadla’ puasa yang ditinggalkannya, karena ia termasuk orang yang kuat dan tidak ada kekhawatiran terhadap dirinya. Maka, ini kembali ke hukum asal perintah untuk berpuasa (qadla’).

Untuk riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, maka ada riwayat sebagai berikut :
Telah berkata Syaikh (yaitu Al-Baihaqiy) : Telah diriwayatkan oleh Anas bin ‘Iyaadl [16], dari Ja’far bin Muhammad [17], dari Ibnu Labiibah atau Ibnu Abi Labiibah [18], dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsmaan [19] : Bahwasannya ada seorang wanita hamil berpuasa yang kemudian kehausan di bulan Ramadlaan. Maka ditanyakan tentangnya kepada Ibnu ‘Umar, dan ia memerintahkannya untuk berbuka dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap harinya sebanyak satu mudd. Kemudian ia tidak membolehkannya. Apabila telah sehat, maka ia harus mengqadlanya [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 4/230].

Kualitas riwayat di atas adalah Lemah (Dha’iif) dengan kelemahan yang ada pada diri Ibnu Abi Labiibah. Selain itu Al-Baihaqiy membawakan riwayat secara mu’allaq dari Anas bin ‘Iyaadl.
Oleh karena itu, riwayat ini tidak layak dipergunakan sebagai hujjah. Yang shahih dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah kebolehan berbuka dan membayar fidyah.
Telah menceritakan kepada kami Hanaad [20], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdah[21], dari Sa’iid [22], dari Naafi ’[23], dari ‘Aliy bin Tsaabit [24], dari Naafi’ [25], dari Ibnu ‘Umar sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbaas dalam permasalahan wanita hamil dan menyusui [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 3/428; dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dan Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].

Telah menceritakan kepada kami Abu Shaalih Al-Ashbahaaniy [26] : Telah menceritakan kepada kami Abu Mas’uud [27] : Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj [28] : Telah menceritakan kepada kami Hammaad [29], dari Ayyuub [30], dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya istrinya pernah bertanya kepadanya (tentang kewajiban puasa) yang pada saat itu ia dalam keadaan hamil. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadla” [Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni 3/198 no. 2388; sanadnya jayyid sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].

Oleh karena itu, kedudukan atsar kedua orang shahabat di atas adalah sangat kuat. Tidak ternukil adanya penyelisihan dari kalangan shahabat lain atas perkataan mereka sebagaimana dikatakan Ibnu Qudaamah :
“Tidak ada shahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar)” [Al-Mughniy fil-Fiqh 3/140 – melalui perantaraan At-Tarjiih, hal. 60].
Kesimpulan : Tidak benar bahwa Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum menarik pendapatnya dalam kebolehan membayar fidyah bagi wanita hamil dan menyusui.
Wallahu a’lam bish-shawwaab.

Catatan kaki :

[1] Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 394 no. 2458].
[2] Ia adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid (wafat : 149/150/151 H) – seorangyang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keutamaan; namun banyak melakukan tadliis dan irsaal [idem, hal. 624 no. 4221].
[3] ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai banyak keutamaan (w. 114 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 677 no. 4623].
[4] Untuk diketahui, bahwa riwayat yang dibawakan Ibnu Hazm ini bukan sebagai penguat riwayat ‘Abdurrazzaaq, karena keduanya hanyalah satu jalan riwayat dengan sanad dan matan yang sama.
[5] Ibraahiim bin Marzuuq bin Diinaar Al-Umawiy; seorang yang tsiqah, namun kadang melakukan kekeliruan (w. 270 H) [lihat biografi selengkapnya dalam Tahdziibul-Kamaal 2/197-198 no. 242 dan Tahdziibut-Tahdziib 1/163 no. 290].
[6] Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan Al-Qaisiy; seorang yang tsiqah faadlil, mempunyai banyak tulisan (w. 205 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].
[7] Sa’iid bin Abi ‘Aruubah; seorang yang tsiqah haafidh, lagi mempunyai banyak tulisan. Akan tetapi ia mengalami percampuran dalam hapalan (ikhtilaath) (w. 156/157 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 384 no. 2378].
[8] Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
[9] ‘Azrah bin ‘Abdirrahmaan bin Zuraarah Al-Khuzaa’iy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 676 no. 4608].
[10] Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (w. 95 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 374-375 no. 2291].
[11] Bisyr bin Mu’adz Al-‘Aqadiy Abu Sahl Al-Bashriy Adl-Dlariir; seorang yang shaduuq (w. 245 H) [idem, hal. 171 no. 709].
[12] Ia adalah Yaziid bin Zurai’ Al-‘Aisyiy Abu Mu’aawiyyah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (101-182 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1074 no. 7764].
[13] Muusaa bin Ismaa’iil Al-Minqariy Abu Salamah At-Tabuudzakiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 223 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 977 no. 6992].
[14] Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 977 no. 6992].
[15] ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
[16] Anas bin ‘Iyaadl bin Dlamrah Abu Dlamrah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (104-200 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 154 no. 569].
[17] Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Ash-Shaadiq; seorang yang shaduuq lagi imaam (80-148 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 200 no. 958].
[18] Ia adalah Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Labiibah atau dipanggil Ibnu Abi Labiibah; seorang yang lemah dan banyak memursalkan riwayat [idem, hal. 870 no. 6120].
[19] ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman bin ‘Affaan Al-Qurasyiy Al-Umawiy; seorang yang tsiqah lagi mulia/terhormat (w. 96 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 530 no. 3525].
[20] Hanaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah (w. 243 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1025 no. 7370].
[21] ‘Abdah bin Sulaimaan Al-Kilaabiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 187 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 635 no. 4297].
[22] Ia adalah Sa’iid bin Abi ‘Aruubah.
[23] Ia adalah Naafi’ bin Maalik bin Abi ‘Aamir At-Taimiy Abu Suhail Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. setelah tahun 140-an). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 996 no. 7131].
[24] ‘Aliy bin Tsaabit bin ‘Amru bin Akhthab Al-Bashriy Al-Anshaariy; seorang yang tsiqah [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/177 no. 968]. [25] Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[26] Ia adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Haaruun Abu Mas’uud Al-Ashbahaaniy; seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy (w. 324 H) [Taraajimu Rijaali Ad-Daaruquthniy, hal. 56 no. 94].
[27] Ia adalah Ahmad bin Al-Furaat bin Khaalid Adl-Dlabbiy Abu Mas’uud Ar-Raaziy Al-Haafidh (w. 258 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 96 no. 88].
[28] Hajjaaj bin Al-Minhaal Al-Anmaathiy Abu Muhammad As-Sulamiy; seorang yang tsiqah lagi faadlil (w. 216 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 224 no. 1146].
[29] Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, berubah hapalannya di akhir hayatnya (w. 167). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 268-269 no. 1507].
[30] Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].


Selengkapnya silahkan baca di blog Ustadz Doni Arif Wibowo

0 komentar:

Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih

 
Back To Top