Ar-Romhurmuzi meriwayatkan dengan isnadnya dari Asy-Sya’bi (19-104 H) dari Ar-Robi’ bin Khutsaim ia berkata: “Barangsiapa yang mengucapkan ‘La Ilaha Illallahu wahdahu Laa Syariika lah, Lahul Mulku wa Lahul Hamdu Yuhyi wa Yumiitu wa Huwa ‘ala Kulli Syai-in Qodiir’ maka baginya begini . . . ”, lalu dia menyebutka kebaikan yang didapat.
Asy-Sya’bi
berkata: “Maka aku berkata: ‘Siapa yang menyampaikan hadits ini kepadamu?’ ia
menjawab: “Amru bin Maimun”. Aku (Sya’bi) berkata: “Siapa yang menyampaikan kepada
dia?”. Ia berkata: “Abu Ayyub Sahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam”.
Yahya bin
Sa’id berkata: “Ini adalah orang yang pertama meniliti isnad”. [1]
Adz-Dzahabi
berkata: “Orang yang pertama men-tazkiyah dan men-jarh setelah masa sahabat
adalah Asy-Sya’bi dan Ibnu Sirin dan orang yang semisal keduanya. Ada
didapatkan dari mereka Tawtsiq Yunus dan Tadh’if yang lainnya”. [2]
Diantara
ulama-ulama yang disebut-sebut bahwasanya mereka termasuk orang-orang yang pertama
mengkritisi para perawi dan meniliti isnad adalah: Al-Hasan Al-Basri (21-110
H), Sa’ib bin Jubair (26 -95 H), Ibrahim An-Nakho’i (47 – 96 H). hanya saja
Ibnu Siirin melakukannya secara lebih meluas dalam masalah ini dari pada yang
lainnya.
Di akhir masa
Tabi’in tampil Al-A’masy (148 H), Syu’bah (160 H) dan Malik.
Inilah
tokoh-tokoh yang dianggap pertama-pertama melakukan penelitian Isnad secara
makna istilah, namun begitu sejatinya cikal-bakal ilmu ini sudah dimulai sejak
masa sahabat Rodhiyallahu ‘anhum.
Al-Hakim
berkata: “Orang yang pertama menepis kedustaan dari Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallama adalah Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu”. [3]
Dan
langkahnya diikuti setelah itu oleh Umar bin Al-Khottob rodhiyallahu ‘anhu
yang meminta dari Abu Musa Al-Asy’ari seorang yang bersaksi untuk dalam masalah
hadits meminta izin, sehingga sahabat Abu Sa’id Al-Khudri bersaksi bahwa ia
juga mendengar dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama apa yang didengar
Abu Musa. [4]
Ketika itu
Abu Bakar dan Umar melakukannya bukan karena ragu atau tidak mempercayai
sahabat yang meriwayatkan hadits, karena semua sahabat adalah orang yang paling
bersih dan tidak pernah berdusta atas nama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam. Akan tetapi keduanya melakukan itu dalam rangka tatsabbut dalam perkara
agama, agar manusia tidak lancang meriwayatkan dari Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallam.
Umar
berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Adapun sesungguhnya aku tidak menuduhmu,
akan tetapi aku khawatir manusia mengarang-ngarang perkataan dari Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam”. [5]
Al-Hakim
berkata: “Sesungguhnya Abu Bakar, Umar, Ali dan Zaid bin Tsabit men-jarah dan
men-ta’dil serta meniliti kebenaran riwayat-riwayat dan kelemahannya”. [6]
Jalan yang
telah dirintis para sahabat Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallama ini untuk
mengenali kebenaran atau kedustaan perawi, diikuti oleh Ta’biun dan generasi
sesudahnya, dan semakin jauh dari periode yang telah diakui kebaikannya para
ulama semakin luas membahasnya. Sehingga ketika usai abad ketiga ilmu ini telah
berkembang pesat dan mencapai puncaknya. Lalu dinamakan dengan ilmu Jarh wat
Ta’dil, yaitu ilmu untuk membedakan antara yang benar dan yang dusta,
antara yang kuat dan yang lemah , antara yang ditsiqohkan dan yang dicela,
antara yang hafal dan yang lalai.
Imam
Adz-Dzahaby dan lain-lainnya dari para “Huffazh” menetapkan bahwasanya Al-Jarh
habis di penghujung tahun 300, yang tersisa hanyalah pencatatan dan penulisan
di dalam kitab-kitab yang terus berlanjut hingga abad kelima hijriyah.
Kitab-kitab
yang termasyhur yang muncul pada ilmu Al-Jarh wat Ta’dil pada tiga abad
tersebut terbagi tiga macam :
1. Kitab-kitab
yang khusus menghimpun perawi-perawi Tsiqoot (terpercaya), seperti Kitab “Ats-Tsiqoot” karya Al-‘Ijly
(261 H), Kitab “Ats-Tsiqoot” karya
Ibnu Hibban (354 H) dan Kitab “Ats-Tsiqoot”
karya Ibnu Syaahiin (385 H).
2. Kitab-kitab
yang khusus memuat para Dhu’afaa’ (perawi-perawi yang lemah), seperti Kitab Adh-Dhu’afaa’ Al-Kabir dan Adh-Du’afaa’ Ash-Shoghiir karya Imam
Al-Bukhari (256 H), Kitab Ahwaalur
Rijaal karya Al-Juuzjaany (259 H), Kitab Dhu’afaa’ wal Matruukiin karya An-Nasai (303 H), Kitab Adh-Dhu’afaa Al-Kabiir karya Al-‘Uqoily
(322 H), Kitab Ma’rifatul Majruhiin
minal Muhadditsiin karya Ibnu Hibban (354 H) dan Kitab Al-Kamil fi Dhu’afaa’ Ar-Rijaal karya
Ibnu ‘Ady (365 H).
3. Kitab-kitab
yang menggabungkan antara perawi-perawi yang tsiqoh dan yang dho’if, seperti Kitab
Ath-Thobaqootul Kubro karya Ibnu
Sa’ad (230 H), Kitab Al-‘Ilal
war Rijaal karya Imam Ahmad (241 H), Kitab At-Tarikh Al-Kabir, At-Tarikh Al-Awsath dan At-Tarikh Ash-Shoghir karya Imam Bukhari,
Kitab At-Tarikh Al-Kabir karya Ibnu
Abi Khoitsamah (279 H) dan Kitab Al-Jarhu
wat Ta’diil karya Ibnu Abi Hatim (327 H).
Sebagai
umat islam kita patut berbangga dengan adanya kitab-kitab ini dalam ilmu
Al-Jarhu wat Ta’dil untuk menjaga kemurnian hadits Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallam. [7]
(bersambung)
[1]
Al-Muhadditsul Fashil (208).
[2]
Diroosat fil Jarh wat Ta’dil (16).
[3]
Al-Madkhol (46).
[4]
Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhoini.
[5]
Ar-Risalah (434).
[6]
Ma’rifatus Sunan wal Atsar (1/140).
[7] Lihat : Diroosaat fil Jarhi wat Ta’diil (16-21).
Blogwalking :D
BalasHapus