Jumat, 29 Maret 2013

Adakah Wahabi yang Sesat? Siapakah Dia? Mari Kita Baca Artikelnya





Inilah Wahabi Sesungguhnya,..!!
Wajib diketahui oleh setiap kaum Musimin dimanapun mereka berada bahwasanya firqoh Wahabi adalah Firqoh yang sesat, yang ajarannya sangat berbahaya bahkan wajib untuk dihancurkan. Tentu hal ini membuat kita bertanya-tanya, mungkin bagi mereka yang PRO akan merasa marah dan sangat tidak setuju, dan yang KONTRA mungkin akan tertawa sepuas-puasnya,.. Maka siapakah sebenarnya Wahabi ini??
Bagaimanakah sejarah penamaan mereka??
Marilah kita simak dialog Ilmiah yang sangat menarik antara Syaikh Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwai’ir dengan para masyaikh atau dosen-dosen disuatu Universitas Islam di Maroko


Salah seorang Dosen itu berkata: “Sungguh hati kami sangat mencintai Kerajaan Saudi Arabia, demikian pula dengan jiwa-jiwa dan hati-hati kaum muslimin sangat condong kepadanya, dimana setiap kaum muslimin sangat ingin pergi kesana, bahkan antara kami dengan kalian sangat dekat jaraknya. Namun sayang, kalian berada diatas suatu Madzhab, yang kalau kalian tinggalkan tentu akan lebih baik, yaitu Madzhab Wahabi.”
Kemudian Asy Syaikh dengan tenangnya menjawab: “Sungguh banyak pengetahuan yang keliru yang melekat dalam pikiran manusia, yang mana pengetahuan tersebut bukan diambil dari sumber-sumber yang terpercaya, dan mungkin kalian pun mendapat khabar-khabar yang tidak tepat dalam hal ini.
Baiklah, agar pemahaman kita bersatu, maka saya minta kepada kalian dalam diskusi ini agar mengeluarkan argumen-argumen yang diambil dari sumber-sumber yang terpercaya dan saya rasa di Universitas ini terdapat Perpustakaan yang menyediakan kitab-kitab sejarah islam terpercaya. Dan juga hendaknya kita semaksimal mungkin untuk menjauhi sifat Fanatisme dan Emosional.”
Dosen itu berkata: “saya setuju denganmu dan biarkanlah para Masyaikh yang ada dihadapan kita menjadi saksi dan hakim diantara kita.”
Asy Syaikh berkata: “saya terima, Setelah bertawakal kepada Allah, saya persilahkan kepada anda untuk melontarkan masalah sebagai pembuka diskusi kita ini.”
Dosen itu pun berkata: “Baiklah kita ambil satu contoh, ada sebuah fatwa yang menyatakan bahwa firqoh wahabi adalah Firqoh yang sesat. Disebutkan dalam kitab Al-Mi’yar yang ditulis oleh Al Imam Al-Wansyarisi, beliau menyebutkan bahwa Al-Imam Al-Lakhmi pernah ditanya tentang suatu negeri yang disitu orang-orang Wahabiyyun membangun sebuah masjid, “Bolehkan kita Sholat di Masiid yang dibangun oleh orang-orang wahabi itu ??” maka Imam Al-Lakhmi pun menjawab: “Firqoh Wahabiyyah adalah firqoh yang sesat, yang masjidnya wajib untuk dihancurkan, karena mereka telah menyelisihi kepada jalannya kaum mu’minin, dan telah membuat bid’ah yang sesat dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengusir mereka dari negeri-negeri kaum muslimin “. (wajib kita ketahui bahwa Imam Al-Wansyarisi dan Imam Al-Lakhmi adalah ulama ahlusunnah)
Dosen itu berkata lagi: “Saya rasa kita sudah sepakat akan hal ini, bahwa tindakan kalian adalah salah selama ini,”
Kemudian Asy Syaikh menjawab: ”Tunggu dulu,..!! kita belum sepakat, lagipula diskusi kita ini baru dimulai, dan perlu anda ketahui bahwasannya sangat banyak fatwa yang seperti ini yang dikeluarkan oleh para ulama sebelum dan sesudah Al-Lakhmi, untuk itu tolong anda sebutkan terlebih dahulu kitab yang menjadi rujukan kalian itu,..!!
Dosen itu berkata: ”Anda ingin saya membacakannya dari fatwanya saja, atau saya mulai dari sampulnya ??”
Asy Syaikh menjawab: ”Dari sampul luarnya saja.”
Dosen itu kemudian mengambil kitabnya dan membacakannya: ”Namanya adalah Kitab Al-Mi’yar, yang dikarang oleh Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi. Wafat pada tahun 914 H di kota Fas, di Maroko.”
Kemudian Asy Syaikh berkata kepada salah seorang penulis di sebelahnya: “Wahai syaikh, tolong catat baik- baik, bahwa Imam Al-Wansyarisi wafat pada tahun 914 H. Kemudian bisakah anda menghadirkan biografi Imam Al- Lakhmi??”
Dosen itu berkata: “Ya”
Kemudian dia berdiri menuju salah satu rak perpustakaan, lalu dia membawakan satu juz dari salah satu kitab-kitab yang mengumpulkan biografi ulama. Didalam kitab tersebut terdapat biografi Ali bin Muhammad Al-Lakhmi, seorang Mufti Andalusia dan Afrika Utara.
Kemudian Asy Syaikh berkata : “Kapan beliau wafat?”
Yang membaca kitab menjawab: “Beliau wafat pada tahun 478 H
Asy Syaikh berkata kepada seorang penulis tadi: “Wahai syaikh tolong dicatat tahun wafatnya Syaikh Al-Lakhmi” kemudian ditulis.
Lalu dengan tegasnya Asy Syaikh berkata: “Wahai para masyaikh,..!!! Saya ingin bertanya kepada antum semua,..!!! Apakah mungkin ada ulama yang memfatwakan tentang kesesatan suatu kelompok yang belum datang (lahir),..?? kecuali kalau dapat wahyu,..??”
Mereka semua menjawab: “Tentu tidak mungkin, Tolong perjelas lagi maksud anda,..!”
Asy syaikh berkata lagi: “Bukankah wahabi yang kalian anggap sesat itu adalah dakwahnya yang dibawa dan dibangun oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab,..??”
Mereka berkata: “Siapa lagi???”
Asy Syaikh berkata: “Coba tolong perhatikan,..!! Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H, Nah, ketika Al-Imam Al-Lakhmi berfatwa seperi itu, jauh RATUSAN TAHUN lamanya sebelum syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir, bahkan sampai 22 generasi ke atas dari beliau sama belum ada yang lahir, apalagi berdakwah, KAIF,..?? GIMANA INI,..??” (Merekapun terdiam beberapa saat)
Kemudian mereka berkata: “Lalu sebenarnya siapa yang dimaksud Wahabi oleh Imam Al-Lakhmi tersebut,..?? mohon dielaskan dengan dalil yang memuaskan, kami ingin mengetahui yang sebenarnya..!”
Asy Syaikh pun menjawab dengan tenang: “Apakah anda memiliki kitab Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil, seorang kebangsaan Francis ?”
Dosen itu berkata: “Ya ini ada”
Asy Syaikh pun berkata: “Coba tolong buka di huruf “wau”, maka dibukalah huruf tersebut dan munculah sebuah judul yang tertulis “Wahabiyyah“ Kemudian Asy Syaikh menyuruh kepada Dosen itu untuk membacakan tentang biografi firqoh wahabiyyah itu.
Dosen itu pun membacakannya: ”Wahabi atau Wahabiyyah adalah sebuah sekte KHOWARIJ ABADHIYYAH yang dicetuskan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum Al-Khoriji Al-Abadhi, Orang ini telah banyak menghapus Syari’at Islam, dia menghapus kewajiban menunaikan ibadah haji dan telah terjadi peperangan antara dia dengan beberapa orang yang menentangnya. Dia wafat pada tahun 197 H di kota Thorat di Afrika Utara. Penulis mengatakan bahwa firqoh ini dinamai dengan nama pendirinya, dikarenakan memunculkan banyak perubahan dan dan keyakinan dalam madzhabnya. Mereka sangat membenci Ahlussunnah.
Setelah Dosen itu membacakan kitabnya, Asy Syaikh berkata: “Inilah Wahabi yang dimaksud oleh imam Al-Lakhmi, inilah wahabi yang telah memecah belah kaum muslimin dan merekalah yang difatwakan oleh para ulama Andalusia dan Afrika Utara sebagaimana yang telah kalian dapati sendiri dari kitab-kitab yang kalian miliki.
Adapun Dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud-Rahimuhumallah-, maka dia bertentangan dengan amalan dakwah Khowarij, karena dakwah beliau ini tegak diatas kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dan beliau menjauhkan semua yang bertentangan dengan keduanya, mereka mendakwahkah tauhid, melarang berbuat syirik, mengajak umat kepada Sunnah dan menjauhinya kepada bid’ah, dan ini merupakan Manhaj Dakwahnya para Nabi dan Rasul. Syubhat yang tersebar dinegeri-negeri Islam ini dipropagandakan oleh musuh- musuh islam dan kaum muslimin dari kalangan penjajah dan selain mereka agar terjadi perpecahan dalam barisan kaum muslimin. Sesungguhnya telah diketahui bahwa dulu para penjajah menguasai kebanyakan negeri-negeri islam pada waktu itu,dan saat itu adalah puncak dari kekuatan mereka. Dan mereka tahu betul kenyataan pada perang salib bahwa musuh utama mereka adalah kaum muslimin yang bebas dari noda yang pada waktu itu menamakan dirinya dengan Salafiyyah. Belakangan mereka mendapatkan sebuah pakaian siap pakai, maka mereka langsung menggunakan pakaian dakwah ini untuk membuat manusia lari darinya dan memecah belah diantara kaum muslimin, karena yang menjadi moto mereka adalah “PECAH BELAHLAH MEREKA, NISCAYA KAMU AKAN MEMIMPIN MEREKA”
Sholahuddin Al-Ayubi tidaklah mengusir mereka keluar dari negeri Syam secara sempurna kecuali setelah berakhirnya daulah Fathimiyyah Al-Ubaidiyyin di Mesir, kemudian beliau (Sholahuddin mendatangkan para ulama ahlusunnah dari Syam lalu mengutus mereka ke negeri Mesir, sehingga berubahlah negeri mesir dari aqidah Syiah Bathiniyyah menuju kepada Aqidah Ahlusunnah yang terang dalam hal dalil, amalan dan keyakinan.)

(silahkan lihat kitab Al Kamil Oleh Ibnu Atsir)

Kamis, 28 Maret 2013

Kisah Tentang Uang 10 (Sepuluh) Real





Adakah seorang peminta-minta yang berani memaksa kepada pemberinya,..?
Seorang teman bernama Pak Sunaryo yang barusan pulang dari ibadah haji, pernah bercerita. Bahwa ia adalah termasuk orang yang tidak terlalu memperdulikan keberadaan para peminta-minta. Meskipun banyak terlihat di kota mekah, namun ia tidak ambil peduli. Tidak tergerak sedikit pun hatinya untuk memberi uang atau apa pun kepada mereka. Dan hal itu katanya memang sudah menjadi kebiasaannya sejak ia masih muda.
“Kenapa harus pedulikan mereka, kalau hanya akan membuat mereka jadi malas,..” itu yang sering dia katakan.
Pagi itu, pak Sunaryo pergi ke masjid bersama-sama para jamaah lainnya. Ketika sampai di depan masjid ia bertemu dengan seorang peminta-minta yang menengadahkan tangannya kepada rombongan jamaah tersebut. Para jamaah yang notabene masih teman kerja sekantor itu, rata-rata memberi uang kepada pengemis yang sudah tua.
Ketika itu pak Sunaryo berjalan di urutan paling belakang. Sampai di dekat pengemis tersebut, ia menjadi begitu bingung. Sebab ia tidak pernah memberi uang atau apa saja kepada para pengemis.
Berada di dekatnya, pengemis tua itu menyodorkan tangannya ke arah pak Sunaryo. Demi menghindari rasa malu kepada para teman-temannya, pak Sunaryo pun mengambil uang dari balik saku bajunya.
Ia teringat kalau pada saat itu ada cukup uang di dalam saku bajunya. Hal itu memang sudah ia siapkan untuk belanja, sepulang mereka dari masjid.
Maka dengan serta merta pak Sunaryo mengambil uang dari saku bajunya. Diambilnya uang satu real-an satu lembar untuk memberi si pengemis. Begitu tangan pak Sunaryo mau mengulurkan tangan untuk memberikan uang satu real tersebut, ternyata yang terambil dari saku bajunya bukan satu real, tetapi sepuluh real.
Ia terkejut. Maka dibatalkannya pemberian itu. Pak Sunaryo pun kembali memasukkan tangan kanannya ke saku bajunya, untuk menukarkan uang sepuluh real tadi dengan uang satu real yang cukup banyak di dalam sakunya. Ketika tangannya diangkat, pak Sunaryo kembali terkejut. Karena sekali lagi yang terambil adalah uang sepuluh real. Bukan satu real.
Pak Sunaryo, sedikit merasa malu kepada teman-temannya. Untung banyak temannya yang tidak mengetahui kejadian itu. Maka sambil pura-pura ada sesuatu yang jatuh, pak Sunaryo berhenti sejenak sambil kembali memasukkan uang sepuluh realnya untuk mengganti dengan uang satu real.
Setelah yakin bahwa yang terambil adalah uang satu real, maka dengan raut muka agak sedikit lega, pak Sunaryo memberikan uang hasil ‘usaha’ yang ketiga kalinya, kepada pengemis tua. Digenggamnya rapat-rapat uang sebesar satu real itu, lantas ia berikan kepada sang pengemis tua yang sejak tadi menyaksikan dengan heran. Ketika pak Sunaryo membuka genggaman tangannya, jarak antara tangannya dan telapak tangan pengemis itu sudah begitu dekatnya, mata pak Sunaryo terbelalak saking terkejutnya,..
Ah, tak terasa ia mengeluarkan suara terkejut setengah mati. Apa yang terjadi ?
Ternyata uang yang ia ambil itu, kembali sepuluh real! bukan satu real. Tak karuan rasa hati pak Sunaryo. Antara malu, merasa rugi, heran, dan juga cemas menjadi satu.
Sementara teman-temannya ada yang sudah jauh di depannya, tetapi ada juga yang masih menunggu sambil berjalan pelan-pelan. Maka dalam kondisi semacam itu, pak Sunaryo mencoba berfikir seperti layaknya para jamaah pada umunya. Ia mencoba mengikhlaskannya.
Akhirnya diberikannya juga uang sepuluh real-an itu kepada si pengemis tua. Setelah itu ia cepat-cepat pergi untuk mengejar teman-temannya. ‘Bahkan sebagian temannya sudah ada yang masuk ke masjidil Haram.
Setelah melakukan shalat dhuhur, pak Sunaryo terus dibayangi oleh peristiwa kecil tersebut. Sambil duduk istirahat pak Sunaryo terus berfikir, mengapa hal itu bisa terjadi? Padahal ia sudah merasakan bahwa yang terambil untuk ke tiga kalinya itu, ia yakini adalah uang satu real. Tetapi mengapa kembali sepuluh real? Ia yakin bahwa yang ada di dalam saku bajunya, sangat banyak uang satu real-an dan hanya ada satu lembar uang sepuluh real. Tetapi kenapa yang terambil selalu yang sepuluh real?
Tiba-tiba pak Sunaryo, seperti mendapatkan sebuah hidayah. Sesuatu yang selama ini tidak pernah terfikirkan:
,..ah, ternyata apa yang sudah direncanakan dan disiapkan oleh manusia, sejeli dan seteliti apapun, tidak selalu menghasilkan seperti apa yang diinginkan…”
Tiba-tiba saja pak Sunaryo mengusap kedua pelupuk matanya yang tanpa terasa sudah basah oleh setetes air, yang ia sendiri tidak mengetahui, mengapa hal itu bisa terjadi,..
Saat pulang, Pak Sunaryo berjanji kepada dirinya sendiri, ia akan memperbaiki segala perilakunya yang kurang terpuji. Terutama kaitannya dengan para pengemis dan orang-orang miskin yang sering ia temui di jalan atau di mana saja. Rupanya Allah memberi pelajaran dan sekaligus hidayah kepada pak Sunaryo, lewat uang sepuluh real tersebut.
“Alhamdulillah” hanya ucapan itu yang ia sampaikan kepadaku, sambil menutup kisahnya yang cukup unik tersebut.
Aku pun termangu mendengar kisah sederhana tetapi penuh dengan pelajaran yang sangat berharga itu. Sungguh, jika seseorang telah diberi hidayah oleh Allah, maka apa yang ia berikan insya Allah akan menjadikan dirinya bertambah dekat kepadaNya. Semoga dengan kejadian itu, kini pak Sunaryo telah berubah menjadi manusia baru.
Semoga pelajaran kecil itu akan membawa manfaat yang besar buat kita semuanya. Manfaat yang paling besar adalah jika setiap pelajaran menimbulkan kedamaian dan ketentraman hati. Sebab hati yang damai dan tentram adalah sebagai indikasi bahwa manusia telah dekat kepada sang penciptanya,.. In shaa Allah.
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah (2) : 274)
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’d (13) : 28)

Sabtu, 23 Maret 2013

Imam Ja’far Ash-Shadiq Rahimahullah (Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik Syi’ah!)




Oleh Al Ustadz Muhammad ‘Ashim Musthofa, Lc. (Staf redaksi Majalah As Sunnah)
Tokoh yang masih keturunan Ahli Bait ini, termasuk yang dicatut oleh ahli bid’ah (baca: Syi’ah) sebagai tokohnya. Padahal jauh panggang dari api. Aqidahnya sangat berbeda jauh dengan aqidah yang selama ini diyakini orang-orang Syi’ah.
Nasab dan Kepribadiannya
Ia adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan istri putri beliau Fathimah Radhiyallahu ‘anha. Terlahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun.
Ash Shadiq merupakan gelar yang selalu menetap tersemat padanya. Kata ash Shadiq itu, tidaklah disebutkan, kecuali mengarah kepadanya. Karena ia terkenal dengan kejujuran dalam hadits, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakanny a. Kedustaan tidak dikenal padanya. Gelar ini pun masyhur di kalangan kaum Muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah acapkali menyematkan gelar ini padanya.
Laqab lainnya, ia mendapat gelar al Imam dan al Faqih. Gelar ini pun pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang ma’shum seperti yang diyakini sebagian ahli bid’ah. Ini dibuktikan, ia sendiri telah menepisnya, bahwa al ‘Ishmah (ma’shum) hanyalah milik Nabi.
Imam Ja’far ash Shadiq dikarunia beberapa anak. Mereka adalah: Isma’il (putra tertua, meninggal pada tahun 138 H, saat ayahnya masih hidup), ‘Abdullah (dengan namanya, kun-yah ayahnya dikenal), Musa yang bergelar al Kazhim [1], Ishaq, Muhammad, ‘Ali dan Fathimah.
Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling murah hati.
Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal ‘Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, dan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah, tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan.
Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin.
Perjalanan Keilmuannya
Imam Ja’far ash Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa’id as Sa’idi dan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhum. Dia juga berguru kepada Sayyidu Tabi’in ‘Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az Zuhri, ‘Urwah bin az Zubair, Muhammad bin al Munkadir dan ‘Abdullah bin Abi Rafi’ serta ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.
Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka adalah ulama-ulama kesohor, tsiqoh, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.
Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya bin Sa’id al Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as Sakhtayani, Ibnu Juraij dan Abu ‘Amr bin al ‘Ala`. Juga Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas al Ashbahi, Sufyan ats Tsauri, Syu’bah bin al Hajjaj, Sufyan bin ‘Uyainah, Muhammad bin Tsabit al Bunani, Abu Hanifah dan masih banyak lagi.
Para imam hadits -kecuali al Bukhari- meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di ash Shahih.
Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah kepada Imam Ja’far ash Shadiq.
Abu Hanifah berkata: ”Tidak ada orang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.”
Abu Hatim ar Razi di dalam al Jarh wa at Ta’dil (2/487) berkata: ”(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia.”
Ibnu Hibban berkomentar: “Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah dari kalangan atba’ Tabi’in dan ulama Madinah”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memujinya dengan ungkapan: “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan kesepakatan Ahli Sunnah”. (Lihat Minhaju as Sunnah, 2/245).
Demikian sebagian kutipan pujian dari para ulama kepada Imam Ja’far ash Shadiq.
Ja’far Ash Shadiq Tidak Mungkin Mencela Abu Bakar dan Umar
Adapun Syi’ah, berbuat secara berlebihan kepada Imam Ja’far ash Shadiq. Golongan Syi’ah ini mendaulatnya sebagai imam keenam. Pengakuan mereka, sebenarnya hanya kamuflase. Pernyataan-pernyataan dan aqidah beliau berbeda 180 derajat dengan apa yang diyakini oleh kaum Syi’ah.
Sebut saja, sikap Imam Ja’far ash Shadiq terhadap Abu Bakar dan ‘Umar bin al Kaththab. Kecintaannya terhadap mereka berdua tidak perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, mereka berdua adalah teman dekat kakek (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan sebagai penggantinya.
‘Abdul Jabbar bin al ‘Abbas al Hamdani berkata:”Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad menghampiri saat mereka akan meninggalkan Madinah. Ia berkata: ‘Sesungguhnya kalian, Insha Allah termasuk orang-orang shalih dari Madinah. Maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barangsiapa yang menganggap diriku imam ma’shum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku berlepas diri dari Abu Bakr dan ‘Umar, maka aku pun berlepas diri darinya’.”
Ad Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata: “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakr dan ‘Umar, ia berkata: ’Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga’.”
Pernyataan beliau ini jelas sangat bertolak belakang dengan keyakinan orang-orang Syi’ah yang menjadikan celaan dan makian kepada Abu Bakr, ‘Umar, dan para sahabat pada umumnya sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dari Allah.
Imam Ja’far ash Shadiq, sangat tidak mungkin mencela mereka berdua. Pasalnya, ibunya, Ummu Farwa adalah putri al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah, Asma` bintu Abdir Rahman bin Abi Bakr.
Apabila mereka adalah paman-pamannya, dan Abu Bakr termasuk kakeknya dari dua sisi, maka sulit digambarkan, jika Ja’far bin Muhammad -yang jelas berilmu, berpegah teguh dengan agamanya, dan ketinggian martabatnya, serta memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi- melontarkan cacian dan celaan terhadap kakeknya, Abu Bakr ash Shiddiq. Ja’far sendiri berkata: “Abu Bakar melahirkan diriku dua kali”.
Apalagi, bila menengok kapasitas keilmuan dan keteguhan agama dan ketinggian martabatnya, sudah tentu akan menghalanginya untuk mencaci-maki orang yang tidak pantas menerimanya.
Klaim Bohong Syi’ah atas Ja’far Ash Shadiq
Pada masanya, bid’ah al Ja’d bin Dirham dan pengaruh al Jahm bin Shafwan telah menyebar. Sebagian kaum Muslimin sudah terpengaruh dengan aqidah al Qur`an sebagai makhluk. Akan tetapi, Ja’far bin Muhammad menyatakan: “Bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi Kalamullah”[2].
Aqidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan Syi’ah yang mengamini Mu’tazilah, dengan pemahaman aqidahnya, al Qur`an adalah makhluk.
Artinya, prinsip aqidah yang dipegangi oleh Imam Ja’far ash Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahli Sunnah wal Jama’ah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Taimiyyah berkata: ”Syi’ah Imamiyah, mereka berselisih dengan Ahli Bait dalam kebanyakan pemahaman aqidah mereka. Dari kalangan imam Ahli Bait, seperti ‘Ali bin al Husain Zainal ‘Abidin, Abu Ja’far al Baqir, dan putranya, Ja’far bin Muhammad ash Shadiq, tidak ada yang mengingkari ru`yah (melihat Allah di akhirat), dan tidak ada yang mengatakan al Qur`an adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan ‘Ali merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi ), tidak ada yang mengakui para imam dua belas ma’shum, atau mencela Abu Bakr dan ‘Umar.”
Tokoh-tokoh Syi’ah tempo dulu mengakui, bahwa aqidah tauhid dan takdir (yang mereka yakini) tidak mereka dapatkan, baik melalui Kitabullah, Sunnah atau para imam Ahli Bait. Sebenarnya, mereka mendapatkannya dari Mu’tazilah. Mereka (kaum Mu’tazilah) itulah guru-guru mereka dalam tauhid dan al ‘adl”.
Klaim kaum Syi’ah yang menyatakan pemahaman aqidah mereka berasal dari Ja’far ash Shadiq atau imam Ahli Bait lainnya, hanyalah merupakan kedustaan, dan mengada-ada belaka. Sehingga tidak salah jika dianggapnya sebagai dongeng-dongeng fiktif, dan bualan kosong yang mereka nisbatkan kepada orang-orang yang mulia itu.
Contoh kedustaan yang dilekatkan kepada beliau, yaitu ucapan “taqiyah adalah agamaku dan agama nenek-moyangku”. Orang Syiah menjadikannya sebagai prinsip aqidah mereka.
Kedustaan lainnya, keyakinan mereka bahwa Ja’far ash Shadiq akan kekal abadi, dan tidak meninggal. Ini juga merupakan kesalahan yang parah. Kematian adalah milik setiap orang, dan pasti terjadi. Tidak ada orang, baik dari kalangan Ahli Bait atau lainnya yang mendapatkan hak istimewa hidup abadi di dunia ini.
Bentuk kedustaan mereka merambah buku dan tulisan-tulisan yang diklaim telah ditulis oleh Ja’far ash Shadiq. Para ulama telah menetapkan kedustaan itu. Ditambah lagi, eranya (80-148 H) termasuk masa yang kering dengan karya tulis. Yang ada, perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka saja, tidak sampai dibukukan.
Kaidah yang mesti kita pegangi dalam masalah ini, tidak menerima satu perkataan pun dari ash Shadiq dan imam-imam lain, juga dari orang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, berisikan orang-orang yang tsiqah dan dikenal dari kalangan para perawi, atau bersesuaian dengan al Haq dan didukung oleh dalil, maka baru bisa diterima. Selain dari yang itu, tidak perlu dilihat.
Di antara kitab yang dinisbatkan kepadanya dengan kedustaan, yaitu kitab Rasailu Ikhawni ash Shafa, al Jafr (kitab yang memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi), ‘Ilmu al Bithaqah, Ikhtilaju al A’dha` (menjelaskan pergerakan-pergerak an yang ada di bawah tanah), Qira`atu al Qur`an Fi al Manam, dan sebagainya.
Golongan Syi’ah memperkuat kedustaan mereka tentang keotentikan kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu Musa Jabir bin Hayyan ash Shufi ath Tharthusi. Dia ini adalah pakar kimia yang terkenal, meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin Hayyan telah menyertai Ja’far ash Shadiq dan menulis berbagai risalah yang berjumlah 500 buah dalam seribu lembar kertas. Namun, pernyataan ini masih sangat diragukan. Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan) dalam agama dan amanahnya, dan juga kesertaannya bersama Ja’far ash Shadiq yang meninggal tahun 148 H. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai Ja’far ash Shadiq, tetapi ia menyertai Ja’far bin Yahya al Barmaki. Dan lagi yang pantas untuk meragukan pernyataan tersebut, karena Imam Ja’far ash Shadiq berada di Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad. Kedustaan tersebut semakin jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alamnya, yang tentu sangat berbeda dengan yang ditekuni Imam Ja’far ash Shadiq.
Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Ja’far ash Shadiq. Ringkasnya, Syi’ah berdiri di atas kedustaan dan kebohongan. Andaikan benar miliknya, sudah tentu akan diketahui anak-anaknya dan para muridnya, dan kemudian akan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Wallahul Musta’an.
Fakta ini semakin membuktikan bahwa Syiah berdiri di atas gulungan kedustaan dan kebohongan. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan: “Adapun syariat mereka, tumpuannya berasal dari riwayat dari sebagian Ahli Bait seperti Abu Ja’far al Baqir, Ja’far bin Muhammad ash Shadiq dan lainnya”.
Tidak diragukan lagi, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan milik kaum muslimin dan imam mereka. Ucapan-ucapan mereka mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan orang-orang semacam mereka. Tetapi, banyak nukilan dusta ditempelkan pada mereka. Kaum Syiah tidak memiliki kemampuan penguasaan dalam aspek isnad dan penyeleksian antara perawi yang tsiqah dan yang tidak. Dalam masalah ini, mereka laksana Ahli Kitab. Semua yang mereka jumpai dalam kitab-kitab, berupa riwayat dari pendahu-pendahulu mereka, langsung diterima. Berbeda dengan Ahli Sunnah, mereka mempunyai kemampuan penguasaan isnad, sebagai piranti untuk membedakan antara kejujuran dengan kedustaan. (Minhaju as Sunnah, 5/162).
[Diadaptasi dari muqaddimah tahqiq Kitab al Munazharah (Munazharah Ja'far bin Muhammad ash Shadiq Ma'a ar Rafidhi fi at Tafdhili Baina Abi Bakr wa 'Ali), karya Imam al Hujjah Ja'far bin Muhammad ash Shadiq, tahqiq 'Ali bin 'Abdul 'Aziz al 'Ali Alu Syibl, Dar al Wathan Riyadh, Cet. I, Th. 1417 H].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Oleh Syi’ah Imamiyah, ia diangkat sebagai imam berikutnya. Dalam masalah ini, Syi’ah Imamiyah berseteru pendapat dengan Isma’iliyah tentang imam setelah Ja’far ash Shadiq, antara Musa yang bergelar al Kazhim dengan Isma’il yang sudah meninggal terlebih dahulu. Perbedaan memang menjadi ciri khas ahli bid’ah, bahkan pada masalah yang prinsip menurut mereka.
[2]. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, bahwa pernyataan itu termasuk sering diriwayatkan dari Ja’far ash Shadiq. (al Minhaj, 2/245).

 Sumber: di sini

 
Back To Top