Salah satu kisah yang paling terkenal tentang perjuangan Thariq
bin Ziyad menuju Andalusia adalah sebuah peristiwa heroik yang dilakukan
Thariq, membakar kapal-kapal yang ia dan pasukannya gunakan untuk menyeberangi
Selat Gibraltar. Setelah itu Thariq mengatakan: “Lautan terbentang di belakang
kalian, musuh-musuh berada di hadapan kalian, dan tidak ada jalan selamat bagi
kalian kecuali dengan pedang,...!!”
Kisah ini sangat popular di masyarakat, namun ternyata -mungkin
kita tidak pernah mendengarnya- peristiwa ini dilemahkan oleh para ulama
sejarah. Di antara yang melemahkan kisah tersebut adalah Dr. Raghib as-Sirjani.
Berikut ini kami kutipkan pendapat beliau mengenai keabsahan kisah tersebut.
Menurut Raghib as-Sirjani, kisah ini masih diperdebatkan di
kalangan sejarawan. Ada yang mengatakannya shahih benar-benar terjadi dan tidak
sedikit pula yang mengatakan kisah ini palsu. Alasannya adalah:
Pertama, tidak ada riwayat yang shahih mengenai peristiwa ini. Umat Islam yang
memiliki keistimewaan dengan ilmu jarh wa ta’dil (ilmu
yang meneliti tentag periwayatan) menimbang bahwa seorang periwayat haruslah
orang-orang yang terpercaya. Dan tidak ada seorang pun yang terpercaya dari
kalangan umat Islam yang meriwayatkan kisah ini. Kisah ini diriwayatkan dari
riwayat orang-orang Eropa yang menulis tentang peristiwa Perang Sidonia atau
Perang Lembah Barbath.
Kedua, kebijakan pembakaran kapal ini harus dengan izin atau koordinasi dengan
para pembesar Kerajaan Umawiyah, seperti amir Afrika Utara, Musa bin Nushair
atau Khalifah al-Walid bin Abdul Malik karena merekalah yang mengizinkan Thariq
berangkat ke Andalusia. Atau pasti ada kabar bahwa Musa bin Nushair dan
khalifah meminta penjelasan mengapa Thariq melakukan hal yang dapat
membahayakan belasan ribu nyawa kaum muslimin. Atau juga ada koordinasi dengan
para ulama untuk menimbang mafsadat dan madaratnya. Semua catatan sejarah yang
mengatakan Thariq bin Ziyad membakar kapal-kapalnya tidak menyebutkan semua
pertimbangan di atas.
Tentu saja hal in mendatangkan keraguan, sebagaimana kita
ketahui di kisah sebelumnya bahwa Thariq bin Ziyad selalu berkoordinasi dengan Musa bin
Nushair dalam kebijakan yang dia lakukan.
Ketiga, sumber-sumber Eropa berperan besar dalam tersebarnya kisah ini. Mengapa
demikian? Karena logika mereka tidak mampu memahami, bagaimana bisa 100.000
pasukan Visigoth Nasrani, di negeri dan tanah mereka sendiri, mereka
benar-benar mengenal medan pertempuran, dikalahkan oleh sekelompok kecil
pasukan asing yang hanya terdiri dari belasan ribu pasukan saja?! Kisah ini
berkembang lantaran sebuah asumsi pasukan Islam tidak ada lagi pilihan lagi
kecuali tenggelam di laut atau mati di medan perang.
Demikianlah penafsiran orang-orang Nasrani Eropa, dan
pemahaman mereka ini bisa dimaklumi karena mereka tidak mengetahui janji Allah Subhanahu wa Ta’aladalam
firman-Nya:
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah: 249)
Keempat, tidak pernah tercatat dalam sejarah peperangan umat Islam, umat Islam
merasa kecut berhadapan dengan musuh-musuhnya sehingga mereka butuh motivasi
tambahan dengan membakar kapal-kapal mereka. Kaum muslimin berangkat berperang
dengan tujuan utama kemenagan atau syahid di jalan Allah.
Kelima, kekalahan dalam peperangan adalah sebuah kemungkinan yang bisa saja
terjadi. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan
pasukan yang berjihad untuk mundur dengan alasan agar bisa bergabung dengan
pasukan yang lain.
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang
menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang
membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat)
perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka
sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya
ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al-Anfal: 15-16)
Jadi Allah Ta’ala memberi
peluang pasukan Islam untuk mundur apabila mereka sudah pasti melihat kekalahan
dan merugikan umat Islam lainnya, dengan syarat hal itu sebagai strategi perang
atau bergabung untuk menambah jumlah pasukan lainnya. Kebijakan membakar kapal
adalah keputusan yang membahayakan pasukan, merugikan kaum muslimin, dan
bertentangan dengan syariat. Fiqih seperti ini sangat diragukan terjadi pada
seseorang yang diangkat menjadi panglima perang semisal Thariq bin Ziyad.
Keenam, sebagaimana disebutkan Ibnu Adzari dalam al-Bayan al-Maghrib 2:6, dan al-Himyari dalam al-Raudh al-Mu’thar Hal. 35, tidak semua kapal yang
membawa pasukan Islam menyeberang ke Andalusia milik Thariq bin Ziyad, ada
beberapa di antaranya milik dari Raja Julian. Julian adalah salah seorang yang
tidak senang dengan kekuasaan Roderick yang zalim. Dengan demikian, Thariq
harus mengembalikan kapal-kapal yang ia pinjam bukan malah membakarnya.
Dari poin-poin di atas, Raghib as-Sirjani menyimpulkan bahwa
peristiwa pembakaran kapal ini adalah kisah fiktif yang sengaja dibuat untuk
menafikan kekuatan keimanan pasukan Islam dan pertolongan yang Allah berikan
dengan kesabaran mereka.
Sumber: Qishshatu al-Andalus min al-Fathi ila as-Suquth
Artikel: Kisah Muslim
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih