Di
antara karakter penuntut ilmu yang tercela adalah ia mencari ilmu dalam keadaan
lalai dan hanya mencari ilmu yang bisa memenuhi hawa nafsunya. Jika ada yang
bertanya, kenapa bisa demikian, maka kita jawab: Tujuannya dalam menuntut ilmu
bukanlah karena menganggap hal tersebut wajib yang dengannya ia beribadah
kepada Allah, memenuhi kewajiban yang Allah perintahkan dan menjauhi larangan
Allah. Akan tetapi ia mencari ilmu supaya ia dikenal termasuk jajaran para
penuntut ilmu.
Ia
belajar hanya untuk riya’ (pamer), dan berdebat dengan orang lain supaya
dikenal ilmunya, dan dianggap mumpuni dalam kepandaian berbicara. Ia
ingin lawan debatnya salah. Jika lawan debatnya benar, hal itu membuatnya
sedih.
Dia
senang memaksakan dalam beradu hujjah, menolak bahwa dirinya salah padahal ia
tahu namun ia tidak mengakuinya, karena takut ia akan dicela karena
kesalahannya.
Ia
bergampang-gampangan dalam fatwa untuk yang ia senangi, dan bersikap keras
terhadap yang tidak dapat memberinya manfaat.
Siapa
saja yang mengambil ilmu darinya, maka tujuan utama yang ia harapkan adalah
keuntungan duniawi.
Dan jika
tidak didapatinya manfaat duniawi -dan hanya menfaat akhirat- dari yang belajar
padanya, maka ia merasa berat atasnya.
Ia
mengharapkan ganjaran atas ilmu yang tidak ia amalkan, dan tidak takut
atas akibat buruk dari ilmu yang tidak ia amalkan itu.
Ia
mengucapkan kata-kata bijak, lalu ia mengira bahwa ia termasuk golongan
orang-orang bijak. Ia tidak takut bahwa itu akan menjadi hujjah baginya jika ia
meninggalkan pengamalannya. Semakin ia berilmu, semakin menambah rasa
sombongnya dan kepura-puraan alimnya.
Jika
banyak ulama di masanya yang dikenal dengan ilmunya, ia senang dan berharap
jika ia disebut sebagai salah seorang di jajaran mereka. Jika seorang ulama
ditanya mengenai suatu masalah dan ia tidak ditanya, ia berharap kalau ia juga
ditanya sebagaimana yang lain juga ditanya. Padahal lebih utama baginya untuk
memuji Allah karena ia tidak ditanya, sedangkan selain dia telah mencukupi.
Jika
sampai padanya bahwa salah seorang ulama itu salah, dan ia yang benar, maka ia
senang dengan kesalahan orang lain, dimana mestinya ia sedih jika saudaranya
salah.
Jika ia
ditanya sesuatu yang ia tidak tahu, ia berat untuk berkata “saya tidak tahu”,
sehingga ia membebani diri pada sesuatu yang ia tidak bisa jawab. Jika ia
mengetahui bahwa ada orang lain yang lebih memberi manfaat pada kaum muslimin
daripada dia, ia membenci kehidupan orang itu, dan tidak mengenalkannya pada
manusia.
Kemudian
ia mengetahui bahwa ia salah, namun berat untuk mengoreksi kesalahannya, dan
malah menetap pada kesalahannya, karena tidak ingin martabatnya jatuh di depan
para makhluq.
Sesungguhnya
ujian yang menimpanya adalah kecintaan akan dunia dan pujian, serta kemuliaan
dan kehormatan di kalangan manusia. Ia menghiasi dirinya dengan ilmu,
sebagaimana wanita cantik berhias dengan baju untuk keduniawian. Dan bukannya menghiasi
ilmunya dengan amalan.
Kita
mohon ampun kepada Allah dan berlindung pada-Nya atas keburukan amalan kita.
Allahul musta’aan.
Saya
kutib dari catatan akhi Ristiyan Ragil P
nice post gan,, sangat bermanfaat nihh,,
BalasHapuskoment back yaa www.ankurniawan.blogspot.com
Great post Brian, Thank you, http://digiworld55.blogspot.com/
BalasHapusgoodluck