Jumat, 30 Agustus 2013

Berhati-Hatilah Dalam Menyampaikan Hadits


Hadits ancaman berdusta atas nama Rasulullah merupakan hadits yang mutawatir yang diriwayatkan oleh puluhan sahabat, bila dicari di kutubus-sab’ah (Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmidzi & Abu Dawud) -belum di kitab-kitab hadits lain- ditemukan puluhan hadits dengan lafadz "man kadzaba alaiyya" (barangsiapa yang berdusta atas namaku). Beberapa lafadz hadits ancaman berdusta atas nama Nabi diantaranya :
“Barangsiapa berdusta terhadapku, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 1291, Muslim no. 3, Abu Dawud 3651, Ibnu Majah no. 30, 33, 36, 37, at-Tirmidzi 2659, 3715, Ahmad no. 584, 1075, 1413, 2675, 2974, dst)
"Barangsiapa berkata tentangku yang tidak pernah aku katakan, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka." (HR. Bukhari no. 109, dari Salamah al-Akwa radhiyallahu 'anhu, lihat juga di Ahmad no. 469, 6478, 8266) 
"Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan (yakni berdosa), dan barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka" (HR. Bukhari no. 3461, Ahmad no. 6486, 6888, 7006, at-Tirmidzi no. 2669 ; dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma)
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.”  (HR. Bukhari no. 1291, Muslim no. 4, Ahmad no. 18140, 18202, dari Mughiran bin Syu’bah radhiyallahu anhu)
"Akan ada orang-orang pada akhir umatku menceritakan sebuah hadits kepada kalian yang mana kalian belum pernah mendengarnya dan tidak pula bapak kalian. Maka kalian jauhilah dan mereka jauhilah." (HR. Muslim no. 6 -Muqaddimah Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
"Hendaklah kalian berhati-hati memperbanyak meriwayatkan dariku. Siapa yang berkata atas namaku, janganlah sekali-kali berkata kecuali yang haq atau jujur. Siapa yang berkata atas namaku dengan apa yang tidak pernah aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (Hasan, HR. Ibnu Majah no. 35, Ahmad no. 22538 ; dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu)

Imam Ibnu Hibban rahimahullah telah membuat pasal khusus  :
Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa [Rasulullah] shallallahu 'alaihi wasallam, padahal ia tidak mengetahui keshahihannya.” (Shahih Ibnu Hibban 1/hal. 210)
Kemudian beliau membawakan hadits  Rasulullah :
“Barangsiapa yang berkata atas (nama) ku (dengan) sesuatu yang tidak pernah aku ucapkan maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka” (Hadits no. 28, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. dihasankan oleh syaikh Albani) 
Barangsiapa yang menyampaikan sebuah hadits (dariku) dan dia mengetahui bahwa hadits tersebut adalah dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta. (Hadits no. 29, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu) 
"Cukuplah seseorang dianggap berdosa tatkala membicarakan semua yang ia dengar"  (Hadits no. 30, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Shahih, diriwayatkan juga Abu Dawud no. 4992, Imam muslim meriwayatkan dengan hadits semakna كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ Cukuplah seseorang (dinilai) berdusta jika dia menceritakan semua yang didengarnya – Shahin Muslim 1/10)  

Teladan dari para shahabat radhiyallahu 'anhum :
1.        Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Jami' bin Syaddad dari 'Amir bin 'Abdullah bin Az Zubair dari Bapaknya berkata, "Aku berkata kepada Az-Zubair (bin Awwam), "Aku belum pernah mendengar kamu membicarakan sesuatu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana orang-orang lain membicarakannya?" Az-Zubair menjawab, "Aku tidak pernah berpisah dengan beliau, aku mendengar beliau mengatakan: "Barangsiapa berdusta terhadapku maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka." (Shahih Bukhari No. 104)
2.        Dari Amr bin Maimun, dia berkata, "Aku tidak pernah melewatkan pengajian yang diadakan Ibnu Mas'ud pada Kamis sore kecuali aku selalu mendatanginya." Dia berkata, "Aku sama sekali tidak pernah mendengar Ibnu Mas'ud mengatakan, 'Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda'." Kemudian pada suatu sore Ibnu Mas'ud berkata dengan kepala tertunduk, 'Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda." Amr menceritakan, "Aku melihatnya berdiri sedang kancing bajunya terbuka. Bercucuran air mata dari kedua kelopak matanya, dan dari lehernya keringat mengalir deras." Amr melanjutkan, "Mungkin kurang dari itu atau lebih dari itu, mendekati itu atau seperti itu keadaannya." (Shahih : HR. Ibnu Majah no. 23)
3.        Dari Abdurrahman bin Abu Laila, dia berkata, "Kami berkata kepada Zaid bin Arqam, 'Riwayatkanlah kepada kami hadits dari Rasulullah!' Dia berkata, 'Kami telah semakin tua dan telah menjadi pelupa, dan menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah berat'." (Shahih : HR. Ibnu Majah no. 25, Ahmad no. 19305, 19324)

Perkataan para ulama rahimahumullah
1.   Berkata Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah :
"Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan dasar zhan (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang masuk kedalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka" (Syarah Musykil al-Atsar no. 426, I/373)
2.   Berkata Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah :
"Menyebutkan hadits-hadits dalam khutbah tanpa menyebutkan para perawinya dibolehkan dengan syarat bahwa ia sebagai ahli hadits, atau ia menukilnya dari buku yang penulisnya adalah ahli hadits. Adapun berpegang pada suatu hadits yang ia dapatkan dari sebuah buku yang penulisnya tidak tergolong ahli hadits, atau di buku-buku khutbah yang penulisnya juga demikian, maka hal itu tidak diperbolehkan. Barang siapa yang melakukannya, ia berhak diberi hukuman yang keras. Ternyata, demikianlah keadaan para khatib. Mereka hanya melihat buku-buku khutbah yang di dalamnya terdapat hadits, mereka pun menghafalkannya, lalu ia sampaikan dalam khutbahnya, tanpa memperdulikan apakah hadits-hadits tersebut ada dasarnya atau tidak? Maka wajib atas para penguasa setiap negara untuk memepringatkan para khatib yang melakukan hal demikian." (Al-fatawa al-haditsiyah hal. 32, lihat juga Koreksi Total Praktek Khutbah dan Ceramah- Su'ud bin Malluh bin Sulthan al-'Anazi.)
3.   Berkata al-Anshari rahimahullah :
“Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut.” (Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal 15, juga di Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi hal. 162.)
4.   Berkata Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah :
“Cara yang harus ditempuh bagi orang yang ingin berhujjah dengan hadits yang tertera dalam kitab-kitab Sunan dan kitab-kitab Musnad itu satu, karena semua kitab itu tidak mensyaratkan shahih dan hasan dalam penghimpunannya. Jadi, bila orang yang hendak berhujjah ini mampu untuk mengetahui hadits shahih dari lainnya, maka ia tidak boleh berhujjah dengan hadits dari kitab-kitab Sunan itu sebelum ia memperhatikan ketersambungan sanadnya dan keadaan para perawinya. Selain itu, ia juga tidak boleh berhujjah dengan hadits dari kitab-kitab Musnad sampai ia benar-benar menguasai disiplin ilmu ini. Dan bila orang yang hendak berhujjah tidak mampu melakukan hal itu maka jalan terbaik baginya adalah memperhatikan hadits tersebut. Bila hadits tersebut disebutkan dalam shahihain atau ada di antara ulama hadits yang secara jelas menyatakan keshahihannya maka ia boleh mengikutinya dalam masalah tersebut. Bila ia tidak menjumpai seorang ulama menilai hadits itu shahih atau hasan maka ia tidak boleh berhujjah dengannya. Orang semacam ini ibarat orang yang mencari kayu bakar di malam yang gelap gulita. Boleh jadi ia berhujjah dengan suatu riwayat yang bathil, tapi ia tidak merasa." (An-Nu’kat ‘ala Kitab Ibn Shalah, 1/449)
5.   Berkata syaikh al-Albani rahimahullah :
“Dan ketahuilan bahwa mengenal hadits dha’if adalah kewajiban dan juga menjadi suatu keniscayaan bagi setiap muslim yang kerap menyampaikan pengajian dan nasihat kepada orang lain. Sering kali para pengarang, mubaligh dan khatib meremehkan hal ini, khususnya para ahli sastra di forum-forum seminar dan kajian-kajian lain misalnya. Kebanyakan mereka meremehkan hal ini. Mereka menggunakan hadits-hadits yang tidak memiliki asal-usul, tanpa mengindahkan larangan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam meriwayatkan hadits dari beliau kecuali yang shahih. Sebagaimana perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam : "Hendaklah kalian berhati-hati memperbanyak meriwayatkan dariku. Siapa yang berkata atas namaku, janganlah sekali-kali berkata kecuali yang haq atau jujur. Siapa yang berkata atas namaku dengan apa yang tidak pernah aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”  

Maka mengenal hadits dha'if adalah hal penting, dan hal itu juga termasuk dalam penjelasan hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan dalam Shahihain, "Kebanyakan manusia bertanya tentang kebaikan dari Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, sedang aku bertanya tentang keburukan, sebab khawatir akan melakukannya . . ." (al-hadits).
Begitu juga perkataan penyair:
"Aku mengenal keburukan bukan keburukan, namun untuk menjauhinya.
Siapa yang tidak mengenal keburukan, ia akan terjerumus kedalamnya” (Dha’if Adabul Mufrad li Imam al-Bukhari hal. 6-7)


Di ambil dari catatan Ustadz Agung Supriyanto

0 komentar:

Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini dan gunakan kata-kata yang baik dalam berkomentar
dan saya menolak debat kusir
terima kasih

 
Back To Top