Oleh Al Ustadz Muhammad ‘Ashim Musthofa, Lc. (Staf redaksi Majalah As
Sunnah)
Tokoh yang masih keturunan Ahli Bait ini, termasuk yang dicatut oleh ahli
bid’ah (baca: Syi’ah) sebagai tokohnya. Padahal jauh panggang dari api.
Aqidahnya sangat berbeda jauh dengan aqidah yang selama ini diyakini
orang-orang Syi’ah.
Nasab dan Kepribadiannya
Ia adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal
‘Abidin bin al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan
istri putri beliau Fathimah Radhiyallahu ‘anha. Terlahir di kota Madinah pada
tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun.
Ash Shadiq merupakan gelar yang selalu menetap tersemat padanya. Kata ash
Shadiq itu, tidaklah disebutkan, kecuali mengarah kepadanya. Karena ia terkenal
dengan kejujuran dalam hadits, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakanny a.
Kedustaan tidak dikenal padanya. Gelar ini pun masyhur di kalangan kaum
Muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah acapkali menyematkan gelar ini padanya.
Laqab lainnya, ia mendapat gelar al Imam dan al Faqih. Gelar ini pun
pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang ma’shum seperti yang
diyakini sebagian ahli bid’ah. Ini dibuktikan, ia sendiri telah menepisnya,
bahwa al ‘Ishmah (ma’shum) hanyalah milik Nabi.
Imam Ja’far ash Shadiq dikarunia beberapa anak. Mereka adalah: Isma’il
(putra tertua, meninggal pada tahun 138 H, saat ayahnya masih hidup), ‘Abdullah
(dengan namanya, kun-yah ayahnya dikenal), Musa yang bergelar al Kazhim [1],
Ishaq, Muhammad, ‘Ali dan Fathimah.
Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya yang begitu
besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan
yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling murah hati.
Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya,
Zainal ‘Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang
gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas
pundaknya, dan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan
orang-orang fakir di Madinah, tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah
wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada
mereka bantuan.
Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia
rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan,
untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin.
Perjalanan
Keilmuannya
Imam Ja’far ash Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan
ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur
panjang, misalnya Sahl bin Sa’id as Sa’idi dan Anas bin Malik Radhiyallahu
‘anhum. Dia juga berguru kepada Sayyidu Tabi’in ‘Atha` bin Abi Rabah, Muhammad
bin Syihab az Zuhri, ‘Urwah bin az Zubair, Muhammad bin al Munkadir dan
‘Abdullah bin Abi Rafi’ serta ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas. Dia pun meriwayatkan
dari kakeknya, al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.
Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka adalah
ulama-ulama kesohor, tsiqoh, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.
Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya bin Sa’id al
Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as Sakhtayani, Ibnu Juraij dan Abu ‘Amr bin al
‘Ala`. Juga Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas al Ashbahi, Sufyan ats Tsauri,
Syu’bah bin al Hajjaj, Sufyan bin ‘Uyainah, Muhammad bin Tsabit al Bunani, Abu
Hanifah dan masih banyak lagi.
Para imam hadits -kecuali al Bukhari- meriwayatkan hadits-haditsnya pada
kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab
lainnya, bukan di ash Shahih.
Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah
kepada Imam Ja’far ash Shadiq.
Abu Hanifah berkata: ”Tidak ada orang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.”
Abu Hatim ar Razi di dalam al Jarh wa at Ta’dil (2/487) berkata: ”(Dia)
tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia.”
Ibnu Hibban berkomentar: “Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait,
ahli ibadah dari kalangan atba’ Tabi’in dan ulama Madinah”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memujinya dengan ungkapan: “Sesungguhnya Ja’far bin
Muhammad termasuk imam, berdasarkan kesepakatan Ahli Sunnah”. (Lihat Minhaju as Sunnah,
2/245).
Demikian sebagian kutipan pujian dari para ulama kepada Imam Ja’far ash
Shadiq.
Ja’far
Ash Shadiq Tidak Mungkin Mencela Abu Bakar dan Umar
Adapun Syi’ah, berbuat secara berlebihan kepada Imam Ja’far ash Shadiq. Golongan Syi’ah ini
mendaulatnya sebagai imam keenam. Pengakuan mereka, sebenarnya hanya kamuflase.
Pernyataan-pernyataan dan aqidah beliau berbeda 180 derajat dengan apa yang
diyakini oleh kaum Syi’ah.
Sebut saja, sikap Imam Ja’far ash Shadiq terhadap Abu Bakar dan ‘Umar bin al Kaththab.
Kecintaannya terhadap mereka berdua tidak perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, mereka
berdua adalah teman dekat kakek (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam), dan sebagai penggantinya.
‘Abdul Jabbar bin al ‘Abbas al Hamdani berkata:”Sesungguhnya Ja’far bin
Muhammad menghampiri saat mereka akan meninggalkan Madinah. Ia berkata: ‘Sesungguhnya
kalian, Insha Allah termasuk orang-orang shalih dari Madinah. Maka, tolong sampaikan
(kepada orang-orang) dariku, barangsiapa yang menganggap diriku imam ma’shum
yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku
berlepas diri dari Abu Bakr dan ‘Umar, maka aku pun berlepas diri darinya’.”
Ad Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata: “Aku
mendengar Ja’far bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakr dan ‘Umar, ia
berkata: ’Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga’.”
Pernyataan beliau ini jelas sangat bertolak belakang dengan keyakinan
orang-orang Syi’ah yang menjadikan celaan dan makian kepada Abu Bakr, ‘Umar,
dan para sahabat pada umumnya sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dari
Allah.
Imam Ja’far ash Shadiq, sangat tidak mungkin mencela mereka berdua. Pasalnya, ibunya, Ummu Farwa
adalah putri al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash Shiddiq. Sementara neneknya
dari arah ibunya adalah, Asma` bintu Abdir Rahman bin Abi Bakr.
Apabila mereka adalah paman-pamannya, dan Abu Bakr termasuk kakeknya dari
dua sisi, maka sulit digambarkan, jika Ja’far bin Muhammad -yang jelas berilmu,
berpegah teguh dengan agamanya, dan ketinggian martabatnya, serta memiliki
hubungan kekerabatan dengan Nabi- melontarkan cacian dan celaan terhadap
kakeknya, Abu Bakr ash Shiddiq. Ja’far sendiri berkata: “Abu Bakar melahirkan
diriku dua kali”.
Apalagi, bila menengok kapasitas keilmuan dan keteguhan agama dan
ketinggian martabatnya, sudah tentu akan menghalanginya untuk mencaci-maki
orang yang tidak pantas menerimanya.
Klaim
Bohong Syi’ah atas Ja’far Ash Shadiq
Pada masanya, bid’ah al Ja’d bin Dirham dan pengaruh al Jahm bin Shafwan
telah menyebar. Sebagian kaum Muslimin sudah terpengaruh dengan aqidah al
Qur`an sebagai makhluk. Akan tetapi, Ja’far bin Muhammad menyatakan: “Bukan
Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi Kalamullah”[2].
Aqidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan Syi’ah yang
mengamini Mu’tazilah, dengan pemahaman aqidahnya, al Qur`an adalah makhluk.
Artinya, prinsip aqidah yang dipegangi oleh Imam Ja’far ash Shadiq
merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahli Sunnah wal Jama’ah,
dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan
bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta menafikan
sifat-sifat yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Taimiyyah berkata: ”Syi’ah Imamiyah, mereka berselisih dengan Ahli Bait dalam kebanyakan
pemahaman aqidah mereka. Dari kalangan imam Ahli Bait, seperti ‘Ali bin al
Husain Zainal ‘Abidin, Abu Ja’far al Baqir, dan putranya, Ja’far bin Muhammad
ash Shadiq, tidak ada yang mengingkari ru`yah (melihat Allah di akhirat), dan
tidak ada yang mengatakan al Qur`an adalah makhluk, atau mengingkari takdir,
atau menyatakan ‘Ali merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi ), tidak ada
yang mengakui para imam dua belas ma’shum, atau mencela Abu Bakr dan ‘Umar.”
Tokoh-tokoh Syi’ah tempo dulu mengakui, bahwa aqidah tauhid dan takdir
(yang mereka yakini) tidak mereka dapatkan, baik melalui Kitabullah, Sunnah
atau para imam Ahli Bait. Sebenarnya, mereka mendapatkannya dari Mu’tazilah. Mereka (kaum Mu’tazilah)
itulah guru-guru mereka dalam tauhid dan al ‘adl”.
Klaim kaum Syi’ah yang menyatakan pemahaman aqidah mereka berasal dari
Ja’far ash Shadiq atau imam Ahli Bait lainnya, hanyalah merupakan kedustaan,
dan mengada-ada belaka. Sehingga tidak salah jika dianggapnya sebagai
dongeng-dongeng fiktif, dan bualan kosong yang mereka nisbatkan kepada
orang-orang yang mulia itu.
Contoh kedustaan yang dilekatkan kepada beliau, yaitu ucapan “taqiyah
adalah agamaku dan agama nenek-moyangku”. Orang Syiah menjadikannya sebagai
prinsip aqidah mereka.
Kedustaan lainnya, keyakinan mereka bahwa Ja’far ash Shadiq akan kekal
abadi, dan tidak meninggal. Ini juga merupakan kesalahan yang parah. Kematian
adalah milik setiap orang, dan pasti terjadi. Tidak ada orang, baik dari
kalangan Ahli Bait atau lainnya yang mendapatkan hak istimewa hidup abadi di
dunia ini.
Bentuk kedustaan mereka merambah buku dan tulisan-tulisan yang diklaim
telah ditulis oleh Ja’far ash Shadiq. Para ulama telah menetapkan kedustaan
itu. Ditambah lagi, eranya (80-148
H) termasuk masa yang kering dengan karya tulis. Yang ada, perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka saja, tidak
sampai dibukukan.
Kaidah yang mesti kita pegangi dalam masalah ini, tidak menerima satu
perkataan pun dari ash Shadiq dan imam-imam lain, juga dari orang lain, kecuali
dengan sanad yang bersambung, berisikan orang-orang yang tsiqah dan dikenal
dari kalangan para perawi, atau bersesuaian dengan al Haq dan didukung oleh
dalil, maka baru bisa diterima. Selain dari yang itu, tidak perlu dilihat.
Di antara kitab yang dinisbatkan kepadanya dengan kedustaan, yaitu kitab
Rasailu Ikhawni ash Shafa, al Jafr (kitab yang memberitakan berbagai peristiwa
yang akan terjadi), ‘Ilmu al Bithaqah, Ikhtilaju al A’dha` (menjelaskan
pergerakan-pergerak an yang ada di bawah tanah), Qira`atu al Qur`an Fi al
Manam, dan sebagainya.
Golongan Syi’ah memperkuat kedustaan mereka tentang keotentikan
kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu Musa Jabir bin
Hayyan ash Shufi ath Tharthusi. Dia ini adalah pakar kimia yang terkenal,
meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin Hayyan telah
menyertai Ja’far ash Shadiq dan menulis berbagai risalah yang berjumlah 500
buah dalam seribu lembar kertas. Namun, pernyataan ini masih sangat diragukan.
Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan) dalam agama dan
amanahnya, dan juga kesertaannya bersama Ja’far ash Shadiq yang meninggal tahun
148 H. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai Ja’far ash
Shadiq, tetapi ia menyertai Ja’far bin Yahya al Barmaki. Dan lagi yang pantas
untuk meragukan pernyataan tersebut, karena Imam Ja’far ash Shadiq berada di
Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad. Kedustaan tersebut semakin
jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alamnya, yang tentu sangat
berbeda dengan yang ditekuni Imam Ja’far ash Shadiq.
Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak bisa dibenarkan
penisbatannya kepada Ja’far ash Shadiq. Ringkasnya, Syi’ah berdiri di atas
kedustaan dan kebohongan. Andaikan benar miliknya, sudah tentu akan diketahui
anak-anaknya dan para muridnya, dan kemudian akan menyebar ke berbagai pelosok
dunia. Wallahul Musta’an.
Fakta ini semakin membuktikan bahwa Syiah berdiri di atas gulungan
kedustaan dan kebohongan. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan: “Adapun syariat mereka,
tumpuannya berasal dari riwayat dari sebagian Ahli Bait seperti Abu Ja’far al
Baqir, Ja’far bin Muhammad ash Shadiq dan lainnya”.
Tidak diragukan lagi, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan milik kaum
muslimin dan imam mereka. Ucapan-ucapan mereka mempunyai kemuliaan dan nilai
yang pantas didapatkan orang-orang semacam mereka. Tetapi, banyak nukilan dusta
ditempelkan pada mereka. Kaum Syiah tidak memiliki kemampuan penguasaan dalam
aspek isnad dan penyeleksian antara perawi yang tsiqah dan yang tidak. Dalam
masalah ini, mereka laksana Ahli Kitab. Semua yang mereka jumpai dalam
kitab-kitab, berupa riwayat dari pendahu-pendahulu mereka, langsung diterima.
Berbeda dengan Ahli Sunnah, mereka mempunyai kemampuan penguasaan isnad,
sebagai piranti untuk membedakan antara kejujuran dengan kedustaan. (Minhaju as
Sunnah, 5/162).
[Diadaptasi dari muqaddimah tahqiq Kitab al Munazharah (Munazharah Ja'far
bin Muhammad ash Shadiq Ma'a ar Rafidhi fi at Tafdhili Baina Abi Bakr wa 'Ali),
karya Imam al Hujjah Ja'far bin Muhammad ash Shadiq, tahqiq 'Ali bin 'Abdul
'Aziz al 'Ali Alu Syibl, Dar al Wathan Riyadh, Cet. I, Th. 1417 H].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Oleh Syi’ah Imamiyah, ia diangkat sebagai imam berikutnya. Dalam
masalah ini, Syi’ah Imamiyah berseteru pendapat dengan Isma’iliyah tentang imam
setelah Ja’far ash Shadiq, antara Musa yang bergelar al Kazhim dengan Isma’il
yang sudah meninggal terlebih dahulu. Perbedaan memang menjadi ciri khas ahli
bid’ah, bahkan pada masalah yang prinsip menurut mereka.
[2]. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, bahwa pernyataan itu termasuk sering
diriwayatkan dari Ja’far ash Shadiq. (al Minhaj, 2/245).
Sumber: di sini
I Love Islam
BalasHapus