Minggu, 15 Juli 2012

Subhanallah...Kucing Schrodinger Buktikan Siksa Neraka Mengerikan,..!



Peluruhan radioaktif dalam eksperimen Schrodinger yang dilakukan pada seekor kucing berakibat menyebarnya racun mematikan buat kucing.
Percobaan itu memunculkan 2 kemungkinan yang sama-sama mungkin :
  1. Kucing itu HIDUP ATAU MATI
  2.  Menurut gerak rata-rata linier dalam mekanika kuantum, kucing Schrodinger akan berada dalam kondisi paradoks yang tidak bisa divisualisasikan, yakni kondisi TIDAK HIDUP DAN JUGA TIDAK MATI.
Dalam istilah Copenhagen Interpretation (Interprestasi Copenhagen ), jalan keluar dari masalah ini adalah menciptakan sebuah peran yang sama sekali tidak terjangkau oleh para pengamat ataupun alat ukur, untuk mencapai hasil tertentu. Namun teori ini ditentang teori Born.
Menurut Teori Born, solusi masalah tersebut sebenarnya sama sekali tidak membutuhkan peran dari pengamat.
Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan Allah dalam Al Qur'an bahwa orang-orang kafir akan merasakan siksa api neraka dalam keadaan yang mengerikan, yakni tidak mati dan juga tidak hidup.
Sungguh sebuah kondisi yang berada di luar jangkauan akal manusia dan merupakan kebenaran Al Qur'an yang tidak bisa disanggah atau diperdebatkan.
Orang-orang kafir yang disiksa dalam neraka itu bagaikan berada di tengah radiasi yang sangat panas. Dalam kondisi itu, mereka tidak mati dan juga tidak hidup ...!
Inilah penemuan luar biasa dari ilmuwan bernama Erwin Schrodinger yang terkenal dengan nama mekanika kuantum.
Sains menyatakan bahwa persamaan gerak linier dalam mekanika kuantum, kucing kuantum itu berada pada kondisi paradoks yang tidak bisa di ilustrasikan karena kondisinya tidak mati dan tidak hidup.
Inilah Surat yang menggambarkan keadaan itu: “Orang-orang celaka (kafir) akan menjauhinya. Yaitu orang yang akan masuk api neraka. Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup.” (QS Al A’la 87 ayat 11-13)

Jumat, 13 Juli 2012

Anak Kecil yang Takut Api NERAKA



Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ada seorang lelaki tua sedang berjalan-jalan di tepi sungai, kemudian dia melihat seorang anak kecil sedang mengambil wudhu' sambil menangis.
Orang tua itu lalu mendekati anak kecil yang ia lihat sedang menangis, dia pun berkata: "Wahai anak kecil kenapa kamu menangis?"
Maka berkata anak kecil itu: "Wahai tuan, saya telah membaca ayat Al-Quran sehingga sampai kepada ayat yang berbunyi: "Yaa ayyuhal ladziina aamanuu quu anfusakum" yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah olehmu sekalian akan dirimu." Saya menangis sebab saya takut akan dimasukkan ke dalam api neraka."
Berkata orang tua itu: "Wahai anak, janganlah kamu takut, sesungguhnya kamu terpelihara dan kamu tidak akan dimasukkan ke dalam api neraka."
Berkata anak kecil itu: "Wahai tuan, tuan adalah orang yang berakal, tidakkah tuan lihat kalau orang menyalakan api maka yang pertama sekali yang mereka akan letakkan ialah ranting-ranting kayu yang kecil dahulu kemudian baru mereka letakkan yang besar. Jadi tentulah saya yang kecil ini akan dibakar dahulu sebelum dibakar orang dewasa."
Berkata orang tua itu, sambil menangis: "Sesungguh anak kecil ini lebih takut kepada neraka daripada orang yang dewasa maka bagaimanakah keadaan kami ini nanti ?"
Anak kecil itu saja takut akan siksa di neraka, apakah kita tidak takut akan siksa yang pedih di neraka, masihkah kita suka melakukan sesuatu yang di murkai Allah sehingga membuat kita masuk ke dalam NERAKA, naudzubillahimindzalik,..

Selasa, 10 Juli 2012

Kunikahi dia karena AGAMAnya



Sufyan Bin ‘Uyainah Rahimahullah, orang alim ini dilahirkan pada tahun 107 H pada pertengahan bulan Syawwal, dan ajal menjemputnya pada hari Sabtu, 1 Rajab 198 H. Nasab lengkapnya, Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imran al Kufi. Dia dikenal dengan panggilan Abu Muhammad. 
Ayahnya seorang pegawai pada masa Khalid bin Abdillah Al Qasri. Tatkala Khalid diberhentikan dari jabatan Gubernur Iraq dan digantikan oleh Yusuf bin Umar ats Tsaqafi, pejabat baru ini mencari-cari para staff pada masa pemerintahan Khalid, sehingga mereka berlarian untuk menyembunyikan diri. ‘Uyainah, Ayah Sufyan kecil, melarikan diri sampai ke kota Mekkah dan akhirnya memutuskan berdomisili disana.  
Ketika ia menapak usia lima belas tahun, ayahnya memanggil, seraya berpesan : “Wahai Sufyan! Masa kanak-kanak sudah lepas darimu, maka kejarlah kebaikan, supaya engkau termasuk orang-orang yang mengejarnya. Jangan tertipu dengan pujian orang-orang yang menyanjungmu dengan pujian yang Allah mengetahui, bahwa keadaanmu berlawanan dengan itu. Sebab, tidak ada orang yang berkata baik kepada orang lain tatkala ia sedang senang, kecuali ia akan berkata kejelekan kepadanya serupa ketika ia sedang dilanda amarah. Nikmati kesendirian daripada bergaul dengan kawan-kawan yang buruk. Jangan engkau alihkan prasangka baikku kepadamu kepada prasangka lain. Dan tidak akan ada orang yang berbahagia bersama dengan ulama, kecuali orang-orang yang mentaati mereka”.
Mendengar nasihat ayahnya ini Sufyan berkata dalam hati : ”Sejak itu, aku menjadikan pesan Ayah sebagai arah kompasku, berjalan bersamanya, tidak menyimpang darinya”. Begitulah yang ia jalani. Sejak usia dini, ulama besar ini telah menyibukkan diri pada pendalaman ilmu din. Tepatnya pada tahun 119 H.
Ibnu ’Uyainah mengisahkan tentang dirinya : ”Aku keluar menuju masjid, dan aku melihat-lihat halaqah-halaqah (majlis ilmu) yang ada. Bila aku lihat ada kumpulan ulama dan orang-orang tua, maka aku menghampirinya”. Dia menceritakan: ”Aku duduk di majlis ilmu Ibnu Syihab dalam usia enam belas tahun tiga bulan”.
Salah satu yang menunjukkan keberuntungannya, sebanyak delapan puluh ulama besar dari kalangan tabi’in sempat ia jumpai. Misalnya: ’Amr bin Dinas, az Zuhri, Muhammad bin al Munkadir, al A’masy, Sulaiman at Taimi dan Humaid ath Thawil.
Tentang kekuatan hafalannya, ia berkata, ”Aku tidak pernah menulis sesuatu, kecuali sudah aku hafal sebelum aku menuliskannya.” Tak pelak, berkat pergaulannya dengan ulama-ulama besar, telah membentuk dirinya menjadi pribadi yang teguh, luas ilmunya dan mendalam. Ia menjadi narasumber dalam berbagai permasalahan dan tempat curahan isi hati.
Yahya bin Yahya an Naisaburi menceritakan: ”Suatu hari, ada seorang lelaki mendatangi Sufyan dengan berkata : “Wahai , Abu Muhammad (yang dimaksud adalah Sufyan). Aku ingin mengadukan kepadamu tentang keadaan istriku. Aku menjadi lelaki yang paling hina dan rendah dimatanya”.
Maka Sufyan menggeleng-gelengkan kepala heran, dan kemudian berkata: ”Mungkin, keadaan itu muncul karena engkau menikahainya untuk meraih kehormatan?”

Lelaki itu pun mengakuinya: ”Ya, betul wahai Abu Muhammad”. 
Sufyan lalu berpesan: ”Barang siapa pergi karena mencari kehormatan, niscaya akan diuji dengan kehinaan. Barangsiapa mengerjakan sesuatu lantaran dorongan harta, niscaya akan diuji dengan kefakiran. Barang siapa bergerak karena dorongan din, niscaya Allah akan menghimpun kehormatan dan harta bersama dinnya”.  
Berikutnya, Sufyan mulai berkisah : ”Kami adalah empat bersaudara: Muhammad, Imran, Ibrahim, dan aku sendiri. Muhammad adalah kakak sulung., Imran anak bungsu. Sedangkan aku berada di tengah-tengah. Tatkala Muhammad ingin menikah, ia menginginkan kemuliaan nasab. Maka ia menikahi wanita yang lebih tinggi status sosialnya. Kemudian Allah mengujinya dengan kehinaan.
Sedangkan Imran, (saat menikah) ingin mendapatkan harta. Maka ia menikahi wanita yang lebih kaya dari dirinya. Allah kemudian mengujinya dengan kemiskinan. Keluarga wanita mengambil seluruh yang dimilikinya, tidak menyisakan sedikitpun.
Aku pun merenungkan nasib keduanya. Sampai akhirnya Ma’mar bin Rasyid datang menghampiriku. Aku pun berdiskusi dengannya. Aku ceritakan kepadanya peristiwa yang menimpa para saudaraku. Ia mengingatkanku dengan hadits Yahya bin Ja’daj dan hadits ’Aisyah”.
Hadits Yahya bin Ja’dah yang dimaksud, yaitu sabda Nabi Shollallahu ’alayhi wa sallam: ”Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, status sosialnya, kecantikannya dan din (agama)nya. Carilah wanita yang beragama, niscaya tanganmu akan beruntung”.

Sedangkan hadits ’Aisyah, Nabi Shollallahu ’alayhi wa Sallam bersabda: “Wanita yang paling besar berkahnya adalah wanita yang paling ringan beban pembiayaannya”. 
Maka, aku memutuskan untuk memilih bagi diriku (wanita yang) memiliki din dan beban yang ringan untuk mengikuti Sunnah Rasulullah Shollallahu ’alayhi wassallam. Allah menghimpunkan bagiku kehormatan dan limpahan harta dengan sebab agamanya”.  
Itulah salah satu hikmah yang muncul dari lisannya. Tidak sedikit untaian hikmah dari Sufyan yang mencerminkan kedekatannya dengan Al Khaliq, Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Kisah Anak Amerika Yang Masuk Islam



Kisah spiritual anak amerika yang memeluk islam hanya karena dia baca mengenai buku Islam, setelah sebelumnya orang tuanya memberinya semua buku seluruh agama yang ada di dunia. Orang tua itu memutuskan agar anaknya sendirilah yang memilih agama yang diyakininya dapat menjadi tuntunan hidupnya. Rasulullah Saw, bersabda : “Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari.)
Kisah bocah Amerika ini tidak lain adalah sebuah bukti yang membenarkan hadis tersebut di atas. Alexander Pertz dilahirkan dari kedua orang tua Nasrani pada tahun 1990 M. Sejak awal ibunya telah memutuskan untuk membiarkannya memilih agamanya jauh dari pengaruh keluarga atau masyarakat. Begitu juga dia bisa membaca dan menulis maka ibunya menghadirkan untuknya buku-buku agama dari seluruh agama, baik agama langit atau agama bumi. Setelah membaca dengan mendalam, Alexander memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Padahal Ia tak pernah bertemu muslim seorang pun.
Dia sangat cinta dengan agama ini sampai pada tingkatan dia mempelajari shalat, dan mengerti banyak hukum-hukum syar’i, membaca sejarah Islam, mempelajari banyak kalimat bahasa Arab, menghafal sebagian surat, dan belajar adzan. Semua itu tanpa bertemu dengan seorang muslim pun. Berdasarkan bacaan-bacaan tersebut dia memutuskan untuk mengganti namanya yaitu Muhammad Abdullah, dengan tujuan agar mendapatkan keberkahan Rasulullah Saw yang dia cintai sejak masih kecil.
Salah seorang wartawan muslim menemuinya dan bertanya pada bocah tersebut. Namun, sebelum wartawan tersebut bertanya kepadanya, bocah tersebut bertanya kepada wartawan itu, “Apakah Engkau seorang yang hafal Al-Quran?”
Wartawan itu berkata: “Tidak”, Namun sang wartawan dapat merasakan kekecewaan anak itu atas jawabannya.
Bocah itu kembali berkata: “Akan tetapi engkau adalah seorang muslim, dan mengerti bahasa Arab, bukankan demikian?”. Dia menghujani wartawan itu dengan banyak pertanyaan. “Apakah engkau bisa mendapatkan pakaian ihram? Apakah pakaian ihram tersebut mahal? Apakah mungkin aku membelinya di sini, ataukah mereka hanya menjualnya di Arab Saudi saja? Kesulitan apa sajakah yang engkau alami, dengan keberadaanmu sebagai seorang muslim di komunitas yang bukan Islami?”
Setelah wartawan itu menjawab sebisanya, anak itu kembali berbicara dan menceritakan tentang beberapa hal berkenaan dengan kawan-kawannya, atau gurunya, sesuatu yang berkenaan dengan makan atau minumnya, peci putih yang dikenakannya, ghutrah (surban) yang dia lingkarkan di kepalanya dengan model Yaman, atau berdirinya di kebun umum untuk mengumandangkan adzan sebelum dia sholat. Kemudian Ia berkata dengan penuh penyesalan. “Tekadang aku kehilangan sebagian sholat karena ketidak tahuanku tentang waktu-waktu solat.”
Kemudian wartawan itu bertanya pada sang bocah itu, “Apa yang membuatmu tertarik pada Islam? Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang lain saja?” Dia diam sesaat kemudian menjawab “Aku tidak tahu, segala yang aku ketahui adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku menambah bacaanku, maka semakin banyak kecintaanku.”
Wartawan bertanya kembali, : ”Apakah engkau telah puasa Ramadhan?”
Ia tersenyum sambil menjawab, “Ya, aku telah puasa Ramadhan yang lalu secara sempurna. Alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku berpuasa di dalamnya. Dulunya sulit, terlebih pada hari-hari pertama.” Kemudian dia meneruskan: “Ayahku telah menakutiku bahwa aku tidak akan mampu berpuasa, akan tetapi aku berpuasa dan tidak mempercayai hal tersebut.”
“Apakah cita-citamu?” Tanya wartawan
Dengan cepat Ia menjawab, “Aku memiliki banyak cita-cita. Aku berkeinginan untuk pergi ke Mekkah dan mencium Hajar Aswad.”
“Sungguh aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan ibadah haji adalah sangat besar. Adakah penyebab tersebut?’ Tanya wartawan lagi.
Ibu Muhammad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia berkata: “Sesungguhnya gambar Ka’bah telah memenuhi kamarnya, sebagian orang menyangka bahwa apa yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam khayalan, semacam angan yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa dia tidak hanya sekedar serius, melainkan mengimaninya dengan sangat dalam sampai pada tingkatan yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain.”
Tampaklah senyuman di wajah Muhammad Abdullah, dia melihat ibunya membelanya. Kemudian dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang thawaf di sekitar Ka’bah, dan bagaimana haji sebagai sebuah lambang persamaan antar sesama manusia sebagaimana Tuhan menciptakan mereka tanpa memandang perbedaan warna kulit, bangsa, kaya, atau miskin.
Kemudian Muhamad meneruskan, “Sesungguhnya aku berusaha mengumpulkan sisa dari uang sakuku setiap minggunya agar aku bisa pergi ke Mekkah al-Mukarramah pada suatu hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke sana membutuhkan biaya 4 ribu dollar, dan sekarang aku mempunyai 300 dollar.”
Ibunya menimpalinya seraya berkata untuk berusaha menghilangkan kesan keteledorannya, “Aku sama sekali tidak keberatan dan menghalanginya pergi ke Mekkah, akan tetapi kami tidak memiliki cukup uang untuk mengirimnya dalam waktu dekat ini.”
“Apakah cita-citamu yang lain?’ Tanya wartawan.
“Aku bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum muslim. Ini adalah bumi mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel (Yahudi) dari mereka.” Jawab Muhammad.
Ibunya meliahat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka diapun memberikan isyarat bahwa sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia dengan ibunya sekitar tema ini.
Muhammad berkata, “Ibu, engkau belum membaca sejarah, bacalah sejarah, sungguh benar-benar telah terjadi perampasan terhadap Palestina.”
“Apakah engkau mempunyai cita-cita lain?” Tanya wartawan lagi.
Muhammad menjawab, “Cita-citaku adalah aku ingin belajar bahasa Arab, dan menghafal Al-Quran.”
“Apakah engkau berkeinginan belajar di negeri Islam?” Tanya wartawan
Maka dia menjawab dengan meyakinkan: “tentu”
“Apakah engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan? Bagaimana engkau menghindari daging babi?”
Muhammad menjawab, “Babi adalah hewan yang sangat kotor dan menjijikan. Aku sangat heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya. Keluargaku mengetahui bahwa aku tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka tidak menghidangkannya untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka aku kabarkan kepada mereka bahwa aku tidak memakan daging babi.”
“Apakah engkau shalat di sekolahan?”
“Ya, aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan yang aku shalat di sana setiap hari”. Jawab Muhammad.
Kemudian datanglah waktu shalat maghrib di tengah wawancara tersebut. Bocah itu langsung berkata kepada wartawan, “Apakah engkau mengijinkanku untuk mengumandangkan adzan?”
Kemudian dia berdiri dan mengumandangkan adzan. Dan tanpa terasa, air mata mengalir di kedua mata sang wartawan ketika melihat dan mendengarkan bocah itu menyuarakan adzan.

Subhanallah, meski dalam keterbatasan dalam mempelajari islam tanpa seorang guru, tapi anak itu bertekat untuk mempelajari islam hingga ke Mekkah, sedangkan kita yang berada di tempat yang mayoritas muslim, apakah masih enggan untuk mempelajari islam,..??

 
Back To Top