Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara
barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”,
alasannya karena
dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India.
Banyak ‘ulamâ` di India yang memeluk dan
menyokong dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb. Juga, Inggris menyaksikan bahwa dakwah
ini tumbuh subur berkembang dimana para pengikutnya telah mencakup sekelompok
‘ulamâ` ternama di penjuru dunia Islâm.
Selama masa itu, Inggris juga mengasuh
sekte Qâdhiyânî dalam rangka untuk mengganti mainstream ideologi Islam.
[Lihat : Dr. Muhammâd ibn Sa’d asy-Syuwai’ir, Tashhîh Khathâ’
Târîkhî Haula`l Wahhâbiyyah, Riyâdh : Dârul Habîb : 2000; hal. 55].
Mereka berhasrat untuk memperluas
wilayah kekuasaan mereka di India dengan mengandalkan sebuah sekte ciptaan
mereka sendiri, Qâdhiyânî, yaitu sekte yang diciptakan, diasuh dan di lindungi oleh Inggris. Sekte yang tidak
menyeru jihad untuk mengusir kolonial Inggris yang berdiam di India.
Oleh karena itulah, ketika dakwah Imâm
Ibn ‘Abdil Wahhâb mulai menyebar di India dan dengannya datanglah slogan jihad
melawan penjajah asing, Inggris menjadi semakin resah. Mereka pun menggelari
dakwah ini dan para pengikutnya sebagai ‘Wahhâbi’ dalam rangka untuk
mengecilkan hati kaum muslimin di India yang ingin turut bergabung dengannya,
dengan harapan perlawanan terhadap penjajah Inggris tidak akan menguat
kembali.* Banyak ‘Ulamâ` yang mendukung dakwah ini ditindas, beberapa dibunuh
dan lainnya dipenjara.**
Catatan :
* W.W. Hunter dalam bukunya yang
berjudul “The Indian Musalmans” mencatat
bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling menakuti
kebangkitan muslim ‘Wahhâbi’ yang tengah bangkit menentang Inggris. Hunter
menyatakan di dalam bukunya bahwa : “There is no fear to the British in India
except from the Wahhabis, for they are causing disturbances againts them, and
agitating the people under the name of jihaad to throw away the yoke of
disobedience to the British and their authority.” [“Tidak
ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhâbi, karena
merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang Inggris dan
mengagitasi (membangkitkan semangat) umat dengan atas nama jihâd untuk
memusnahkan penindasan akibat dari ketidak tundukan kepada Inggris
dan kekuasaan mereka.”]
Lihat: W.W. Hunter, “The Indian Musalmans”, cet.1 di London:
Trűbner and Co., 1871; Calcuta: Comrade Publishers, 1945, 2nd edn.; New Delhi:
Rupa & Co., 2002 Reprint
** Di Bengal selama masa ini, banyak
kaum muslimin termasuk tua, muda dan para wanita, semuanya disebut dengan
“Wahhâbi” dan dianggap sebagai “pemberontak” yang melawan Inggris kemudian
digantung pada tahun 1863-1864. Mereka
yang dipenjarakan di Pulau Andaman dan disiksa adalah para ulama dari komunitas
Salafî-Ahlul Hadîts, seperti Syaikh Ja’far Tsanisârî, Syaikh Yahyâ ‘Alî
(1828-1868), Syaikh Ahmad ‘Abdullâh (1808-1881), Syaikh Nadzîr Husain
ad-Dihlawî dan masih banyak lagi lainnya. Untuk bacaan lebih lanjut, silakan
lihat: Mu’înud-dîn Ahmad Khân, A
History if The Fara’idi Movement in Bengal (Karachi: Pakistan Historical
Society, 1965). Barbara Daly Metrcalf,
Islamic Revival in British India: Deoband, 1860-1900 (Princeton, New Jersey:
Princeton University Press, 1982), hal. 26-77.
Qiyâmud-dîn Ahmad (Professor Sejarah di
Universitas Patna), The Wahhabi Movement in India (Ner Delhi: Manohar, 1994,
2nd edition). Terutama pada bab tujuh “The British Campaigns Againts the
Wahhabis on the North-Western Frontier” dan bab kedelapan “State Trials of
Wahhabi Leaders, 183-65.”
Muhammad Ja’far, Târikhul ‘Ajîb dan
Târikhul ‘Ajîb – History of Port Blair (Nawalkshore Press, 1892, 2nd edition).
Suatu hal yang perlu dicatat, di dalam
surat-surat dan laporan-laporan yang dikirimkan kepada ayah tirinya dan
pemerintahan ‘Utsmâniyyah (Ottomans), Ibrâhîm Basyâ (Pasha), anak angkat
Muhammad ‘Alî Basyâ (Pasha), juga menggunakan istilah ‘Wahhâbi, Khowârij dan
Bid’ah (Heretics)’ untuk menggambarkan dakwah Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb dan
Negara Saudî [Lihat: ibid, hal. 70]. Hal ini, tentu saja, terjadi sebelum
Ibrâhîm Basyâ memberontak dan menyerang khilâfah ‘Utsmâniyyah dan hampir saja
menghancurkannya di dalam proses pemberontakannya. Dr. Nâshir Tuwaim mengatakan
:
“Kaum Orientalis
terdahulu, menggunakan istilah ‘Wahhâbiyyah, Wahhâbî, Wahhâbis’ di dalam
artikel-artikel dan buku-buku mereka untuk menyandarkan (menisbatkan) istilah
ini kepada gerakan dan pengikut Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb.
Beberapa diantara mereka bahkan
memperluasnya dengan memasukkan istilah ini sebagai judul buku mereka, semisal
Burckhardt, Brydges dan Cooper, atau sebagai judul artikel mereka, seperti
Wilfred Blunt, Margoliouth, Samuel Zwemer, Thomas Patrick Hughes, Samalley dan
George Rentz. Mereka melakukan hal ini walaupun sebagian dari mereka mengakui
bahwa musuh-musuh dakwah ini menggunakan istilah ini untuk menggambarkannya,
padahal para pengikut Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb tidak menyandarkan diri
mereka kepada istilah ini.
Margoliouth sebagai contohnya, ia
mengaku bahwa istilah ‘Wahhâbiyyah” digunakan oleh musuh-musuh dakwah selama
masa hidup ‘pendiri’-nya, kemudian digunakan secara bebas oleh orang-orang
Eropa. Walau demikian, ia menyatakan bahwa istilah ini tidak digunakan oleh
para pengikut dakwah ini di Jazîrah ‘Arab. Bahkan, mereka menyebut diri mereka
sendiri sebagai “Muwahhidŭn”. [D.S. Margoliouth, Wahabiya, hal. 618, 108.
Artikel karya Margoliouth yang berjudul ‘Wahhabis’ ini juga dapat ditemukan di
dalam The First Encyclopaedia of Islam, 1913-1936 (New York: E.J. Brill, 1987
Reprint) vol.8 , hal.1087 karya M.T. Houtsma, T.W. Arnold, R. Basset, R.
Hartman, A.J. Wensinck, H.A.R. Gibb, W. Heffening dan E. Lêvi-Provençal (ed)
dan The Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden and London: E.J. Brill and Luzac
& Co., 1960), hal. 619 karya H.A.R Gibb, J.H. Kramers dan E. Lêvi-Provençal
(ed). Artikel ini juga dicetak ulang dalam :
Reading, UK: Ithaca Press, 1974
Leiden: Brill, 1997
Dan cetakan pertama, Leiden and London:
E.J. Bril and Luzac & Co., dan New York: Cornel University Press, 1953.]
Thomas Patrick Hughes menggambarkan
“Wahhâbiyyah” sebagai gerakan reformis Islâm yang didirikan oleh Muhammad Ibn
‘Abdul Wahhâb, yang menyatakan bahwa musuh-musuh mereka tidak mau menyebut
mereka sebagai “Muhammadiyyah” (Muhammadans), malahan, mereka menyebutnya
sebagai ‘Wahhâbî’, sebuah nama setelah namanya ayahnya Syaikh… [Thomas Patrick
Huges, Dictionary of Islam, hal. 59].
George Rentz mengatakan bahwa istilah
‘Wahhâbî’ digunakan untuk mengambarkan para pengikut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul
Wahhâb oleh musuh-musuh mereka sebagai ejekan bahwa Syaikh mendirikan sebuah
sekte baru yang harus dihentikan dan aqidahnya ditentang. Mereka yang disebut
dengan sebutan ‘Wahhâbî’ ini beranggapan bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdul
Wahhâb hanyalah seorang pengikut Sunnah, oleh karena itulah mereka menolak
istilah ini dan bahkan menuntut agar dakwah beliau disebut dengan ‘ad-Da’wah
ila’t Tauhîd’, dimana istilah yang tepat untuk menggambarkan para pengikutnya
adalah ‘Muwahhidŭn’ [George
Rentz dan AS.J. Arberry, The Wahhabis in Religion in The Middle East: Three
Religion in Concord and Conflict, Vol.2 (Cambridge: Cambridge University Press,
1969), hal. 270]. Rentz juga mengatakan bahwa, para penulis barat ketika
menggunakan istilah ‘Wahhâbî’ adalah dengan maksud ejekan, ia juga menyatakan
bahwa ia menggunakan istilah itu sebagai klarifikasi.
[Lihat: Nâshir ibn Ibrâhîm ibn ‘Abdullâh Tuwaim, Asy-Syaikh
Muhammad ibn ‘Abd`ul Wahhâb: Hayâtuhu wa Da’watuhu fi`r Ru`yâ al-Istisyrâqiyya:
Dirôsah Naqdîyyah (Riyadh: Kementerian Urusan Keislaman, Pusat Penelitian dan
Studi Islam, 1423/2003) hal. 86-7. Buku ini juga dapat dilihat secara online di
islamport]
Biar bagaimanapun, siapa saja yang
menggunakan istilah ini , baik dari masa lalu sampai saat ini, telah melakukan
beberapa kesalahan, diantaranya :
Mereka menyebut dakwah Muhammad bin
‘Abdul Wahhâb sebagai ‘Wahhâbiyyah’, walaupun dakwah ini tidak dimulai oleh
‘Abdul Wahhâb, namun oleh puteranya Muhammad.
Pada awalnya, ‘Abdul Wahhâb tidak
menyetujui dakwah puteranya dan menyanggah beberapa ajaran puteranya. Walau
demikian, tampak pada akhir kehidupannya bahwa beliau akhirnya menyetujui
dakwah puteranya. Semoga Allah
merahmatinya.
Musuh-musuh dakwah, tidak menyebut
dakwah ini dengan sebutan Muhammadiyyah –terutama semenjak Muhammad, bukan
ayahnya, ‘Abdul Wahhâb, memulai dakwah ini- karena dengan menyebutkan kata ini,
Muhammad, mereka bisa mendapatkan simpati dan dukungan dakwah, ketimbang
permusuhan dan penolakan.
Istilah “Wahhâbi”, dimaksudkan sebagai
ejekan dan untuk meyakinkan kaum muslimin supaya tidak mengambil ilmu atau
menerima dakwah Muhammad ibn ‘Abdul Wahhâb, yang telah digelari oleh mereka
sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah) yang tidak mencintai Rasulullâh Shallâllâhu
‘alaihi wa Sallam.
Walaupun demikian, penggunaan istilah
ini telah menjadi sinonim dengan seruan (dakwah) untuk berpegang al-Qur`ân dan
as-Sunnah dan suatu indikasi memiliki penghormatan yang luar biasa terhadap
salaf, yang berdakwah untuk mentauhîdkan Allah semata serta memerintahkan untuk mentaati
semua perintah Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Hal ini adalah
kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh dakwah.
[Lihat: Qodhî Ahmad ibn Hajar Alu Abŭthâmi (al-Bŭthâmi), Syaikh
Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb : His Salafî Creed and Reformist Movement, hal. 66].
Pada belakang hari, banyak musuh-musuh
dakwah Imam Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb akhirnya menjadi kagum terhadap dakwah
dan memahami esensi dakwahnya yang sebenarnya, melalui membaca buku-buku dan
karya-karyanya. Mereka mempelajari bahwa dakwah ini adalah dakwah Islam yang
murni dan terang, yang Allah
mengutus semua Nabi-Nya ‘alaihim`us Salâm untuknya (untuk dakwah tauhîd ini). [cerita nya bisa di baca di sini]
Menggunakan istilah ‘Wahhâbiyyah’ ini,
tidak akan menghentikan penyebaran dakwah ini ke seluruh penjuru dunia. Bahkan
pada kenyataannya, walaupun berada di tengah-tengah dunia barat, banyak kaum
muslimin yang mempraktekkan Islam murni ini, yang mana Imâm Muhammad Ibn ‘Abdul
Wahhâb secara antusias mendakwahkannya dan menjadikannya sebagai misi dakwah
beliau. Semua ini disebabkan karena tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan
al-Qur`ân dan as-Sunnah, tidak peduli sekuat apapun seseorang itu.
Perlu dicatat pula, bahwa diantara
karakteristik mereka yang berdakwah kepada tauhîd adalah, adanya penghormatan
yang sangat besar terhadap al-Qur`ân dan sunnah Nabi. Mereka dikenal sebagai
kaum yang mendakwahkan untuk berpegang kuat dengan hukum Islam, memurnikan
(tashfiyah) dan mendidik (tarbiyah) bahwa peribadatan hanya milik Allah semata serta memberikan respek
terhadap para sahabat nabî dan para ‘ulamâ` Islâm.
Mereka adalah kaum yang dikenal sebagai
orang yang lebih berilmu di dalam masalah ilmu Islam secara mendetail daripada
kebanyakan orang selain mereka. Telah menjadi suatu pengetahuan umum bahwa
dimana saja ada seorang salafî bermukim, kelas-kelas yang mengajarkan ilmu
sunnah tumbuh subur. Sekiranya istilah “Wahhâbî” ini digunakan untuk para
pengikut dakwah, bahkan sekalipun dimaksudkan untuk mengecilkan hati ummat agar
tidak mau menerima dakwah mereka, tetaplah salah baik dulu maupun sekarang,
menyebut dakwah ini dengan sebutan “Wahhâbiyyah”.
Imâm Muhammad ibn ‘Abdul Wahhâb
berdakwah menyeru kepada jalan Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan
para sahabat nabi, beliau tidak berdakwah menyeru kaum muslimin supaya menjadi
pengikutnya. Dakwah beliau bukanlah sebuah aliran/sekte baru, namun dakwah
beliau adalah kesinambungan warisan dakwah yang dimulai dari generasi pertama
Islam dan mereka yang mengikuti jalan mereka dengan lebih baik.
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih