Di ujung senja yang memerah di gurun, udara masih terasa
terik, dan perlahan-lahan mulai sejuk, saat menjelang datangnya malam. Lelaki
itu bergegas menuju masjid. Menunaikan shalat Maghrib yang akan menjelang. Ia
shalat dua rakaat. Sambil terus berdzikir, air matanya mengalir. “Di mana kelak
aku berada?” ucapnya lirih. “Adakah aku akan mendapatkan tempat kemuliaan?”
keluhnya.
Lelaki keturunan orang yang mulia itu kaya raya. Segalanya
dimilikinya. Kekayaannya tak terhitung. Melimpah. Karena ia pandai berdagang.
Semua pedagang berdagang dengannya. Keuntungannya tak henti-henti. Lelaki itu
benar-benar sempurna, hartanya terus bertambah. Tetapi, kala senja ia nampak
bersedih, menangis, dan terus menangis. Entah mengapa ia menangis? Sejatinya
lelaki itu adalah lelaki yang shaleh dan zuhud dalam hidupnya.
Lelaki itu mengerti kelak akhir kehidupannya. Ia mengetahui
orang-orang yang memiliki kekayaan dan istana, segalanya tak lagi berguna.
Betapa istana yang megah dan mewah itu semuanya akan pupus, di saat datangnya
kematian yang harus diterimanya. Betapa akhir kehidupannya itu, manusia
hanyalah menempati sebuah tempat, yang tak lebih lebarnya satu meter dan
panjangnya dua meter, yang ditutup dengan papan. Itulah kehidupan alam kubur.
Siapapun adanya akan mengalami hal seperti itu. Tidak ada perbedaan antara raja
dengan orang miskin.
Pakaian yang indah dan halus terbuat dari sutera, menjadi tak
lagi berguna, semuanya akan ditanggalkannya. Siapa saja yang mati, hanyalah
menggunakan kain kafan. Itulah pakaian kebesaran yang akan digunakan
orang-orang sudah mati. Raja, orang kaya, orang miskin, dan rakyat jelata,
semuanya hanyalah akan menggunakan kain kafan.
Ketika hidup di dunia, si kaya menggunakan kendaraan yang
paling mewah, mungkin seekor unta yang paling baik, bulunya mengkilap, gemuk
dan kuat. Tetapi, saat ajal tiba, dan kendaraan yang ditumpangi, tak lain
hanyalah keranda, yang tak berharga. Inilah satu-satunya kendaraan yang akan
mengantarkannya ke tempat terakhir dalam hidupnya.
Tidak ada lagi kesetiaan yang akan selalu menemani.
Isteri–isteri yang cantik dan setia, tak akan menemaninya. Dialam kubur ia
hanya sendirian. Tanpa siapa-siapa lagi. Kesetiaan hanya dalam kehidupan dunia.
Janji hanya dalam kehidupan dunia. Tidak ada seorang suami atau isteri yang
betapapun sangat setianya, mau menemaninya di alam kubur. Ia hanyalah
sendirian. Sendirian bersama dengan binatang-binatang yang akan menggerogoti
tumbuhnya yang sudah tidak dapat melakukan apa-apa.
Lelaki itu terus bertepekur di dalam masjid. Usai shalat
Isya’ tak juga beranjak dari duduknya. Terus berdzikir dan bermunajat kepada
Allah Azza Wa Jalla. “Di mana aku kelak berada?” keluhnya. Ia sangat kawatir
Sang Pencipta murka, dan tidak mau menerimanya, dan menempatkan dirinya di
tempat yang hina. “Ya Rabb, ampunilah segala dosa dan khilafku, dan jauhkanlah
aku dari fitnah dunia, serta selamatkanlah aku dari siksamu,” keluhnya.
Allah Azza Wa Jalla memberikan karunia kekayaan yang sangat
melimpah kepada lelaki itu. Perdagangannya selalu untung. Tanah pertaniannya
yang sangat subur, di kelola para budaknya. Makin lama makin maju, dan hartanya
semakin bertambah. Tetapi, lelaki itu tak menjadi lupa dan bersenang-senang
dengan kekayaan yang dimilikinya. Sikapnya tak pernah berubah. Hartanya yang
melimpah tak melupakan dari taqwanya kepada Allah Azza Wa Jalla.
Maka kekayaannya itu dimanfaatkannya untuk kaum muslimin.
Kekayaannya dimanfaatkan untuk membangun jalan menuju akhirat. Sehingga,
kekayaan itu menjadi indah baginya, karena semakin banyak kekayaan yang
dimilikinya, semakin banyak pula sedekahnya kepada fuqara’. Ia tidak sombong,
dan melakukan amal dengan sembunyi-sembunyi.
Di saat malam telah tiba, beliau memikul sekarung tepung di
punggungnya, keluar menembus kegelapan malam, ketika orang-orang tidur nyenyak.
Beliau berkeliling ke rumah para fuqara’ yang tak suka menadahkan tangannya.
Pekerjaan itu ia lakukannya, sampai ajal menjemputnya. Tak pernah henti.
Mungkin sesuatu yang tak pernah dimengerti oleh siapapun. Tapi, itulah dilakukan
oleh seorang yang sudah zuhud terhadap kehidupan dunia.
Tidak heran banyak orang miskin di Madinah yang hidup tanpa
mengetahui dari mana jatuhnya rezeki untuk mereka itu. Setelah lelaki itu
meninggal mereka tak lagi menerima rezeki itu. Barulah mereka menyadari
siapakah sesungguhnya gerangan manusia dermawan itu?
Sewaktunya jenazah lelaki itu dimandikan, terlihat ada bekas
hitam dipunggungnya, sehingga bertanyalah mereka yang memandikannya. “Bekas apa
ini?” Lalu, diantara yang hadir menjawab, “Itu adalah bekas karung-karung
tepung yang selalu dipikulnya ke seratus rumah di Madinah ini.”
Orang-orang miskin lidahnya kelu, dan hanya dapat berdoa
dalam hati, ketika ribuan lelaki mengiringi jenazahnya menuju tempat
terakhirnya. Semuanya bersedih. Kekayaan yang melimpah itu, tak bersisa. Lelaki
itu juga membebaskan seribu budak, dan memberikan hartanya kepada mereka.
Begitulah lelaki itu. Sikapnya terhadap kehidupan dunia. Tak
lagi menolehnya. Sekalipun, begitu banyak harta yang dimilikinya. Itulah cucu
Baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, Zainal Abidin, yang sangat mulia.
Wallahu’alam…..
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih