Dalam menulis artikel atau karya ilmiah yang ditujukan untuk umat,
diperlukan keikhlasan dan sikap inshaf (objektif) serta menjauhkan diri dari
hawa nafsu dan upaya mencari pembenaran. Namun, seorang da’i atau juru dakwah
hanyalah manusia biasa yang tidak maksum dari kekeliruan, atau bahkan tidak
luput dari sikap khianat akibat fanatisme madzhab atau kelompok. Berikut
beberapa contohnya:
1. Khianat dalam Penerjemahan
Kasus khianat dalam terjemahan ini banyak sekali, mungkin
termasuk yang terbanyak di antara yang lain. Salah satu contohnya adalah ketika
menerjemahkan kalimat Ibnu Hajar Al ‘Asqalani:
"Adapun Mu'awiyah dan orang-orang sesudahnya
kebanyakan berada pada thariqah para raja, sekalipun mereka
disebut khalifah."
Ternyata ada yang menerjemahkan berbeda:
"Adapun Muawiyah dan orang-orang setelahnya
sebagian besar mereka menggunakan metode kerajaan, sekalipun demikian mereka tetap disebut
Khalifah."
Perhatikan kata yang dicetak tebal. Beda satu kata
saja namun membuat kedua terjemahan di atas mempunyai sisi penekanan
yang berkebalikan. Sehingga artinya pun akan berbeda dan menggiring kepada
opini yang berbeda pula.
2. Memotong Kalimat Ulama
Ini terjadi ketika ada seorang penulis yang mengambil
potongan kalimat Ibnu 'Abdil Barr dalam rangka menjelaskan mengenai status
hadits ahad:
"Pendapat yang dipegang oleh ahli ilmu,
diantaranya adalah ulama-ulama madzhab Maliki, adalah hadits ahad wajib
diamalkan, tetapi tidak menghasilkan keyakinan. Ini juga merupakan
pendapat Imam Asy Syafi'i dan mayoritas ahli fikih dan tahqiq. Hadits
ahad tidak menghasilkan ilmu kecuali yang disaksikan Allah subhanahu wa ta'ala,
telah lenyap halangan (kesamaran) secara pasti, dan tidak ada perbedaan
pendapat di dalamnya."
Perkataan beliau ini dicatut dalam rangka berhujjah
bahwa hadits ahad tidak bisa digunakan untuk mengitsbat perkara aqidah. Seolah
bahwa beliau, Imam Syafi’I dan mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa aqidah
tidak bisa ditetapkan dengan hadits ahad. Padahal jika ditengok kelanjutan
kalimat beliau:
"Berkata Abu 'Umar -yakni Ibnu 'Abdil Barr- :
Yang kami katakan mengenainya adalah bahwasanya khabar ahad itu
mengkonsekuensikan amal, bukan ilmu, seperti halnya persaksian dua orang dengan
empat orang adalah sama. Itulah yang menjadi pegangan jumhur ahli fiqh dan
atsar. Semuanya berpegang kepada satu riwayat satu orang yang adil dalam hal
'aqidah; membela, mempertahankannya, serta menjadikannya sebagai syari’at
dan agama. Seperti itu pula pendapat jama'ah Ahlus Sunnah” [At-Tamhid oleh Ibnu
‘Abdil Barr 1/8].
Demikianlah apa yang sebenarnya menjadi pendirian Ibnu
‘Abdil Barr, bahwa hadits ahad diitsbat sebagai dasar aqidah. Begitu pula Imam
Asy Syafi’I yang tidak membedakan penggunaan hadits ahad yang shahih dalam
perkara aqidah dan selainnya. Pemotongan kalimat ulama ini memberi konsekuensi
yang berlawanan dengan fakta yang ada.
3. Mencampur Aduk antara Definisi dan Penjelasan dari
Ulama yang Berbeda
Telah diketahui bahwa para ulama telah banyak berbeda
dalam menjelaskan satu istilah yang sama. Dengan kata lain, untuk satu istilah
bisa banyak definisi, tergantung dari ulama yang menjelaskannya. Makanya,
ketika seorang ulama menyebut suatu istilah, ia itu tidak boleh dibawa dengan
semena-mena ke definisi yang dipakai ulama lain yang bisa saja berbeda
mengartikannya. Setiap istilah harus dikembalikan pada pengucapnya.
Misalnya, istilah "makruh" di kalangan ulama
salaf mutaqaddimin seperti Imam Malik, Asy Syafi’I, dan selainnya. Mereka
sering memutlakkan istilah itu untuk perkara yang diharamkan. Sedangkan bagi
ulama mutaakhirin, istilah makruh artinya "boleh walaupun meninggalkannya
adalah lebih utama". Ini dijelaskan panjang lebar oleh Ibnul Qayyim dalam
I’lamul Muwaqqi’in halaman 39. Beliau menjelaskan bahwa diantara sikap lalai
yang menghasilkan kesalahan adalah membawa istilah makruh dari ulama salaf
kepada definisi ulama khalaf atau mutaakhirin, sehingga mengira bahwa ulama
salaf membolehkan sesuatu padahal mereka mengharamkannya.
Sebagaimana ilmu fiqih seperti di atas, demikian pula
pada ilmu hadits terdapat istilah-istilah yang sama namun pengertiannya berbeda
di antara ulama. Misalnya istilah “munkar”, “syadz”, “hasan”, “fihi nazhar”,
dan lain-lain dimana satu ulama berbeda pengertian dengan yang lain. Maka
setiap definisi harus dikembalikan pada ulama yang bersangkutan tidak boleh
membawa definisi satu ke definisi lain sehingga campur aduk.
4. Berlebihan dalam Menyikapi Pendapat yang Berseberangan
Pengertian berlebihan di sini adalah bersikap tidak
adil dalam menyikapi perkara ijtihadiyah. Perbedaan itu sebenarnya wajar, dan
saling mengkritik pendapat satu sama lain juga tidak dilarang. Namun ada
sebagian orang menampakkan sikap bijak yang dibuat-buat, dengan 'melarang'
-menggunakan bahasa diplomatis- pihak lain mengemukakan pendapat yang berbeda,
yang tentunya didukung oleh pendapat ulama yang mu’tabar.
Contohnya adalah ketika ada seorang penulis yang
menjelaskan disyariatkannya adzan di kedua telinga bayi. Sebenarnya jika ia
menyebutkan pendapat-pendapat ulama yang mendukung ritual tersebut, niscaya
sudah cukup. Karena memang itu termasuk ikhtilaf yang mu’tabar (diakui).
Namun anehnya, ia menyesalkan pihak
yang membid’ahkan adzan di kedua telinga bayi, yaitu pendapat Imam Malik!
Seolah mengatakan bid’ah adalah sikap gegabah. Padahal jika ia memang
menghormati perbedaan pendapat, tidak perlulah ia katakan penyesalannya itu.
Karena ulama yang membid'ahkan pun hujjahnya kuat, bahkan saya katakan ia lebih
kokoh hujjahnya dari sisi ilmu hadits. Karena memang hadits-hadits yang
menjelaskan itu tidak ada yang shahih, sehingga tidak bisa dipakai dan oleh
karenanya adzan di telinga bayi tidaklah berdasar dan termasuk bid'ah.
5. Menyembunyikan Sebagian Bayan (penjelasan) untuk
Mendukung Pendapatnya
Kembali perkataan Ibnu Hajar dipakai untuk mendukung
sebuah artikel yang mempertanyakan "Bid’ahkah waktu Imsak..?".
Artikel tersebut hendak membantah bahwa waktu imsak bukanlah bid’ah. Dalam hal
ini ia menukil perkataan Ibnu Hajar yang mengutip penjelasan Al Qurthubi:
Padanya (yakni hadits di atas) terdapat dalalah
(dalil) bahwasanya berhenti dari sahur adalah sebelum terbitnya fajar.
Tentu menimbulkan kesan bagi kita semua bahwa Ibnu
Hajar termasuk jajaran ulama yang kalamnya dipakai untuk mendukung bahwa imsak
bukanlah bid’ah. Akan tetapi ia tidak mencantumkan kalam Ibnu Hajar pada
halaman-halaman selanjutnya, yaitu:
"Termasuk bid'ah yang munkar adalah
apa yang terjadi di zaman ini yaitu adanya pengumandangan adzan kedua kira-kira
tiga perempat jam sebelum waktu fajar bulan Ramadhan. Serta memadamkan
lampu-lampu sebagai pertanda telah datangnya waktu haram untuk makan dan minum
bagi yang berpuasa esok harinya. Orang yang berbuat seperti ini beranggapan
bahwa hal itu dimaksudkan untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab dalam
anggapan mereka yang mengetahui persis batas akhir sahur hanya segelintir
orang. Sikap hati-hati yang demikian, juga menyebabkan mereka tidak adzan untuk
berbuka puasa kecuali setelah matahari terbenam beberapa saat agar lebih mantap
lagi (menurut anggapan mereka). Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu
berbuka puasa, suka mempercepat waktu sahur, dan suka menyalahi Sunnah. Oleh
sebab itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan, tetapi banyak mendapatkan
keburukan. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan," [Fathul Baari,
4/199].
Pada kenyataannya, walaupun dimaksudkan untuk
kehati-hatian dan orang yang mensyariatkan imsak tidak bermaksud
mengharamkannya, pada masa sekarang kebanyakan orang awam memahaminya sebagai
bentuk keharaman makan dan minum.
Demikianlah sebagian contoh sikap khianat dalam penulisan. Tidak semua
dicantumkan di sini karena terlalu banyak dan panjang. Namun semoga menjadi
peringatan bagi kita semua untuk berlaku jujur dan inshaf dalam menukil dan
menulis. Wallahul musta’an.
Saya kutib dari catatan akhi Ristiyan Ragil P
Jazaakallahu khairan akhi..atas nasehatnya
BalasHapus