Secara tidak langsung, kita sering meremehkan surat
Al-Faatihah ketika sedang shalat, baik shalat berjama'ah ataupun shalat
munfarid, yaitu dengan membacanya terlalu cepat bahkan tidak kira-kira, dengan
1 tarikan nafas maka jadilah ia seperti ini :
Bismillahirrahmanirrahim,alhamdulillahirabbilalamin,arrahmanirrahimimalikiyaumiddiniyyakana'buduwaiyyakanasta'in,ihdinashshirathalmustaqimashirathalladzinaanamtaalaihimghairilmaghduubialaihimwaladhdhaaaaaaalliiin
. . . . Aamiiiiiiiinnnn . . . .
Allaahul Musta'an
Padahal, seandainya kawan-kawan tahu, di dalam Hadits Qudsiy
berikut ini, sungguh mulia keadaan orang yang sedang membaca surat Al-Faatihah
dalam shalatnya, yang mana ia membaca tanpa terburu-buru seperti seorang hamba
yang sedang berdo'a kepada Robb-nya.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي
وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ:{ الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا
قَالَ:{ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي،
وَإِذَا قَالَ:{ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ } قَالَ اللَّهُ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ
مَرَّةً: فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ:{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ:{
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي
مَا سَأَلَ”. ( رواه مسلم )
Diriwayatkan dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-,
Rasulullah shalallaahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Allah Ta'ala berfirman: "Aku membagi shalat antara
Aku dan hambaKu separuh bagian, dan untuk hambaKu apa yang diminta,
maka jika hamba berkata: "Alhamdulillahi Rabbil 'alamin",
Allah Ta'ala berfirman: "HambaKu memujiKu",
Jika hamba berkata: "Ar-rahmanirrahim", Allah
Ta'ala berfirman: "HambaKu memujiKu",
Jika hamba berkata: "Maaliki yaumiddiin",
Allah Ta'ala berfirman: "HambaKu memuliakanKu", dan Dia
berfirman: "HambaKu berserah diri kepadaKu",
Jika hamba berkata: "Iyaaka na'budu wa iyyaaka
nasta'iin", Allah Ta'ala berfirman: "Ini antara Aku dan hambaKu, dan
untuk hambaKu apa yang diminta",
Jika hamba berkata: "Ihdinash shiraathal mustaqiim,
shiraathal ladziina an'amta 'alaihim ghairil maghdhuubi 'alaihim wa
ladhdhaalliin", Allah berfirman: "Ini untuk hambaKu dan untuk hambaKu
apa yang diminta". [Shohih
Muslim no. 396]
Renungan :
Kita berbicara dengan bahasa yang teratur dan mudah
dimengerti (yaitu dengan kaidah yang benar dengan tanda titik dan komanya)
dengan orang yang lebih tinggi (kedudukannya) daripada kita, kawan-kawan kita
dan dengan orangtua kita. Maka, seharusnyalah dengan Allah Ta'ala tatacara bermunajat
kita diperbaiki, jika memang ia berhenti, maka berhentilah dan jangan
tergesa-gesa seperti orang yang sedang terburu-buru mengejar kereta, sehingga
aturan-aturan tajwidnya pun dilanggar bahkan hingga tidak memperhatikan makhraj-nya,
sehingga tidak mustahil jika kita membaca seperti itu apa yang kita baca pun berubah
maknanya. Na'udzubillah . . .
Yang sedang kita ajak bicara adalah Allah Ta'ala, Rabb semesta
alam, yang telah menciptakan kita, menghidupkan kita, memberi kita rizki, Dzat
yang paling layak untuk kita beri penghormatan dan penta'zhiman.
Wallaahu a'lam
Sumber: Akhi Tommi Marsetio
Sumber: Akhi Tommi Marsetio
0 komentar:
Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih