Pertama-tama
aku menasihatimu dan diriku agar bertakwa kepada Allah Jalla Jalaluhu, kemudian
apa saja yang menjadi bagian atau cabang dari ketakwaan kepada Allah Tabaarakan
wa Ta’ala seperti:
1.
Hendaklah kamu menuntut ilmu semata-mata
hanya karena ikhlas kepada Allah Jalla Jalaluhu, dengan tidak menginginkan
dibalik itu balasan dan ucapan terima kasih. Tidak pula menginginkan agar
menjadi pemimpin di majelis-majelis ilmu. Tujuan menuntut ilmu hanyalah untuk
mencapai derajat yang Allah Jalla Jalaluhu telah khususkan bagi para ulama.
Dalam firman-Nya:
Artinya
: "… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat …?” (Al-Mujaadilah :
11)
2.
Menjauhi perkara-perkara yang dapat
menggelincirkanmu, yang sebagian ” Thalibul Ilmi” (para penuntut ilmu) telah
terperosok dan terjatuh padanya.
Diantara perkara-perkara itu:
a.
Mereka
amat cepat terkuasai oleh sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan terpedaya,
sehingga ingin menaiki kepala mereka sendiri.
b.
Mengeluarkan
fatwa untuk dirinya dan untuk orang lain sesuai dengan apa yang tampak menurut
pandangannya, tanpa meminta bantuan (dari pendapat-pendapat) para ulama Salaf
pendahulu ummat ini, yang telah meninggalkan “harta warisan” berupa ilmu yang
menerangi dan menyinari dunia keilmuan Islam. Dengan warisan itu jika dijadikan
sebagai alat bantu dalam upaya penyelesaian berbagai musibah atau bencana yang
bertumpuk sepanjang perjalanan zaman. Sebagaimana kita telah ikut menjalani
atau merasakannya, dimana sepanjang zaman itu dalam kondisi yang sangat gelap
gulita.
Meminta bantuan dalam berpendapat dengan
berpedoman pada perkataan dan pendapat Salaf, akan sangat membantu kita untuk
menghilangkan berbagai kegelapan dan mengembalikan kita kepada sumber Islam
yang murni, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahihah.
Sesuatu
yang tidak tertutup bagi kalian bahwasannya aku hidup di suatu zaman yang mana
kualami padanya dua perkara yang kontradiksi dan bertolak belakang, yaitu pada
zaman dimana kaum muslimin, baik para syaikh maupun para penuntut ilmu, kaum
awam ataupun yang memiliki ilmu, hidup dalam jurang taqlid, bukan saja pada
madzhab, bahkan lebih dari itu bertaqlid pada nenek moyang mereka.
Sedangkan
kami dalam upaya menghentikan sikap tersebut, mengajak manusia kepada al-Qur’an
dan as-Sunnah. Demikian juga yang terjadi di berbagai negeri Islam. Ada
beberapa orang tertentu yang mengupayakan seperti apa yang kami upayakan,
sehingga kamipun hidup bagaikan “Ghuraba” (orang-orang asing) yang telah
digambarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits
beliau yang telah dimaklumi, seperti:
Artinya
: "Sesungguhnya awal mula Islam itu sebagai suatu yang asing/aneh, dan
akan kembali asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah bagi
orang-orang yang asing”
Dalam
sebagian riwayat, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya:
"Mereka (al-Ghurabaa) adalah orang-orang shaleh yang jumlahnya sedikit
sekeliling orang banyak, yang mendurhakai mereka lebih banyak dari yang
mentaati mereka” [Hadits Riwayat Ahmad]
Dalam
riwayat yang lain beliau bersabda:
Artinya:
"Mereka orang-orang yang memperbaiki apa yang telah di rusak oleh manusia
dari Sunnah-Sunnahku sepeninggalku”.
Aku
katakan: “Kami telah alami zaman itu, lalu kami mulai membangun sebuah pengaruh
yang baik bagi dakwah yang di lakukan oleh mereka para ghuraba, dengan tujuan
mengadakan perbaikan ditengah barisan para pemuda mukmin. Sehingga kami jumpai
bahwa para pemuda beristiqomah dalam kesungguhan di berbagai negeri muslim,
giat dalam berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tatkala mengetahui keshahihannya”.
Akan
tetapi kegembiraan kami terhadap kebangkitan yang kami rasakan pada tahun-tahun
terakhir tidak berlangsung lama. Kita telah dikejutkan dengan terjadinya sikap
“berbalik” dan perubahan yang dahsyat pada diri pemuda-pemuda itu, di sebagian
negeri. Sikap tersebut, hampir saja memusnahkan pengaruh dan buah yang baik
sebagai hasil kebangkitan ini, apa penyebabnya? Di sinilah letak sebuah
pelajaran penting, penyebabnya adalah karena mereka tertimpa oleh perasaan ujub
(membanggakan diri) dan terperdaya oleh kejelasan bahwa mereka berada di atas
ilmu yang shahih. Perasaan tersebut bukan saja diseputar para pemuda muslim
yang terlantar, bahkan terhadap para ulama. Perasaan itu muncul tatkala merasa
bahwa mereka memilki keunggulan dengan lahirnya kebangkitan ini, atas para
ulama, ahli ilmu dan para syaikh yang bertebaran diberbagai belahan dunia
Islam.
Sebagaimana
merekapun tidak mensyukuri nikmat Allah Jalla Jalaluhu yang telah memberikan
Taufik dan Petunjuk kepada mereka untuk mengenal ilmu yang benar beserta
adab-adabnya. Mereka tertipu oleh diri mereka sendiri dan mengira sesungguhnya
mereka telah berada pada status kedudukan dan posisi tertentu.
Merekapun
mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak matang alias mentah, tidak berdiri
diatas sebuah pemahaman yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka
tampaklah fatwa-fatwa itu dari pendapat-pendapat yang tidak matang, lalu mereka
mengira bahwasanya itulah ilmu yang terambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, maka
mereka pun tersesat dengan pendapat-pendapat itu, dan juga menyesatkan banyak
orang.
Suatu
hal yang tidak sama bagi kalian, akibat dari itu semuanya muncullah sekelompok
orang (suatu jama’ah) dibeberapa negeri Islam yang secara lantang mengkafirkan
setiap jama’ah-jama’ah muslimin dengan filsafat-filsafat yang tidak dapat
diungkapkan secara mendalam pada kesempatan yang secepat ini, apalagi tujuan
kami pada kesempatan ini hanya untuk menasehati dan mengingatkan para penuntut
ilmu dan para du’at (da’i).
Oleh
sebab itu saya menasehati saudara-saudara kami ahli sunnah dan ahli hadits yang
berada di setiap negeri muslim, agar bersabar dalam menuntut ilmu, hendaklah
tidak terperdaya oleh apa yang telah mereka capai berupa ilmu yang dimilikinya.
Pada hakekatnya mereka hanyalah mengikuti jalan, dan tidak hanya bersandar pada
pemahaman-pemahaman murni mereka atau apa yang mereka sebut dengan “ijtihad
mereka”.
Saya
banyak mendengar pula dari saudara-saudara kami, mereka mengucapkan kalimat
itu, dengan sangat mudah dan gampang tanpa memikirkan akibatnya: “Saya
berijtihad” atau “Saya berpendapat begini” atau “Saya tidak berpendapat
begitu”, dan ketika anda bertanya kepada mereka: "Kamu berijtihad
berdasarkan pada apa, sehingga pendapatmu begini dan begitu? Apakah kamu
bersandar pada pemahaman al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta ijma’ (kesepakatan) para ulama dari kalangan Sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya ? Ataukah pendapatmu ini hanya
hawa nafsu dan pemahaman yang pendek dalam menganalisa dan beristidlal
(pengambilan dalil)?". Inilah realitanya, berpendapat berdasarkan hawa
nafsu, pemahaman yang kerdil dalam menganalisa dan beristidlal. Ini semuanya
dalam keyakinanku disebabkan karena perasaan ujub, kagum pada diri sendiri dan
terperdaya.
Oleh
sebab itu saya jumpai di dunia Islam sebuah fenomena (gejala) yang sangat aneh,
tampak pada sebagian karya-karya tulis.
Fenomena
tersebut tampak dimana seorang yang tadinya sebagai musuh hadits, menjadi
seorang penulis dalam ilmu hadits supaya dikatakan bahwa dia memiliki karya
dalam ilmu hadits. Padahal jika anda kembali melihat tulisannya dalam ilmu yang
mulia ini, anda akan jumpai sekedar kumpulan nukilan-nukilan dari sini dan dari
sana, lalu jadilah sebuah karya tersebut. Nah apakah faktor pendorongnya (dalam
melakukan hal ini) wahai anak muda? Faktor pendorongnya adalah karena ingin
tampak dan muncul di permukaan. Maka benarlah orang yang berkata:
“Perasaan
cinta atau senang untuk tampil akan mematahkan punggung (akan berkaibat buruk)”
Sekali
lagi saya menasehati saudara-saudaraku para penuntut ilmu, agar menjauhi segala
perangai yang tidak Islami, seperti perasaan terperdaya oleh apa yang telah
diberikan kepada mereka berupa ilmu, dan janganlah terkalahkan oleh perasaan
ujub terhadap diri sendiri.
Sebagai
penutup nasehat ini hendaklah mereka menasehati manusia dengan cara yang
terbaik, menghindar dari penggunaan cara-cara kaku dan keras di dalam
berdakwah, karena kami berkeyakinan bahwasanya Allah Jalla Jalaluhu ketika
berfirman:
Artinya:
"Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik,
dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik …” [An-Nahl : 125]
Bahwa
sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu tidaklah mengatakannya kecuali dengan
kebenaran (al-haq) itu, terasa berat oleh jiwa manusia, oleh sebab itu ia
cenderung menyombongkan diri untuk menerimannya, kecuali mereka yang dikehendaki
oleh Allah. Maka dari itu, jika di padukan antara beratnya kebenaran pada jiwa
manusia plus cara dakwah yang keras lagi kaku, ini berarti menjadikan manusia
semakin jauh dari panggilan dakwah, sedangkan kalian telah mengetahui sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artinya:
"Bahwasanya di antara kalian ada orang-orang yang menjauhkan (manusia dari
agama) ; beliau mengucapkan tiga kali”.
[Nasehat
ini dinukil dari kitab "Hayat al-Albani" halaman : 452-455]
Sumber:
disini
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih