Kamis, 09 Mei 2013

Cara Mengetahui Hadis Maudhu’




Hadis Maudhu’ dapat diketahui melalui tanda-tandanya, baik dalam sanad maupun dalam matan. Berikut penjelasannya:

Tanda-Tanda Maudhu’ pada Sanad
a.    Pengakuaan Pembuatnya Sendiri
Sebagaimana pengakuan Abdul Karim bin Abu Al-Auja, ketika akan dihukum mati, ia mengatakan: “Demi Allah, aku palsukan padamu 4.000 buah hadis, di dalamnya aku halalkan apa yang diharamkan dan aku haramkan apa yang dihalalkan.”
Kemudian dihukum pancung lehernya atas instruksi Muhammad bin Sulaiman bin Ali, Seorang Gubernur Bashrah (160-173 H). maysarah bin Abdi Rabbih Al-Farisi mengaku banyak memalsukan hadis tentang keutamaan Al-Qur’an dan Ali radhiyallahu'anhu. Ia mengaku membuat hadis maudhu’ lebih dari 70 hadis. Demikian juga Abu Ishamah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami’ mengaku banyak membuat hadis maudhu’ yang disandarkan kepada Ibnu Abbas tentang keutamaan Al-Qur’an.

b.    Adanya Bukti dalam Pengakuannya (dalam ceritanya)
Seperti seseorang yang meriwayatkan hadis dengan ungkapan yang mantap serta meyakinkan dari seorang syaikh padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu atau dari seorang syaikh yang tidak pernah pergi atau berangkat ke luar (dari kotanya) atau seorang syaikh yang telah wafat sementara ia masih kecil atau belum lahir. Untuk mengetahui ini harus mempelajari  buku-buku Tawarikh Ar-Ruwah.
Ma’mun bin Ahmad Al-Harawi mengaku mendengar hadis dari Hisyam bin Hammar. Al-Hafidz bin Hibban bertanya: “Kapan anda datang ke Syam,..?” Ma’mun menjawab: “Pada tahun 250 H.” Ibnu Hibban menjelaskan: “Hisyam bin Ammar wafat pada tahun 245 H.” Sahut Ma’mun: “Hisyam bin Ammar yang lain.” Hal ini membuktikan adanya pengakuan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Ammar (yang asli).

c.    Adanya Bukti pada Keadaan Rowi
Seperti yang disandarkan Al-Hakim dari Saif bin Umar Al-Tamimi, aku disisi Sa’ad bin Tharif, ketika anaknya pulang dari sekolah (al-Kuttab) menangis, ditanya bapaknya: “Mengapa engkau menangis?” Anaknya menjawab: “di pukul guru” Lantas Sa’ad berkata: “Sungguh saya buat hina mereka sekarang” Memberitakan kepadaku Ikrimah dari Ibnu Abbas secara marfu’:
“Guru-guru anak kecilmu adalah orang yang paling jelek diantara kamu. Dia paling sedikit sayangnya terhadap anak yatim dan yang paling kasar terhadap orang-orang miskin”
Ibnu Ma’in berkata “tidak halal seseorang meriwayatkan hadis dari Sa’ad bin Tharif.” Ibnu Hibban berkomentar: “Ia memalsukan hadis.” Al-Hakim juga berkata: “Ia dituduh Zindiq dan gugur dalam periwayatan.”

d.    Kedustaan Perowi
Seorang perowi yang dikenal dusta meriwayatkan suatu hadis sendirian dan tidak ada seorang tsiqoh yang meriwayatkannya.

Tanda-Tanda Maudhu’ pada Matan
a.    Lemah Susunan Lafal dan Maknanya
Salah satu tanda ke-maudhu’-an suatu hadis adalah lemah dari segi bahasa dan maknanya. Secara logis tidak dibenarkan bahwa ungkapan itu datang dari Rasul. Banyak hadis-hadis panjang yang lemah susunan bahasa dan maknanya. Seorang yang memiliki keahlian bahasa dan sastra memiliki ketajaman dalam memahami hadis dari Nabi atau bukan. Hadis maudhu’ ini bukan bahasa Nabi yang mengandung sastra, karena sangat rusak susunannya. Ar-Rabi’ bin Khats’ yang berkata:
“Sesungguhnya hadis itu bercahaya seperti cahaya siang kami mangenalnya dan memiliki kegelapan bagaikan gelap malam kami mengenalnya.”
Hadis palsu jika diriwayatkan secara jelas, bahwa ini lafal dari Nabi dapat terditeksi oleh pakar yang ahli dalam bidangnya sehingga tercium bahwa ini hadis sesungguhnya dan ini hadis palsu. Jika tidak dinyatakan secara jelas, menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, hadis itu dikembalikan kepada maknanya yang rusak, karena bisa jadi ia beralasan riwayah bi al ma’na atau karena tidak bisa menyusun secara baik.

b.   Rusaknya Makna
Maksud rusaknya makna karena bertentangan dengan akal sehat, menyalahi kaidah kesehatan, mendorong kepada perbuatan maksiat dan juga tidak bisa di ta’wilkan. Misalnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Al-Jauzi dari jalan Thariq Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya secara marfu’:
“Bahwasannya perahu Nabi Nuh berthawaf di Ba’it (Ka’bah) tujuh kali dan shalat di Maqam Ibrahim dua reka’at.”
Hadis ini maudhu’ karena menyelisihi akal sehat, bagaimana mungkin sebuah perahu besar dapat berputar-putar mengelilingi Ka’bah 7 kali seperti orang yang sedang melakukan thawaf haji, demikian juga melakukan shalat di Maqam Ibrahim.
Contoh lain, hadis maudhu’ yang mendorong pada perbuatan maksiat:
“Memandang wajah yang cantik dapat menerangkan mata, dan memandang wajah yang jelek dapat menyebabkan sedih.”
Hadis palsu diatas didalamnya terdapat perowi yang bernama Abu Sa’id Al-Adawi.

c.    Menyalahi Teks Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir
Termasuk tanda maudhu’ adalah menyalahi Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir dan tidak mungkin dita’wilkan, kecuali jika dapat dikompromikan melalui takhshish al-amm atau tafshil al-mujmal dan lain-lain sebagaimana langkah pemecahan yang telah dilakukan oleh Ulama Ushul Fiqih. Contoh hadis palsu yang bertentangan dengan ayat Al-Qur’an, misalnya:
“Anak hasil zina tidak bisa masuk syurga sampai tujuh keturunan.”
Hadis palsu diatas, bertentangan dengan firman Allah subhanallahu wa ta'ala:
Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemadhorotannya kembali kepada dirinya sendiri. (QS Al-An’am: 164)
Contoh hadis palsu yang bertentangan dengan Hadis Mutawatir, misalnya:
“Jika kalian memberitakan suatu hadis dari padaku sesuai kebenaran, maka ambilah hadis itu, baik aku mengatakannya atau tidak.”
Hadis palsu diatas, jelas-jelas bertentangan dengan hadis mutawatir yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka hendak siap-siaplah tempat tinggalnya di dalam neraka.”

d.   Menyalahi Realita Sejarah
Misalnya hadis yang menjelaskan Nabi memungut Jizyah pada penduduk Khaibar dengan disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz, padahal Sa’ad sudah meninggal pada masa perang Khandaq sebelum kejadian tersebut. Jizyah disyari’atkan setelah perang Tabuk pada Nasrani Najran dan Yahudi Yaman.

e.    Hadis Sesuai dengan Madzab Perowi
Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaini, ia berkata: saya mendengar Ali berkata:
“Aku menyembah Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya seorang pun dari umat ini lima atau tujuh tahun.”
Hadis ini mengkultuskan Ali sesuai dengan prinsip Madzab Syi’ah, tetapi pengkultusan itu juga tidak masuk akal, bagaimana Ali beribadah bersama Rasul lima atau tujuh tahun sebelum umat ini.

f.     Mengandung Pahala yang berlebihan bagi amal yang kecil
Biasanya motif pemalsuan hadis ini disampaikan para tukang kisah yang ingin menarik para pendengarnya atau agar menarik pendengar untuk melakukan perbuatan amal sholeh. Tetapi memang terlalu tinggi, dalam membesar-besarkan suatu pahala yang berlebihan terhadap amal sholeh yang kecil. Misalnya:
“Barangsiapa yang shalat dhuha sekian rekaat, diberi pahala 70 Nabi”

g.    Sahabat Dituduh Menyembunyikan Hadis
Sahabat dituduh menyembunyikan hadis dan tidak menyampaikan atau meriwayatkan kepada orang lain, padahal hadis itu secara transparan harus disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya, Nabi memegang tangan Ali bin Abi Tholib di hadapan para sahabat semua, kemudian bersabda:
“Ini wasiatku, dan saudaraku dan Khalifah setelah aku.”
Seandainya itu benar hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu banyak di antara para sahabat yang meriwayatkannya, karena masalahnya adalah untuk kepentingan umum yakni Kepemimpinan. Tidak mungkin para sahabat diam tidak meriwayatkan, jika hal itu terjadi benar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian tanda-tanda ke-maudhu’-an hadis, para ahli hadis yang bergelut dalam bidangnya mengetahui secara dalam sekalipun baru mencium perbedaan  antara hadis yang disampaikan Nabi atau susunan para pendusta.

Wallahu a’lam

2 komentar:

Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih

 
Back To Top