Alhamdulillah, beberapa tahun ini dakwah dengan tulisan berkembang dengan
pesat, karena didukung dengan internet dan situs jejaring sosial seperti
facebook, twitter dan semisalnya. Tentunya menulis tidak lepas dari menulis
hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu
selayaknya kita mengetahui adab-adabnya baik menulis dengan tangan ataupun
dengan ketikan di komputer.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahulahu dalam kitab mushtolah
hadist membagi adab menulis hadist menjadi dua yaitu:
1.
Wajib
Yaitu menulis hadist dengan tulisan yang jelas dan terang dan tidak
menimbulkan kerancuan dan campur aduk.
DR. Mahmud Ath-Tohhan Hafidzohullah mengatakan:
“ Selayaknya
bagi penulis hadist mencurahkan kesungguhannya dalam menulis harakat dan titik
serta menjaganya dari campur-aduk [kerancuan]. Memberikan harakat terutama
nama-nama karena tidak diketahui apa harakat sebelum maupun sesudahnya.
Hendaklah menulis dengan tulisan yang jelas dan sesuai dengan kaidah penulisan
pada umumnya. Dan hendaklah tidak membuat istilah sendiri dengan istilah khusus
berupa singkatan yang tidak diketahui oleh orang banyak.” [Taisir
Mustholah Hadist, hal 138, Darul Fikr]
2.
Sunnah
Yaitu hendaknya memperhatikan hal-hal berikut ini
a.
Jika menulis lafadz jalalah “Allah”, maka tulis setelahnya Ta’ala atau Azza
wa Jalla atau subhanahu wa ta’ala atau yang lainnya dari kalimat pujian
yang jelas tanpa menyingkatnya.
Maka hendaklah
kita tidak menyingkat Subhanahu wa Ta’ala dengan “SWT” karena
orang yang membacanya pun akan otomatis membaca “SWT” sehingga pujian kepada
Allah tidak disebut dengan sempurna dan tidak tercapai.
b.
Jika menulis Nama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka tulis
setelahnya “shallallahu ‘alaihi wa sallam” dengan jelas Tanpa Menyingkat.
Syaikh ibnu Utsaimin Rahimahulahu ketika
ditanya tentang menyingkat “shallallahu ‘alaihi wa sallam” dengan
huruf [ص], beliau menjawab: “Hendaklah tidak menyingkatnya dengan huruf [ص],
dan tidak menulisnya dengan singkatan [صلعم], tidak diragukan lagi bahwa
bahwasannya penulisan simbol atau singkatan akan menyebabkan seseorang luput
dari pahala bershalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Apabila ia
menulis kalimat shalawat dan kemudian ada orang yang membaca tulisan tersebut,
maka Penulis pertama akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang
membacanya. Tidaklah samar bagi kita apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam secara shahih:
“Barangsiapa yang bershalawat kepada
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam satu kali, maka Allah akan bershalawat
kepadanya sepuluh kali”. [HR. Muslim no. 384, Abu Dawud
no. 523, dan An-Nasa’i no. 678] [Kitabul ‘ilmi hal.131, Darul Itqon]
Hukumnya
makruh
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulahu menukil perkataan Al-‘iroqi rahimahullahu,
“Dimakruhkan membuat simbol shalawat terhadap Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam tulisan dengan menyingkatnya menjadi dua
huruf atau sejenisnya. Di makruhkan menghapus salah satunya, shalawat atau
salam. [Musthalah hadist libni ‘Utsaimin, hal.52, Dar Ibnul Jauziy]
Oleh karena
itu hendaknya kita tidak menulis shalawat dengan “SAW”, jangan malas menulis
atau mengetik shalawat, hendaklah kita tidak jemu atau bosan, tatkala menulis
nama Nabi atau Rasulullah langsung menulis shalawat dengan lengkap atau
mengcopynya langsung dan tidak menundanya diakhir tulisan ketika akan mengedit
tulisan. DR. Mahmud Ath-Tohhan Hafidzahullah berkata:
“Selayaknya menjaga penulisan
shalawat dan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setiap
penulisannya dan tidak jemu dalam mengulangnya.” [Taisir Mustholah Hadist, hal 138, Darul
Fikr]
Selain itu
jika luput menulis shalawat, dan orang yang membaca nama Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam saja, tanpa membaca shalawat, bisa terancam
dengan ancaman sesuai hadist berikut,
Dari Ka’ab
bin ‘Ujroh radhiyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam (para sahabat) menghadap ke mimbar, maka kami menghadapnya
dan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam naik ke tangga
pertama, Beliau mengucapkan Aamiin dan tatkala naik pada tangga ke 2 beliau
mengucapkan Aamiin dan tatkala naik pada tangga ke 3 beliau mengucapkan lagi Aamiin.
Maka tatkala beliau turun kami bertanya: Wahai Rasulullah, kami mendengar
darimu pada hari ini sesuatu yang tidak pernah kami dengar. Maka beliau
menjawab: Sesungguhnya jibril memperlihatkan padaku dan berkata: mudah-mudahan
dijauhkan oleh Allah bagi orang yang mendapatkan Romadhon, dan tidak diampuni.
Maka kukatakan Aamiin. Maka tatkala aku naik tangga ke 2, dia berkata,
mudah-mudahan dijauhkan, bagi orang yang ketika engkau disebut, dia tidak mau
sholawat padamu, maka ku katakan Aamiin. Maka tatkala aku naik pada
mimbar ke 3, dia mengatakan mudah-mudahan dijauhkan, bagi orang yang
mendapatkan kedua orangtuanya atau salah satunya, dan tidak memasukkan dia ke
surga (yakni tidak berbuat baik terhadap keduanya –pent.), maka ku katakan Aamiin. [HR
Bazzar dalam Majma’uz Zamaid 10/1675-166, Hakim 4/153 dishahihkan oleh Imam
Adz-Dzahabi, Bukhori dalam Adabul Mufrad no 644]
c.
Jika menulis nama sahabat, maka tulislah “Radhiallahu
‘anhu”
Jika
menguasai ilmu bahasa Arab maka, dhamir [kata ganti]
disesuaikan, misalkan:
Satu orang
laki-laki, Abu Bakar Muhammad bin Abi Quhafah Radhiallahu ‘anhu
Satu orang
wanita, Khadijah Radhiallahu ‘anha
Dua orang
atau nama ayahnya yang merupakan sahabat, Anas bin Malik dan ‘Ubay bin Ka’ab Radhiallahu
‘anhuma atau Abdullah Bin Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhuma
Banyak
sahabat, Radhiallahu ‘anhum atau Ridwanullah alaihim
Tidak
diperbolehkan mengkhususkan salah seorang sahabat dengan doa dan pujian khusus
seperti yang dilakukan oleh syi’ah Rafidhah terhadap sahabat Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu ‘anhu dimana mereka mengkhususkannya dengan
doa “alaihis salam” atau “karamallahu wajhah”. Ibnu Katsir rahimahulahu berkata:
“Selayaknya menyamakan diantara
sahabat dalam hal ini [doa dan pujian], karena ini adalah mengagungkan dan
memuliakan [berlebihan], maka as-syaikhani yaitu Abu Bakar dan Umar serta
amirul mukminin Ustman lebih berhak terhadap hal tersebut [pengkhususan doa].” [Tafsir Ibnu
Katsir 6/479, Dar Thoyyibah, As-syamilah]
d.
Jika menulis nama tabi’in dan orang-orang yang berhak
mendapatkan doa maka tulis setelahnya “rahimahulahu”
Jika orang
tersebut masih hidup maka tulis setelah namanya “Hafidzahullah” [semoga
Allah menjaganya].
Apakah boleh
menukar-nukar, misalnya “rahimahulahu” untuk yang masih hidup
atau Radhiallahu ‘anhu untuk tabi’in?
Jawabnya,
hal ini diperbolehkan asalkan sesuai kandungan doanya. Akan tetapi sebaiknya
kita mengikuti adab-adab para ulama yang telah mereka contohkan. Adapun yang
tidak boleh jika tidak sesuai misalnya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk
sahabat karena ini kekhususan untuk Nabi.
Bagaimana
dengan menulis “almarhum “dan asy-syahid seperti dibeberapa
tulisan?
Untuk penulisan
almarhum maka dirinci:
1.
Jika yang dimaksudkan untuk mengharap dan mendoakan
maka boleh
Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahulahu berkata,
“jika makna al marhum itu sebagai
ungkapan optimisme atau harapan semoga si mayit mendapatkan rahmat, maka
tidaklah mengapa mengucapkan kata-kata ini. [Majmu’
Fatawa , Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 3/86, As-syamilah].
2.
Jika yang dimaksud orang tersebut mendapat rahmat maka
haram karena tidak boleh memastikan seseorang tertentu mendapat rahmat.
Penetapan
ampunan Allah dan rahmatnya kepada seseorang setelah kematiannya merupakan
perkara ghaib yang tidak mengetahuinya kecuali Allah kemudian orang-orang yang
diberitahu hal tersebut [Fatwa Lajnah Da’imah, pertanyaan no. 8217,
As-Syamilah]
Untuk penulisan
As-Syahid maka haram secara mutlak kecuali bagi mereka yang telah ditetapkan
mati syahid oleh syariat seperti Ustman bin Affan Radhiallahu ‘anhu
Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahulahu berkata:
“Tidak diperbolehkan bagi kita
mempersaksikan kepada seseorang bahwa dia syahid, walaupun dia terbunuh secara
dzalim atau terbunuh dalam membela kebenaran. [Majmu’
Fatawa , Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 3/114, As-syamilah].
e.
Membedakan hadist dengan kalimat atau kata yang lain
dengan tanda kurung (), atau [], atau {} dsb, sehingga memisahkannya dan
mencegahnya bercampur dengan yang lain. Atau menulisnya di baris tersendiri
yang memisahkan dengan yang lain.
f.
Tidak memisahkan antara dua kalimat hadist pada baris
yang berbeda, jika pemisahan menimbulkan makna yang rancu. Misalnya:
Perkataan Ali Radhiallahu ‘anhu: berilah kabar
pembunuh
Ibnu
Shofiyah [zubair bin Awwam] di neraka
Maka
seolah-olah terdapat pernyataan bahwa “Zubair bin Awwam di neraka”. Hal ini
sebaiknya dihindari.
Jika menulis
hadist dengan tulisan tangan dan ingin melakukan perbaikan, maka hendaklah
memperhatikan adab-adab berikut:
1.
Apabila ada kata-kata yang terlupa, hendaklah disisipkan
diantara salah satu sisi, di atasnya, di bawahnya dan memeri tanda yang
menunjukkan tempatnya.
2.
Jika ada kalimat tambahan yang tidak berguna atau
salah tulis, maka dicoret atau dihapus denga jelas.
3.
Jika kalimat tambahan tersebut banyak, maka tulislah
[لا] sebelumnya dan [إلى] setelah akhir dan ditulis agak sedikit ke atas dari
baris.
4.
Boleh menyingkat beberapa kata yang telah disepakati
oleh ulama hadist misalnya:
a.
Kata [حدثنا] menjadi [ثنا] atau
[نا]
b.
Kata [أخبرنا] menjadi [أرنا]
c.
Pemindahan isnad sampai akhir dengan [ح]
Maraji’:
1.
Musthalahul hadist, Muhammad bin Shaleh Al-‘Ustaimin,
Dar Ibnul Jauziy cetakan pertama, 1427 H
2.
Taisir Musthalah hadist, DR. Mahmud At-Thohhan, Darul
Fikr
3.
Maktabah Syamilah
4.
Sumber di internet
Penyusun: Raehanul Bahraen
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih