Diriwayatkan dari Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallahu
'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya salah satu tanda
dekatnya hari Kiamat adalah ilmu diambil dari kaum ashaaghir (ahli bid'ah) *.”
[Diriwayatkan
oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (61), dari jalur tersebut al-Lalika-i
meriwayatkannya dalam kitab Syarah Usbuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (102),
ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XXII/908 dan 299), al-Harawi dalam kitab Dzammul
Kalaam (11/137), al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih
(11/79), Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab Jaami’ Bayaanil 'llm (1052) dan lainnya
dari jalur Ibnu Luhai'ah, dari Bakr bin Sawadah, dari Abu Umayyah. Saya (Syaikh
Salim) katakan: "Sanadnya shahih shahih, karena riwayat al-'Abadillah dari
Ibnu Luhai'ah adalah riwayat shahih. Adapun perkataan al-Haitsami dalam
Majma'uz Zawaa-id (I/1365) yang mendha'ifkan Ibnu Luhai'ah tidaklah
tepat."]
* Ibnul
Mubarak berkata dalam kitab az-Zuhd (hal. 21 dan 281): "Yang dimaksud kaum
ashaaghir adalah ahli bid'ah."
Ditambah
lagi Ibnu Luhai'ah tidak tersendiri dalam meriwayatkan hadits ini, ia telah
diikuti oleh Sa'id bin Abi Ayyub yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Bagdadi
dalam al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' (I/137). Sa'id adalah
perawi tsiqah.
Ada dua
penyerta lain lagi bagi hadits ini:
Pertama: Diriwayatkan dari 'Abdullah bin
Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata:
"Manusia
senantiasa shalih dan berpegang kepada yang baik selama ilmu datang kepada
mereka dari Sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari orang-orang
yang berilmu dari mereka. Jika
ilmu datang kepada mereka dari kaum ashaaghir maka mereka akan binasa."
[Diriwayatkan
oleh Ibnul Mubarak (815), 'Abdurrazaq (XI/246), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah
(VIII/49) dan al-Lalikai dalam Syarh Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (101)]. Saya
katakan: "Sanad hadits tersebut shahih."
Kedua: Diriwayatkan dari Salman al-Farisi
radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
"Manusia
senantiasa berada dalam kebaikan selama generasi pertama masih tersisa dan
generasi berikut menimba ilmu dari mereka. Jika generasi pertama telah berlalu
sebelum generasi berikut menimba ilmu dari mereka, maka manusia akan
binasa."
[Diriwayatkan
oleh ad-Darimi (I/78-79) dan Ahmad dalam kitab az-Zuhd (hal. 189) melalui dua
jalur dari Salman.
Kedua
hadits ini memiliki hukum marfu', sebab perkara di atas termasuk salah satu tanda hari Kiamat yang tidak dapat dikatakan atas
dasar logika dan ijtihad.
Wallahu a'lam.
Kandungan Bab:
1. Kaum
ashaaghir adalah ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu yang berani mengeluarkan
fatwa meski mereka tidak memiliki ilmu. Hal ini telah diisyaratkan dalam hadits
yang berbicara tentang terangkatnya ilmu.
2. Ulama
adalah kaum Akaabir meskipun usia mereka muda. Ibnu 'Abdil Barr berkata dalam
kitab Jaami'Bayaanil’llm, "Orang jahil itu kecil, meskipun usianya tua.
Orang alim itu besar meskipun usianya muda." Lalu ia membawakan sebuah
sya'ir, "Tuntutlah ilmu,
karena tidak ada seorangpun yang lahir langsung jadi ulama.
Sesungguhnya orang alim tidaklah sama dengan orang jahil. Sesepuh satu kaum
yang tidak punya ilmu Akan menjadi kecil bila orang-orang melihat
kepadanya."
3. Ilmu
adalah yang bersumber dari Sahabat radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang
mengikuti mereka. Itulah ilmu yang berguna. Jika tidak demikian, maka
pemiliknya akan binasa karenanya. Dan pemiliknya tidak akan menjadi imam, tidak
menjadi orang dipercaya dan diridhai.
4. Para
penuntut ilmu harus mengambil ilmu dari orang-orang yang bertakwa, shalih dan
mengikuti Salafush Shalih. Sebab, keberkatan selalu bersama mereka. Sebagaimana
yang disebutkan dalam hadits 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Keberkahan selalu
bersama kaum akaabir (ahli ilmu) kalian." [HR Ibnu
Hibban (955), al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (36-37), al-Hakim (I/62), Abu
Nu’aim dalam al-Hilyah (VIII/171-172), al-Khathib al-Baghdadi dalam Taarikh
Baghdaad (XI/165), al-Bazzar dalam Musnadnya (1957) dan lainnya melalui
beberapa jalur dari 'Abdullah bin al-Mubarak, dari Khalid al-Hadzdza', dari
'Ikrimah, dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu. Saya katakan:
"Sanadnya shahih].
5. Ulama
Salaf terdahulu telah mengisyaratkan keterangan ini yang dapat menyelamatkan
kita dari kejahilan dan menjaga kita dari kesesatan.
Seorang
tabi'in yang mulia, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, "Sesungguhnya
ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu..!"
[HR Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/14) dengan sanad shahih].
Sebab,
ilmu ini hanya dibawa oleh orang-orang yang terpercaya, maka selayaknya diambil
dari mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Musa 'lsa bin Shabih, Telah
diriwayatkan sebuah hadits shahih dari Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap
generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan kaum
yang melampaui batas, takwil orang-orang jahil dan pemalsuan ahli bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh
orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu." (Al-Jaami' li
Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' [1/129]).
Oleh karena
itu pula harus dibedakan antara ulama Ahlus Sunnah
dengan ahli bid'ah,
sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Muhammad bin Siirin rahimahullah:
"Dahulu,
orang-orang tidak bertanya tentang sanad. Namun setelah terjadi fitnah
(munculnya bid'ah), mereka berkata, 'Sebutkanlah perawi-perawi kalian!' Jika
perawi tersebut Ahlus Sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Dan jika ahli
bid'ah, maka tidak akan mereka ambil haditsnya." [HR. Muslim dalam
Muqaddimah Shahiihnya (1/15) dengan sanad shahih].
Demikian
pula harus dilihat spesialisasi tiap-tiap orang dan mengambil pendapatnya dalam
bidang yang sudah menjadi spesialisasinya. Sebab setiap ilmu memiliki
tokoh-tokoh tersendiri, mereka dikenal dengan ilmu tersebut dan ilmu tersebut
dapat diketahui melalui mereka.
Imam
Malik bin Anas rahimahullah berkata:
"Sesungguhnya,
ilmu ini adalah agama, maka periksalah dari siapa engkau mengambil ajaran
agamamu. Aku sudah bertemu tujuh puluh orang yang mengatakan, fulan berkata
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaiahi wa sallam bersabda di tiang masjid ini
-beliau menunjuk Masjid Nabawi namun aku tidak mengambil satu pun hadits dari
mereka.- Sesungguhnya, ada beberapa orang dari mereka yang apabila diberi
amanat harta, maka ia akan memelihara amanat tersebut. Akan tetapi mereka
bukanlah orang-orang yang ahli dalam bidang ini. Muhammad bin Muslim bin
'Ubaidillah bin Syihab pernah datang ke sini, lalu mereka berkerumun di depan
pintunya." [Lihat kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/98)].
Para
ahli ilmu telah mengingatkan hal ini dalam tulisan-tulisan mereka. Tujuannya
untuk melindungi generasi mendatang agar tidak terpengaruh oleh klaim-klaim
dari orang-orang yang bertambah subur tanaman mereka di tanah yang tandus.
Yakni orang-orang yang ingin mencuat sebelum
matang, ingin muncul sebelum tiba waktunya..!
Mereka
berkoar-koar di majelis-majelis ilmu, sibuk mengeluarkan fatwa dan sibuk
mengarang buku. Mereka mendesak naik ke puncak yang telah ditempati oleh para
ulama terlebih dulu. Mereka menempatinya untuk merubuhkan batas-batas
pemisahnya dan mengurai jalinannya.
Aksi
mereka bertambah gila lagi dengan berdatangannya orang-orang awam dan
orang-orang yang setipe dengannya ke majelis-majelis mereka dengan perasaan
takjub, amat girang menyimak cerita-cerita kosong mereka.
Al-Khathib
al-Baghdaadi berkata dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/960),
"Seorang penuntut ilmu seharusnya menimba ilmu dari ahli fiqih yang
terkenal kuat memegang agama, dikenal shalih dan menjaga kesucian diri."
Kemudian
ia mengatakan: "Dan hendaknya ia juga harus menghiasi diri dengan
etika-etika ilmu, seperti sabar, santun, tawadhu' terhadap sesama penuntut
ilmu, bersikap lembut kepada sesama, rendah hati, penuh toleransi kepada teman,
mengatakan yang benar, memberi nasihat kepada orang lain dan sifat-sifat
terpuji lainnya."
Dalam
kitabnya yang langka, yakni al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami'
(1/126-127), beliau telah menulis beberapa pasal. Kami akan menyebutkan inti
dari pasal-pasal tersebut:
1. Tingkatan
keilmuan para perawi tidaklah sama, harus didahulukan mendengar riwayat dari
perawi yang memiliki sanad 'Ali (lebih dekat kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Jika sanad para perawi tersebut sama dalam hal ini, sedang
ia ingin mengambil sebagian saja dari sanad-sanad tersebut, maka hendaklah ia
memilih perawi yang lebih populer dalam bidang hadits, yang dikenal ahli dan
menguasai ilmu ini.
2.
Jika
para perawi tersebut juga sama dalam kedua hal tersebut, maka hendaklah memilih
perawi yang memiliki nasab dan silsilah yang lebih mulia. Riwayatnyalah yang
lebih layak disimak.
3. Hal
itu semua berlaku bila para perawi itu telah memenuhi kriteria lain, seperti
istiqamah di atas manhaj Salafush Shalih, terpercaya dan terhindar dari bid'ah.
Adapun perawi yang tidak memenuhi kriteria di atas, maka harus dijauhi dan
jangan menyimak riwayat darinya.
4. Para
ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mendengar riwayat dari perawi yang telah
terbukti kefasikannya. Seorang perawi dapat disebut fasik karena banyak
perkara, tidak hanya karena perkara yang berkaitan dengan hadits. Adapun yang
berkaitan dengan hadits misalnya memalsukan matan hadits atas nama Rasulullah
saw. atau membuat-buat sanad-sanad atau matan-matan palsu. Bahkan katanya,
alasan diadakannya pemeriksaan terhadap para perawi awalnya adalah disebabkan
perkara di atas.
5. Di
antara para perawi itu ada yang mengaku telah mendengar dari syaikh yang belum
pernah ditemuinya. Karena itulah para ulama mencatat tarikh kelahiran dan
kematian para perawi. Ditemukanlah riwayat-riwayat sejumlah perawi dari
syaikh-syaikh yang tidak mungkin bertemu dengan mereka karena keterpautan usia
yang sangat jauh.
6. Ulama
ahli hadits juga menyebutkan sifat-sifat ulama dan kriteria mereka. Dengan
demikian banyak sekali terbongkar kedok sejumlah perawi.
7. Jika
perawi tersebut terlepas dari tuduhan memalsukan hadits, terlepas dari tuduhan
meriwayatkan hadits dari syaikh yang belum pernah ditemuinya dan menjauhi
perbuatan-perbuatan yang dapat menjatuhkan kehormatannya, hanya saja ia tidak
memiliki kitab riwayat yang didengarnya itu dan hanya beipatokan kepada
hafalannya dalam menyampaikan hadits, maka tidak boleh mengambil haditsnya
hingga para ulama ahli hadits merekomendasikannya dan menyatakan ia termasuk
dalam deretan penuntut ilmu yang memiliki perhatian kepada ilmu, memelihara dan
menghafalnya dan telah diuji kualitas hafalannya dengan mengajukan
hadits-hadits yang terbolak-balik kepadanya.
Jika
perawi itu termasuk pengikut hawa nafsu dan pengikut madzhab yang menyelisihi
kebenaran, maka tidak boleh mendengar riwayatnya, meskipun ia dikenal memiliki
banyak ilmu dan kuat hafalannya.
Seorang
penuntut ilmu syar'i harus mengetahui hakikat sebenarnya. la harus tahu dari
siapa ia mengambil ajaran agamanya. Janganlah ia mengambil ilmu dari ahli
bid'ah, karena mereka akan membuatnya sesat sedang ia tidak menyadarinya.
(Disalin
dari kitab Ensiklopedi Larangan Jilid I, cet.Kedua, Muharram 1426 H/Februari
2005 M, hal. 219-224, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah)
Semoga
bermanfaat...
Saya
kutib dari catatan akhi Abu Muhammad Herman
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih