Kamis, 19 Juni 2014

Larangan Mengambil Ilmu Dari Ahli Bid'ah


Diriwayatkan dari Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya salah satu tanda dekatnya hari Kiamat adalah ilmu diambil dari kaum ashaaghir (ahli bid'ah) *.”
[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (61), dari jalur tersebut al-Lalika-i meriwayatkannya dalam kitab Syarah Usbuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (102), ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XXII/908 dan 299), al-Harawi dalam kitab Dzammul Kalaam (11/137), al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/79), Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab Jaami’ Bayaanil 'llm (1052) dan lainnya dari jalur Ibnu Luhai'ah, dari Bakr bin Sawadah, dari Abu Umayyah. Saya (Syaikh Salim) katakan: "Sanadnya shahih shahih, karena riwayat al-'Abadillah dari Ibnu Luhai'ah adalah riwayat shahih. Adapun perkataan al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaa-id (I/1365) yang mendha'ifkan Ibnu Luhai'ah tidaklah tepat."]
* Ibnul Mubarak berkata dalam kitab az-Zuhd (hal. 21 dan 281): "Yang dimaksud kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah."
Ditambah lagi Ibnu Luhai'ah tidak tersendiri dalam meriwayatkan hadits ini, ia telah diikuti oleh Sa'id bin Abi Ayyub yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' (I/137). Sa'id adalah perawi tsiqah.

Ada dua penyerta lain lagi bagi hadits ini:
Pertama: Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata:
"Manusia senantiasa shalih dan berpegang kepada yang baik selama ilmu datang kepada mereka dari Sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari orang-orang yang berilmu dari mereka. Jika ilmu datang kepada mereka dari kaum ashaaghir maka mereka akan binasa."
[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak (815), 'Abdurrazaq (XI/246), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (VIII/49) dan al-Lalikai dalam Syarh Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (101)]. Saya katakan: "Sanad hadits tersebut shahih."

Kedua: Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
 "Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama generasi pertama masih tersisa dan generasi berikut menimba ilmu dari mereka. Jika generasi pertama telah berlalu sebelum generasi berikut menimba ilmu dari mereka, maka manusia akan binasa."
[Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/78-79) dan Ahmad dalam kitab az-Zuhd (hal. 189) melalui dua jalur dari Salman.

Kedua hadits ini memiliki hukum marfu', sebab perkara di atas termasuk salah satu tanda hari Kiamat yang tidak dapat dikatakan atas dasar logika dan ijtihad. Wallahu a'lam.

Kandungan Bab:
1.     Kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu yang berani mengeluarkan fatwa meski mereka tidak memiliki ilmu. Hal ini telah diisyaratkan dalam hadits yang berbicara tentang terangkatnya ilmu.
2.      Ulama adalah kaum Akaabir meskipun usia mereka muda. Ibnu 'Abdil Barr berkata dalam kitab Jaami'Bayaanil’llm, "Orang jahil itu kecil, meskipun usianya tua. Orang alim itu besar meskipun usianya muda." Lalu ia membawakan sebuah sya'ir, "Tuntutlah ilmu, karena tidak ada seorangpun yang lahir langsung jadi ulama. Sesungguhnya orang alim tidaklah sama dengan orang jahil. Sesepuh satu kaum yang tidak punya ilmu Akan menjadi kecil bila orang-orang melihat kepadanya."
3.   Ilmu adalah yang bersumber dari Sahabat radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka. Itulah ilmu yang berguna. Jika tidak demikian, maka pemiliknya akan binasa karenanya. Dan pemiliknya tidak akan menjadi imam, tidak menjadi orang dipercaya dan diridhai.
4.     Para penuntut ilmu harus mengambil ilmu dari orang-orang yang bertakwa, shalih dan mengikuti Salafush Shalih. Sebab, keberkatan selalu bersama mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Keberkahan selalu bersama kaum akaabir (ahli ilmu) kalian." [HR Ibnu Hibban (955), al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (36-37), al-Hakim (I/62), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VIII/171-172), al-Khathib al-Baghdadi dalam Taarikh Baghdaad (XI/165), al-Bazzar dalam Musnadnya (1957) dan lainnya melalui beberapa jalur dari 'Abdullah bin al-Mubarak, dari Khalid al-Hadzdza', dari 'Ikrimah, dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu. Saya katakan: "Sanadnya shahih].
5.     Ulama Salaf terdahulu telah mengisyaratkan keterangan ini yang dapat menyelamatkan kita dari kejahilan dan menjaga kita dari kesesatan.

Seorang tabi'in yang mulia, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu..!" [HR Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/14) dengan sanad shahih].
Sebab, ilmu ini hanya dibawa oleh orang-orang yang terpercaya, maka selayaknya diambil dari mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Musa 'lsa bin Shabih, Telah diriwayatkan sebuah hadits shahih dari Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan kaum yang melampaui batas, takwil orang-orang jahil dan pemalsuan ahli bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu." (Al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' [1/129]).
Oleh karena itu pula harus dibedakan antara ulama Ahlus Sunnah dengan ahli bid'ah, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Muhammad bin Siirin rahimahullah:
"Dahulu, orang-orang tidak bertanya tentang sanad. Namun setelah terjadi fitnah (munculnya bid'ah), mereka berkata, 'Sebutkanlah perawi-perawi kalian!' Jika perawi tersebut Ahlus Sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Dan jika ahli bid'ah, maka tidak akan mereka ambil haditsnya." [HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/15) dengan sanad shahih].
Demikian pula harus dilihat spesialisasi tiap-tiap orang dan mengambil pendapatnya dalam bidang yang sudah menjadi spesialisasinya. Sebab setiap ilmu memiliki tokoh-tokoh tersendiri, mereka dikenal dengan ilmu tersebut dan ilmu tersebut dapat diketahui melalui mereka.
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:
"Sesungguhnya, ilmu ini adalah agama, maka periksalah dari siapa engkau mengambil ajaran agamamu. Aku sudah bertemu tujuh puluh orang yang mengatakan, fulan berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaiahi wa sallam bersabda di tiang masjid ini -beliau menunjuk Masjid Nabawi namun aku tidak mengambil satu pun hadits dari mereka.- Sesungguhnya, ada beberapa orang dari mereka yang apabila diberi amanat harta, maka ia akan memelihara amanat tersebut. Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam bidang ini. Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin Syihab pernah datang ke sini, lalu mereka berkerumun di depan pintunya." [Lihat kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/98)].
Para ahli ilmu telah mengingatkan hal ini dalam tulisan-tulisan mereka. Tujuannya untuk melindungi generasi mendatang agar tidak terpengaruh oleh klaim-klaim dari orang-orang yang bertambah subur tanaman mereka di tanah yang tandus. Yakni orang-orang yang ingin mencuat sebelum matang, ingin muncul sebelum tiba waktunya..!
Mereka berkoar-koar di majelis-majelis ilmu, sibuk mengeluarkan fatwa dan sibuk mengarang buku. Mereka mendesak naik ke puncak yang telah ditempati oleh para ulama terlebih dulu. Mereka menempatinya untuk merubuhkan batas-batas pemisahnya dan mengurai jalinannya.
Aksi mereka bertambah gila lagi dengan berdatangannya orang-orang awam dan orang-orang yang setipe dengannya ke majelis-majelis mereka dengan perasaan takjub, amat girang menyimak cerita-cerita kosong mereka.
Al-Khathib al-Baghdaadi berkata dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/960), "Seorang penuntut ilmu seharusnya menimba ilmu dari ahli fiqih yang terkenal kuat memegang agama, dikenal shalih dan menjaga kesucian diri."
Kemudian ia mengatakan: "Dan hendaknya ia juga harus menghiasi diri dengan etika-etika ilmu, seperti sabar, santun, tawadhu' terhadap sesama penuntut ilmu, bersikap lembut kepada sesama, rendah hati, penuh toleransi kepada teman, mengatakan yang benar, memberi nasihat kepada orang lain dan sifat-sifat terpuji lainnya."
Dalam kitabnya yang langka, yakni al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami' (1/126-127), beliau telah menulis beberapa pasal. Kami akan menyebutkan inti dari pasal-pasal tersebut:
1.    Tingkatan keilmuan para perawi tidaklah sama, harus didahulukan mendengar riwayat dari perawi yang memiliki sanad 'Ali (lebih dekat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika sanad para perawi tersebut sama dalam hal ini, sedang ia ingin mengambil sebagian saja dari sanad-sanad tersebut, maka hendaklah ia memilih perawi yang lebih populer dalam bidang hadits, yang dikenal ahli dan menguasai ilmu ini.
2.        Jika para perawi tersebut juga sama dalam kedua hal tersebut, maka hendaklah memilih perawi yang memiliki nasab dan silsilah yang lebih mulia. Riwayatnyalah yang lebih layak disimak.
3.   Hal itu semua berlaku bila para perawi itu telah memenuhi kriteria lain, seperti istiqamah di atas manhaj Salafush Shalih, terpercaya dan terhindar dari bid'ah. Adapun perawi yang tidak memenuhi kriteria di atas, maka harus dijauhi dan jangan menyimak riwayat darinya.
4.     Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mendengar riwayat dari perawi yang telah terbukti kefasikannya. Seorang perawi dapat disebut fasik karena banyak perkara, tidak hanya karena perkara yang berkaitan dengan hadits. Adapun yang berkaitan dengan hadits misalnya memalsukan matan hadits atas nama Rasulullah saw. atau membuat-buat sanad-sanad atau matan-matan palsu. Bahkan katanya, alasan diadakannya pemeriksaan terhadap para perawi awalnya adalah disebabkan perkara di atas.
5.    Di antara para perawi itu ada yang mengaku telah mendengar dari syaikh yang belum pernah ditemuinya. Karena itulah para ulama mencatat tarikh kelahiran dan kematian para perawi. Ditemukanlah riwayat-riwayat sejumlah perawi dari syaikh-syaikh yang tidak mungkin bertemu dengan mereka karena keterpautan usia yang sangat jauh.
6.   Ulama ahli hadits juga menyebutkan sifat-sifat ulama dan kriteria mereka. Dengan demikian banyak sekali terbongkar kedok sejumlah perawi.
7.    Jika perawi tersebut terlepas dari tuduhan memalsukan hadits, terlepas dari tuduhan meriwayatkan hadits dari syaikh yang belum pernah ditemuinya dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat menjatuhkan kehormatannya, hanya saja ia tidak memiliki kitab riwayat yang didengarnya itu dan hanya beipatokan kepada hafalannya dalam menyampaikan hadits, maka tidak boleh mengambil haditsnya hingga para ulama ahli hadits merekomendasikannya dan menyatakan ia termasuk dalam deretan penuntut ilmu yang memiliki perhatian kepada ilmu, memelihara dan menghafalnya dan telah diuji kualitas hafalannya dengan mengajukan hadits-hadits yang terbolak-balik kepadanya.

Jika perawi itu termasuk pengikut hawa nafsu dan pengikut madzhab yang menyelisihi kebenaran, maka tidak boleh mendengar riwayatnya, meskipun ia dikenal memiliki banyak ilmu dan kuat hafalannya.
Seorang penuntut ilmu syar'i harus mengetahui hakikat sebenarnya. la harus tahu dari siapa ia mengambil ajaran agamanya. Janganlah ia mengambil ilmu dari ahli bid'ah, karena mereka akan membuatnya sesat sedang ia tidak menyadarinya.
(Disalin dari kitab Ensiklopedi Larangan Jilid I, cet.Kedua, Muharram 1426 H/Februari 2005 M, hal. 219-224, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah)

Semoga bermanfaat...

Saya kutib dari catatan akhi Abu Muhammad Herman

Minggu, 08 Juni 2014

Mengobati Penyakit Gay Dan Homoseksual (Syariat Dan Medis)


Sebagian orang heran dan bisa jadi agak risih dengan orang yang mendapat ujian tertimpa penyakit seperti ini. Betapa tidak, wanita diciptakan begitu indah di mata laki-laki mengalahkan segala bentuk pemandangan dan panorama indah di dunia akan tetapi ia lebih condong kepada sejenis dan berpaling dari wanita? Begitu juga dengan wanita yang sejatinya haus akan kasih sayang dan belaian laki-laki tetapi mereka lebih condong terhadap sejenis (homoseksual-lesbian).
Penderita penyakit ini juga terkadang heran dengan diri mereka sendiri. Terkadang mereka menikmati penyakit ini tetapi ada juga yang tersiksa, ingin sembuh tetapi tidak bisa, ingin konsultasi dan berterus terang tetapi malu. Khususnya kaum laki-laki yang menjadi gay (homoseksual) lebih susah terapinya, wanita lebih mudah sembuh karena dilihat dari penyebabnya.umumnya wanita menjadi lesbian karena kurang perhatian dari laki-laki. Sebagaimana kaum wanita nabi Luth ‘alaihissalam yang menjadi lesbian karena kaum laki-laki mereka sudah menjadi homoseks dan berpaling dari wanita mereka.

Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya
Penderita penyakit ini perlu menanmkan keyakinan dengan kuat mereka pasti bisa sembuh. Terkadang mereka putus asa, karena laki-laki tentu lebih banyak bergaul dengan laki-laki misalnya di ruang ganti, kamar mandi. Mereka lebih mudah terpapar dan terfitnah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
“Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)
Penyebab Penyakit Ini
Dalam ilmu psikologi, penyebab mejadi gay secara umum ada dua:
1.   Trauma Masa Kecil.
Ketika kecil pernah mendapatkan perilaku kekerasaan atau pelecehan seksual sejenis. Maka akan bisa memperngaruhi pola pikir dan orientasi seksual ketika dewasa.
Misalnya ketika kecil ia pernah di sodomi oleh kakaknya atau pamannya
2.   Menjadi Gay Karena Pelarian
Lari dari suatu masalah, misalnya seroang laki-laki pernah ditolak 7 kali oleh seorang gadis atau beberapa gadis menolaknya, atau putus dari kekasih yang sangat ia cintai. Ketika ia perlahan-lahan menjadi gay, ia merasakan kenyaman dan kebahagiaan sehingga ia benar-benar memutuskan menjadi seorang gay.

Terapi Psikologi Kedokteran
Adapun terapi secara psikologi dan kedokteran maka bisa ditempuh beberapa cara berikut:
1.   Menjauhi segala macam yang berkaitan dengan gay (homoseksual) misalnya teman, klub, aksesoris, bacaan dan segalanya. Ini adalah salah satu faktor terbesar yang bisa membantu.
2.   Merenungi bahwa gay masih belum diterima oleh masyarakat (terutama di indonesia), masih ada juga yang merasa jijik dengan gay. Terus menanamkan pikiran bahwa gay adalah penyakit yang harus disembuhkan.
3.   Terapi Sugesti
Misalnya mengucapkan dengan suara agak keras (di saat sendiri):
“saya bukan gay”
“gay menjijikkan”
“saya suka perempuan”
Bisa juga dengan menulis di kertas dengan jumlah yang banyak dan berulang, misalnya 1000 kali.
4.   Berusaha Melakukan Kegiatan Dan Aktifitas Khas Laki-laki
Misalnya olahraga karate atau bergabung dengan komunitas kegiatan laki-laki.
5.   Terapi Hormon
Jika diperlukan dengan bimbingan dokter bisa dilakukan terpai hormon secara berkala untuk lebih bisa menimbulkan sifat laki-laki.
6.   Menjauhi Bergaul Dengan Laki-laki Yang Menarik Hati
Dan Yang Paling terpenting adalah dukungan semua pihak, keterbukaan dan menerima masukan. Jangan sampai ada yang mencela didepanya atau mengejek perjuangannya dalam emngobati penyakit ini.

Bimbingan Islam dalam hal ini
Adapun bimbingan agama Islam yang sempurna dalam hal ini, maka beberapa hal ini perlu direnungi:
1.   Tulus dan bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah memohon kesembuhan, karena setiap penyakit pasti ada obatnya. Berdoa di waktu dan tempat yang mustajab serta tidak mudah putus asa.
“Doa kalian pasti akan dikabulkan, selama ia tidak terburu-buru, yaitu dengan berkata: aku telah berdoa, akan tetapi tidak kunjung dikabulkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
2.   Segera Bertaubat kepada Allah
Karena segala sesuatu yang terjadi pada kita adalah akibat perbuatan dan kesalahan kita. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri.” (QS As Syura: 30).
3.   Menyadari bahwa gay (homoseksual) adalah dosa besar dan dilaknat pelakunya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu sedang kamu melihat(nya). Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan mendatangi wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak dapat mengetahui (akibat perbuatanmu).” ( QS An-Naml:54-55)
4.   Menjauhi segala sesuatu yang berkaitan dengan gay atau membuatnya menjadi kewanita-wanitaan atau menyerupai wanita.
Sebagaimana dalam hadits:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknati lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki, dan beliau bersabda: Usirlah mereka dari rumah-rumah kalian.” (Muttafaqun ’alaih)
5.   Jangan sering menyendiri, minta dukungan keluarga dan orang terdekat serta tetap bergaul dengan masyararat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya syetan itu bersama orang yang menyendiri, sedangkan ia akan menjauh dari dua orang.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
6.   Menjauhi makanan yang haram
Karena makanan bisa berpengaruh terhadap sifat manusia. Sebagaimana perkataan Ibnu Sirin: “Tidaklah ada binatang yang melakukan perilaku kaum Nabi Luth selain babi dan keledai.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad Dunya dalam kitab Zammul Malaahy)


Saya kutib dari tulisan dokter Raehanul Bahraen

Nasehat Syaikh Muhammad Hasan Dedew Asy-Syinqithi


Masalah: Adalah seorang pemuda yang multazim (berpegang teguh dengan ajaran-ajaran syar’i) akan tetapi kiranya para sahabatnya mencelanya dan menyakitinya karena dia meninggalkan berbagai keharaman. Apa nasehatmu dalam hal ini?
Nasehat Syaikh: “Sesungguhnya seorang anak manusia apabila dia menjalani jalan surga, jalan yang lurus adalah suatu kemestian dia akan mendapati kesukaran dan kesulitan, karena itulah nasehat Waraqah bin Naufal kepada Rasulullah: “Sesungguhnya tidaklah datang seorang pun dengan membawa seperti yang engkau bawa kecuali dia akan dimusuhi, jikalau aku menemui masamu itu aku akan membelamu dengan pembelaan yang tangguh”.
Karena itu jika engkau mendapatkan kesukaran itu yang berasal karena engkau berpegang terhadap pondasi agama maka pujilah Allah dikarenakan hal itu, sebab itu menunjukkan tingkatan imanmu. Allah Ta’ala telah menjelaskan:
“Maka Tuhan mereka telah memperkenankan buat mereka bahwa sesungguhnya Aku tak akan mensia-siakan perbuatan orang yang beramal di antara kalian baik dari laki-laki ataupun wanita, sebagian kalian dari sebagiannya. Maka orang-orang yang berhijrah, yang dikeluarkan paksa dari rumah-rumah mereka, disakiti di jalanku, dan mereka berperang serta dibunuh sungguh telah aku tebus semua kesalahan mereka”.
Maka barangsiapa yang disakiti ketika dia berada di jalan Allah, sungguh dia telah mencapai suatu tingkatan keimanan dari jenjang-jenjang keimanan. Karena ini pula Imam Malik ketika di hukum cambuk berucap: “Aku memuji kepada Allah ketika aku di cambuk ini sebagaimana Muhammad bin Al-munkadir, Rabi’ah bin Abdurrahman juga telah dicambuk, dan tak ada kebaikan dalam perkara ini jika orang tersebut tidak dicambuk”.
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
“Tak ada kebaikan jika seseorang berada dalam perkara ini (berpegang teguh pada ajaran syar’i) jika dia tidak disakiti.
Karena itu bagi pemuda itu jika sahabat-sahabatnya menyakitinya serta berbicara buruk tentangnya, ketahuilah itulah sunnah yang berlaku di antara manusia, mereka menyakiti para Nabi, para Shalihin dan orang-orang yang istiqomah dulu, maka janganlah dia merasa sempit hastanya sebab hal itu, bahkan semestinya dia memuji Allah dan meyakini bahwa apa yang terjadi adalah salah satu pertanda di antara tanda dia telah menjalani jalan hidayah dan jalan kebenaran.
(Demikian Jawaban Syaikh Muhammad Hasan)


Penulis Akhi Habibi Ihsan

Sabtu, 07 Juni 2014

Dalil Anjuran Makan Buah Sebelum Makanan Utama


Mungkin telah tersebar informasi adanya anjuran makan buah sebelum makan utama. Dan ini dinisbatkan kepada Islam atau ini adalah anjuran agama islam. Ternyata ini bukan HOAX dan ada beberapa ulama yang berpendapat demikian, diantaranya Imam An-Nawawi rahimahullah.
Memang benar secara kesehatan dianjurkan makan buah sebelum makan utama, karena lebih memudahkan penyerapan buah dan gizi yang terkandung di dalamnya dan tidak bersaing dengan penyerapan makanan utama serta bisa juga meningkatkan kadar glukosa darah. Akan tetapi ini efektif Jika Makan Buah 30 Menit Sampai 2 Jam Sebelum Makan Atau 1-2 Jam Setelah Makan.
Jika makan buah dulu, baru tidak berselang lama, langsung makan besar tanpa jarak waktu minimal 30 menit. Maka ini sama saja dengan makan buah setelah makan, buah akan bersaing penyerapan dengan makanan utama. Akan tetapi ada juga yang mengatakan, walaupun tidak 30 menit, minimal pencernaannya lebih utama buah dan lebih maksimal.
Terlepas dari pembahasan dari segi kesehatan, tetap saja kita harus menghormati saudara kita yang berpegang dengan pendapat ulama bahwa di antara adab makan adalah mendahulukan buah baru makan besar/pokok.
Berikut pembahasannya:

Dalil Makan Buah Sebelum Makanan Utama
Di antara dalilnya adalah surat Al-Waqi’ah, Allah ta’ala berfirman:

7pygÅ3»sùur $£JÏiB šcr玨ytGtƒ ÇËÉÈ   ÉOøtm:ur 9ŽösÛ $£JÏiB tbqåktJô±o ÇËÊÈ  

(20) dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, (21) dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. (QS Al-Waqi’ah: 20-21)
Di antara ulama ada yang berdalil bahwa Allah menyebut buah dahulu baru daging sebagai dalil anjuran dalam islam, makan buah dahulu baru makanan utama.
 Al-Gazali rahimahullah berkata:
“Dianjurkan mendahulukan makan buah jika karena sesuai dengan ilmu kedokteran yaitu lebih cepat dicerna maka lebih baik buah lebih bawah (dalam perut) daripada hidangan (makanan pokok). Dalam Al-Quran ada peringatan untuk mendahulukan makan buah yaitu dalam firman Allah: ”Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan”.

Akan tetapi ada ulama yang TIDAK SETUJU dengan pendalilan seperti ini akan tetapi membenarkan bahwa adab makan mendahulukan buah dari makanan utama.
Syaikh Shalih Al-Munajjid hafidzahullah berkata:
“Yaitu mendahulukan buah daripada makanan utama lebih baik karena lebih cepat dicerna. Sebagian (ulama) berdalil dengan firman Allah pada jamuan penduduk surga dan mereka mendahulukan buah dari makanan utama.
Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginka
Akan tetapi ini tidaklah menjadi dalil, semata-mata menyebut sebagai ma’tuf (urutan) tidaklah menjadi dalil untuk mendahulukan buah. Kemudian (yang menjadi alasan juga) keadaan di surga berbeda dengan di dunia, sama saja mendahulukan buah sebelum makan atau makan sesudahnya, maka perkaranya lapang.”
Akan tetapi ada dalil yang lainya sebagaimna disebutkan oleh Imam AN-Nawawi rahimahullah:
 “Imam An-nawawi telah menyebutkan ketika menjelaskan hadits Abi Al-Haitsam bin Thihan tatkala ia datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan ada Abu Bakar dan Umar. Ia membawa wadah yang berisi kurma basah dan kurma kering, kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata:
‘makanlah ini (kurma), kemudian mengambil hidangan dan kemudian pergi
Imam AN-Nawawi menjelaskan bahwa hadits ini sebagai dalil dianjurkannya mendahulukan makan buah, baru kemudian roti, daging dan makanan pokok lainnya.

Demikian semoga kita bisa bijak menyikapi hal ini dan menghormati saudara kita yang mengambil pendapat ulama yang berdalil dengan hal ini.
Demikian semoga bermanfaat

Saya kutib dari tulisan dokter Raehanul Bahraen

 
Back To Top