Hadits
ancaman berdusta atas nama Rasulullah merupakan hadits yang mutawatir yang
diriwayatkan oleh puluhan sahabat, bila dicari di kutubus-sab’ah (Bukhari,
Muslim, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmidzi & Abu Dawud) -belum di
kitab-kitab hadits lain- ditemukan puluhan hadits dengan lafadz "man kadzaba alaiyya" (barangsiapa
yang berdusta atas namaku). Beberapa lafadz hadits ancaman berdusta atas nama
Nabi diantaranya :
“Barangsiapa berdusta terhadapku, maka hendaklah ia
persiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 1291, Muslim no. 3, Abu Dawud 3651, Ibnu Majah no. 30,
33, 36, 37, at-Tirmidzi 2659, 3715, Ahmad no. 584, 1075, 1413, 2675, 2974, dst)
"Barangsiapa
berkata tentangku yang tidak pernah aku katakan, maka hendaklah ia persiapkan
tempat duduknya di neraka." (HR.
Bukhari no. 109, dari Salamah al-Akwa radhiyallahu 'anhu, lihat juga di Ahmad
no. 469, 6478, 8266)
"Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat, dan
ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan (yakni berdosa), dan
barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia
mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka" (HR. Bukhari no. 3461, Ahmad no.
6486, 6888, 7006, at-Tirmidzi no. 2669 ; dari Abdullah bin Amr bin Ash
radhiyallahu ‘anhuma)
“Sesungguhnya
berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena
barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia
mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (HR. Bukhari no. 1291, Muslim no. 4,
Ahmad no. 18140, 18202, dari Mughiran bin Syu’bah radhiyallahu anhu)
"Akan ada orang-orang pada akhir umatku menceritakan
sebuah hadits kepada kalian yang mana kalian belum pernah mendengarnya dan
tidak pula bapak kalian. Maka kalian jauhilah dan mereka jauhilah." (HR. Muslim no. 6 -Muqaddimah Shahih
Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
"Hendaklah kalian berhati-hati memperbanyak meriwayatkan
dariku. Siapa yang berkata atas namaku, janganlah sekali-kali berkata kecuali
yang haq atau jujur. Siapa yang berkata atas namaku dengan apa yang tidak
pernah aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (Hasan, HR. Ibnu Majah no. 35, Ahmad
no. 22538 ; dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu)
Imam Ibnu Hibban
rahimahullah telah membuat pasal khusus :
“Pasal: Mengenai
dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa
[Rasulullah] shallallahu 'alaihi wasallam, padahal ia tidak mengetahui
keshahihannya.” (Shahih Ibnu Hibban 1/hal. 210)
Kemudian beliau
membawakan hadits Rasulullah :
“Barangsiapa yang
berkata atas (nama) ku (dengan) sesuatu yang tidak pernah aku ucapkan maka
hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka” (Hadits no. 28, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu. dihasankan oleh syaikh Albani)
Barangsiapa yang
menyampaikan sebuah hadits (dariku) dan dia mengetahui bahwa hadits tersebut
adalah dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta. (Hadits no. 29, dari Samurah bin
Jundub radhiyallahu ‘anhu)
"Cukuplah seseorang dianggap berdosa tatkala
membicarakan semua yang ia dengar" (Hadits no. 30, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu. Shahih, diriwayatkan juga Abu Dawud no. 4992, Imam muslim
meriwayatkan dengan hadits semakna كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ
بِكُلِّ مَا سَمِعَ Cukuplah seseorang (dinilai) berdusta jika dia
menceritakan semua yang didengarnya –
Shahin Muslim 1/10)
Teladan dari para shahabat radhiyallahu 'anhum :
1.
Telah
menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah dari Jami' bin Syaddad dari 'Amir bin 'Abdullah bin Az Zubair dari
Bapaknya berkata, "Aku berkata kepada Az-Zubair (bin Awwam), "Aku
belum pernah mendengar kamu membicarakan sesuatu dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam sebagaimana orang-orang lain membicarakannya?" Az-Zubair
menjawab, "Aku tidak pernah berpisah dengan beliau, aku mendengar beliau
mengatakan: "Barangsiapa berdusta terhadapku maka hendaklah ia persiapkan
tempat duduknya di neraka." (Shahih Bukhari No. 104)
2.
Dari
Amr bin Maimun, dia berkata, "Aku tidak pernah melewatkan pengajian yang
diadakan Ibnu Mas'ud pada Kamis sore kecuali aku selalu mendatanginya."
Dia berkata, "Aku sama sekali tidak pernah mendengar Ibnu Mas'ud
mengatakan, 'Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda'."
Kemudian pada suatu sore Ibnu Mas'ud berkata dengan kepala tertunduk,
'Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda." Amr
menceritakan, "Aku melihatnya berdiri sedang kancing bajunya terbuka.
Bercucuran air mata dari kedua kelopak matanya, dan dari lehernya keringat
mengalir deras." Amr melanjutkan, "Mungkin kurang dari itu atau lebih
dari itu, mendekati itu atau seperti itu keadaannya." (Shahih : HR. Ibnu
Majah no. 23)
3.
Dari
Abdurrahman bin Abu Laila, dia berkata, "Kami berkata kepada Zaid bin
Arqam, 'Riwayatkanlah kepada kami hadits dari Rasulullah!' Dia berkata, 'Kami
telah semakin tua dan telah menjadi pelupa, dan menyampaikan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah berat'." (Shahih : HR. Ibnu Majah
no. 25, Ahmad no. 19305, 19324)
Perkataan para ulama rahimahumullah
1. Berkata Abu Ja’far ath-Thahawi
rahimahullah :
"Barangsiapa yang
menceritakan (hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
dasar zhan (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau
dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara
yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang masuk kedalam sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Barangsiapa yang sengaja berdusta
atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka" (Syarah
Musykil al-Atsar no. 426, I/373)
2. Berkata Ibnu Hajar al-Haitami
rahimahullah :
"Menyebutkan
hadits-hadits dalam khutbah tanpa menyebutkan para perawinya dibolehkan dengan
syarat bahwa ia sebagai ahli hadits, atau ia menukilnya dari buku yang
penulisnya adalah ahli hadits. Adapun berpegang pada suatu hadits yang ia
dapatkan dari sebuah buku yang penulisnya tidak tergolong ahli hadits, atau di
buku-buku khutbah yang penulisnya juga demikian, maka hal itu tidak
diperbolehkan. Barang siapa yang melakukannya, ia berhak diberi hukuman yang
keras. Ternyata, demikianlah keadaan para khatib. Mereka hanya melihat
buku-buku khutbah yang di dalamnya terdapat hadits, mereka pun menghafalkannya,
lalu ia sampaikan dalam khutbahnya, tanpa memperdulikan apakah hadits-hadits
tersebut ada dasarnya atau tidak? Maka wajib atas para penguasa setiap negara
untuk memepringatkan para khatib yang melakukan hal demikian." (Al-fatawa
al-haditsiyah hal. 32, lihat juga Koreksi Total Praktek Khutbah dan Ceramah-
Su'ud bin Malluh bin Sulthan al-'Anazi.)
3. Berkata al-Anshari rahimahullah :
“Seorang yang ingin
berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka
dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui
(kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil
dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak
mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam
yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui
seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil
dengan hadits tersebut.” (Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal 15, juga di
Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi hal. 162.)
4. Berkata Ibnu Hajar al-Asqalani
rahimahullah :
“Cara yang harus
ditempuh bagi orang yang ingin berhujjah dengan hadits yang tertera dalam
kitab-kitab Sunan dan kitab-kitab Musnad itu satu, karena semua kitab itu tidak
mensyaratkan shahih dan hasan dalam penghimpunannya. Jadi, bila orang yang
hendak berhujjah ini mampu untuk mengetahui hadits shahih dari lainnya, maka ia
tidak boleh berhujjah dengan hadits dari kitab-kitab Sunan itu sebelum ia
memperhatikan ketersambungan sanadnya dan keadaan para perawinya. Selain itu,
ia juga tidak boleh berhujjah dengan hadits dari kitab-kitab Musnad sampai ia
benar-benar menguasai disiplin ilmu ini. Dan bila orang yang hendak berhujjah
tidak mampu melakukan hal itu maka jalan terbaik baginya adalah memperhatikan
hadits tersebut. Bila hadits tersebut disebutkan dalam shahihain atau ada di
antara ulama hadits yang secara jelas menyatakan keshahihannya maka ia boleh mengikutinya
dalam masalah tersebut. Bila ia tidak menjumpai seorang ulama menilai hadits
itu shahih atau hasan maka ia tidak boleh berhujjah dengannya. Orang semacam
ini ibarat orang yang mencari kayu bakar di malam yang gelap gulita. Boleh jadi
ia berhujjah dengan suatu riwayat yang bathil, tapi ia tidak merasa." (An-Nu’kat
‘ala Kitab Ibn Shalah, 1/449)
5. Berkata syaikh al-Albani rahimahullah
:
“Dan ketahuilan bahwa
mengenal hadits dha’if adalah kewajiban dan juga menjadi suatu keniscayaan bagi
setiap muslim yang kerap menyampaikan pengajian dan nasihat kepada orang lain.
Sering kali para pengarang, mubaligh dan khatib meremehkan hal ini, khususnya
para ahli sastra di forum-forum seminar dan kajian-kajian lain misalnya.
Kebanyakan mereka meremehkan hal ini. Mereka menggunakan hadits-hadits yang
tidak memiliki asal-usul, tanpa mengindahkan larangan nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam meriwayatkan hadits dari beliau kecuali yang shahih. Sebagaimana
perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam : "Hendaklah kalian
berhati-hati memperbanyak meriwayatkan dariku. Siapa yang berkata atas namaku,
janganlah sekali-kali berkata kecuali yang haq atau jujur. Siapa yang berkata
atas namaku dengan apa yang tidak pernah aku katakan, hendaknya ia
mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”
Maka mengenal hadits
dha'if adalah hal penting, dan hal itu juga termasuk dalam penjelasan hadits
Hudzaifah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan dalam Shahihain,
"Kebanyakan manusia bertanya tentang kebaikan dari Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, sedang aku bertanya
tentang keburukan, sebab khawatir akan melakukannya . . ." (al-hadits).
Begitu juga perkataan
penyair:
"Aku mengenal
keburukan bukan keburukan, namun untuk menjauhinya.
Siapa yang tidak
mengenal keburukan, ia akan terjerumus kedalamnya” (Dha’if Adabul Mufrad li
Imam al-Bukhari hal. 6-7)
Di ambil dari catatan
Ustadz Agung Supriyanto