Minggu, 23 Februari 2014

Seni Berdakwah di Dunia Maya


Berdakwah merupakan perkataan yang paling mulia sebagaimana firman-Nya :

"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri." (QS Fushilat: 33)

Dan walhamdulillah dibandingkan di dunia nyata, dakwah di dunia maya mempunyai beberapa kelebihan :

1.   Murah, tidak mengeluarkan ongkos transportasi dan lain-lain kecuali untuk berlangganan internetnya.

2.   Lintas Waktu, artikel atau posting seseorang bisa dibaca kapan saja.

3.   Tanpa beban perasaan, berbeda dengan dakwah di mimbar yang mungkin ada resiko yang berbeda.

4.   Lintas benua, artikel dakwah kita bisa dinikmati hingga penjuru dunia.

Agar dakwah kita di dunia maya berhasil maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1.        Ikhlas antara pujian dan celaan
Yang paling penting sebelum berdakwah, adalah meluruskan niat karena Allah ta’ala, bahwa kita berdakwah untuk mewarnai bukan diwarnai. Termasuk juga jangan ikut-ikutan memberi laqab, jika dari komentar-komentar kita karena ketidak sukaannya ada yang memberikan panggilan yang buruk kepada kita. Bila mereka memberikan komentar "dasar wahabi', "dasar jenggot', biarkan saja karena hal tersebut biasa dalam dakwah. Dulu Rasulullah shallalalhu 'alaihi wasallam pun juga sering diberikan gelar-gelar yang buruk seperti tukang sihir atau orang gila.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :
"Beliau [rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam] tidak pernah membalas suatu kesalahan yang dilakukan orang kecuali bila keharaman-keharaman Allah 'azza wajalla dilanggar, beliau membalas karena Allah 'azza wajalla." [HR. Muslim no. 2328, ] dan dalam riwayat al-Bukhary no. 6786 : 
"Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena kepentingan pribadi, dan jika kehormatan Allah dilanggar, beliau marah karena Allah."
Allah Ta'ala berfirman :
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (QS. Fushilat : 34)
Ustadz Arifin Baderi mengisahkan ada orang yang selalu mencaci beliau, namun beliau bersabar menghadapinya dengan membalas "terima kasih telah mengunjungi FP atau postingan saya", karena orang yang selalu mencari kesempatan untuk mencaci dalam komentar-komentar sebenarnya dia rindu kepada kita, walhamdulillah, seiring berjalannya waktu, lama-lama, dari orang tersebut kemudian berubah, dari cacian sekarang menjadi memberikan pujian.
Termasuk tanda bila kita sudah keluar dari dakwah yang seharusnya, bila :
a.    Suka dengan pujian.
b.   Tujuannya sudah tidak lillah tapi ke-aku-an.
c.    Membalas makian dengan makian.
Orang yang ikhlas berdakwah karena Allah ta’ala, maka akan sama baginya antara dipuji atau pun dicaci. Ia tidak merasa untung dengan pujian atau pun rugi karena cacian. Ia tidak menanti pujian dan tidak gentar dengan makian. Bila kita tidak siap dimaki, maka jangan buka komentar, dikhawatirkan akan mengganggu keikhlasan.

2.        Kuasa Emosi Anda
Merupakan perkara yang susah dalam berdakwah, karena kita cenderung membalas dengan yang sama bahkan lebih.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :
"Sekelompok orang Yahudi datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu mereka mengucapkan; "As-Saamu 'alaika (Kebinasaan atasmu)." Beliau menjawab: 'Wa 'alaikum (Dan atas kalian juga).' Kemudian Aisyah berkata; 'As-Saamu 'alaikum wala'anakumullah wa ghadziba 'alaikum (Semoga kebinasaan atas kalian, dan laknat Allah serta murka Allah menimpa kalian).' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Pelan-pelan wahai Aisyah, hendaklah kamu berlemah lembut dan janganlah kamu kasar atau berkata keji.' Aku berkata; 'Apakah anda tidak mendengar apa yang diucapkan mereka? ' Beliau bersabda: 'Apakah kamu tidak mendengar ucapanku, sebenarnya aku tadi telah menjawabnya, maka do'aku atas mereka telah dikabulkan, sementara do'a mereka atasku tidak akan terkabulkan.' (HR. al-Bukhari no. 6401)
Perhatikan, bahwa Nabi shalallalhu 'alaihi wasallam membalasnya sekali dan sepadan, namun Aisyah radhiyallahu 'anha karena tidak bisa menguasai emosinya beliau membalas mendoakannya tiga kali. Padahal doa mereka (orang Yahudi) tidaklah dikabulkan, dan doa mukmin atas mereka dikabulkan. Dan pentingnya kelembutan dalam berdakwah bisa kita lihat di dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali membuatnya rusak.”  (HR. Muslim no. 2594)
Perhatikan bagaimana Ali bin Abi Thalib bersikap terhadap mereka yang memeranginya, dalam Mushonnaf Abdurrazzaq nomor 18656, dari Al-Hasan :
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu ditanya tentang al-haruriyah (khawarij), mereka bertanya, "Ya Amirul Mu'minin, apakah mereka itu orang-orang kafir?" Belia menjawab, "Mereka menjauhi kekufuran." Kemudian beliau ditanya, "Apakah mereka munafiq?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya orag munafiq itu tidak mengingat Allah kecuali sedikit, sedangkan mereka banyak mengingat Allah." Ditanyakan kembali, "Lalu siapakah mereka?" Beliau menjawab, "Mereka kaum yang terjerumus dalam fitnah, sehingga mereka itu tuli dan buta."
Di riwayat lain, ketika ditanya tentang yang memeranginya di perang Jamal, Ali radhiyallahu 'anhu berkata :
"Mereka masih saudara kita yang bertindak zhalim terhadap kita." [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/535]
Termasuk menguasai emosi adalah kita tidak melayani komentar-komentar ahlul bid'ah dan orang jahil. Termasuk kebodohan, jika kita akhirnya capek sendiri meladeni mereka terus menerus. Allah ta’ala berfirman :
"Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan." (QS al-Furqan: 63)

3.        Melakukan Hal 3 dan Menjauhi 3 Hal
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Tiga hal yang menyelamatkan : 
1.   Takut kepada Allah di saat sunyi dan ramai
2.   Berlaku adil di saat senang dan marah
3.   Sederhana di saat miskin dan kaya
dan tiga hal yang membinasakan :
1.   Hawa nafsu yang diikuti
2.   Bersikap kikir
3.   Membanggakan diri sendiri."  [Shahihul Jami' no. 3039]

4.        Persiapkan Baik-Baik
Persiapkan apa yang akan kita tulis, jangan asal tulis, jangan pernah menulis kecuali yang baik karena semuanya akann dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Azza wa Jalla. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika mengutus Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu ke Yaman, beliau bersabda :
"Engkau akan mendatangi kaum ahli kitab." (HR. al-Bukhori no. 4347)

5.        Kenali Sasaran Anda
Pertimbangkan dahulu siapa saja yang akan membaca artikel atau posting kita. Gunakanlah bahasa awam, bukan bahasa kajian. Jika bahasa kajian, maka hanya teman kita yang faham saja yang akan membacanya. Pertimbangkan juga efek dari tulisan kita, menimbulkan efek positifkah atau justru negatif. Juga hindari bahasa menyalahkan, sehingga timbul kesan "antum [kelompok antum] ini maunya benar sendiri.". Mendahulukan tarbiyah daripada tashfiyah. Ingat, bahwa status/artikel kita lebih mirip ibarat jala ketimbang pancing, yang semua ikan bisa masuk. Begitu juga yang membaca dakwah kita, dari orang yang masih jahil, hingga yang memusuhi dakwah.
Ali radhiyallahu 'anhu berkata :
"Berbicaralah dengan manusia sesuai dengan kadar pemahaman mereka, apakah kalian ingin jika Allah dan rasul-Nya didustakan?" [HR. al-Bukhori no. 127] 

6.        Waspadai Opini Publik
Mewaspadai opini publik terutama dari saudara-saudara kita yang belum memahami dakwah sehingga menimbulkan image yang buruk. Lihat opini yang timbul di luar, "Tuh sesama ustadz saling menghajr."
Lihat kisah yang diberitakan oleh sahabat Jabir radhiyallahu 'anhu, suatu ketika dalam satu peperangan -sekali waktu Sufyan mengatakan; Dalam suatu perkumpulan pasukan- tiba-tiba seorang laki-laki dari kalangan Anshar mendorong seseorang dari Anshar, maka sang Anshar pun menyeru, "Wahai orang-orang Anshar." Dan sang Muhajir pun berkata, "Wahai orang-orang Muhajirin." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mendengar hal itu, maka beliau bersabda: "Kenapa panggilan-panggilan Jahiliyyah itu masih saja kalian lestarikan?" para sahabat pun berkata, "Wahai Rasulullah, seorang laki-laki dari kalangan Muhajirin mendorong seorang dari Anshar." Akhirnya beliau bersabda: "Tinggalkanlah, karena hal itu adalah sesuatu yang busuk." Abdullah bin Ubbay yang mendengar hal itu berkata, "Lakukanlah hal itu. Demi Allah, jika kita kembali ke Madinah, niscaya orang-orang mulia akan mengusir orang-orang hina darinya." Berita ungkapan itu pun sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian Umar berdiri, "Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk menebas leher seorang munafik ini." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Biarkanlah ia, sehingga orang-orang tidak berkomentar bahwa Muhammad membunuh sahabatnya." (HR. al-Bukhori no. 4905, 4907, Muslim no. 2584)
Yang dimaksud manusia disini adalah orang-orang non muslim, karena di kalangan shahabat sendiri sudah mafhum bahwa Abdullah bin Ubbay adalah seorang munafik. Jadi yang dikhawatirkan adalah bagaimana opini dari Yahudi dan Nasrani seandainya Abdullah bin Ubay dibunuh... [Allahu a'lam]

7.        Hindari Umpatan dan Makian
Aisyah radhiyallahu 'anha menceritakan :
"Seorang laki-laki meminta izin kepada Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam, beliau lalu bersabda: "Izinkanlah dia masuk, amat buruklah saudara 'Asyirah (maksudnya kabilah) ini atau amat buruklah Ibnul Asyirah (maksudnya kabilah) ini." Ketika orang itu duduk, beliau berbicara kepadanya dengan suara yang lembut, lalu aku bertanya; "Wahai Rasulullah, anda berkata seperti ini dan ini, namun setelah itu anda berbicara dengannya dengan suara yang lembut, Maka beliau bersabda: "Wahai 'A`isyah, sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena takut akan kekejiannya." [HR. al-Bukhori no. 6131, Muslim no. 2591]

8.        Awas! Jangan Kacaukan Dakwah
Hindari bahasa menyerang, karena akan berhadapan dengan saudara sendiri, dan itu akan merugikan dakwah. Jangan sampai update status kita justru membuat orang lari dari dakwah.
'Uqbah bin 'Amr radhiyallahu 'anhu berkata :
Seseorang mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata; Aku sengaja melambatkan diri pada shalat shubuh karena si fulan yang memperlama shalatnya bersama kami. Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam begitu marah seperti saat itu, beliau bersabda; "Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya diantara kalian ada yang membuat orang lari. Siapa saja diantara kalian yang mengimami shalat hendaklah mempercepat karena diantara mereka ada yang lemah, tua dan punya keperluan." [HR. Ahmad no. 22344, menurut syaikh al-Arnauth sanadnya shahih sesuai syarat asy-Syaikhani]

9.        Pahami Syari'at Targhib dan Tarhib
Proporsional dalam memotivasi (targhib) dan memberikan warning (tarhib), jangan langsung kita memberikan warning. 
Allah Ta'ala berfirman :
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa : 165)
Dalam tafsir ath-Thabari [juz 9 hal. 195] disebutkan  :
Seorang wanita datang kepada Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu 'anhu, dia bertanya perihal wanita berzina kemudian hamil lalu ia membunuh anak hasil zinanya. Abdullah bin Mughaffal menjawab, "Apa untuknya? Untuknya neraka!" Wanita tersebut segera berpaling sambil terisak-isak menangis. Maka Abdullah bin Mughaffal memanggilnya kembali seraya berkata, "Tidaklah aku melihat urusanmu kecuali salah satu dari dua hal : "Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (an-Nisa': 110) kemudian wanita tersebut mengusap matanya dan segera pergi.
Lihat juga hadits yang disampaikan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu :
"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menunggang kendaraan sementara Mu'adz membonceng di belakangnya. Beliau lalu bersabda: "Wahai Mu'adz bin Jabal!" Mu'adz menjawab: "Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu." Beliau memanggil kembali: "Wahai Mu'adz!" Mu'adz menjawab: "Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu." Hal itu hingga terulang tiga kali, beliau lantas bersabda: "Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, tulus dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya neraka." Mu'adz lalu bertanya: "Apakah boleh aku memberitahukan hal itu kepada orang, sehingga mereka bergembira dengannya?" Beliau menjawab: "Nanti mereka jadi malas (untuk beramal)." Mu'adz lalu menyampaikan hadits itu ketika dirinya akan meninggal karena takut dari dosa." (HR. al-Bukhori no. 128)
Semoga bermanfaat

Maraji :

a.    Makalah seminar dari ustadz M. Arifin Baderi [Seni Berdakwah di Dunia Maya]

b.   Catetan yang tidak lengkap dan ingatan yang mudah lupa.

c.    Maktabah Syamilah, ebook hadits, pustaka hadits 9 imam (lidwa)


Pemateri : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, MA

Penulis : Akhi Agung Supriyanto

Sabtu, 15 Februari 2014

Fadhilatus Syaikh Dr Muhammad bin Abdillah Al Habdan


MC: Apa Makna Iman Kepada Allah,..??

Syaikh: Maknanya, wahai saudaraku kaum muslim dan muslimah yaitu bahwa anda yakin kepada Allah, anda meyakini keberadaan Allah, anda meyakini rububiyah Allah, anda meyakini nama dan sifat-sifat Allah dan anda meyakini uluhiyah Allah,
maka, makna iman kepada Allah itu mencakup
1. Mengimani Keberadaan Allah
2. Mengimani Rububiyah Allah
3. Mengimani Uluhiyah Allah
4. Mengimani Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah
Jika terpebuhi 4 hal ini, sempurnalah makna iman dari seorang insan, inilah makna Iman Kepada Allah Ta'ala.

Banyak orang mengatakan: "Saya Beriman Kepada Allah", tapi jika ditanyakan: "Apa Makna Iman Kepada Allah..?", ia diam tidak tahu.
kita katakan, makna iman kepada Allah itu anda mengimani keberadaan Allah, anda mengimani rububiyah Allah, anda mengimani uluhiyah Allah dan anda juga mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah. Inilah makna Iman kepada Allah Ta'ala.

MC: Jadi 4 hal ini adalah kandungan makna Iman Kepada Allah, dan dikatakan beriman jika terpenuhi 4 hal ini..??

Syaikh: iya benar, sekarang jika sudah memahami makna iman kepada Allah itu mengandung 4 hal hal, maka 4 hal ini harus dipenuhi dalam beriman kepada Allah, jika hilang salah satu dari 4 perkara ini maka imannya telah cacat.

Sabtu, 08 Februari 2014

Adab-adab Menulis Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dalam Membuat Karya Tulis


Alhamdulillah, beberapa tahun ini dakwah dengan tulisan berkembang dengan pesat, karena didukung dengan internet dan situs jejaring sosial seperti facebook, twitter dan semisalnya. Tentunya menulis tidak lepas dari menulis hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu selayaknya kita mengetahui adab-adabnya baik menulis dengan tangan ataupun dengan ketikan di komputer.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahulahu dalam kitab mushtolah hadist membagi adab menulis hadist menjadi dua yaitu:
1.   Wajib
Yaitu menulis hadist  dengan tulisan yang jelas dan terang dan tidak menimbulkan kerancuan dan campur aduk.
DR. Mahmud Ath-Tohhan Hafidzohullah mengatakan:
“ Selayaknya bagi penulis hadist mencurahkan kesungguhannya dalam menulis harakat dan titik serta menjaganya dari campur-aduk [kerancuan]. Memberikan harakat terutama nama-nama karena tidak diketahui apa harakat sebelum maupun sesudahnya. Hendaklah menulis dengan tulisan yang jelas dan sesuai dengan kaidah penulisan pada umumnya. Dan hendaklah tidak membuat istilah sendiri dengan istilah khusus berupa singkatan yang tidak diketahui oleh orang banyak.” [Taisir Mustholah Hadist, hal 138, Darul Fikr]

2.   Sunnah
Yaitu hendaknya memperhatikan hal-hal berikut ini
a.    Jika menulis lafadz jalalah “Allah”, maka tulis setelahnya Ta’ala atau Azza wa Jalla atau subhanahu wa ta’ala atau yang lainnya dari kalimat pujian yang jelas tanpa menyingkatnya.
Maka hendaklah kita tidak menyingkat Subhanahu wa Ta’ala dengan “SWT” karena orang yang membacanya pun akan otomatis membaca “SWT” sehingga pujian kepada Allah tidak disebut dengan sempurna dan tidak tercapai.

b.   Jika menulis Nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tulis setelahnya “shallallahu ‘alaihi wa sallam” dengan jelas Tanpa Menyingkat.
Syaikh ibnu Utsaimin Rahimahulahu ketika ditanya tentang menyingkat “shallallahu ‘alaihi wa sallam” dengan huruf [ص], beliau menjawab: “Hendaklah tidak menyingkatnya dengan huruf [ص], dan tidak menulisnya dengan singkatan [صلعم], tidak diragukan lagi bahwa bahwasannya penulisan simbol atau singkatan akan menyebabkan seseorang luput dari pahala bershalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Apabila ia menulis kalimat shalawat dan kemudian ada orang yang membaca tulisan tersebut, maka Penulis pertama akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang membacanya. Tidaklah samar bagi kita apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara shahih:
“Barangsiapa yang bershalawat kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali”. [HR. Muslim no. 384, Abu Dawud no. 523, dan An-Nasa’i no. 678] [Kitabul ‘ilmi hal.131, Darul Itqon]

Hukumnya makruh
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulahu menukil perkataan Al-‘iroqi rahimahullahu,
Dimakruhkan membuat simbol shalawat terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam tulisan dengan menyingkatnya menjadi dua huruf atau sejenisnya. Di makruhkan menghapus salah satunya, shalawat atau salam. [Musthalah hadist libni ‘Utsaimin, hal.52, Dar Ibnul Jauziy]

Oleh karena itu hendaknya kita tidak menulis shalawat dengan “SAW”, jangan malas menulis atau mengetik shalawat, hendaklah kita tidak jemu atau bosan, tatkala menulis nama Nabi atau Rasulullah langsung menulis shalawat dengan lengkap atau mengcopynya langsung dan tidak menundanya diakhir tulisan ketika akan mengedit tulisan. DR. Mahmud Ath-Tohhan Hafidzahullah berkata:
“Selayaknya menjaga penulisan shalawat dan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setiap penulisannya dan tidak jemu dalam mengulangnya.” [Taisir Mustholah Hadist, hal 138, Darul Fikr]

Selain itu jika luput menulis shalawat, dan orang yang membaca nama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  saja, tanpa membaca shalawat, bisa terancam dengan ancaman sesuai hadist berikut,

Dari Ka’ab bin ‘Ujroh radhiyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (para sahabat) menghadap ke mimbar, maka kami menghadapnya dan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam naik ke tangga pertama, Beliau mengucapkan Aamiin dan tatkala naik pada tangga ke 2 beliau mengucapkan Aamiin dan tatkala naik pada tangga ke 3 beliau mengucapkan lagi Aamiin. Maka tatkala beliau turun kami bertanya: Wahai Rasulullah, kami mendengar darimu pada hari ini sesuatu yang tidak pernah kami dengar. Maka beliau menjawab: Sesungguhnya jibril memperlihatkan padaku dan berkata: mudah-mudahan dijauhkan oleh Allah bagi orang yang mendapatkan Romadhon, dan tidak diampuni. Maka kukatakan Aamiin. Maka tatkala aku naik tangga ke 2, dia berkata, mudah-mudahan dijauhkan, bagi orang yang ketika engkau disebut, dia tidak mau sholawat padamu, maka ku katakan Aamiin. Maka tatkala aku naik pada mimbar ke 3, dia mengatakan mudah-mudahan dijauhkan, bagi orang yang mendapatkan kedua orangtuanya atau salah satunya, dan tidak memasukkan dia ke surga (yakni tidak berbuat baik terhadap keduanya –pent.), maka ku katakan Aamiin. [HR Bazzar dalam Majma’uz Zamaid 10/1675-166, Hakim 4/153 dishahihkan oleh Imam Adz-Dzahabi, Bukhori dalam Adabul Mufrad no 644]

c.    Jika menulis nama sahabat, maka tulislah “Radhiallahu ‘anhu”
Jika menguasai ilmu bahasa Arab maka, dhamir [kata ganti] disesuaikan, misalkan:
Satu orang laki-laki, Abu Bakar Muhammad bin Abi Quhafah Radhiallahu ‘anhu
Satu orang wanita, Khadijah Radhiallahu ‘anha
Dua orang atau nama ayahnya yang merupakan sahabat, Anas bin Malik dan ‘Ubay bin Ka’ab Radhiallahu ‘anhuma atau Abdullah Bin Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhuma
Banyak sahabat, Radhiallahu ‘anhum atau Ridwanullah alaihim
Tidak diperbolehkan mengkhususkan salah seorang sahabat dengan doa dan pujian khusus seperti yang dilakukan oleh syi’ah Rafidhah terhadap sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu dimana mereka mengkhususkannya dengan doa “alaihis salam” atau “karamallahu wajhah”. Ibnu Katsir rahimahulahu  berkata:
“Selayaknya menyamakan diantara sahabat dalam hal ini [doa dan pujian], karena ini adalah mengagungkan dan memuliakan [berlebihan], maka as-syaikhani yaitu Abu Bakar dan Umar serta amirul mukminin Ustman lebih berhak terhadap hal tersebut [pengkhususan doa].” [Tafsir Ibnu Katsir 6/479, Dar Thoyyibah, As-syamilah]

d.   Jika menulis nama tabi’in dan orang-orang yang berhak mendapatkan doa maka tulis setelahnya “rahimahulahu”
Jika orang tersebut masih hidup maka tulis setelah namanya “Hafidzahullah” [semoga Allah menjaganya].
Apakah boleh menukar-nukar, misalnya “rahimahulahu” untuk yang masih hidup atau Radhiallahu ‘anhu untuk tabi’in?
Jawabnya, hal ini diperbolehkan asalkan sesuai kandungan doanya. Akan tetapi sebaiknya kita mengikuti adab-adab para ulama yang telah mereka contohkan. Adapun yang tidak boleh jika tidak sesuai misalnya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk sahabat karena ini kekhususan untuk Nabi.
Bagaimana dengan menulis “almarhum “dan asy-syahid seperti dibeberapa tulisan? 
Untuk penulisan almarhum maka dirinci:
1.   Jika yang dimaksudkan untuk mengharap dan mendoakan maka boleh
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahulahu berkata,
“jika makna al marhum itu sebagai ungkapan optimisme atau harapan semoga si mayit mendapatkan rahmat, maka tidaklah mengapa mengucapkan kata-kata ini. [Majmu’ Fatawa , Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 3/86, As-syamilah].
2.   Jika yang dimaksud orang tersebut mendapat rahmat maka haram karena tidak boleh memastikan seseorang tertentu mendapat rahmat.
Penetapan ampunan Allah dan rahmatnya kepada seseorang setelah kematiannya merupakan perkara ghaib yang tidak mengetahuinya kecuali Allah kemudian orang-orang yang diberitahu hal tersebut [Fatwa Lajnah Da’imah, pertanyaan no. 8217, As-Syamilah]
Untuk penulisan As-Syahid maka haram secara mutlak kecuali bagi mereka yang telah ditetapkan mati syahid oleh syariat seperti Ustman bin Affan Radhiallahu ‘anhu
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahulahu berkata:
“Tidak diperbolehkan bagi kita mempersaksikan kepada seseorang bahwa dia syahid, walaupun dia terbunuh secara dzalim atau terbunuh dalam membela kebenaran. [Majmu’ Fatawa , Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 3/114, As-syamilah].

e.    Membedakan hadist dengan kalimat atau kata yang lain dengan tanda kurung (), atau [], atau {} dsb, sehingga memisahkannya dan mencegahnya bercampur dengan yang lain. Atau menulisnya di baris tersendiri yang memisahkan dengan yang lain.

f.     Tidak memisahkan antara dua kalimat hadist pada baris yang berbeda, jika pemisahan menimbulkan makna yang rancu. Misalnya:
 Perkataan Ali Radhiallahu ‘anhu: berilah kabar pembunuh
Ibnu Shofiyah [zubair bin Awwam] di neraka
Maka seolah-olah terdapat pernyataan bahwa “Zubair bin Awwam di neraka”. Hal ini sebaiknya dihindari.
Jika menulis hadist dengan tulisan tangan dan ingin melakukan perbaikan, maka hendaklah memperhatikan adab-adab berikut:
1.   Apabila ada kata-kata yang terlupa, hendaklah disisipkan diantara salah satu sisi, di atasnya, di bawahnya dan memeri tanda yang menunjukkan tempatnya.
2.   Jika ada kalimat tambahan yang tidak berguna atau salah tulis, maka dicoret atau dihapus denga jelas.
3.   Jika kalimat tambahan tersebut banyak, maka tulislah [لا] sebelumnya dan [إلى] setelah akhir dan ditulis agak sedikit ke atas dari baris.
4.   Boleh menyingkat beberapa kata yang telah disepakati oleh ulama hadist misalnya:
a.      Kata [حدثنا]  menjadi [ثنا]  atau [نا]
b.      Kata [أخبرنا]  menjadi [أرنا]
c.      Pemindahan isnad sampai akhir dengan [Ø­]

Maraji’:
1.   Musthalahul hadist, Muhammad bin Shaleh Al-‘Ustaimin, Dar Ibnul Jauziy cetakan pertama, 1427 H
2.   Taisir Musthalah hadist, DR. Mahmud At-Thohhan, Darul Fikr
3.   Maktabah Syamilah
4.   Sumber di internet




Penyusun: Raehanul Bahraen

Rabu, 05 Februari 2014

Pacaran dalam Kaca Mata Islam


Sebuah fitnah besar menimpa pemuda-pemudi pada zaman sekarang. Mereka terbiasa melakukan perbuatan yang dianggap wajar padahal termasuk maksiat di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Perbuatan tersebut adalah “Pacaran”, yaitu hubungan pranikah antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Biasanya hal ini dilakukan oleh sesama teman sekelas atau sesama rekan kerja atau yang lainnya. Sangat disayangkan, perbuatan keji ini telah menjamur di masyarakat kita. Apalagi sebagian besar stasiun televisi banyak menayangkan sinetron tentang pacaran di sekolah maupun di kantor. Tentu hal ini sangat merusak moral kaum muslimin. Namun, anehnya, orang tua merasa bangga kalau anak perempuannya memiliki seorang pacar yang sering mengajak kencan. Ada juga yang melakukan pacaran beralasan untuk ta’aruf (berkenalan). Padahal perbuatan ini merupakan dosa dan amat buruk akibatnya. Oleh sebab itu, mengingat perbuatan haram ini sudah begitu memasyarakat, kami memandang perlu untuk membahasnya pada kesempatan ini.

Pacaran dari Sudut Pandang Islam
Pacaran tidak lepas dari tindakan menerjang larangan-larangan Alloh subhanahu wa ta'ala. Fitnah ini bermula dari pandang-memandang dengan lawan jenis kemudian timbul rasa cinta di hati -sebab itu, ada istilah “dari mata turun ke hati”- kemudian berusaha ingin memilikinya, entah itu dengan cara kirim SMS atau surat cinta, telepon, atau yang lainnya. Setelah itu, terjadilah saling bertemu dan bertatap muka, menyepi, dan saling bersentuhan sambil mengungkapkan rasa cinta dan sayang. Semua perbuatan tersebut dilarang dalam Islam karena merupakan jembatan dan sarana menuju perbuatan yang lebih keji, yaitu zina. Bahkan, boleh dikatakan, perbuatan itu seluruhnya tidak lepas dari zina.
Perhatikanlah sabda Rosululloh shalallahu alaihi wasalam: “Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperolehnya hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, zinanya dengan memandang. Kedua telinga itu berzina, zinanya dengan mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya dengan berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan melangkah. Sementara itu, hati berkeinginan dan beranganangan sedangkan kemaluan yang membenarkan itu semua atau mendustakannya.” (H.R. Muslim: 2657, Bukhori: 6243)
Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Makna hadits di atas, pada anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan farji (kemaluan)nya ke dalam farji yang haram. Ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang wanita yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahromnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau melihat zina, atau menyentuh wanita yang bukan mahromnya, atau melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahromnya dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi.” (Syarah Shohih Muslim: 16/156157)
Adakah di antara mereka tatkala berpacaran dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah (bukan mahrom) atau laki-laki ajnabi (bukan mahrom) termasuk perbuatan yang diharamkan..?

Ta’aruf Dengan Pacaran, Bolehkah?
Banyak orang awam beranggapan bahwa pacaran adalah wasilah (sarana) untuk berta’aruf (berkenalan). Kata mereka, dengan berpacaran akan diketahui jati diri kedua ‘calon mempelai’ supaya nanti jika sudah menikah tidak kaget lagi dengan sikap keduanya dan bisa saling memahami karakter masing-masing. Demi Allah, tidaklah anggapan ini dilontarkan melainkan oleh orang-orang yang terbawa arus budaya Barat dan hatinya sudah terjangkiti bisikan setan. Tidakkah mereka menyadari bahwa yang namanya pacaran tentu tidak terlepas dari kholwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur baur tanpa ada hijab atau tabir penghalang)..? Padahal semua itu telah dilarang dalam Islam.
Perhatikanlah tentang larangan tersebut sebagaimana tertuang dalam sabda Rosululloh shalallahu alaihi wasalam: “Sekali-kalitidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersamamahromnya.” (HR Bukhori: 1862, Muslim: 1338)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa larangan bercampur baur dengan wanita yang bukan mahrom adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Fathul Bari: 4/100)
Oleh karena itu, kendati telah resmi melamar seorang wanita, seorang laki-laki tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan diterima pinangannya itu tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat-menyurat, bebas bertelepon, bebas ber-SMS, bebas chatting, atau bercakap-cakap apa saja. Wanita tersebut masih tetap ajnabiyyah baginya hingga berlangsungnya akad nikah.

Adakah Pacaran Islami?
Ada lagi pemuda-pemudi aktivis organisasi Islam -yang katanya punya semangat terhadap Islam- disebabkan dangkalnya ilmu syar’i yang mereka miliki dan terpengaruh dengan budaya Barat yang sudah berkembang, mereka memunculkan istilah “Pacaran Islami” dalam pergaulan mereka. Mereka hendak tampil beda dengan pacaran-pacaran orang awam. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegang-pegangan. Masing-masing menjaga diri. Kalaupun saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang Islam, tentang dakwah, saling mengingatkan untuk beramal, dan berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta'ala serta mengingatkan tentang akhirat, surga, dan neraka.
Begitulah katanya..!
Ketahuilah, pacaran yang diembel-embeli Islam ala mereka tak ubahnya omong kosong belaka. Itu hanyalah makar iblis untuk menjerumuskan orang ke dalam neraka. Adakah mereka dapat menjaga pandangan mata dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah atau laki-laki ajnabi termasuk perbuatan yang diharamkan..? Camkanlah firman Allah subhanahu wa ta'ala:
30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS an-Nur [24]: 30-31)
Tidak tahukah mereka bahwa wanita merupakan fitnah yang terbesar bagi laki-laki? Rosululloh shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR Bukhori: 5096)

Segeralah Menikah Bila Sudah Mampu
Para pemuda yang sudah berkemampuan lahir dan batin diperintahkan agar segera menikah. Inilah solusi terbaik yang diberikan Islam karena dengan menikah seseorang akan terjaga jiwa dan agamanya. Akan tetapi, jika memang belum mampu maka hendaklah berpuasa, bukan berpacaran. Rosululloh shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu menikah maka segeralah menikah karena sesungguhnya menikah itu lebih menjaga kemaluan dan memelihara pandangan mata. Barang siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa karena puasa menjadi benteng (dari gejolak berahi).” (HR Bukhori: 5066)
Al-Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Yang dimaksud mampu menikah adalah mampu berkumpul dengan istri dan memiliki bekal untuk menikah.” (Fathul Bari: 9/136)
Dengan menikah segala kebaikan akan datang. Itulah pernyataan dari Allah subhanahu wa ta'ala yang tertuang dalam QS ar-Rum [30]: 21. Islam menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya tempat pelepasan hajat berahi manusia terhadap lawan jenisnya. Lebih dari itu, pernikahan sanggup memberikan jaminan dari ancaman kehancuran moral dan sosial. Itulah sebabnya Islam selalu mendorong dan memberikan berbagai kemudahan bagi manusia untuk segera melaksanakan kewajiban suci itu.

Nasihat
Janganlah ikut-ikutan budaya Barat yang sedang marak ini. Sebagai orang tua, jangan biarkan putra-putrimu terjerembab dalam fitnah pacaran ini. Jangan biarkan mereka keluar rumah dalam keadaan membuka aurat, tidak memakai jilbab atau malah memakai baju ketat yang membuat pria terfitnah dengan penampilannya. Perhatikanlah firman Allah subhanahu wa ta'ala,:
59. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya [1] ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab [33]: 59)

Wallahu a'lam

[1] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

Sumber: Buletin Al-Furqon Tahun ke-3 Volume 9 No. 1

 
Back To Top