Bagi sebagian kalangan, diyakini
1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Ini didasari pidato Bung Karno tentang
Pancasila pada 1 Juni 1945.
Karenanya, bagi kalangan ini, 1
Juni jadi tanggal yang, terutama pasca Orba, diperingati sebagai hari lahirnya
Pancasila.
Sejak Taufik Kiemas jadi Ketua
MPR, pada setiap 1 Juni ia menggelar ‘hajatan’ di Gedung DPR/MPR, mengundang
presiden, wapres, mantan presiden dan wapres.
Selama ini kita mengenal
Pancasila sebagai Dasar Negara RI. Tapi menurut Dr Eggie Sudjana, SH.
Msi,Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia tidak terdapat dalam UUD 1945.
Bagaimana ulasannya? Berikut kronologi cerita tentang Pancasila ‘bukan Dasar
Negara Indonesia’:
Adalah Ustadz Ahmad Sarwat, Lc
yang dalam kolom konsultasinya pernah ditanya terkait dengan pernyataan Dr
Eggie Sudjana, SH, Msi, yang dalam kesempatan sebelumnya melakukan debat dengan
Abdul Muqsith dari kelompok Liberal dan Pluralisme Agama di salah satu stasiun
televisi yang disiarkan secara nasional.
Debat ini dilakukan menyikapi
bentrokan yang terjadi antara AKK-BB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan) dengan FPI di Monas (1 Juni 2008) karena
pertentangan dalam menghadapi kasus aliran sesat Ahmadiyah di Indonesia.
Berikut pertanyaan untuk Ustadz
Ahmad Sarwat dalam kolom konsultasinya:
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ana tertarik dengan apa yang
disampaikan Bapak Eggi Sudjana di salah satu stasiun TV swasta. Beliau
menyampaikan bahwa dasar hukum negara Indonesia yang benar adalah hukum Allah
SWT.
Beliau berpijak dari sisi
historis dan sosiologi bahwa sesuai dengan pembukaan UUD 1945 Negara Indonesia
berdasarkan atas Ketuhanan YME, dan hanya atas berkat rahmat Allah SWT
Indonesia dapat merdeka.
Saya yakin kalau hukum yang bersumber
dari Allah SWT ini dapat di terapkan, kita akan bahagia dunia akhirat
Mohon tanggapan Pak Ustadz…!
Terima kasih
Wassalam
Abu Mufid
Jawaban:
Dalam menanggapi pertanyaan di
atas, Ustadz Ahmad Sarwat menyatakan hal berikut:
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Memang cukup mengejutkan juga apa
yang disampaikan oleh Dr Eggi Sudjana, SH, Msi, dalam talkshow di TV swasta
malam itu. Beliau menyebutkan bahwa kalau dicermati, ternyata justru negara
Indonesia ini secara hukum bukanlah berdasarkan Pancasila. Sebaliknya, di dalam
UUD 45 malah ditegaskan bahwa dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan sesuai dengan Preambule atau
Pembukaan UUD 1945, Tuhan yang dimaksud tidak lain adalah Allah Subhanahu wa
Ta’ala, sehingga secara hukum jelas sekali bahwa dasar negara kita ini adalah
Islam atau hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pernyataan itu muncul saat
berdebat dengan Abdul Muqsith yang mewakili kalangan AKK-BB. Saat itu Abdul Muqsith
menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, bukan berdasarkan Al-Quran dan
hadits, tetapi berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Mungkin maunya Abdul Muqsith
menegaskan bahwa Ahmadiyah boleh saja melakukan kegiatan yang bertentangan
dengan ajaran Islam, toh negara kita kan bukan negara Islam, bukan berdasarkan
Quran dan Sunnah.
Tetapi tiba-tiba Mas Eggi balik
bertanya tentang siapa yang bilang bahwa dasar negara kita ini Pancasila? Mana
dasar hukumnya kita mengatakan itu?
Abdul Muqsith cukup kaget diserang
seperti itu. Rupanya dia tidak siap ketika diminta untuk menyebutkan dasar
ungkapan bahwa negara kita ini berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Saat itulah Mas Eggi langsung
menyebutkan bahwa yang ada justru UUD 45 menyebutkan tentang dasar negara kita
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Pancasila. Sebagaimana yang disebutkan
dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1.
Kalau dipikir-pikir, ada benarnya
juga apa yang dikatakan oleh Eggi Sujana itu. Iya ya, mana teks resmi yang
menyebutkan bahwa dasar negara kita ini Pancasila. Kita yang awam ini agak
terperangah juga mendengar seruan itu.
Entahlah apa ada ahli hukum lain
yang bisa menjawabnya. Yang jelas, Abdul Muqsith itu hanya bisa diam saja,
tanpa bisa menjawab apa yang ditegaskan leh Eggi Sujana.
Dan rasanya kita memang tidak
atau belum menemukan teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini
Pancasila.
Diskusi itu menjadi menarik,
lantaran kita baru saja tersadar bahwa dasar negara kita menurut UUD 45
ternyata bukan Pancasila sebagaimana yang sering kita hafal selama ini sejak
SD. Pasal 29 UUD 45 aya 1 memang menyebutkan begini:
“1. Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa”
Lalu siapakah Tuhan yang dimaksud
dalam pasal ini, jawabannya menurut Eggi adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala..
Karena di pembukaan UUD 45 memang telah disebutkan secara tegas tentang
kemerdekaan Indonesia yang merupakan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam argumentasi Mas Eggi, yang
namanya batang tubuh dengan pembukaan tidak boleh terpisah-pisah atau
berlawanan. Kalau di batang tubuh yaitu pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa negara
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Tuhan itu bukan sekadar Maha
Esa, juga bukan berarti tuhannya semua agama. Tetapi Tuhannya umat Islam, yaitu
Allah Subhanahu wa Ta’ala..
Hal itu lantaran secara tegas
Pembukaan UUD 45 menyebutkan lafadz Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hal itu
tidak boleh ditafsirkan menjadi segala macam tuhan, bukan asal tuhan dan bukan
tuhan-tuhan buat agama lain. Tuhan Yang Maha Esa di pasal 29 ayat 1 itu harus
dipahami sebagai Allah Subhanahu wa Ta’ala., bukan Yesus, bukan Bunda Maria,
bukan Sidharta Gautama, bukan dewa atau pun tuhan-tuhan yang lain.
Lepas apakah nanti ada ahli hukum
tata negara yang bisa menepis pandangan Eggi Sujana itu, yang pasti Abdul
Muqsith tidak bisa menjawabnya. Dan pandangan bahwa negara kita ini bukan
negara Islam serta tidak berdasarkan Quran dan Sunnah, secara jujur harus kita
akui harus dikoreksi kembali.
Sebab kalau kita lihat latar
belakang semangat dan juga sejarah terbentuknya UUD 45 oleh para pendiri negeri
ini, nuansa Islam sangat kental. Bahkan ada opsi yang cukup lama untuk
menjadikan negara Indonesia ini sebagai negara Islam yang formal.
Bahkan awalnya, sila pertama dari
Pancasila itu masih ada tambahan 7 kata, yaitu: “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Namun lewat tipu muslihat dan
kebohongan yang nyata, dan tentunya perdebatan panjang, 7 kata itu harus
dihapuskan. Sekadar memperhatikan kepentingan kalangan Kristen yang merasa
keberatan dan main ancam mau
memisahkan diri dari NKRI. (loh" kq main ngancem" segala,.. lo pikir ni negara lo apa..)
Padahal 7 kata itu sama sekali
tidak mengusik kepentingan agama dan ibadah mereka. Toh Indonesia ini memang
mayoritas Muslim, tetapi betapa lucunya, tatkala pihak mayoritas mau menetapkan
hukum di dalam lingkungan mereka sendiri lewat Pancasila, kok bisa-bisanya
orang-orang di luar Islam pakai acara protes segala. Padahal apa urusannya
mereka dengan 7 kata itu.
Kalau dipikir-pikir, betapa tidak
etisnya kalangan Kristen saat awal kita mendirikan negara, dimana mereka sudah
ikut campur urusan keyakinan lain, yang mayoritas pula. Sampai mereka berani
nekat mau memisahkan diri sambil berdusta bahwa Indonsia bagian timur akan
segera memisahkan diri kalau 7 kata itu tidak dihapus.
Akhirnya dengan legowo para ulama
dan pendiri negara ini menghapus 7 kata itu, demi untuk persatuan dan kesatuan.
Tapi apa lacur, air susu dibalas air tuba. Alih-alih duduk rukun dan akur,
kalangan Kristen yang didukung kalangan sekuler itu tidak pernah berhenti ingin
menyingkirkan Islam dari negara ini.
Dan semangat penyingkiran Islam
dari negara semakin menjadi-jadi dengan adanya penekanan asas tunggal di zaman
Soeharto. Semua ormas apalagi orsospol wajib berasas Pancasila.
Sesuatu yang di dalam UUD 45
tidak pernah disebut-sebut. Malah yang disebut justru negara ini berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Tuhan yang dimaksud itu adalah Allah
Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 45.
Jadi sangat tepat kalau kalangan
sekuler harus sibuk membuka-buka kembali literatur untuk cari-cari argumen yang
sekiranya bisa membuat Islam jauh dari negara ini. (emang bener, orang kafir gak bakal berhenti untuk menjauhkan orang islam dari agamanya,..)
Namanya perjuangan, pasti mereka
akan terus mencari dan mencari argumen-argumen yang sekiranya bisa dijadikan
bahan untuk dijadikan alibi yang menjauhkan Islam dari negara. Sebab mereka
memang alergi dengan Islam. Seolah-olah Islam itu harus dimusuhi, atau
merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai.
Kita harus akui bahwa kalangan
sekuler anti Islam itu cukup banyak. Dalam kepala mereka, mungkin lebih baik
negara ini menajdi komunis daripada jadi negara Islam. Astaghfirullahal’azhiim.
Wallahu a’lam bishshawab
Wassalamu ‘alaikum warahmatullah
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber:
eramuslim.com
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih