Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda beliau :
أُمِرْنَا
أَنْ نَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ وَلاَ نَكُفَّ ثَوْبًا وَلاَ شَعْرًا
"Kita diperintah untuk sujud di atas tujuh tulang dan kita
tidak boleh menahan pakaian dan rambut (ketika sedang mengerjakan shalat).”
(HR. Al-Bukhari no. 810, 815, 816 dan Muslim no. 1095)
Dalam lafadz yang lain disebutkan :
وَلاَ
نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ
"Dan kami tidak boleh menggabungkan atau menggulung pakaian
dan (mengumpulkan) rambut.” (HR. Al-Bukhari no. 812 dan Muslim no. 1098)
Makna لاَ نَكْفِتَ
الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ disebutkan dalam An-Nihayah adalah menggabungkan dan
mengumpulkannya agar tidak tersebar. Yang diinginkan di sini adalah
mengumpulkan pakaian dengan kedua tangan ketika ruku’ dan sujud 1.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan : “Secara
zhahir larangan ini berlaku di waktu seseorang hendak shalat 2.
Demikian pendapat yang dicondongi oleh Ad-Dawudi. Dalam bab yang akan datang,
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memberi judul hadits ini dengan, “Bab La
Yakuffu Tsaubahu fis Shalah”, artinya “Tidak boleh seseorang menahan pakaiannya
di dalam shalat.” Judul yang diberikan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu ini
memperkuat pendapat tersebut (larangan hanya khusus bila dikerjakan sembari
melakukan shalat). Namun ulama lain, ‘Iyadh rahimahullahu menolak pendapat
tersebut dengan menyatakan bahwa pendapat seperti itu menyelisihi apa yang
dipegangi oleh jumhur ulama, karena mereka membenci hal itu dilakukan oleh
orang yang shalat, baik ia melakukannya dalam shalat atau sebelum masuk dalam
pekerjaan shalatnya 3.
Namun mereka sepakat, kalaupun seseorang melakukannya tidaklah
merusak shalatnya. Akan tetapi, Ibnul Mundzir rahimahullahu menghikayatkan dari
Al-Hasan rahimahullah, bahwa siapa yang melakukannya wajib mengulangi
shalatnya. Di antara hikmah larangan tersebut adalah bila seseorang mengangkat
pakaian dan rambutnya karena tidak ingin bersentuhan dengan tanah, ia
menyerupai orang yang sombong.” (Fathul Bari, 2/383)
Hikmah yang lain, kata ulama, adalah karena semestinya rambut ikut
sujud ketika orang yang shalat itu sujud, sehingga harus dibiarkan terurai,
jangan ditahan jatuhnya ke tanah. Karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memisalkan orang yang menahan rambutnya seperti orang yang shalat
dalam keadaan kedua tangannya terikat ke belakang pundaknya. (Al-Minhaj, 4/432)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata : “Dalam satu riwayat dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan : ‘Ia pernah melihat Abdullah ibnul
Harits shalat dalam keadaan rambutnya dijalin dari belakang kepalanya 4,
maka Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bangkit dan mulai melepaskan jalinan
tersebut. Ketika Abdullah selesai dari shalatnya, ia menghadap ke Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma seraya berkata : ‘Apa yang Anda lakukan dengan rambutku?’,
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata : ‘Aku pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا
مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوْفٌ
"Hanyalah permisalan orang yang dipilin/diikat rambutnya itu
seperti orang yang shalat dalam keadaan terikat kedua tangannya di belakang
pundaknya (HR Muslim no 1101).”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu juga mengatakan : “Ulama sepakat
tentang dilarangnya seseorang shalat dalam keadaan pakaiannya
disingsingkan/diangkat, lengan bajunya disingsingkan atau semisalnya, rambutnya
dipilin, atau rambutnya dimasukkan di bawah sorban 5, atau
selainnya. Semua ini terlarang dengan kesepakatan ulama, dan hukumnya karahah
tanzih (makruh, tidak sampai haram). Bila seseorang shalat dalam keadaan
demikian, maka sungguh ia telah berbuat jelek dalam shalatnya, namun shalatnya
tetap sah.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berargumen
tentang hal ini dengan kesepakatan ulama.
Ibnul Mundzir rahimahullahu menghikayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullahu tentang keharusan mengulang shalat bila seseorang melakukan
perbuatan yang dilarang tersebut.
Kemudian jumhur berpendapat larangan tersebut berlaku mutlak bagi
orang yang shalat, baik ia sengaja melakukannya karena hendak mengerjakan
shalat 6 ataupun keadaannya
memang demikian sebelum ia mengerjakan shalat.” (Al-Minhaj, 4/430, 431, 432)
Ibnul Atsir rahimahullahu berkata dalam An-Nihayah : “Makna hadits
ini 7 adalah bila seseorang membiarkan rambutnya terurai, niscaya
rambut itu akan jatuh ke bumi/tanah ketika ia sujud, maka ia akan diberi pahala
sujud dengan rambutnya tersebut. Namun bila rambut itu dipilin, jadilah
maknanya rambut itu dibiarkan tidak ikut sujud dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyerupakannya dengan orang yang sujud dalam keadaan terikat kedua lengannya
karena kedua lengan tersebut tidak menyentuh tanah di saat sujud.”
Alasan dilarangnya perbuatan tersebut juga ditunjukkan dalam hadits
Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Rafi’ pernah melewati Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma yang sedang
shalat dalam keadaan jalinan rambutnya ditekuk ke tengkuknya, maka Abu Rafi’
radhiyallahu ‘anhu melepaskannya (mengurainya). Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu pun
menoleh kepadanya dengan marah. Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhuberkata :
“Menghadaplah ke shalatmu dan jangan marah karena aku pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ذَلِكَ
كِفْلُ الشَّيْطَانِ
"Pilinan
rambut itu adalah tempat duduknya setan.” (HR. Abu Dawud no. 646 dan
At-Tirmidzi no. 384, dihasankan Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At-Tirmidzi)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu berkata : “Perkara ini diamalkan
di sisi ahlul ilmi, yaitu mereka membenci seorang lelaki shalat dalam keadaan rambut
kepalanya dipilin.” (Sunan At-Tirmidzi, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Kaffisy
Sya’ra fish Shalah)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu mengatakan sebagaimana dinukil
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Kami meriwayatkan kemakruhan hal tersebut dari Umar, Ali,
Hudzaifah, dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhum.” (2/746)
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullahu berkata : “Tidak halal seorang yang
shalat menggabungkan pakaiannya atau mengumpulkan rambutnya dengan tujuan
karena hendak shalat 8 berdasarkan haditsRasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (Al-Muhalla 2/318)
Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullahu berkata : “Tampaknya
hukum ini khusus bagi laki-laki, tidak berlaku bagi wanita 9,
sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaukani rahimahullahu dari Al-’Iraqi
rahimahullahu.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, 2/743)
Al-’Iraqi rahimahullahu berkata :“Hukum ini khusus bagi laki-laki,
tidak bagi wanita. Karena rambut mereka (para wanita) adalah aurat, wajib
ditutup di dalam shalat. Bila ia melepaskan ikatan rambutnya bisa jadi
rambutnya tergerai dan sulit untuk menutupinya hingga membatalkan shalatnya.
Dan juga, akan menyulitkannya bila harus melepaskan rambutnya tatkala hendak shalat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memberikan keringanan kepada
kaum wanita untuk tidak melepaskan ikatan rambut mereka ketika mandi wajib,
padahal (hal ini) sangat perlu untuk membasahi seluruh rambut mereka di saat
mandi tersebut.” (Nailul Authar 2/440)
Dalam hal ini kita jumpai dan saksikan, banyak kaum muslimin yang
jatuh dalam perbuatan yang dilarang ini. Mereka biasa menggulung (melinting)
lengan bajunya saat hendak berwudhu dan ketika hendak shalat lengan baju
tersebut tidak diturunkan kembali, namun dibiarkan tetap tergulung. Semua itu
mereka lakukan karena ketidaktahuan mereka tentang hukum agamanya. Wallahul
musta’an.
Catatan Kaki:
1. Ia menarik bajunya hingga terangkat atau melipatnya hingga
terangkat. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/460)
Menahan baju
contohnya seperti seseorang mengambil ujung pakaiannya, lalu ia masukkan ke
dalam ikat pinggang atau tali celananya. Sedangkan menahan rambut contohnya
seseorang mengambil bagian yang terurai dari rambutnya lalu dipilinnya untuk
digabungkan dengan rambut di atas kepala atau ia mengikatnya dengan benang,
karet, atau yang semisalnya. (At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin
Nadiyyah, 1/256)
2. Maksudnya seseorang menarik / menggulung / melipat pakaian yang
dikenakannya dan mengikat rambutnya karena hendak mengerjakan shalat.
3. Ulama mengatakan : “Tidak ada perbedaan antara ia melakukannya
tatkala hendak shalat karena shalat tersebut, atau ia melakukannya sebelum
mengerjakan shalat. Misalnya ia sedang bekerja, ia menarik / menggulung / melipat
lengan bajunya atau bagian bawah celananya, kemudian ketika hendak shalat ia
membiarkan lengan bajunya tetap tergulung / terlipat, maka kita katakan
kepadanya : “Lepaskan lipatan/gulungan lengan bajumu.” (Asy-Syarhul Mumti’,
1/461)
4. Rambutnya dipilin kemudian ujung-ujung rambut disatukan dengan
pangkalnya.
5. Rambut bagian bawah yang semestinya tidak tertutupi oleh sorban
tapi dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sorban karena tidak ingin rambutnya
terkena tanah ketika sujud.
6. Ia sengaja menyingsingkan baju atau lengan bajunya misalnya
karena khawatir ketika sujud bajunya akan terkena kotoran. Hal ini jelas
merupakan suatu bentuk kesombongan.
7. Yang dimaksud adalah hadits :
إِنَّمَا
مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوْفٌ
8. Telah diterangkan bahwa sama saja baik ia melakukannya di dalam
shalat ataupun di luar shalat ketika hendak melakukan shalat.
9. Maksudnya, wanita tidak terlarang shalat dalam keadaan rambutnya
dipilin, karena larangan yang ada hanya berlaku untuk laki-laki.
Sumber : Jalan Sunnah
SEmoga bermanfaat
BalasHapusMantap... pencerahan...
BalasHapusBukannya ada hadist yang isinya jika ketika sujud terdapat lebih dari 3 helai rambut yang menghalangi ubun-ubun maka sholat nya tidak sah.
BalasHapusboleh ditulis secara lengkap akhi hadisnya, biar menambah ilmu bagi kita semua, terlebih saya juga tidak mengetahui hadis yang antum maksud ^_^
HapusPendapat yang paling kuat, Insya Allah tidak mengapa.
Hapushttp://www.konsultasisyariah.com/peci-mukena-menutupi-dahi-ketika-sujud-saat-shalat/