Awalnya kota ini dihuni oleh seluruh manusia
yang kafir atau musyrik. Padahal jaraknya hanya sekitar 80 km saja dari Makkah.
Namun saat ini, sejak kota ini ditaklukkan, seluruh penduduk ini telah
bertauhid dan istiqamah diatas tauhidnya sampai sekarang, insya Allah Ta'ala.
Apa yang telah terjadi pada kota ini sehingga penduduknya bertauhid semua?
Inilah kota Thaif, salah 1 kota yang berada di dalam negara Saudi Arabia.
Berawal
di bulan Syawwal, 3 tahun sebelum hijrah. Dua orang berjalan 60 mil (80 km) dari
Makkah menuju Tha’if. Mereka berdua berjalan kaki, berdebu di jalan Allah, demi
menyampaikan risalah kebenaran. Tatkala sampai di Thaif, mereka berdua
mendatangi tiga orang pemuka kabilah Tsaqif: Abd Yala’il, Mas’ud, dan Habib. Ketiganya putera Amr bin Umair Ats
Tsaqafi. Kepada mereka bertiga disampaikanlah ajakan untuk memeluk Islam lewat
lisan paling mulia. Tapi, jangankan sambutan atau balasan yang hangat dan
damai, yang diterima oleh pendakwah ini malah makian dan cacian.
Salah
seorang dari mereka berkata : “Jika Allah benar-benar mengutusmu, maka Dia
akan merobek-robek pakaian Ka’bah”
Seorang
yang lain menimpali : “Apakah Allah tidak menemukan orang lain
selain dirimu?”
Orang
terakhir tidak mau kalah : “Demi Allah! Aku sekali-kali tidak akan mau
berbicara denganmu! Jika memang engkau seorang rasul, sungguh engkau terlalu
agung untuk dibantah ucapanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah,
maka tidak patut pula aku berbicara denganmu”
Sambutan
yang sangat tidak pantas bagi musafir dakwah tersebut. Dakwah dalam 10 hari di
Thaif ditolak mentah-mentah oleh penduduknya. Ketika dua orang musafir ini
hendak meninggalkan Thaif, mereka tidak dilepas dengan lambaian tangan
perpisahan atau kenang-kenangan berharga, justru mereka diberi kenang-kenangan
berupa lemparan batu dan cacian yang menyayat hati. Lemparan batu dari
manusia-manusia tak bermoral itu membuat sandal Sang Pendakwah hingga
berlumuran darah dari kakinya. Tidak ketinggalan, pendamping perjalanannya
sekaligus anak angkatnya yang telah berusaha melindungi Sang Pendakwah itu juga
turut terkena lemparan hingga kepalanya berdarah.
Perjalanan
jauh dari Makkah ke Thaif, tinggal selama lebih dari seminggu, mengajak manusia
kepada kebenaran, tapi justru keluar dari kota itu bagai makhluk hina yang terusir.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Sang Pendakwah tersebut, pastilah
hancur dan sangat sedih.
Sampailah
perjalanan mereka di tempat yang sekarang bernama Qarn Al Manazil. Sang
Pendakwah yang juga manusia termulia itu bertemu dengan Jibril bersama Malaikat
penjaga gunung. Malaikat penjaga gunung berkata : “Wahai Muhammad! Hal itu terserah
padamu. Jika engkau menghendaki aku meratakan mereka dengan Al Akhasyabain (Dua
bukit besar), maka aku lakukan”
Orang
yang diseru itu menjawab : “Tidak, sesungguhnya aku berharap
mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang
yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun”
Kisah di
atas disarikan dari yang tertulis di dalam kitab Ar Rahiqul Makhtum karya
Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri. Hadits di atas juga diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Bad’ul Khalq I/458 dan diriwayatkan pula
oleh Imam Muslim bab Ma Laqiyyan Nabiyya Shallallahu ‘alaihi wasallam Min Adzal
Musyrikin wal Munafiqin II/109.
Kisah di
atas mengenai Sang Pendakwah yang tidak lain adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dengan anak angkatnya, Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu.
Mengenai
kisah di atas, Ibn Hajar Al Asqalani mengomentarinya : “Di dalam hadits ini terkandung
keterangan mengenai besarnya rasa kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada umatnya dan betapa kuat kesabaran dan kelembutan sikapnya. Hal
itu selaras dengan firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dengan rahmat Allah maka
kamupun bersikap lembut kepada mereka’. Dan juga firman-Nya (yang artinya),
‘Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.’.”
(Fathul Bari 6/353)
Apa yang
membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap tegar meski beribadah?
Itu karena beliau berharap agar hasil dakwah ini bisa dituai di kemudian hari
meski mungkin sekarang hal itu belum bisa terjadi. Hal itu bisa dilihat dari
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Tidak, sesungguhnya aku berharap
mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang
yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun”
“Itu
adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu
sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Huud: 49)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap sabar menghadapi perlakuan buruk para
penentangnya di kota Thaif. Meskipun mendapatkan perlakuan buruk, Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendoakan kepada Allah agar menurunkan
siksa kepada mereka. Namun sebaliknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
malah mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah, dan Allah Azza wa Jalla
memperkenankan doa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penulis
: Akhi Fitr Kurniawan
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih