yesatkan
sesama muslim dengan cap ahli bid'ah, takfiri dan tuduhan lainnya. Seolah-olah
kaum Wahabi ini tidak layak tinggal di Republik Indonesia yang kita cintai.
Padahal ajaran Wahabisme atau yang sering disebut Salafisme/ Salafi-Wahabi
tidak lain hanya ingin mengajarkan semangat Purifikasi Agama. Mengajarkan
Tauhid yang lurus yang menghindarkan manusia dari penghambaan kepada sesama
makhluk.
Barangkali kita lupa akan sejarah
Bangsa, atau kita yang malas membaca. Kaum Wahabi ikut serta dalam memerdekakan
Bangsa ini dari Penjajahan Kolonial Belanda, baik jaman pra-kemerdekaan maupun
pasca-kemerdekaan. Tidak usahlah kita sebut siapa-siapanya, karena buku-buku
sejarah sudah menuliskannya. Tinggal kita mau membacanya atau tidak.
Saya hanya ingin sedikit bercerita,
tentang sosok Pahlawan Bangsa yang terkenal dengan Mosi Integralnya yang
berhasil menyatukan kembali keseluruhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia setelah dipecah belah oleh Belanda. Beliau adalah Mohammad Natsir
-rahimahullahu ta'ala rahmatan wasi'atan-, Natsir muda belajar Agama kepada
Ustadz A. Hassan -rahimahullahu ta'ala rahmatan wasi'atan- salah satu Ulama'
Reformis di Indonesia. Pemikiran dan ajaran keislaman A. Hassan tertancap kuat
didada Natsir. A. Hassan yang lancar berbahasa Arab dan Inggris itu, bersama
para pendiri Persis, memang memelopori pendekatan baru dalam Agama. Dia
melarang taqlid (membebek) pada pendapat Ulama', menghilangkan batas-batas
madzab yang membelenggu dan juga banyak mengkritik kaum 'Alawiyyin yang selalu
meminta kedudukan lebih tinggi dalam urusan Agama. Ajaran-ajaran A. Hassan ini
sangat mencerahkan bagi Natsir, sampai-sampai beliau memutuskan untuk melempar
kuliah hukum. Padahal menjadi ahli hukum adalah cita-cita Natsir. Saking
kuatnya pengaruh A. Hassan dalam diri Natsir, beliau tuangkan dalam salah satu
surat kepada anaknya, “Percakapan dan pertukar pikiran dengan Tuan
A. Hassan itu banyak sekali pengaruhnya bagi jiwa dan arah hidup Abah
selanjutnya. Sudah tentu yang dibicarakan soal agama. Dicampur dengan soal
politik, soal pergerakan kemerdekaan.”
Kita bisa simpulkan bahwa ajaran Guru
Agama Natsir ini dalam kacamata lawan-lawan politiknya pasti akan disebut
ajaran Wahabi. Namun, apakah beliau mengajarkan pengrusakan dan pemecah belah
persatuan ummat dan bangsa? Tentu tidak, beliau hanya mengajarkan pentingnya
ummat akan kesadaran kembali kepada ajaran Islam yang murni yang bebas dari
Takhayul, Bid'ah dan Khurafat.
Semangat pembelaan Natsir terhadap
ajaran Islam salah satunya lewat tulisan. Beliau menggagas Madjallah Comitte
"Pembela Islam". Natsir bahkan sempat mengkritik dengan keras kaum bid'ah
dalam pergerakan. Menurut dia, kaum bid'ah adalah mereka yang suka mengadakan
kegiatan maulud, pesta besar khatam Qur'an anak-anaknya, dan pesta perkawinan
yang berlebihan. Natsir menganggap kaum bid'ah banyak bergabung dalam Partai
Syarekat Islam Indonesia. Dalam tulisan di Pembela Islam edisi 62 misalnya: “kalaoe
pergerakan politiek Islam membenarkan kaoem ahli bid'ah masuk djadi anggotanja,
apakah beda pergerakan politik Islam ini dengan partij politik jang berasas
kebangsaan jang menerima anggotanja dari orang-orang Islam tjap 'hanja bibir'?”
Itu semua merupakan secuil dari salah
satu kisah kaum Islamiyyin pemersatu bangsa. Menyebut bid'ah terhadap sebuah
amalan dan menyebut ahli bid'ah secara umum sudah mereka lakukan hampir satu
abad yang lalu sebagai bentuk kritik dan pembelaan terhadap Islam. Oleh karena
itu, tidak usahlah kita alergi dengan istilah bid'ah dan ahli bid'ah, yang
ujung-ujungnya akan ditelikung ke isu Wahabi pemecah belah ummat dan bangsa.
Bagi yang gemar mencap bahwa ajaran Purifikasi (Wahabi) adalah pemecah belah
ummat dan bangsa silakan baca sejarah Mosi Integral dari seorang Natsir, yang
corak keislamannya moderat sekaligus puritan yang identik dengan Wahabisme.
Beliaulah yang menggagas bersatunya kembali wilayah-wilayah Republik setelah
dipecah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 15 Agustus 1950,
Presiden Soekarno membacakan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan dalam sidang
bersama parlemen dan senat Republik Indonesia Serikat. Dua hari kemudian, saat
perayaan ulang tahun kelima proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno
mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Momen bersejarah itu
dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia. Dan Mohammad Natsir patut
dicatut sebagai sang arsitek utama.
Jikalau yang dimaksud Wahabi itu adalah
sebuah manifestasi gerakan keislaman dengan semangat pembaharuan dan melawan
segala jenis bid'ah dan macam-macamnya, dan corak keislaman Mohammad Natsir
adalah demikian. Maka, kesimpulannya Wahabi adalah sebagai Pemersatu Republik.
Titik.
Untuk lebih memuaskan kita tentang
permasalahan dan pembahasan bid'ah, mari kita sama-sama mencari dan membaca
tulisan Prof. Tengku Hasbi Ash Shiddiqie tentang macam-macam bid'ah dan
pembahasannya yang ditulis sekitar tahun 1939. Juga buku yang ditulis KH.
Moenawar Chalil berjudul Kembali Kepada Al Qur-an dan As-Sunnah yang terbit
pertama kali sekitar tahun 1956. Juga buku-buku dan tulisan Buya Hamka dan A.
Hassan. Ingat kata Bung Karno, "Jasmerah!"
Saya kutib dari tulisan Ustadz Muhammad Fikri Hidayatullah
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih