Telah menceritakan kepada kami Rauh: Telah menceritakan kepada
kami Zakariyyaa bin Ishaaq: Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin
Maisarah: Bahwasannya ia pernah mendengar ‘Amr bin Syariid menceritakan dari
ayahnya: Bahwasannya Nabi shalallaahu
‘alaihi wasallam pernah mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqiif dengan
berlari-lari kecil hingga beliau memegang pakaian yang dikenakan orang
tersebut. Lalu beliau bersabda: “Angkatlah kain sarungmu !”. Perawi berkata: Maka laki-laki
tersebut menyingkap kedua lututnya seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
kakiku bengkok dan saling beradu kedua lututku tersebut (yaitu : cacat)”.
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Setiap ciptaan Allah ‘azza wa jalla itu baik”. Perawi berkata: Maka orang
tersebut tidak pernah terlihat sejak itu melainkan kain sarungnya hanya sampai
pertengahan betisnya hingga ia meninggal dunia” [Al-Musnad, 4/390].
Pengkajian Sanad
Sanad hadits ini adalah shahih, semua perawinya adalah
tsiqah. Berikut keterangan ringkasnya:
1.
Rauh, ia adalah Ibnu
‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan bin ‘Amr bin Martsad Al-Qaisiy, Abu Muhammad
Al-Bashriy (wafat tahun 207 H).
Termasuk perawi yang dipakai Al-Bukhari dan Muslim dalam
Shahiih-nya.
Ia telah di-tsiqah-kan oleh jumhur ulama. Al-Khathiib berkata:
“Mempunyai banyak hadits, menulis kitab-kitab sunan dan ahkaam (hukum-hukum),
dan menghimpun tafsir. Dan ia seorang yang tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata: “Laisa
bil-qawiy (tidak kuat)”. Yahya bin Ma’iin berkata: “Laisa bihi ba’s (tidak
mengapa dengannya)”. Di lain kesempatan ia berkata: “Shaduuq (jujur), tsiqah”.
Al-‘Ijliy berkata: “Orang Bashrah yang tsiqah” [selengkapnya lihat Taariikh
Baghdaad, 9/385-391].
Ibnu Sa’d berkata: “Tsiqah in syaa Allah” [Ath-Thabaqaat,
7/296].
Adz-Dzahabiy berkata: “Al-Haafidh, menulis banyak kitab, dan
termasuk ulama (yang diakui)” [Al-Kaasyif, 1/398 no. 1593].
Ibnu Hajar berkata: “Tsiqah, faadlil” [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 329 no. 1973].
Al-Albaniy berkata: “Tsiqah, termasuk rijaal Shahihain”
[Mu’jamu Asamiyir-Ruwaat, 2/30].
2.
Zakariyya bin Ishaaq
Al-Makkiy.
Termasuk perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya.
Ahmad bin Hanbal berkata: “Tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin
berkata: “Tsiqah”. Abu Haatim berkata: “Orang Makkah, tidak mengapa dengannya
(laisa bihi ba’s)”. Abu Zur’ah berkata: “Tidak mengapa dengannya” [Al-Jarh
wat-Ta’diil, 3/593 no. 2684].
Ibnu Syaahiin berkata: “Tsiqah” [Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat,
hal. 138 no. 391].
Al-Juzjaaniy berkata: “Tertuduh berpemahan qadariyyah”
[Ahwaalur-Rijaal, hal. 136 no. 339].
Adz-Dzahabiy berkata: “Tsiqah” [Al-Kaasyif, 1/405 no. 1641].
Ibnu Hajar berkata: “Tsiqah, tertuduh berpemahaman qadariyyah” [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 338 no. 2031].
Al-Albaniy berkata: “Disepakati ke-tsiqah-annya” [Mu’jamu
Asamiyir-Ruwaat, 2/46].
3.
Ibrahim bin Maisarah
Ath-Thaa’iy (131 H).
Termasuk perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya.
Ibnu ‘Uyainah berkata: “Ibrahim bin Maisarah adalah orang
yang paling benar (perkataannya) dan paling tsiqah”. Ahmad bin Hanbal berkata:
“Tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata: “Tsiqah”. Abu Haatim berkata: “Shaalih”
[lihat Al-Jarh wat-Ta’diil, 2/133-134 no. 423].
Al-‘Ijliy berkata: “Tsiqah” [Ma’rifatuts-Tsiqaat, 1/208 no.
42].
Ibnu Syaahiin berkata: “Tsiqah” [Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat,
hal. 59 no. 41].
Adz-Dzahabiy berkata dengan menukil perkataan Al-Humaidiy:
“Sufyaan (bin ‘Uyainah) pernah berkata kepadaku: ‘Matamu tidak akan pernah
melihat orang semisal dengannya” [Al-Kaasyif, 1/226 no. 212].
Ibnu Hajar berkata: “Tsabt haafidh” [Taqriibut-Tahdziib, hal.
117 no. 262].
Al-Albaniy berkata: “Tsiqah tsabt haafidh” [Mu’jamu
Asamiyir-Ruwaat, 1/78].
4.
‘Amru bin Asy-Syariid,
ia adalah Ibnu Suwaid Ats-Tsaqafiy Abul-Waliid Ath-Thaa’iy.
Termasuk perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim
dalam Shahih-nya.
Al-‘Ijliy berkata: “Tabi’iy tsiqah” [Ma’rifatuts-Tsiqaat,
2/177 no. 1387].
Ibnu Hiban memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat (5/180). Ibnu
Hajar berkata : “Tsiqah” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 738 no. 5084].
5.
Asy-Syariid bin Suwaid
Ats-Tsaqafiy, salah seorang shahabat Nabi shalallaahu
‘alaihi wasallam.
(Lihat biografinya dalam Asadul-Ghaabah 2/629 no. 2430, Tahdziibul-Kamaal
12/458-459 no. 2732, dan Al-Ishaabah 3/204 no. 3887.)
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykiilil -Atsar
no. 1708 dari jalan Rauh- selanjutnya dengan riwayat di atas.
Diriwayatkan juga oleh Al-Humaidiy no. 829 -dan dari jalannya
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 7/377-378 no. 7240- dari jalan Sufyaan bin
‘Uyainah, dari Ibrahim bin Maisarah, dari ‘Amru bin Asy-Syariid atau Ya’quub
bin ‘Aashim. Al-Humaidiy mengatakan bahwa Sufyan telah ragu-ragu dalam
periwayatan ini.
Al-Haitsamiy membawakannya dalam Majma’uz-Zawaaid 5/124 dan
berkata: “Para perawi Ahmad adalah para perawi Ash-Shahiih”.
Fiqh Hadits
Pertama, kasih sayang Nabi shalallaahu
‘alaihi wasallam terhadap umatnya dan beliau khawatir mereka terkena
‘adzab.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu
‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam: “Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari
kain, maka tempatnya adalah di neraka" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad,
‘Abdurrazaq, dan yang lainnya].
Kedua, pengingkaran Nabi shalallaahu
‘alaihi wasallam semata-mata karena melihat orang tersebut melakukan isbal,
tanpa membedakan apakah orang tersebut melakukannya dengan sombong atau tidak
sombong. Sombong adalah adalah amal hati yang tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Allah ta’ala.
Ketiga, shahabat Nabi shalallaahu
‘alaihi wasallam tersebut melakukan isbal bukan karena sombong, namun
karena cacat pada kakinya. Akan tetapi beliau tetap memerintahkan mengangkat
kain yang dipakainya.
Keempat, isbal termasuk masalah yang harus diingkari sebagai
pelaksanaan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
Dari Abu Sa’iid: Aku mendengar Rasulullah shalallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Barangsiapa yang
melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka
rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan
hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman”.
Kelima, Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam bersegera dalam merubah
kemunkaran.
Keenam, As-Salafush-shaalih bersegera dalam memenuhi perintah Allah
dan Rasul-Nya. Hal itu ditunjukkan oleh persaksian perawi: “Maka
orang tersebut tidak pernah terlihat sejak itu melainkan kain sarungnya
hanya sampai pertengahan betisnya...”. Yaitu, sejak ditegur oleh beliau
shalallaahu ’alaihi wasallam. Mereka takut akan ancaman yang difirman Allah
ta’ala:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” [QS. An-Nuur: 63].
Ketujuh, Tsabat (tetap) dalam sunnah hingga meninggal dunia. Hal itu
ditunjukkan oleh persaksian perawi: “Maka orang tersebut tidak pernah terlihat
sejak itu melainkan kain sarungnya hanya sampai pertengahan betisnya hingga ia
meninggal dunia”.
Kedelapan, Berhias tidak boleh menyalahi perintah Allah ta’ala.
Kesembilan, Setiap ciptaan Allah ta’ala itu indah.
Tidak ada ruang untuk mengatakan dalam hadits ini bahwa isbal
diperbolehkan asalkan tidak sombong.
Inilah ringkasan faedah yang sempat terekam di memori dan
catatan dari penjelasan Ustadzuna Yazid Jawas -semoga Allah senantiasa menjaga
beliau- pada hari Ahad, 25 April 2010 pukul 10.00 -adzan Dhuhur di Masjid Imam
Ahmad bin Hanbal, Bogor- dengan beberapa keterangan tambahan dari Abul-Jauzaa’
(Ustadz Doni Arif Wibowo).
Wallahu a’lam bish-shawwaab.
Saya kutib dari catatan Ustadz Doni Arif Wibowo
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih