Selasa, 24 Maret 2015

Akhir Dari Kota Kesyirikan


Awalnya kota ini dihuni oleh seluruh manusia yang kafir atau musyrik. Padahal jaraknya hanya sekitar 80 km saja dari Makkah. Namun saat ini, sejak kota ini ditaklukkan, seluruh penduduk ini telah bertauhid dan istiqamah diatas tauhidnya sampai sekarang, insya Allah Ta'ala. Apa yang telah terjadi pada kota ini sehingga penduduknya bertauhid semua?
Inilah kota Thaif, salah 1 kota yang berada di dalam negara Saudi Arabia.
Berawal di bulan Syawwal, 3 tahun sebelum hijrah. Dua orang berjalan 60 mil (80 km) dari Makkah menuju Tha’if. Mereka berdua berjalan kaki, berdebu di jalan Allah, demi menyampaikan risalah kebenaran. Tatkala sampai di Thaif, mereka berdua mendatangi tiga orang pemuka kabilah Tsaqif: Abd Yala’il, Mas’ud, dan Habib. Ketiganya putera Amr bin Umair Ats Tsaqafi. Kepada mereka bertiga disampaikanlah ajakan untuk memeluk Islam lewat lisan paling mulia. Tapi, jangankan sambutan atau balasan yang hangat dan damai, yang diterima oleh pendakwah ini malah makian dan cacian.
Salah seorang dari mereka berkata : “Jika Allah benar-benar mengutusmu, maka Dia akan merobek-robek pakaian Ka’bah”
Seorang yang lain menimpali : “Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?”
Orang terakhir tidak mau kalah : “Demi Allah! Aku sekali-kali tidak akan mau berbicara denganmu! Jika memang engkau seorang rasul, sungguh engkau terlalu agung untuk dibantah ucapanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah, maka tidak patut pula aku berbicara denganmu”
Sambutan yang sangat tidak pantas bagi musafir dakwah tersebut. Dakwah dalam 10 hari di Thaif ditolak mentah-mentah oleh penduduknya. Ketika dua orang musafir ini hendak meninggalkan Thaif, mereka tidak dilepas dengan lambaian tangan perpisahan atau kenang-kenangan berharga, justru mereka diberi kenang-kenangan berupa lemparan batu dan cacian yang menyayat hati. Lemparan batu dari manusia-manusia tak bermoral itu membuat sandal Sang Pendakwah hingga berlumuran darah dari kakinya. Tidak ketinggalan, pendamping perjalanannya sekaligus anak angkatnya yang telah berusaha melindungi Sang Pendakwah itu juga turut terkena lemparan hingga kepalanya berdarah.
Perjalanan jauh dari Makkah ke Thaif, tinggal selama lebih dari seminggu, mengajak manusia kepada kebenaran, tapi justru keluar dari kota itu bagai makhluk hina yang terusir. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Sang Pendakwah tersebut, pastilah hancur dan sangat sedih.
Sampailah perjalanan mereka di tempat yang sekarang bernama Qarn Al Manazil. Sang Pendakwah yang juga manusia termulia itu bertemu dengan Jibril bersama Malaikat penjaga gunung. Malaikat penjaga gunung berkata : “Wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu. Jika engkau menghendaki aku meratakan mereka dengan Al Akhasyabain (Dua bukit besar), maka aku lakukan”
Orang yang diseru itu menjawab : “Tidak, sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”
Kisah di atas disarikan dari yang tertulis di dalam kitab Ar Rahiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri. Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Bad’ul Khalq I/458 dan diriwayatkan pula oleh Imam Muslim bab Ma Laqiyyan Nabiyya Shallallahu ‘alaihi wasallam Min Adzal Musyrikin wal Munafiqin II/109. 
Kisah di atas mengenai Sang Pendakwah yang tidak lain adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak angkatnya, Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu.
Mengenai kisah di atas, Ibn Hajar Al Asqalani mengomentarinya : “Di dalam hadits ini terkandung keterangan mengenai besarnya rasa kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan betapa kuat kesabaran dan kelembutan sikapnya. Hal itu selaras dengan firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dengan rahmat Allah maka kamupun bersikap lembut kepada mereka’. Dan juga firman-Nya (yang artinya), ‘Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.’.” (Fathul Bari 6/353)
Apa yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap tegar meski beribadah? Itu karena beliau berharap agar hasil dakwah ini bisa dituai di kemudian hari meski mungkin sekarang hal itu belum bisa terjadi. Hal itu bisa dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Tidak, sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Huud: 49)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap sabar menghadapi perlakuan buruk para penentangnya di kota Thaif. Meskipun mendapatkan perlakuan buruk, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendoakan kepada Allah agar menurunkan siksa kepada mereka. Namun sebaliknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah, dan Allah Azza wa Jalla memperkenankan doa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penulis : Akhi Fitr Kurniawan

0 komentar:

Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih

 
Back To Top